Hikayat Dunia

Kita hanya pengumpul remah-remah | Dari khazanah yang pernah ada | Kita tak lebih hanya penjaga | Dari warisan yang telah terkecai ||

Pontianak Singgah Palembang

Daripada terus berpusing-pusing di atas Negeri Pontianak, yang itu tentu akan menghabiskan bahan bakar, maka lebih baik pesawat singgah dahulu ke bandar udara terdekat. Sesuai pemberitahuan dari awak pesawat, bandar udara terdekat adalah Bandar Udara Sultan Mahmud Badaruddin II, Negeri Palembang.

Mudék ke Ulu

Pasangan dari kate “ulu” ielah “mudék”. Kate “mudék” beakar kate dari kate “udék”. Udék bemakne "sungai yang sebelah atas (arah dekat sumber)", "daerah di ulu sungai", juga’ bemakne "kampong halaman (tempat beasal-muasal)".

Soal Nama Negeri Kita

Belakangan ini kiranya ramai yang berpendapat ini dan itu mengenai asal usul dan makna nama "pontianak" kaitannya dengan Negeri Pontianak. Tapi apakah semua yang didedahkan itu betul-betul dipahami oleh masyarakat Pontianak?

Kampong Timbalan Raje Beserta Para Pemukanya [Bagian-3]

Selain banyak menguasai berbagai bidang keilmuan, beliau juga banyak memegang peran dalam kehidupan kemasyarakatan. H.M. Kasim Mohan yang merupakan anak sulong (tertua) dari pasangan Muhammad Buraa'i dan Ruqayyah ini merupakan seorang Pejuang di masanya.

Musik Motivasi Setahun Silam

“Satu Kursi untuk Seniman”, begitu tagline kampanyenya. Tekadnya untuk memajukan Kalbar lewat industri kreatif tentu patut diapresiasi. Melalui industri kreatif diharapkannya dapat menjadi jembatan menjulangkan budaya yang memayungi Kalimantan Barat.

Sultan Pontianak; Umara' dan 'Ulama

Kegemilangan Negeri Pontianak salah satunya diasbabkan kepemimpinan para Sultan-nya yang arif dan bijaksana. Sultan-Sultan Pontianak selama masa bertahtanya rata-rata memiliki dua peranan, yaitu berperan sebagai umara', sekaligus berperan sebagai 'ulama.

Puisi Buya Hamka untuk Muhammad Natsir

Kepada Saudaraku M. Natsir | Meskipun bersilang keris di leher | Berkilat pedang di hadapan matamu | Namun yang benar kau sebut juga benar ||

Senin, 21 Januari 2008

“The Da Vinci Code” Tak Hanya Mengguncang Iman Kristiani


Mungkin aku termasuk seorang yang terlambat membaca Novel “The Da Vinci Code” karya Dan Brown, karena novel ini untuk pertama kalinya terbit pada tahun 2003 (edisi Bahasa Inggris). Kemudian terbit di Indonesia (edisi Bahasa Indonesia) pada tahun 2004 dan 2005. Kini sudah tahun 2008. Jadi boleh dikatakan, bahwa aku adalah orang yang terlambat membaca Novel yang menarik ini. Namun bagiku, tak ada kata terlambat untuk membagi apa yang kumengerti dari isi novel yang kubaca itu. Karena bagiku, mungkin saja setiap orang memiliki pandangan yang berbeda setelah membaca isi novel tersebut, tak terkecuali aku.

Kini, aku sudah menyelesaikan membaca Novel “The Da Vinci Code”. Ketika dalam proses membacanya, aku selalu membuat perkiraan-perkiraan (persangkaan-persangkaan), bagaikan seorang detektif. Dan ternyata, persangkaan-persangkaanku itu begitu banyak yang meleset. Di akhir novel, aku baru bisa tersenyum dan menarik napas lega, setelah sebelumnya begitu banyak ketegangan-ketegangan di dalam novel ini.

Agar lebih menarik, bacalah novel ini secara berurutan dari awal sampai akhir. Buatlah suatu catatan mengenai persangkaan-persangkaan kita, yang mana persangkaan-persangkaan kita itu biasanya akan runtuh ketika kita membaca halaman-halaman selanjutnya. Catatlah temuan baru itu. Dan kemungkinan, persangkaan-persangkaan kita berdasarkan temuan-temuan baru itu juga akan runtuh ketika kita membaca halaman-halaman selanjutnya. Catat terus perkembangan novel. Jangan lupa juga untuk mencatat hal-hal yang menurut kita menarik, seperti teka-teki, sandi, kode, dan simbol yang terpecahkan, yang teka-teki, sandi, kode, dan simbol itu saling berkaitan dan memiliki banyak arti. Catat juga hal-hal lainnya yang kita anggap menarik, seperti fakta sejarah dan mengenai doktrin-doktrin agama. Pada novel ini mengenai doktrin Kristen.

Bagi pembaca yang beragama selain Kristen, novel ini juga menarik untuk kita baca, agar kita bisa kembali menyelami keyakinan agama kita selama ini, yang ternyata begitu banyak metafora-metafora yang metafora-metafora itu sudah kita anggap sebagai suatu kebenaran itu sendiri, yang dapat dikatakan bahwa metafora-metafora itu sudah menjadi doktrin dan dogma yang sangat sulit untuk digugat.

Di halaman-halaman akhir novel, betapa aku terkejut. Ternyata Kapten Bezu Fache tak lain adalah seorang Polisi yang profesional dalam menjalankan tugasnya (karena persangkaanku sebelumnya, bahwa Kapten Bezu Fache termasuk ke dalam komplotan pembunuhan ini, yaitu yang menurut perkiraanku adalah Komplotan Opus Dei). Karena berkatnyalah kemudian, kasus pembunuhan yang misterius ini dapat terungkap, yaitu dengan tertangkapnya Sir Leigh Teabing (Guru), dan sekaligus Prof. Langdon dan Sophie Neveu dapat diselamatkan.

Uskup Aringarosa tak lain hanyalah seorang Uskup di Opus Dei (Pemimpin tertinggi di Opus Dei) yang sedang menghadapi kesulitan, dan dia tidak mengenal sama sekali “Guru”. Tawaran dari “Guru” diterimanya, karena ia ingin keluar dari kesulitan tersebut. Tapi akhirnya dia dapat menyadari, bahwa ia tak lebih telah ditipu oleh “Guru”. Dan ternyata Silas, anak didiknya itu, tak lebih hanya seorang mantan penjahat, yang dengan menjalankan tugas misterius itu dia berharap bisa menebus dosanya. Akhirnya, Silas (menurutku) sepertinya kembali menjadi orang baik (di akhir cerita, sepertinya Silas mati, karena tertembak oleh Polisi). Dan juga Opus Dei tidak terlibat dalam kasus ini, karena Uskup Aringarosa hanya dijebak oleh Sir Leigh Teabing (Guru).

Dan terakhir, Langdon dan Sophie Neveu setelah memecahkan keberadaan Holy Grail, yang mana Holy Grail itu sepertinya hanya perumpamaan. Karena Holy Grail memang tak ada di tempat yang sesuai dengan petunjuk sandi Sauniere. Yang ada adalah kemudian, Sophie Neveu dapat bertemu dengan Neneknya dan adik laki-lakinya, yang selama ini dia ketahui dari kakeknya (Sauniere) bahwa Nenek dan adik laki-lakinya itu juga menjadi korban kecelakaan mobil bersama-sama dengan kedua orang tuanya.

Yang membuat aku bingung, kejadian di novel ini hanya berlangsung semalaman, dilanjutkan dengan pagi hingga sore hari kemudian (mungkin hanya berkisar sekitar kurang-lebih 20 jam, atau mungkin bisa pendek dari itu), yaitu dari terbunuhnya Sauniere pada jam 10.46 malam di Paris, hingga tertangkapnya Guru (Sir Leigh Teabing) di London (di Novel, waktu tertangkapnya tak dijelaskan, namun sekilas dapat diperkirakan mungkin sore hari besoknya).

Kronologi singkatnya secara berurutan:
Dari pukul 10 malam hingga sekitar 6 pagi di Paris.
1) 10.46 malam (Museum Louvre-Paris): Sauniere terbunuh.
2) 12.32 dinihari (Hotel Ritz-Paris): Langdon masih berada di Hotel Ritz-Paris.
3) Kemudian Langdon sudah berada di Museum Louvre (jamnya tidak disebutkan).
4) Langdon dan Sophie Neveu ke Stasiun Kereta Api (tak disebutkan jamnya)
5) Langdon dan Sophie Neveu berada di Bank Penyimpanan Zurich-Cabang Paris.
6) Tengah malam (jamnya tak disebutkan): berada di Puri Villette milik Leigh Teabing-Paris.
7) Melakukan penerbangan dari Paris ke London (jamnya tak disebutkan).

6.30 pagi hingga Sore di London
1) 6.30 : mendarat di London
2) 7.30 berada di Gereja Kuil-London
3) berada di Perpustakaan King’s College (pagi-waktu jelasnya tak dituliskan).
4) Biara Westminster-London (waktunya tak dituliskan)
5) Tertangkapnya Guru (Sir Leigh Teabing), mungkin sekitar sore hari.

Yang membuat aneh lagi, latar tempatnya pun berpindah-pindah, bahkan dari Paris hingga ke London (tempat dengan jarak yang mungkin tak dapat dikatakan dekat). Dengan cerita yang sungguh mencekam itu, mungkinkah hanya dalam waktu yang pendek itu (sekitar kurang lebih 20 jam) semua itu terjadi? Entahlah. Tapi yg pasti, novel ini begitu menarik, dan layak untuk dibaca.


Jika pada komentar dikatakan bahwa Novel “The Da Vinci Code” ini sudah menggoyang iman Kristiani. Maka bagiku, setelah aku menyelesaikan membaca novel tersebut, memang benar komentar itu. Bahkan aku ingin menambahkan, bahwa novel tersebut, jika dibaca dengan teliti dan tidak hanya literal, oleh siapa saja, oleh penganut agama apa saja, maka novel tersebut sepertinya juga akan menggoyang iman siapa saja pada agama apa saja. Contohnya aku kini (aku beragama “Islam”), semakin mempertanyakan doktrin-doktrin dan dogma-dogma yang dipegang dan diyakini oleh umat Islam selama ini yang sekilas seperti cerita kartun. Seperti yang umat Islam yakini selama ini pada cerita Adam dan Hawa sebagai manusia pertama yang tadinya hidup di Syurga, yang kemudian dibuang ke bumi karena telah melakukan dosa. Pada cerita Nabi Muhammad menerima wahyu (yang merupakan keyakinan umat Islam selama ini), yang dikatakan bahwa Nabi Muhammad berhadap-hadapan dengan Malaikat Jibril bagaikan dua orang yang sedang berdialog. Pada cerita lainnya yang diyakini umat Islam juga disebutkan, bahwa suatu waktu ketika Nabi Muhammad menerima wahyu, Beliau melihat Malaikat Jibril sebagai perantara penyampai wahyu tersebut terlihat sangat besar sekali dengan sayapnya yang menutupi langit. Dan yang paling kontroversial dari keyakinan umat Islam selama ini adalah cerita mengenai Isra’ Mi’raj, yaitu peristiwa ketika Nabi Muhammad melakukan perjalanan dalam semalam (mungkin hanya dalam beberapa jam) dari Masjidil Haram (Mekah-Arab Saudi) ke Masjidil Aqsa (Yerusalem-Palestina), kemudian dilanjutkan dari Masjidil Aqsa ke “Sidratul Muntaha” yang terletak di atas “langit ke tujuh”, kemudian bertemu dengan Tuhan (juga dikatakan bertemu dengan Nabi-nabi sebelumnya, seperti Nabi Isa, Nabi Musa, dan Nabi Ibrahim). Sungguh perjalanan yang misterius, supranatural, suprahuman, dan cenderung tak masuk akal. Tidakkah hal-hal seperti ini banyak sekali dalam agama-agama (termasuk Islam), yaitu cerita-cerita yang tak masuk akal, dan kita hingga kini terus dengan setia (terpaksa ataupun tidak terpaksa) untuk mempercayai bahwa peristiwa tersebut memang terjadi secara “nyata”.

Aku kira para komentator itu (Amirah Latifah, Sidnan Al-Faruqi, Ain Muhammadi, dan Adian Husaini – komentar mereka dimuat oleh Majalah Insani, April 2005) tidak hanya harus melihat Novel “The Da Vinci Code” itu dalam kaitannya dengan iman Kristiani, namun alangkah lebih baiknya mereka juga menyadari, bahwa di dalam agama Islam juga banyak doktrin-doktrin dan dogma-dogma yang juga harus kita pertanyakan, seperti halnya Dan Brown yang sudah berani mempertanyakan mengenai doktrin-doktrin Kristiani tersebut. Sehingga kita sebagai umat Islam tidaklah akan terus-menerus mengatakan bahwa Agama Islam-lah yang paling bersih dan paling benar, sedangkan agama lain itu kotor dan salah.

Aku rasa, Dan Brown tidak hanya menembak sasarannya kepada umat Kristen. Namun karena ia penganut Kristen, maka sasaran yang sangat dia pahami untuk dituju adalah umat Kristen. Tapi walaupun begitu, aku yakin, sebagai sastrawan, Dan Brown tetap menyelipkan pesan-pesan universal yang itu bisa dimengerti oleh umat agama apa saja. Yaitu bahwa kontroversi mengenai ajaran agama tersebut bukan hanya menimpa agama Kristen, namun juga menimpa agama-agama lainnya (Islam misalkan). Dan hal itu bisa secara jelas kita baca dalam Novel “The Da Vinci Code” ini. Namun, karena yang kita lihat melulu selalu kesalahan pada agama lain (apalagi novel ini membahas mengenai doktrin Kristen), maka kita lupa, bahwa di dalam agama kita (Islam)-pun sebenarnya banyak sekali ajaran, keyakinan, dan dan doktrin yang kontroversi. Namun, karena kita sudah terlanjur membenci agama Kristen, maka semakin menjadi-jadilah kita mengatakan bahwa Kristen adalah agama yang sesat. Padahal saya tetap yakin (dan jika pembaca mau membaca secara teliti lagi dan tidak hanya literal), bahwa Novel “The Da Vinci Code” ini juga tak sedikit menyelipkan pesan, bahwa agama apapun di dunia ini pasti memiliki doktrin dan dogma yang mungkin hampir serupa dengan yang terjadi pada masyarakat Kristen, yang jika ada yang menentang doktrin dan dogma tersebut (atau yang memiliki ajaran atau keyakinan yang berbeda dengan mayoritas umat), maka dia akan dianggap sesat dan kafir. Tidakkah selama ini kita sebagai Umat Islam juga mengalami hal tersebut?

Di Novel tersebut dituliskan, bahwa Uskup Aringarosa dan Silas adalah penganut Kristen yang fanatik, yang di dalam novel diceritakan dapat dengan mudah dimanfaatkan dan diperalat oleh Guru (Sir Leigh Teabing). Jika Silas adalah orang yang baru mengenal Agama Kristen, maka Uskup Aringarosa adalah orang yang sudah lama mengenal Agama Kristen, apalagi ia adalah seorang Uskup dan Pemimpin tertinggi Opus Dei. Bukankah di Islam sendiri begitu banyak orang-orang seperti ini? Yaitu yang kelihatannya sangat taat dan fanatik terhadap keyakinan yang ia imani, dan kemudian para penganut Islam yang fanatik ini akan sangat mudah dimanfaatkan dan diperalat oleh orang-orang (ataupun lembaga) yang memiliki kepentingan tersembunyi. Dan anehnya, para penganut Islam yang fanatik ini tidak sadar bahwa ia diperalat dan dimanfaatkan. Yang mereka tahu, bahwa apa yang mereka lakukan selama ini adalah demi membela “agama” (membela “Tuhan”).



= Ciputat, Sabtu-19 Januari 2008 Pukul 18.22 WIB =


Hanafi Mohan
Sang Pencari



Khutbah Yang Menyejukkan

Khutbah Yang Menyejukkan

Oleh: Hanafi Mohan




Jum’at yang lalu (31 Agustus 2007), aku Shalat Jum’at di Masjid Al-Muhajjirin. Rasanya baru ketika Shalat Jum’at tersebut aku merasakan khutbah yang begitu menyejukkan dari “Sang Khatib”.

Mengapa menyejukkan?

Karena yang kurasakan selama ini, bahwa khatib (dan penda’i-penda’i lainnya) lebih seringnya berkhutbah (berceramah) bagaikan mau ngajak Umat Islam berperang. Biasanya hanya menyalah-nyalahkan kelompok lain (kelompok yang tidak selairan dengannya), dan membenar-benarkan kelompoknya sendiri. Sangat jarang sekali ada ceramah yang begitu menyejukkan, yang lebih mengajak umat untuk saling berbuat baik dan mengoreksi dirinya sendiri, tanpa harus menyalah-nyalahkan kelompok lain (apalagi menyalah-nyalahkan non-muslim).

Mudah-mudahan akan semakin banyak lagi tipikal “khatib” (penda’i / penceramah) seperti “khatib” yang aku dengarkan khutbahnya pada Jum’at yang lalu itu.

Dan seperti itulah pendakwah sebenarnya. Kalau misalkan suatu saat eku menjadi pendakwah (khatib / da’i), maka aku akan mencontoh tipikal penceramah seperti itu, yaitu ceramah (khutbah) yang menyejukkan. Yaitu yang menyejukkan hati dan pikiran orang yang mendengarnya. [Aan]

Ciputat, Minggu-2 September 2007

Masjid Yang Toleran

Masjid Yang Toleran

Oleh: Hanafi Mohan





Shubuh ini aku Shalat Shubuh di Masjid Fathullah UIN Jakarta. Mungkin baru kali ini aku Shalat Shubuh di Masjid Kampusku itu. Sudah sekitar seminggu ini aku rutin untuk Shalat Berjamaah di masjid dekat kosanku (Masjid Al-Muhajjirin-Sedap Malam-Pisangan-Ciputat). Entah mengapa, beberapa hari ini aku berkeinginan untuk Shalat Shubuh di Masjid Fathullah yang jaraknya kalau ditempuh berjalan kaki santai dari kosanku, mungkin sekitar 10-15 menit. Jarak yang tak terlalu dekat, dan memang cukup jauh bagi sebagian orang.

Akhirnya, shubuh ini sampai juga niatku untuk Shalat Shubuh di Masjid Fathullah. Ada suasana yang berbeda ketika rakaat kedua (setelah ruku’ dan sebelum sujud), yaitu tidak ada bacaan “qunut”. Mungkin karena masjid kampus, maka suasana modernis-nya lebih terasa dibandingkan suasana tradisionalis-nya (berbeda dengan Shalat Shubuh di Masjid Al-Muhajjirin yang tetap memakai qunut).

Yang membuat aku kagum di Masjid Fathullah ini, walaupun tanpa qunut, tetapi imam shalatnya tetap memberikan space (jeda) dan kesempatan kepada jamaah lainnya yang mungkin terbiasa Shalat Shubuh dengan qunut untuk berqunut. Jadi, berdiri setelah ruku’nya agak lama, dan itu memang terasa sekali. Sungguh masjid yang toleran menurutku.

Ketoleranan Masjid Fathullah bukan hanya itu. Setiap Shalat Tarawih pada Bulan Ramadhan, selalu ada pilihan bagi jamaah untuk shalat tarawih+witir 11 rakaat, atau shalat tarawih+witir 23 rakaat.

Sungguh masjid yang toleran dan patut dicontoh oleh masjid-masjid lainnya, karena umat Islam Indonesia memang majemuk (plural), dan kita hargai kemajemukan itu tanpa harus menyalah-nyalahkan golongan yang berbeda dengan kita. [Aan]

Ciputat, Minggu-2 September 2007

Gerhana Bulan; Maha Besar-Mu Ya Tuhan

Gerhana Bulan; Maha Besar-Mu Ya Tuhan

Oleh: Hanafi Mohan




Selasa, 28 Agustus 2007 Pukul 19.00 WIB (malam)
Tadi, aku shalat Maghrib di Masjid dekat kosanku (Masjid Muhajjirin-Sedap Malam-Pisangan-Ciputat). Selesai shalat, ada pengumuman dari masjid. Hahwa nanti malam sekitar pukul 20.30 WIB akan ada gerhana bulan.

Rabu, 29 Agustus Pukul 07.30 WIB (pagi)
Tadi malam, sebenarnya aku sudah berencana untuk melihat gerhana bulan secara langsung dan lengkap dari awal gerhana hingga selesai (hingga bulan muncul lagi). Karena bagiku, gejala alam seperti ini jarang-jarang terjadi dan begitu menakjubkan. Maha Besar Tuhan. Tapi apa mau dikata, aku terlewatkan moment berharga tersebut.

Entah mengapa, sekitar jam 8 malam (20 WIB), mataku diserang ngantuk. Tadinya kulawan ngantuk itu. Tapi akhirnya aku tak tahan. Karena itu, kuturutkan ngantuk itu. Sekitar jam 9 malam (21 WIB) aku baru terbangun. Begitu tersadar, aku langsung menuju ke luar kosan melihat ke langit. Ternyata bulan sudah penuh lagi. Ah, begitu kecewanya aku. Tapi untung, sebelumnya yaitu sekitar jam setengah 7 malam (18.30 WIB) aku masih sempat melihat sekilas hilangnya cahaya bulan di langit.

Maha Besar-Mu Ya Rabb.

Entah kapan lagi aku bisa menyaksikan fenomena alam tersebut.

Entah kapan lagi aku bisa menyaksikan kebesarn-Mu.


Ciputat, Selasa-Rabu, 28-29 Agustus 2007

Kebebasan, Kegembiraan, dan Futsal Ibu-ibu

Kebebasan, Kegembiraan, dan Futsal Ibu-ibu

Oleh: Hanafi Mohan




Suasana 17 Agustus-an masih begitu terasa di sekitar lingkungan kosanku. Tadi pagi ada lomba gerak jalan santai. Dan sore tadi (beberapa jam yang lalu), kulihat ada pertandingan futsal untuk ibu-ibu. Bagiku, pertandingan futsal ibu-ibu itu begitu lucunya. Walaupun sekarang sudah lumrah saja perempuan bermain sepakbola. Tapi tetap saja, jika yang bermain sepakbola itu adalah ibu-ibu yang anaknya entah sudah berapa, tentu saja pertandingan futsal (sepakbola mini) tersebut akan terasa lucu dan cukup menghibur.

Jangankan sepakbola, olahraga tinju pun kini sudah ada yang dilakoni oleh perempuan. Jika kita lihat hal-hal seperti ini, bahwa dalam beberapa sisi, sekat-sekat antara dunia laki-laki dengan dunia perempuan kini sudah semakin hilang. Walaupun secara kodrati, laki-laki tetaplah laki-laki, begitu juga perempuan tetaplah perempuan.

Di alam kebebasan ini, siapapun bebas mengekspresikan tindakannya. Dalam “Pertandingan Futsal Ibu-ibu” tadi sungguh merupakan ekpresi kebebasan (kemerdekaan) yang cukup menggembirakan dan menghibur orang-orang sepertiku ini. [Aan]

Ciputat, Minggu-19 Agustus 2007

Kemerdekaan

Kemerdekaan

Oleh: Hanafi Mohan




Hari ini, Jum’at-17 Agustus 2007, genaplah kemerdekaan kemerdekaan negara tercinta ini 62 tahun.

62 tahun yang lalu, rakyat Indonesia terbebas dari kungkungan penjajahan. Aku hanya dapat membayangkan, mungkin rakyat Indonesia ketika itu sangat bergembiranya mendapatkan kemerdekaan dan kebebasan yang telah ditunggu-tunggu setelah kurang lebih 350 tahun dijajah.

62 tahun kemudian dari tahun 1945, yaitu hari ini, 17 Agustus 2007 (dan mungkin sudah rutin pada tahun-tahun sebelumnya selama Indonesia merdeka), rakyat Indonesia bersuka cita menyambut dirgahayu kemeredekaan negeri tercinta ini dengan berbagai macam perayaan dan kegiatan.

Tadi, di lingkungan sekitar kosanku, kulihat penduduk sekitar mengadakan pertandingan-pertandingan ala rakyat untuk menyemarakkan dirgahayu kemerdekaan ini. Walaupun hanya sekedar lewat tadi, kulihat ibu-ibu sedang mengikuti perlombaan joget balon (ini hanya penamaan dariku untuk lomba tersebut). Tak lama aku melihatnya (hanya sekedar sambil lewat), tapi cukuplah semua itu membuatku tersenyum.

Kemarin juga, ketika pulang dari kampus menuju ke kosan, aku melewati kawasan Madrasah Pembangunan UIN Jakarta. Kulihat siswa-siswa di sekolah itu sedang berlatih upacara bendera, lengkap dengan gurp drumband-nya. Pikirku mungkin mereka sedang mempersiapkan upacara bendera pada tanggal 17 Agustus. Ingatanku seakan-akan langsung terkembali ke masa-masa sekolahku dulu. Setiap hari Senin upacara bendera. Setiap 17 Agustus juga ada upacara serupa.

Suatu pertanyaan yang masih menggantung di pikiranku, sudahkah kita merasakan kemerdekaan kini?

Ada yang mengatakan, bahwa negara ini memang secara fisik sudah merdeka dan tak terjajah lagi. Tapi apa yang dicita-citakan dengan kemerdekaan tersebut hingga kini sepertinya belum tercapai, dan bahkan semakin jauh dari cita-cita kemerdekaan, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera yang merata. Yang ada kini, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin, dan yang menderita semakin menderita. Belum lagi gerogotan separatisme dan ekstrimisme yang kini semakin menjadi-jadi.

Tadi aku dengar di Radio DAKTA, seorang yang mengaku Ustadz dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menceramahkan ide-ide tentang syari’at Islam dan kekhilafahan. Tokoh-tokoh seperti Gus Dur dan Almarhum Cak Nur tentunya menjadi sasaran empuk kritikannya. Belum lagi organisasi-organisasi modernis, pluralis, dan liberalis tentunya juga menjadi sasaran empuk tersendiri dari kritikannya. Orang-orang dan organisasi-organisasi tersebut di hadapan “ustadz” tersebut tak lebih hanyalah agen-agen asing yang tidak menginginkan syari’at Islam dan kekhilafahan tegak berdiri di dunia, apalagi di Indonesia.

Aku hanya tersebyum ketus mendengar ceramah “Sang Ustadz” tersebut yang tak lebih bagiku hanyalah fitnahan-fitnahan dan omong kosong. Karena apa? Karena menurutku, orang seperti “Sang Ustadz” tersebut sepertinya tak pernah memahami dan menghargai perjuangan para “Founding Father” negara ini, yang telah dengan bijaksana memilih bentuk Negara Indonesia seperti sekarang ini. Karena mereka (para Founding Father) itu sadar, bahwa Indonesia ini negara yang majemuk dan multicultural. Sehingga tak mungkin rasanya untuk memaksakan suatu hukum dan bentuk negara berdasarkan dan sesuai dengan suatu agama, Islam misalkan. Karena agama yang hidup di negara ini bukan hanya Islam. Oleh sebab itu, tidak bijak kiranya untuk memaksakan suatu kehendak golongan, yang itu akan melukai golongan lainnya.

Dan menurutku, para “Founding Father” lebih bijak dibandingkan “Sang Ustadz” yang tak jelas itu. “Sang Ustadz” tersebut sepertinya tidak pernah memahami arti kemerdekaan. Dan juga “Sang Ustadz” tersebut mungkin saja tak pernah mau memahami agamanya (Islam) secara benar. Orang-orang seperti inilah yang menurutku masih terjajah oleh hawa nafsunya, dan belum bebas dari pikiran piciknya. [Aan]


Ciputat, Jum’at-17 Agustus 2007

Dunia Yang Penuh Kepalsuan (Kamuflase)

Dunia Yang Penuh Kepalsuan (Kamuflase)

Oleh: Hanafi Mohan



Duniaku kini adalah dunia yang penuh dengan kepalsuan. Agamanya adalah kepalsuan. Bertuhankan kepalsuan. Karena hanya agama kepalsuan-lah yang sanggup untuk menghancurkan sesame manusia. Karena hanya agama kepalsuan-lah yang sanggup menyatakan, bahwa kami benar sedangkan yang lain salah. Hanya agama kepalsuan-lah yang sanggup menyatakan bahwa kami lurus, sedangkan yang lain sesat. Hanya agama kepalsuan-lah yang tega mengkafirkan yang lainnya. Sehingga Tuhan yang disembahnya-pun tak lain adalah tuhan-tuhan kepalsuan.

Di duniaku kini, ketika suatu janji diucapkan, maka sekaligus di saat itu janji tersebut takkan pernah ditepati dan takkan pernah dipenuhi. Ketika seseorang mengucapkan janji, maka di saat itu pula-lah janji tersebut akan diingkarinya.

Tapi, apa yang mau dikatakan lagi. Kini, setiap hari kita memang selalu disuguhi berbagai macam kepalsuan. Dan yang tak dapat dipungkiri juga, bahwa kepalsuan dan ketidakpalsuan itu ternyata samara, sehingga kita begitu sulitnya untuk membedakan.

Hidup kini memang selalu bersentuhan dengan kepalsuan, walaupun sedikit. Bahkan kita sebenarnya setiap hari selalu hidup dan berada di dalam kepalsuan itu. Karena kepalsuan sudah menjadi realita kehidupan kita kini. Mungkin keseharian kita takkan lengkap tanpa adanya kepalsuan itu.

Setiap hari kita menonton kepalsuan di televise. Tapi mungkin itulah sedikit hiburan di tengah ketidakpastian hidup dan di tengah kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat.

Tapi sebenarnya kita bukan hanya menonton kepalsuan di televisi, di kehidupan sehari-hari pun selalu kepalsuan yang kita hadapi. [Aan]


Ciputat, Minggu-15 Juli 2007

Tingkat Kecurigaan

Tingkat Kecurigaan

Oleh: Hanafi Mohan


Yang kutulis kali ini adalah memang benar-benar pengalamanku. Walaupun ini baru kesimpulan sementaraku saat menjadi Surveyor LSI.

Begini,

1) Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin tinggi pula tingkat kecurigaan orang tersebut terhadap orang lain.
2) Semakin tinggi tingkat perekonomian seseorang, maka semakin tinggi pula tingkat kecurigaan orang tersebut terhadap orang orang lain.

Jadi, semakin seseorang itu pintar (berpendidikan tinggi), maka semakin tinggi tingkat kecurigaan orang tersebut terhadap orang lain. Tingkat perekonomian seseorang juga menjadi faktor penting dalam hal ini. Semakin orang tersebut kaya, maka semakin tinggi pula tingkat kecurigaannya kepada orang lain.

Jadi, orang yang berpendidikan rendah itu ternyata lebih memiliki moral yang mulia. Orang yang berpenghasilan biasa-biasa saja (atau bahkan miskin) ternyata lebih memiliki moral yang mulia.

Kecurigaan terhadap orang lain itu wajar saja menurutku. Tapi kalau kecurigaan tersebut sudah berlebihan dan cenderung “over protected”, maka hal tersebut menjadi tidka terlalu baik.

Salahkah aku jika berkesimpulan, bahwa pendidikan yang tinggi dan tingkat perekonomian yang baik tidak sekaligus menjadikan orang tersebut memiliki akhlak yang mulia dan terbuka terhadap orang lain? [Aan]


Ciputat, Jum’at-13 Juli 2007

Generasiku

Generasiku

Oleh: Hanafi Mohan




Generasiku berbeda dengan generasi-generasi yang lalu, bahkan dengan generasi ’45 sekalipun. Tantangan yang dihadapi generasiku tak kalah beratnya dibandingkan dengan tantangan yang dihadapi oleh generasi-generasi terdahulu. Bahkan mungkin tantangan yang dihadapi oleh generasiku lebih berat dibandingkan dengan tantangan yang dihadapi oleh generasi terdahulu. Betapa tidak? Generasiku kini hidup di dunia yang mengglobal. Arus informasi dan komunikasi yang tak terbendung derasnya memasuki setiap denyut nadi generasiku.

Generasikulah yang mengalami kejutan-kejutan modernisasi yang begitu cepat ini. Yang mana hal-hal yang kami hadapi kini tak pernah dihadapi generasi terdahulu.

Generasiku hidup di era teknologi informasi dan komunikasi yang teknologi tersebut bagaikan kilat, melesat, melibas, dan menyambar setiap jengkal dan setiap sudut sisi kehidupan kami. Sedangkan pendidikan yang kami dapatkan selama ini seakan sudah benar-benar tak mampu menghadapi perubahan dunia yang begitu cepat ini. Sehingga, diakui atau tidak, generasikulah yang menjadi korban perubahan dunia yang cepat ini, sedangkan Negara dan bangsa tempat generasiku bernaung kini juga seakan mati gaya dan mati rasa. Bahkan kalau boleh dibilang, sudah “bobrok multidimensi”.

Keadaan kini yang mengglobal memang sedikit banyak memberikan keuntungan bagi generasiku. Generasiku lebih memiliki peluang untuk berpendidikan lebih tinggi. Generasiku lebih berkesempatan luas untuk berinteraksi lebih banyak dengan “para manusia” yang hidup di berbagai belahan bumi ini.

Bayangkan, setiap hari, generasiku bisa melahap informasi sebanyak-banyaknya dari kotak ajaib yang bernama “televisi”. Nilai-nilai budaya dan peradaban dari berbagai bangsa dan Negara dengan berbagai macam ideologinya bisa kami serap dari “kotak ajaib” tersebut. Sehingga bagi kami kini, sudah semakin samar dan tak jelas yang mana “Barat” dan yang mana “Timur”, yang mana “baik” dan yang mana “tidak baik”, yang man sesuai dengan budaya “Timur” dan yang mana tidak sesuai dengan budaya “Timur”, yang mana yang sesuai dengan ajaran agama yang kami anut dan yang mana tidak sesuai, karena semuanya menawarkan nilai kebaik dan keburukan yang samara pula. Sedangkan filter terbaik untuk menyaring semua itu terkembali kepada diri kami masing-masing. Karena nilai-nilai agama sudah tergerus, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa juga semakin tak mampu menangkis semua serangan-serangan nilai-nilai yang mengglobal ini.

Bagaimana lagi kami bisa mempercayai agama untuk menjadi benteng di dalam diri, sedangkan agama kini tak lebih hanya menjadi topeng atas keburukan dan kerusakan yang dilakukan oleh manusia. Dan bagaimana pula nilai-nilai luhur budaya bangsa kami bisa menangkis semua serangan-serangan global ini, sedangkan bangsa kami kini dilanda “krisis moral” yang sangat akut.

Sehingga, hanya sedikit yang kami harapkan, berikan “generasi kami”, berikan “generasiku” kesempatan untuk “berkreasi” lebih banyak lagi, tentunya dengan cara-cara ala “generasi kami”, tentunya dengan cara-cara ala “generasiku”, bukan dengan cara-cara lama yang telah ketinggalan zaman.

Dan semoga kami bisa mengabdikan diri untuk membawa “bangsa” ini kea rah yang lebih baik lagi. Itu saja. [Aan]

Ciputat, Kamis-Jum’at, 12-13 Juli 2007

Kedermawanan Global

Kedermawanan Global

Oleh: Hanafi Mohan


Beberapa hari yang lalu, Zinedine Zidane, bintang sepakbola Prancis yang seorang muslim itu datang ke Indonesia (menurut berita di TV). Zidane berkunjung ke Indonesia sebagai Duta DANONE (perusahaan yang memproduksi Air Mineral AQUA dan juga Biskuit DANONE, dan beberapa produk lainnya).

Aku sungguh terkesan dengan kedatangan Zidane, karena ia rela berkunjung ke rumah orang-orang miskin dan bermain sepakbola bersama-sama dengan anak-anak SD di suatu desa (aku lupa nama tempatnya).

Di tengah ketidak-pastian hidup dan individualisme manusia, ternyata masih ada nilai-nilai kedermawanan seperti ini. Dunia memang semakin kapitalis dan individualis. Tapi lagil-lagi masih ada yang dermawan seperti ini.

Bersikap baik itu sungguh tidak mudah. Kadang perbuatan baik yang kita lakukan masih saja dicurigai, dan bahkan dianggap merupakan perbuatan yang salah (perbuatan jahat). Sungguh membingungkan dan tragis.

Karena itu, kedermawanan memang patut kita hargai dan apresiasi, walau seberapa besarpun nilainya.

Kedermawanan bisa kita implementasikan dalam berbagai sisi kehidupan. Pendidikan misalnya. Betapa masih banyak lapisan-lapisan tertentu di masyarakat yang tidka mendapat pendidikan yang layak. Siapakah yang mempedulikan nasib orang-orang tersisih ini? Tentunya kita semua masyarakat harus mempedulikan hal tersebut (jangan masa’ bodoh). Marilah bersama-sama kita berbuat kedermawanan ini! [Aan]

Ciputat, Minggu-8 Juni 2007
Pukul 18.03 WIB




Hiburan di Atas Kendaraan

Hiburan di Atas Kendaraan

Oleh: Hanafi Mohan



Malam Minggu kiranya menjadi malam yang special bagi kebanyakan kita. Tak terkecuali bagi para pemuda di Jakarta. Bagi warga Jakarta, hiburan yang selama ini identik dengan pergi ke puncak atau tempat-tempat tamasya lainnya yang berada di luar Jakarta, kini orientasinya lambat laun mulai berubah. Ternyata, banyak sekali hiburan yang bisa didapatkan di dalam Kota Jakarta sendiri. Berkendaraan motor misalkan.

Mengapa berkendaraan motor yang dipilih?

Ini karena ada kepuasan tersendiri yang didapatkan di situ. Umumnya, berkendaraan pada waktu malam hari, biasanya pada malam Minggu.

Sudah jamak diketahui, bahwa Jakarta adalah kota yang jalanannya sangat macet. Nah, pada malam hari, jalanan yang macet itu menjadi agak sedikit lengang. Inilah salah satunya yang menimbulkan kepuasan berkendaraan pada malam hari di Jakarta.

Jika berkendaraan di Jakarta pada malam hari dilakukan sendiri, rasanya agak kurang menarik. Makanya, biar berkendaraan menjadi menarik, biasanya dilakukan berombongan, atau mungkin dalam jumlah yang sangat banyak (aku agak kurang ngerti istilahnya).

Ada sedikit pertanyaan, mengapa orang ngebut di jalan raya? Selain dikarenakan dikejar-kejar oleh waktu, apakah ada alas an lain? Ternyata, ada. Yaitu:
Pertama; bahwa jika di jalan raya, kita harus menyesuaikan dengan irama di dalan tersebut. Karena jika kita tidka bisa menyesuaikan dengan irama di jalan tersebut, maka akan mengganggu pengendara lain. Ketika iramanya pelan, maka kita pun juga ikut pelan. Jika iramanya cepat (ngebut), maka kita juga ikut cepat (ngebut). Jika tidak, maka akan mengganggu harmonisasi berkendaraan di jalan tersebut. Hal ini juga demi keselamatan kita dan orang lain yang sama-sama menggunakan jalan tersebut.

Kedua; ngebut adalah untuk menjaga keseimbangan kendaraan kita. Jika kita tadinya ngebut, maka untuk menjadi pelan harus secara perlahan-lahan, tidak bisa secara mendadak (tiba-tiba). Karena hal tersebut (mendadak/tiba-tiba) akan bisa mengganggu keseimbangan kendaraan kita. Yang semuanya berujung pada keselamatan kita berkendaraan.

Nah, di malam minggu itu, ketika mengikuti konvoi kendaraan bersama-sama dengan teman-temanku, dapatlah kulihat, mana yang beretika, mana yang tidak. Ada juga yang ngebut seenaknya saja. Yang itu katanya ada kepuasan tersendiri. Dan memang, yang ngebut seenaknya itu sangat mengganggu harmonisasi jalan dan pengendara lainnya yang umumnya tidak sedang ngebut. Ternyata, di jalanan pun memiliki aturan, etika, dan norma tersendiri.

Tidak jarang, dari konvoi kendaraan tersebut, biasanya ada yang tertabrak. Bahkan ada yang sampai meregang nyawa. Atau ada juga yang iseng-iseng menantang berantem dengan pengendara lainnya kalau sudah terjadi semacam “clash”. Di sinilah kulihat, ternyata ada solidaritas tersendiri bagi pengendara lainnya yang merasa senasib, atau yang sedang “clash” itu adalah temannya.

Lucu …, kok di jalan raya ada “Ashabiyah” juga yaaa…. [Aan]

Ciputat, Minggu-1 Juni 2006