Hikayat Dunia

Kita hanya pengumpul remah-remah | Dari khazanah yang pernah ada | Kita tak lebih hanya penjaga | Dari warisan yang telah terkecai ||

Pontianak Singgah Palembang

Daripada terus berpusing-pusing di atas Negeri Pontianak, yang itu tentu akan menghabiskan bahan bakar, maka lebih baik pesawat singgah dahulu ke bandar udara terdekat. Sesuai pemberitahuan dari awak pesawat, bandar udara terdekat adalah Bandar Udara Sultan Mahmud Badaruddin II, Negeri Palembang.

Mudék ke Ulu

Pasangan dari kate “ulu” ielah “mudék”. Kate “mudék” beakar kate dari kate “udék”. Udék bemakne "sungai yang sebelah atas (arah dekat sumber)", "daerah di ulu sungai", juga’ bemakne "kampong halaman (tempat beasal-muasal)".

Soal Nama Negeri Kita

Belakangan ini kiranya ramai yang berpendapat ini dan itu mengenai asal usul dan makna nama "pontianak" kaitannya dengan Negeri Pontianak. Tapi apakah semua yang didedahkan itu betul-betul dipahami oleh masyarakat Pontianak?

Kampong Timbalan Raje Beserta Para Pemukanya [Bagian-3]

Selain banyak menguasai berbagai bidang keilmuan, beliau juga banyak memegang peran dalam kehidupan kemasyarakatan. H.M. Kasim Mohan yang merupakan anak sulong (tertua) dari pasangan Muhammad Buraa'i dan Ruqayyah ini merupakan seorang Pejuang di masanya.

Musik Motivasi Setahun Silam

“Satu Kursi untuk Seniman”, begitu tagline kampanyenya. Tekadnya untuk memajukan Kalbar lewat industri kreatif tentu patut diapresiasi. Melalui industri kreatif diharapkannya dapat menjadi jembatan menjulangkan budaya yang memayungi Kalimantan Barat.

Sultan Pontianak; Umara' dan 'Ulama

Kegemilangan Negeri Pontianak salah satunya diasbabkan kepemimpinan para Sultan-nya yang arif dan bijaksana. Sultan-Sultan Pontianak selama masa bertahtanya rata-rata memiliki dua peranan, yaitu berperan sebagai umara', sekaligus berperan sebagai 'ulama.

Puisi Buya Hamka untuk Muhammad Natsir

Kepada Saudaraku M. Natsir | Meskipun bersilang keris di leher | Berkilat pedang di hadapan matamu | Namun yang benar kau sebut juga benar ||

Minggu, 27 Desember 2009

Andaikan Setiap Hari adalah 'Asyura

Hari ‘Asyura, mungkin banyak yang tahu tentang hari yang bersejarah ini, dan mungkin juga banyak yang tidak tahu. Hari apa tuh ‘Asyura? Setelah Senin, sebelum Jum’at, atau antara Kamis dan Minggu? Atau salah satu nama hari dari tujuh hari yang kita kenali? Dari Bahasa apa tuh ‘Asyura, kok begitu aneh?

Tapi mudah-mudahan anda sekalian adalah orang yang tahu mengenai Hari ‘Asyura.

‘Asyura asal katanya adalah “ ’asyara ”, yaitu dari Bahasa Arab yang artinya “sepuluh”. Hari ‘Asyura berarti “hari kesepuluh”, lebih tepatnya lagi adalah hari kesepuluh pada Bulan Muharram (bulan pertama pada sistem penanggalan Hijriyah). Menurut sejarah, pada Bulan Muharram ini banyak terjadi peristiwa-peristiwa besar, salah satunya adalah terbunuhnya cucu Nabi Muhammad, yaitu Imam Husayn ibn ‘Ali ibn Abi Thalib di suatu tempat bernama Karbala di Negeri Iraq. Pembunuhan terhadap Imam Husayn bersama-sama dengan pasukannya ini adalah pembunuhan yang begitu sadis dan kejam. Jumlah pasukan Imam Husayn hanya kurang lebih 70 orang, sedangkan pasukan pembantainya adalah Pasukan Yazid ibn Muawiyah yang berjumlah 30.000 orang. Yazid ketika itu menjabat sebagai Khalifah Dinasti Umayyah. Jadi, ini adalah perang yang tidak seimbang.

Peristiwa ini terjadi pada tanggal 10 Muharram ketika itu, yang kemudian dikenal sebagai Hari ‘Asyura. Hari bersejarah ini setiap tahunnya hingga kini selalu diperingati oleh para Penganut Syiah di berbagai negara, terutama di Iraq, Iran, India, dan Pakistan. Tentunya berbagai macam tradisi pula yang biasanya dilakukan di berbagai negara tersebut untuk mengenang peristiwa paling kelam dalam sejarah perjalanan Islam di awal-awal perkembangannya.

Pada acara-acara peringatan tersebut, mereka biasanya meneriakkan: “Kullu yawmin ‘Asyura, kullu syahrin Muharram, kullu ardhin Karbala” (Setiap hari adalah ‘Asyura, setiap bulan adalah Muharram, dan setiap tempat adalah Karbala). Kalau tidak salah, kata-kata ini pernah kubaca di salah satu buku karya Allahyarham Ali Syari’ati (seorang tokoh pemikir / sosiolog revolusioner Syi’ah). Beliau kalau tidak salah juga meninggal karena dibunuh pada usia kurang lebih 30 tahun. Ungkapan ini pertama kalinya dicetuskan oleh Imam Ja’far Ash-Shadiq (salah seorang Imam Mazhab Syi’ah, juga dikenal luas di kalangan Sunni).

Lain di Iran, lain pula di kampongku. Walau bukan pemeluk aliran Syi’ah, masyarakat kampongku memiliki tradisi tersendiri dalam memperingati Hari ‘Asyura. Kampongku yang berada di pesisir Sungai Kapuas-Negeri Pontianak mayoritasnya adalah pemeluk Agama Islam. Masyarakat Islam Negeri Pontianak umumnya adalah Kaum Tradisionalis. Walaupun begitu, kami bukanlah kaum nahdhiyyin seperti umumnya kaum tradisionalis Islam di Pulau Jawa. Entah mengapa, Nahdhatul Ulama (NU) tak bisa berkembang di kotaku, padahal kami juga adalah penganut Islam Tradisionalis yang setiap harinya hidup dengan tradisi dan kultur Islam seperti halnya kaum nahdhiyyin di Pulau Jawa. Sebut saja tradisi seperti tahlilan, barzanji, qunut, talqin, dan tradisi-tradisi lainnya yang hampir serupa dengan tradisi kaum nahdhiyyin. Seperti halnya NU, Muhammadiyah juga tidak bisa berkembang di kotaku. Sehingga jadilah kami penganut Islam yang bukan NU dan bukan pula Muhammadiyah. Belakangan ketika kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, aku yang bukan NU dan bukan pula Muhammadiyah ini kemudian lebih cenderung untuk tidak bergelut di kedua organisasi tersebut maupun organisasi mahasiswa yang dipayunginya. Pilihanku adalah bergelut di organisasi mahasiswa modernis yang katanya pernah disebut-sebut sebagai anak kandung Masyumi.

Entah sejak kapan tradisi ‘Asyura sudah dilaksanakan di kampongku. Setiap tanggal 10 Muharram, tradisi ini kami laksanakan secara hikmat di setiap masjid, surau, maupun langgar di kampong kami. Tentunya berbeda dengan tradisi ‘Asyura yang dilakukan oleh para penganut Syi’ah di Iran yang atraktif, teatrikal, gegap-gempita, serta penuh dengan nuansa revolusi dan perlawanan, maka tradisi ‘Asyura di kampongku lebih berupa ritual sederhana yang di dalamnya diisi dengan pembacaan doa, tahlil, dan zikir. Dan yang paling penting, di akhir acara akan disuguhi dengan “Bubur ‘Asyura” (Logat Melayu Pontianak: Bubogh Asughah/Bubogh Asoghah), yaitu bubur kacang hijau yang dicampur dengan sepuluh macam bahan makanan seperti singkong (orang Melayu Pontianak menyebutnya "ubi kayu"), keladi serawak (talas), ubi cine, kacang tanah, kacang merah, pulot itam (ketan hitam), dan masih banyak lagi bahan campuran lainnya yang jika ditulis di sini mungkin akan banyak sekali, karena setiap rumah biasanya membuat Bubur ‘Asyura ini dengan berbagai macam campuran yang berbeda-beda (tidak seragam).

Bubur Asyura yang dibuat di tiap-tiap rumah ini kemudian dikumpulkan di langgar, surau, ataupun masjid terdekat. Bukan hanya dikumpulkan, Bubur ‘Asyura dari tiap-tiap rumah itu kemudian dicampur menjadi satu. Setelah selesai pembacaan doa, acara kemudian ditutup dengan memakan Bubur ‘Asyura bersama-sama. Walaupun bukan penganut ajaran Syi’ah, tetapi masyarakat kampongku memiliki kecintaan tersendiri terhadap Imam Husayn (cucu Nabi Muhammad SAW). Para alim ulama dan orang tua di kampongku sering menceritakan mengenai perjuangan Imam Husayn melawan penindasan yang dilakukan oleh penguasa tirani ketika itu.

Pontianak sebagai Kota Pesisir di Pulau Kalimantan (Borneo) awalnya didirikan sebagai sebuah kesultanan Melayu. Kecintaan kami kepada Imam Husayn tak lain karena kota kami didirikan oleh anak cucu keturunan Nabi Muhammad yang bermarga Al-Qadrie. Sultan Syarif 'Abdurrahman Al-Qadrie, beliaulah pendiri Kesultanan Pontianak, sekaligus Sultan Pertama Kesultanan Melayu Pontianak. Kota Pontianak merupakan salah satu kota yang ramai didiami oleh warga keturunan Arab. Dapat dikatakan bahwa orang-orang keturunan Arab di kotaku sudah bermetamorfosis menjadi Orang Melayu. Di dalam kosakata Bahasa Melayu Pontianak pun, tak jarang ditemui kata-kata yang berasal dari Bahasa Arab. Kami bahkan kadang sering menyapa dengan sapaan-sapaan Bahasa Arab yang sudah dimelayukan.

Andaikan setiap hari adalah ‘Asyura, maka masyarakat kampongku pasti akan membuat Bubur ‘Asyura, kemudian mengantarkannya ke langgar, surau, ataupun masjid terdekat, lalu Bubur ‘Asyura itu dimakan bersama-sama setelah pembacaan doa. Namun sayang, tidak setiap hari adalah Hari ‘Asyura, sehingga hari bersejarah ini benar-benar menjadi hari yang istimewa di kampongku, bahkan menjadi semacam hari raya selain daripada Idul Fitri, Idul Adha, Maulid Nabi Muhammad, dan Isra’ Mi’raj.

Andaikan setiap hari adalah ‘Asyura, mungkin kita akan selalu teringat perjuangan Imam Husayn untuk menegakkan panji kebenaran, serta melawan tirani dan kezaliman. Namun sayang, ‘Asyura tak terjadi setiap hari, sehingga kita selalu lupa akan tragedi yang menyedihkan itu. Kita selalu lupa, bahwa sejarah kelam ini pernah kerjadi di awal-awal perkembangan Islam.

Milan Kundera mengingatkan, “Pergulatan manusia melawan kekuasaan adalah pergulatan ingatan melawan lupa.[Hanafi Mohan/Ciputat-Agustus 2008]


Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di: http://thenafi.wordpress.com/

Sumber gambar: http://islamfeminis.wordpress.com/

Tulisan ini dimuat kembali di: http://hanafimohan.blogspot.com/

Selasa, 15 Desember 2009

Perginya Seorang Sahabat


Puisi: Hanafi Mohan


Sahabatku,
kau telah pergi meninggalkan kami
Begitu banyak kenangan yang kau tinggalkan
Juga entah begitu banyak cita-cita yang belum engkau raih

Titik-titik embun serasa masih lembab di atas pusaramu
Dedaunan pohon yang menaungi makammu masihlah basah ditetesi rintikan hujan di pagi ini
Entah itu dari langit,
mungkin pula dari mata kami yang sembab mengantar kepergianmu

Dari jauh kudengar kepergianmu
Serasa membuncah di dalam dadaku
Seakan tiba-tiba rintik hujan menerpa diriku
Mengalir airnya membasahi segenap wajah

Gerimis di pagi ini,
Entah dari langit, entah dari mataku

Di dalam mimpi tadi malam kulihat burung-burung putih beterbangan
Seekor burung yang terbang itu kulihat bertengger di dahan pohon
Burung itu lalu berkata lirih padaku:
"Kawanku, janganlah bersedih hati.
Kesedihanmu hanya akan menambah beban kepergianku.
Ikhlaskanlah aku, kawan.
Lepaslah aku dengan hati yang lapang.
Semoga dengan itu aku akan mudah menghadap Yang Maha Kuasa."

Tiba-tiba aku terjaga
Masih terngiang kata-kata di dalam mimpiku
Mungkin hanya untaian do'a yang bisa kukirim padamu

Salamat jalan, sahabat
Kepingan kenangan kita bersama takkan pernah kulupakan

Selamat jalan, hai jiwa yang tenang
Semoga engkau kembali kepada-Nya dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya
Mudah-mudahan engkau digolongkan ke dalam hamba-hamba-Nya yang beriman dan beramal shaleh, serta mendapatkan surga-Nya


Untuk Syahrani,
Ciputat, 14 Desember 2009


Sumber gambar: http://netplus.web.id/

Puisi ini dimuat di: http://hanafimohan.blogspot.com/

Sabtu, 12 Desember 2009

Selamat Jalan Syahrani


Innalillaahi wa inna ilayhi raaji'un. Begitulah kalimat pembuka SMS yang kuterima dari adikku jam 9 pagi tadi (Sabtu 12 Desember 2009).

Serasa butiran-butiran gerimis menetes dari langit. Mendung rasanya hati INI mendengar berita tersebut. Sahabatku sekaligus keponakanku pagi ini (Sabtu 12 Desember 2009) menghembuskan napas terakhirnya. Pada usianya yang masih muda, dia telah berpulang ke rahmatullah. Sungguh tak kupercaya, sungguh pula tak kuduga. Padahal lebaran yang lalu kulihat ia masih segar bugar.

Terlintaslah berbagai kenangan indah yang pernah kami lalui. Usia kami sebenarnya tak berpaut jauh, paling-paling lebih tua dirinya dibandingkan denganku kira-kira beberapa bulan, atau kurang lebih setahun. Sehingga dapat dikatakan kami adalah sebaya. Ibunya adalah kakak sepupuku, karena kakeknya adalah saudara tertua dari ayahku. Masa kecil hingga remaja tak jarang kami lalui bersama. Di bawah asuhan kakeknya yang tak lain adalah pamanku (Allahyarham/Almarhum H. Kasim Mohan), kami bersama dengan teman-teman sebaya kami di Kampong Tambelan Sampit-Pontianak telah menjadi duta budaya Melayu Pontianak di bidang Seni Tradisional Zikir Hadrah. Di dalam grup Zikir Hadrah kami itu, aku sendiri dipercayakan oleh kakeknya (yang tak lain adalah pamanku) untuk menjadi Kepala Redat, sedangkan dia dipercayakan menjadi pembawa dan pemukul Tar (alat musik perkusi sejenis rebana yang merupakan alat musik pengiring tarian Redat Zikir Hadrah).

Di surau dekat rumahku di Kampong Tambelan Sampit, kuingat pula bahwa kami berdua menjadi muazzin andalan di surau tersebut. Suaranya cukup merdu ketika mengalunkan azan. Aku yakin, bahwa suara merdunya diturunkan dari kedua orang tuanya dan kakeknya. Ibunya yang biasa kami panggil Ude Men memang memiliki suara yang merdu, apalagi ketika ibunya melantunkan lagu-lagu Senandong Melayu, Syair Melayu, dan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Sedangkan ayahnya yang biasa kami panggil Pak Ki (nama lengkapnya adalah Bayhaqi bin Ubaydillah) adalah imam shalat berjamaah yang menjadi andalan di kampong kami. Kakeknya (yang tak lain adalah pamanku dan guruku) adalah seorang penggiat dan pelestari Budaya Melayu Pontianak juga memiliki suara yang sangat merdu, yang di bawah asuhannya, kami menjadi orang-orang yang mencintai seni budaya Melayu daerah kami.

Di waktu kecil, banyak yang mengatakan bahwa wajah kami mirip. Mungkin ini tak lain karena kami adalah kerabat dekat. Ketika lulus SMP, kami berdua bertekad untuk mendaftar ke SMA Taruna yang ada di kotaku ketika itu (kalau tidak salah namanya adalah SMA Taruna Khatulistiwa, atau mungkin SMA Taruna Nusantara, aku sudah agak lupa namanya). Banyak anak-anak berprestasi bertekad untuk masuk ke SMA Taruna tersebut, karena segala macam biaya dan fasilitas ditanggung oleh sekolah tersebut. Lalu mendaftarlah kami ke SMA tersebut, kemudian menjalani berbagai macam tes masuk. Mungkin belum rezeki kami, ketika pengumuman, kami berdua dinyatakan tidak diterima karena tidak lulus tes seleksi. Jika mengingat itu, ingin rasanya aku tertawa, karena dari awal kami berdua sudah memperkirakan bahwa kecil kemungkinan kami akan diterima di SMA Taruna tersebut jika dicermati beberapa syarat yang mungkin tak bisa kami penuhi. Tapi begitulah kami, segelintir dari anak-anak Melayu yang mempunyai cita-cita yang cukup besar, sehingga segala aral dan rintangan pun akan kami terjang jika memang itu mungkin untuk kami lakukan, dan selama itu masih berada di dalam koridor kebaikan.

Selepas tidak diterima di SMA Taruna, kami pun berpencar mencari lagi sekolah-sekolah lainnya yang mungkin menurut kami berkualitas. Akhirnya, aku pun diterima masuk di salah satu sekolah menengah kejuruan di kotaku (namanya STM 2/SMK Negeri 4 Pontianak) mengambil Program Studi Elektronika Komunikasi, sedangkan dia diterima di sekolah menengah teknologi industri di kotaku (kalau tak salah namanya SMTI Pontianak).

Waktu pun terus bergulir. Kulihat kemahirannya dalam beberapa bidang teknik semakin menunjukkan kemajuan yang cukup pesat, sedangkan aku sendiri kuakui tak ada kemajuan yang cukup berarti dalam bidang teknik pilihanku di STM/SMK. Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Setelah tiga tahun menempuh pendidikan kami di sekolah masing-masing, akhirnya kami pun lulus. Beberapa bulan setelah lulus, aku pun kemudian merantau ke Jakarta. Setahun kemudian di Jakarta, barulah aku melanjutkan studiku ke jenjang yang lebih tinggi di salah satu universitas negeri bernama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (ketika itu masih bernama Institut Agama Islam Negeri/IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dengan pilihan Program Studi Teknik Informatika pada Fakultas Sains dan Teknologi.

Setelah berada di Jakarta, rutin setiap tahun aku pulang lebaran ke kota kelahiranku (Pontianak). Suatu waktu ketika itu dia pernah bercerita kepadaku bahwa ia ingin melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Tentunya aku sangat senang mendengarnya. Tapi entahlah, beberapa tahun kemudian niatnya itu urung dilaksanakan.

Pada lebaran tahun 2007 yang lalu, dia bersama abangku sempat minta diajarkan Microsoft Office (salah satu paket aplikasi perangkat lunak komputer). Tentunya aku senang sekali, karena walaupun tak melanjutkan studi lebih tinggi, dia tetap punya semangat untuk menambah ilmu dan wawasannya.

Balik lebaran yang lalu, kudengar bahwa ia berencana untuk menikah. Senang rasanya hatiku, karena ada sahabat dan sanak keluargaku yang akan menuju ke jenjang kebahagiaan melalui pernikahan. Setelah berada di Jakarta lagi, aku belum mendapatkan kabar-kabar terbaru lainnya, misalkan: apakah ia sudah melangsungkan pernikahan atau belum. Tapi kudengar dari abangku, bahwa memang dalam waktu dekat ini sahabat dan keponakanku tersebut akan segera melangsungkan pernikahan.

Syahrani, begitulah nama yang diberikan orang tuanya kepadanya. Ciri khas nama laki-laki Melayu Pontianak keturunan suku Banjar biasanya memang ada embel-embel "syah". Di antara saudara-saudaranya, hanya dialah yang kata "syah" di namanya diletakkan di bagian depan nama, sedangkan saudara-saudaranya, kata "syah" diletakkan di akhir nama.

Namanya cukup singkat, sama halnya dengan namaku yang juga singkat. Entahlah, orang tua-orang tua kami ketika itu sering memberikan nama yang singkat. Atau kalau pun tidak singkat, nama-nama kami biasanya hanya terdiri dari satu kata. Sehingga jarang sekali kami mempunyai nama belakang. Kalaupun terdiri dari dua kata, paling-paling nama depan kami adalah nama depan yang lumrah sekali pada nama-nama orang Melayu, misalkan Muhammad, Ahmad, Abdul, dan semacamnya.

Syahrani bin Bayhaqi Ubaydillah, yang kutahu bahwa dirinya memiliki cita-cita yang cukup tinggi, keinginannya pun cukup besar untuk membahagiakan kedua orang tuanya. Walaupun tak terlalu sering, pernah beberapa kali kami bertukar pikiran dan berdiskusi mengenai berbagai macam hal. Dia juga memiliki kesetiakawanan dan kepedulian yang cukup tinggi.

Di usianya yang masih belia, dia telah meninggalkan kami para sahabat dan sanak keluarganya. Dari jauh di negeri rantau, dari jauh di Kota Jakarta, dari jauh di Pulau Jawa, aku hanya bisa memanjatkan doa, semoga segala amal ibadahnya diterima di sisi Tuhan.

Yaa ayyatuhaannafsul muthmainnah (27) Irji'ii ilaa rabbiki raadhiyatan mardhiyyah (28) Fadkhulii fii 'ibaadii (29) Wadkhulii jannatii (30)
(27) Hai jiwa yang tenang. (28) Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. (29) Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, (30) dan masuklah ke dalam surga-Ku. (Q.S. Al-Fajr: 27-30)

Selamat jalan kawan, selamat jalan sahabat, selamat jalan keponakanku. Kami akan selalu mengenangmu dalam kenangan yang baik. Di alam barzakh sana, mungkin kau akan bertemu dengan kakekmu (Allahyarham H. Kasim Mohan), dengan nenekmu, dengan ayahku (Allahyarham A. Syukur Mohan), dengan Pak Cu (Allahyarham A. Razak Syafi'i), dengan Encek Zaidah (Allahyarham Zaidah Mohan), dengan Yah Ngah (Allahyarham M. Yusuf Mohan), dan mungkin dengan semua kerabat kita yang sudah berpulang ke rahmatullah. Di alam barzakh sana, mungkin kau akan bercerita mengenai perihal kami para kerabatmu yang masih berada di alam dunia yang fana ini.

Selamat jalan sahabat, selamat jalan saudaraku. Doa kami akan selalu menyertaimu. []

Dalam kenangan Hanafi Mohan
Ciputat, Sabtu 12 Desember 2009


Sumber gambar: http://sangbintang.wordpress.com/


Tulisan ini dimuat di: http://hanafimohan.blogspot.com/

Selasa, 01 Desember 2009

Lagi Jatuh Hati Kepada Lenka


Like a Song, begitulah salah satu judul lagu Lenka. Setelah mendengar lagu inilah kiranya yang membuat aku jatuh hati kepada biduan yang satu ini. Memang akhir-akhir ini aku jarang sekali mendengarkan lagu-lagu terbaru dari grup band/penyanyi Indonesia. Entah mengapa, mungkin karena telingaku tak bisa lagi mendengarkan lagu-lagu dari grup band/penyanyi Indonesia yang kini kebanyakan tak berkualitas. Mungkin juga karena aku tak ingin merusak intuisi musikku dengan mendengarkan lagu-lagu sampah yang bertebaran di jagad musik Indonesia kini.

Namun ada pilihan lainnya jika aku tetap mau menikmati musik. Pertama, mendengarkan lagu-lagu dari grup band/penyanyi lawas Indonesia. Atau setidaknya lagu-lagu yang beredar sampai batas tahun 2004. Kedua, mendengarkan lagu-lagu Barat. Ketiga, mendengarkan lagu-lagu Senandong Melayu, Arabia, ataupun India.

Karena itulah, akhir-akhir ini aku lebih sering mendengar lagu dari grup band rock lawas seperti God Bless dan Gong 2000, serta lagu-lagu jazz Indonesia era 80-90'an, dan beberapa grup band dan penyanyi era 80'an.

Kalau lagu-lagu Barat, hampir semua jenis musik aku lahap, baik lagu-lagu lawas, maupun lagu-lagu terbaru. Termasuk juga di dalamnya lagu-lagu berirama latin dan instrumentalia (klasik dan juga modern), dari Mozart, Vivaldi, Beethoven, hingga Richard Claydermen, Yanni, Vanessa Mae, Bond, Kitaro, Safri Duo, Dave Koz, Kenny G, dan Maksim. Sedangkan pilihanku untuk mendengarkan lagu-lagu Senandong Melayu, Arabia, dan India tak lain adalah untuk menyeimbangkan intuisi musikku dengan nuansa musik dunia Timur.

Begitulah kiranya, dalam beberapa hari ini aku telah terpikat kepada Lenka. Sebenarnya baru beberapa hari ini aku mendengarkan lagu-lagunya, tapi musik dan alunan suaranya telah membuat aku "jatuh cinta pada pendengaran pertama".

Terus terang, aku belum terlalu banyak tahu mengenai Lenka. Tapi yang pasti suaranya cukup unik, begitu juga dengan musiknya. Serasa gimanaaa gitu. Menurut info salah satu situs berita (kapanlagi.com), bahwa Lenka merupakan penyanyi pop alternatif asal Australia. Lenka sebelumnya adalah seorang bintang televisi di Australia.

Penyanyi yang bernama lengkap Lenka Kripac ini mengusung musik pop pseudo-indie. Lagu-lagunya memang lebih pantas untuk diperdengarkan pada audiensi yang lebih luas daripada hanya di dalam sebuah situs indie saja.

Pilihan lagunya pun cukup manis. Dengan tema sehari-hari seperti putus cinta (Wrote Me Out), benci diri sendiri (Anything I'm Not), hubungan yang sulit (Dangerous & Sweet), dan hubungan jarak jauh (Skipalong), cocok sekali didengarkan dengan musiknya yang slow dan ringan, namun manis.

Tak hanya itu, Lenka pun menunjukkan teror setiap manusia yang kadang tidak begitu dipedulikan dalam Trouble is a Friend. Dalam single pertamanya, The Show, Lenka dengan gaya khasnya membuat kita ikut berpikir bahwa hidup ini hanyalah sebuah pertunjukan. Dan saat kehidupan tak sesuai dengan apa yang kita inginkan, kita berteriak, "I want my money back!"

Selain itu, beberapa lagu Lenka yang layak dan enak didengar juga antara lain: Like a Song dan Force of Nature. So, mau lanjut lagi nih mendengar rajikan musik dan alunan suara Lenka, biar semakin meresap ke hati. [Hanafi Mohan-Ciputat, Minggu 29 November 2009]


Sumber gambar: http://plagueofangels.blogspot.com/



Tulisan ini dimuat di: http://hanafimohan.blogspot.com/