Hikayat Dunia

Kita hanya pengumpul remah-remah | Dari khazanah yang pernah ada | Kita tak lebih hanya penjaga | Dari warisan yang telah terkecai ||

Pontianak Singgah Palembang

Daripada terus berpusing-pusing di atas Negeri Pontianak, yang itu tentu akan menghabiskan bahan bakar, maka lebih baik pesawat singgah dahulu ke bandar udara terdekat. Sesuai pemberitahuan dari awak pesawat, bandar udara terdekat adalah Bandar Udara Sultan Mahmud Badaruddin II, Negeri Palembang.

Mudék ke Ulu

Pasangan dari kate “ulu” ielah “mudék”. Kate “mudék” beakar kate dari kate “udék”. Udék bemakne "sungai yang sebelah atas (arah dekat sumber)", "daerah di ulu sungai", juga’ bemakne "kampong halaman (tempat beasal-muasal)".

Soal Nama Negeri Kita

Belakangan ini kiranya ramai yang berpendapat ini dan itu mengenai asal usul dan makna nama "pontianak" kaitannya dengan Negeri Pontianak. Tapi apakah semua yang didedahkan itu betul-betul dipahami oleh masyarakat Pontianak?

Kampong Timbalan Raje Beserta Para Pemukanya [Bagian-3]

Selain banyak menguasai berbagai bidang keilmuan, beliau juga banyak memegang peran dalam kehidupan kemasyarakatan. H.M. Kasim Mohan yang merupakan anak sulong (tertua) dari pasangan Muhammad Buraa'i dan Ruqayyah ini merupakan seorang Pejuang di masanya.

Musik Motivasi Setahun Silam

“Satu Kursi untuk Seniman”, begitu tagline kampanyenya. Tekadnya untuk memajukan Kalbar lewat industri kreatif tentu patut diapresiasi. Melalui industri kreatif diharapkannya dapat menjadi jembatan menjulangkan budaya yang memayungi Kalimantan Barat.

Sultan Pontianak; Umara' dan 'Ulama

Kegemilangan Negeri Pontianak salah satunya diasbabkan kepemimpinan para Sultan-nya yang arif dan bijaksana. Sultan-Sultan Pontianak selama masa bertahtanya rata-rata memiliki dua peranan, yaitu berperan sebagai umara', sekaligus berperan sebagai 'ulama.

Puisi Buya Hamka untuk Muhammad Natsir

Kepada Saudaraku M. Natsir | Meskipun bersilang keris di leher | Berkilat pedang di hadapan matamu | Namun yang benar kau sebut juga benar ||

Selasa, 26 Mei 2009

[Cerbung: Senja Merah Jingga] 18- Pendekar Bujang Lapok


Globalisasi memang meniscayakan perubahan pola laku setiap manusia dari berbagai macam peradaban. Setiap perubahan memiliki sisi positif dan negatif yang selalu beriringan. Sehingga dalam hal ini memang diperlukan kearifan lokal untuk menghadapinya. Karena memang globalisasi ini harus dihadapi, bukan dihindari. Tentunya dihadapi dengan sikap yang terbaik pula, dan tentunya begitu selektif. Bagian baiknya diambil, sedangkan bagian buruknya dibuang jauh-jauh, dimasukkan ke keranjang sampah.

Tak terkecuali bagi anak-anak, dampak globalisasi begitu terasa bagi mereka. Bahkan menyelusup begitu dalam ke sanubarinya. Bagi anak-anak, apapun yang mereka lihat di televisi misalkan, maka itulah teladan terbaik bagi mereka, yang patut ditiru, dijadikan idola, dan semacamnya. Bagiku, ada saja hal yang menarik dari fenomena ini. Untuk memahami anak-anak, maka pahamilah menurut dunia mereka, bukan melalui dunia orang dewasa. Karena jika kita memahaminya dari sudut pandang orang dewasa, maka yang akan kita temui mungkin saja keburukan dan kekurangan dari dunia anak-anak itu. Karena itu, cobalah pahami anak-anak melalui dunia mereka, niscaya kita akan mendapatkan begitu banyak hal yang menarik, yang menggembirakan, dan menyenangkan, serta juga keceriaan dan keriangan ala anak-anak. Atau mungkin saja hikmah dan pelajaran berharga yang mungkin takkan pernah didapati melalui dunia orang dewasa.

***

Tersebutlah kisah seorang seniman legendaris Malaysia. Namanya Tan Sri P. Ramlee (baca: Ramli). Lebih dikenal dengan panggilan P. Ramlee saja. Ketika masa kecil kami, film-film yang dilakoni oleh seniman ini tak jarang kami tonton. Orangnya sudah lama meninggal, tapi filmnya masih banyak yang menyukai, termasuk masyarakat di kotaku. Allahyarham P. Ramlee bukan saja pemain film terkenal di masanya, tapi juga merupakan seniman multitalenta, karena ia juga seorang komposer (musisi), pencipta lagu, dan penyanyi.

Sebagai musisi, beliau adalah musisi serba bisa, piawai memainkan gitar, piano, biola, dan akordion. Lagu-lagu ciptaannya pun begitu menawan hati, dengan bait-bait yang begitu indah. Selain itu, ia juga menyanyikan lagu-lagu ciptaannya tersebut. Sebagai penyanyi jangan ditanya lagi, karena suaranya begitu merdu. Lagu-lagunya pun tak hanya lagu-lagu bernuansa Melayu, banyak pula lagunya yang bernuansa pop, jazz, klasik, cha-cha, swing, dan jenis-jenis musik lainnya yang mungkin sedang trend di masanya.

Di film-film yang dilakoninya, lagu-lagunya itu juga ditampilkan mengisi filmnya tersebut. Kebanyakan film-filmnya adalah film musikal seperti halnya kebanyakan film-film Bollywood (India). Filmnya ada yang bernuansa drama romantis, sejarah, cerita rakyat, kepahlawanan, realitas sosial yang kadang begitu sedih dan memilukan, dan tak jarang juga dibaluti dengan nuansa komedi. Karena itulah, seniman yang satu ini juga bisa dikategorikan sebagai komedian. Sehingga wajarlah beliau dijuluki sebagai maestro Malaysia legendaris sepanjang masa, yang tak hanya digemari di Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura, tapi juga digemari di Indonesia. Kiranya beliaulah seniman Melayu terbesar hingga kini.

Filmnya yang begitu terkenal adalah Bujang Lapok dengan berbagai versinya: Bujang Lapok, Seniman Bujang Lapok, Pendekar Bujang Lapok, Ali Baba Bujang Lapok. Ada juga film lainnya seperti Do Re Mi, Hang Tuah, Musang Berjanggut, Pak Belalang, dan masih banyak lagi. Filmnya masih hitam putih yang juga digemari di Indonesia di masanya sekitar era 60-an atau 70-an.

Di kotaku, film-film dan lagu-lagunya dengan mudah bisa diakses, karena memang Provinsi Kalimantan Barat berbatasan darat secara langsung dengan Malaysia Timur. Beberapa daerah kabupaten di Kalimantan Barat seperti daerah Mempawah dan Sambas memang dapat menangkap siaran televisi Malaysia hanya dengan memasang antena televisi agak lebih tinggi ditambah dengan alat booster. Sedangkan Kota Pontianak memang tak bisa menangkap siaran televisi Malaysia, kecuali menggunakan parabola. Jadi di Pontianak pada masa-masa tahun 90-an itu, jika ada yang mempunyai parabola, maka kami beramai-ramailah menonton di rumahnya.

Nah, ketika siaran televisi Malaysia menayangkan film-filmnya P. Ramlee ini, maka beramai-ramailah kami menonton di rumah orang tersebut. Bukan hanya orang-orang tua yang memang sudah mengenal film-film P. Ramlee ini ketika masa muda mereka, namun kami yang muda-muda ini juga suka menonton film P. Ramlee.

Ketika menonton film P. Ramlee ini, maka hal tersebut bagi kami Orang Melayu Pontianak merupakan semacam peneguhan eksistensi kami sebagai orang Melayu, apalagi Bahasa Melayu yang digunakan pada dialog film tersebut memang kami pahami. Ada kebanggaan tersendiri bagi kami orang Melayu setelah menonton film tersebut. Ternyata masih ada saudara-saudara kami di Malaysia sana yang masih teguh menjaga eksistensi dan marwah Bangsa Melayu.

***

Ketika RCTI, SCTV, TPI, AnTeve, dan Indosiar belum masuk ke kota Pontianak, maka hanya dengan parabola juga siaran-siaran televisi swasta nasional tersebut dapat ditangkap.

Pada awal era 90-an (sekitar tahun 1992-1994), film P. Ramlee ini pernah ditayangkan oleh RCTI. Ketika itu RCTI memang sudah masuk ke Pontianak. Nah, aku, Witri, dan adikku juga suka menonton film P. Ramlee ini, dan dengan mudahnya kami mengasosiasikan diri sebagai Trio P. Ramlee, Samsuden, dan Azes (dalam beberapa filmnya, Samsuden dan Azes adalah kawan main P. Ramlee).

Di antara sekian banyak film P. Ramlee tersebut, yang kami sukai adalah film Bujang Lapok dengan berbagai versinya. Witri mengasosiasikan dirinya sebagai P. Ramlee, aku sebagai Samsuden, dan adikku sebagai Azes. Kemudian kami juga suka menonton film Cina (Hongkong) seperti filmnya Bruce Lee, Brandon Lee, dan Jet Lee (semuanya ada ujung Lee). Maka kami pun mengasosiasikan diri sebagai ketiga artis tersebut. Witri sebagai Bruce Lee, aku sebagai Brandon Lee, dan adikku sebagai Jet Lee. Kemudian untuk memudahkan, maka kami menggabungkan nama para pemain film Malaysia dan film Cina tersebut. Witri menjadi bernama Bruce Li (gabungan Brucee Lee dan P. Ramlee), aku menjadi bernama Brandon Den (gabungan Brandon Lee dan Samsuden), sedangkan adikku menjadi bernama Jet Jes (gabungan Jet Lee dan Azes). Kami juga menyukai film kartun Saint Seiya yang ditayangkan oleh RCTI. Kemudian kami juga mengasosiasikan diri dengan tokoh-tokoh film kartun tersebut, yaitu: Witri sebagai Seiya, aku sebagai Iki Phoenix, sedangkan adikku sebagai Shiryu.

***

Ketika masa-masa ini, persahabatan empat budak-budak laot (aku, Witri, Izwar, dan Deni) sudah agak renggang. Tinggallah kemudian aku, Witri, dan kemudian ditambah oleh adikku yang umurnya hanya berpaut tiga tahun dariku. Adikku tak kalah serunya. Ia memiliki banyak kepandaian. Jika aku tak terlalu suka olahraga, maka adikku sangat suka dengan olahraga, terutama sepakbola. Adikku juga begitu dekat dengan Izwar. Untuk permainan-permainan ekstrim yang aku dan Witri tak dapat berikan kepada adikku, maka adikku mendapatkannya dari Izwar.

Izwar memang sosok yang suka menyendiri. Karena itulah, pada saat-saat tertentu, Izwar jarang berteman dengan kami. Ia suka bermain kelayang (layang-layang), adikku juga suka permainan ini. Pada masa-masa kemudian, sosok Izwar yang suka menyendiri juga terjangkit kepada diriku.

Sedangkan Deni adalah sosok anak yang cukup manja, karena keluarganya adalah keluarga yang cukup kaya di kampongku ketika itu. Karena itu pula, Deni tak bisa menjalani kehidupan kami orang-orang miskin ini. Kehidupan kami yang sederhana, kadang harus ditopang dengan hidup yang agak keras. Kami terbiasa dengan hidup membanting tulang, melakukan pekerjaan-pekerjaan berat yang memporsir tenaga seperti mengangkut kayu, mengangkut pasir, menjala ikan, dan pekerjaan-pekerjaan berat lainnya. Karena itulah, Deni pada masa-masa tertentu jarang sekali berteman dengan kami. #*#


[Hanafi Mohan – Ciputat, medio Juni 2008]


Cerita sebelumnya

Kembali ke Daftar Isi

Sumber: http://hanafimohan.blogspot.com/

Sabtu, 16 Mei 2009

[Cerbung: Senja Merah Jingga] 17- Wisudawan

Empat tahun bersekolah di madrasah, akhirnya kami para santri madrasah pun diwisuda. Kami adalah wisudawan pertama, walaupun bukanlah lulusan pertama. Sebelum-sebelumnya madrasah memang sudah memiliki lulusan, tapi tak ada prosesi wisuda. Sehingga kamilah lulusan madrasah yang pertama kali melalui prosesi wisuda.

Begitu sederhananya prosesi wisuda yang kami lalui itu. Pertama-tama, kami diarak dari madrasah ke Istana Qadriah Kesultanan Pontianak yang berada di Kampong Dalam Bugis. Dari Istana Qadriah kemudian diarak lagi menuju madrasah yang ada di kampongku.

Pakaian wisuda kami juga begitu sederhana. Toganya terbuat dari kertas karton, dan juga dilengkapi semacam asesoris yang dikalungkan di pundak. Tapi sungguhpun begitu, hal tersebut tak mengurangi kekhidmatan prosesi wisuda yang kami jalani. Yang mewisuda adalah Kepala Sekolah Madrasah ketika itu, yaitu Pak Arif. Selain Pak Arif, pamanku yang juga ketua yayasan yang menaungi madrasah juga mewisuda kami.

Entah apa yang ada di benak masing-masing kami santri madrasah yang diwisuda ketika itu. Aku sendiri begitu gembira mengikuti prosesi wisuda ini. Kegembiraan tersebut juga terlihat dari wajah Izhar dan teman-temanku yang lainnya yang diwisuda ketika itu. Setelah bersekolah selama empat tahun di madrasah, akhirnya berhasil juga aku lulus. Tapi sebenarnya ada juga kesenangan yang lain, yaitu aku tak harus lagi bersekolah di dua tempat dalam satu hari. Sungguh hal tersebut cukup membuatku kelelahan.

Aku tak mengira, ternyata setelah lulus dari madrasah, ada tanggungjawab yang lebih besar lagi yang harus kuhadapi. Masyarakat kampongku sudah terlanjur mengetahui bahwa aku adalah lulusan madrasah. Karena itulah, mereka selalu menyodorkan kepadaku hal-hal yang berbau keagamaan, seperti membaca doa setelah sembahyang (shalat) berjamaah di surau, dan juga terkadang aku dipercayakan menjadi imam sembahyang berjamaah ketika tidak ada lagi yang bisa dipercayakan untuk menjadi imam. Ada satu hal yang ternyata di kemudian hari begitu mengganjal diriku. Setelah lulus dari madrasah, aku belum bisa lancar membaca Alquran. Entahlah, mungkin hal ini karena aku terlalu malas mempelajari kitab suci umat Islam tersebut.

Di masa hidup Encek, aku adalah anak yang manja. Pernah aku belajar mengaji dari Encek, tapi kemudian aku malas-malasan. Sepeninggalan Encek, aku belajar mengaji dari Emak (Ibu). Tapi lagi-lagi, aku selalu malas-malasan. Ketika di madrasah, pelajaran membaca Alquran tidak seperti pelajaran membaca Alquran yang kuterima dari Encek dan Emak. Di madrasah, semua santri dianggap sudah lancar membaca Alquran, sehingga yang dipelajari kemudian adalah cara membaca Alquran yang baik dan benar, bukanlah cara agar lancar membaca Alquran.

Sehingga memang ketika bersekolah di madrasah, pelajaran yang tak kusukai adalah pelajaran Tajwid, Bahasa Arab, dan Nahwu Sharaf. Hal ini tak lain karena aku belum lancar membaca Alquran. Pada saat ujian membaca Alquran, aku selalu terbata-bata melakukannya.

***

Saat aku kelas 6 SD yag ketika itu aku sudah lulus dari madrasah, adikku yang ketika itu kelas 3 SD juga kemudian masuk bersekolah di madrasah. Ternyata adikku ini otaknya lebih encer dibandingkan diriku dalam hal membaca Alquran. Kebetulan ketika dia bersekolah di madrasah, sistem di madrasah sudah agak berubah. Bagi anak-anak yang belum lancar membaca Alquran, maka dimasukkan dahulu ke kelas Taman Pendidikan Alquran (TPA). Sedangkan ketika aku bersekolah di madrasah, kelas TPA ini belum ada. Sehingga aku yang ketika itu belum lancar membaca Alquran dicampur saja dengan anak-anak yang lain yang sudah lancar membaca Alquran. Karena ketika masuk madrasah belum lancar membaca Alquran, maka adikku dimasukkan dahulu ke kelas TPA.

Hasilnya ternyata memang mengagumkan, karena adikku kemudian lebih lancar membaca Alquran dibandingkan diriku. Padahal ketika itu adikku baru beberapa bulan bersekolah di madrasah. Tercengang aku mendapati kenyataan ini. Ada semacam rasa iri pada diriku dengan kemajuan pesat yang dialami adikku. Selain iri, aku juga sebenarnya malu dengan kenyataan ini. Bagaimana tidak, aku yang sudah lulus madrasah ternyata belum bisa lancar membaca Alquran.

Rasa iri dan malu itu kemudian menjadi motivasi bagi diriku untuk terus belajar membaca Alquran. Aku memang sudah lulus dari madrasah, tapi bukan kemudian pelajaran membaca Alquran lantas aku tinggalkan begitu saja. Guruku kali ini adalah Emak. Tapi lagi-lagi, metode yang digunakan oleh Emak adalah metode tradisional.

Karena keinginan yang begitu besar ini, aku kemudian tak segan-segan untuk mempelajari metode Iqra'. Metode ini kudapatkan dari buku milik adikku. Metode inilah yang diajarkan di kelas TPA yang ada di madrasah. Berbekal kemampuan yang ada, aku mempelajari metode ini sendirian tanpa adanya guru. Dan memang dari buku metode Iqra' tersebut panduan langkah demi langkahnya begitu mudah dipelajari.

Terbukti setelah mempelajari metode ini, sedikit demi sedikit aku mengalami kemajuan dalam hal membaca Alquran. Ketika membaca Alquran, Emak tetap kuandalkan sebagai guru pendamping. Maksudnya, Emak tidak menjadi guru yang mengajarkan secara langsung, melainkan beliau hanya menyimak bacaanku. Jika ada yang salah, maka beliau akan memberitahukan letak kesalahan bacaanku, kemudian mencontohkan cara membacanya yang benar. Jika betul, maka beliau mengiyakan dan menyuruhku untuk melanjutkan bacaan.

Aku merasa beruntung memiliki seorang ibu yang pandai membaca Alquran, sehingga aku tak harus belajar dari guru khusus yang mengajarkan cara mengaji (membaca) Alquran. Emak bukan hanya pandai membaca Alquran, melainkan beliau bisa mengajarkannya kepadaku, walaupun kemudian harus ditunjang dengan aku mempelajari metode Iqra'. Emak mengajarkan dengan metode tradisional, kemudian aku melengkapinya dengan mempelajari metode modern semacam metode Iqra'. Hasilnya cukup memuaskan, karena kedua-dua metode tersebut bisa kukuasai dengan baik. Aku mempelajari metode modern tanpa melupakan metode tradisional.

Masih jelas kuingat bagaimana cara Emak mengajarku membaca Alquran dengan cara mengeja satu persatu aksara Arab lengkap dengan barisnya.

Alep di atas A, Ba di bawah Bi, Ta di depan Tu, Abitu. Begitulah cara orang Melayu mengajari anaknya membaca Alquran. #*#


[Hanafi Mohan – Ciputat, akhir Maret 2009]


Cerita sebelumnya

Kembali ke Daftar Isi

Senin, 11 Mei 2009

[Cerbung: Senja Merah Jingga] 16- Seni Hadrah

Belajar seni tradisional Melayu adalah bagian terindah di masa kecilku. Tidak tanggung-tanggung, Yah Long selaku guru seni kami mempercayakanku sebagai kepala redat, yang tugasnya adalah mengepalai satu barisan penari redat. Biasanya terdapat empat baris, yang setiap baris dikepalai oleh seorang kepala redat. Dari empat orang kepala redat itu, biasanya terdapat seorang kepala redat yang tugasnya selain mengepalai barisan redatnya, juga menjadi pemberi aba-aba. Redat adalah unsur tarian di dalam seni Hadrah. Sekilas seperti tari Saman dari Aceh.

Hadrah adalah seni Melayu yang kental dengan nuansa ajaran Islam. Syair-syairnya berisikan pujian-pujian terhadap Nabi Muhammad, serta sejarah hidup Nabi Muhammad. Dari syair-syair hadrah, sedikit banyak kami anak-anak yang menyenandungkan syair-syair indah itu jadi mengetahui sejarah Rasulullah. Kami jadi tahu, bahwa ketika Nabi Muhammad lahir, bahwa api abadi di Persia ketika itu tiba-tiba menjadi padam.

Melalui seni hadrah, kami secara tidak langsung diajarkan untuk mencintai Rasulullah. Selain itu, kami juga harus bisa mengaji (membaca Alquran), karena syair-syair zikir hadrah menggunakan Bahasa Arab yang secara otomatis juga ditulis menggunakan aksara Arab. Namun ada juga syair zikir hadrah yang menggunakan Bahasa Melayu, yang kadang ditulis dengan aksara latin, tapi kadang juga ditulis dengan aksara Arab Melayu. Karena itulah, kami juga harus bisa membaca aksara Arab Melayu.

Ada beberapa unsur penting di dalam seni Hadrah, yaitu tar (alat musik sejenis rebana), syair zikir hadrah, dan redat. Tar dimainkan oleh tiga orang yang dinamakan "pembawa". Selain memainkan tar, "pembawa" juga menyenandungkan syair zikir hadrah. Sedangkan penari redat tugasnya selain menari, juga menyenandungkan syair zikir hadrah. Ketika tar belum dimainkan, maka yang menyenandungkan syair zikir hadrah adalah "pembawa", namun ketika tar dimainkan, maka yang menyenandungkan syair zikir hadrah adalah penari redat yang menyenandungkannya sambil melakukan tarian redat.

Izhar yang tak lain merupakan teman, keponakanku, dan juga cucunya Yah Long merupakan seorang "pembawa" andalan kami. Bersama dua orang lainnya, yaitu sepupunya Izhar bernama Syahrani, dan juga teman kami yang lain bernama Harmanyah, maka mereka bertiga memang benar-benar menjadi andalan kami. Di tangan mereka bertiga lah tempo syair dan gerakan kami para penari redat ditentukan. Salah sedikit saja dari pukulan tar yang mereka mainkan ataupun syair hadrah yang mereka senandungkan, maka akan kacau balaulah tarian yang kami lakukan dan syair yang kami senandungkan.

***

Pada masa itu, kami sering menjadi utusan untuk mengikuti berbagai perlombaan Hadrah yang biasanya diadakan di Istana Qadriah Kesultanan Pontianak. Perlombaan tersebut biasanya diadakan untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad, hari kemerdekaan Indonesia (17 Agustusan), dan juga Hari Jadi Kota Pontianak. Syair Hadrah yang dibawakan tentunya disesuaikan dengan moment peringatan (perayaan) yang dimaksud. Karena itulah, selain mengetahui sejarah hidup Nabi Muhammad, melalui syair zikir hadrah kami juga jadi mengetahui sejarah kemerdekaan Indonesia dan juga sejarah berdirinya kota kami. Misalkan, di dalam syair itu disebutkan, bahwa armada yang dipimpin oleh Syarif Abdurrahman Al-Qadri (pendiri dan sultan pertama Kesultanan Pontianak) sampai di Batulayang pada waktu subuh hari. Sampai di tempat itu, mereka melakukan sembahyang shubuh. Dari Batulayang, Syarif Abdurrahman memerintahkan kepada anak buahnya untuk menembakkan peluru meriam. Tempat jatuhnya peluru meriam nantinya akan dijadikan sebagai tempat bermukim. Ketika ditelusuri, ternyata peluru meriam jatuh di daerah persimpangan Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Di tempat tersebutlah kemudian didirikan Masjid Jami' Kesultanan Pontianak, dan tak jauh dari Masjid Jami' kemudian didirikan Istana Kesultanan. Hal ini kuketahui pertama kali melalui syair zikir hadrah.

Ketika syair zikir hadrah akan memasuki bait-bait yang berbunyi "sampai di Batulayang pada waktu subuh hari", maka terdapat jeda beberapa saat. Pada jeda inilah, aku sebagai salah seorang Kepala Redat berdiri, kemudian mengumandangkan azan shubuh. Setelah azan shubuh dikumandangkan, kami pun kembali menari sambil melantunkan syair zikir hadrah yang diiringi bunyi tar. Entah mengapa Yah Long memilihku untuk mengumandangkan azan. Mungkin beliau tahu bahwa suaraku cukup merdu melantunkan azan dibandingkan teman-temanku yang lainnya.

***

Yah Long yang tak lain adalah pamanku itu akan selalu diingat oleh orang-orang di kampongku sebagai seorang pelestari seni tradisional daerah kami. Di tengah derasnya hantaman budaya asing yang menyerbu menggilas setiap sendi kehidupan anak bangsa, Yah Long menjadi pahlawan bagi kami, yang berdiri pada garda terdepan menghalau serbuan demi serbuan budaya asing. Beliau bagi kami adalah orang tua yang selalu membimbing kami untuk selalu menjaga marwah Bangsa Melayu. Beliau adalah guru kami yang selalu mendidik kami dengan ketinggian budi pekerti, dengan keindahan seni budaya Melayu yang mempesona.

Sosoknya mungkin takkan tergantikan di hati kami. Dari tangan dinginnya, kami kemudian menjadi anak-anak Melayu yang akan selalu bangga dengan seni budaya daerah kami. Melalui dirinyalah, kami merasa beruntung dan bahagia telah dilahirkan sebagai anak-anak orang Melayu, yang dibesarkan dalam lingkungan budaya Melayu yang begitu kental. #*#


[Hanafi Mohan – Ciputat, April-Mei 2009]


Cerita sebelumnya

Kembali ke Daftar Isi

Rabu, 06 Mei 2009

[Cerbung: Senja Merah Jingga] 15- Bedel Buloh

Bulan puasa adalah bulan yang istimewa bagi seluruh umat Islam, tak terkecuali bagi orang-orang di kampongku. Bulan yang penuh berkah ini disambut dengan begitu rupa. Masing-masing kampong biasanya mempunyai tradisi tersendiri dalam mengistimewakan bulan puasa.

Secara umum di kotaku, bulan puasa memang menjadi bulan yang istimewa di masyarakat. Ada hal-hal yang biasanya hanya ada pada bulan puasa seperti pasar juadah dan keriang bandong ("keriang" diucapkan orang Melayu dengan "keghiang" seperti lafal mengucapkan huruf "ghain" pada aksara Arab). Pasar juadah adalah pasar khusus menjual kue-kue untuk berbuka puasa (dalam Bahasa Melayu Pontianak, "juadah" artinya adalah kue). Di pasar juadah ini dijual bermacam ragam kue khas orang Melayu. Sedangkan keriang bandong adalah semacam seni menghias lampu (menggunakan pelita ataupun obor, tapi kini juga dimodifikasi menggunakan lampu listrik). Di kedai ataupun di pasar, pedagang biasanya menambah jualannya dengan jualan khas bulan puasa seperti kincau.

Khusus di kampongku, subuh bulan puasa adalah saat-saat yang ramai, terutama oleh anak-anak. Entah mengapa, kami menjadi begitu bergembira pada saat bulan puasa. Ada sesuatu yang begitu istimewa bagi kami di bulan tersebut, yaitu sesuatu yang sulit sekali untuk dideskripsikan. Selain subuh, malam bulan puasa juga adalah saat yang terindah bagi kami.

Jika di Indonesia mengenal dua musim, yaitu musim panas dan musim hujan, maka kami anak-anak Melayu juga mengenal musim permainan. Khusus pada bulan puasa, maka adalah musim permainan meriam karbit (meriam diucapkan "meghiam", seperti mengucapkan huruf "ghain" di dalam aksara Arab, karbit diucapkan "kaghbet"). Kami membuatnya dari buloh (bambu), kadang juga dari kaleng. Biasanya kami mendapatkan buloh dari hutan yang masih banyak di kampong kami ketika itu. Jika tak mendapatkan buloh dari hutan di kampong kami, maka kami mencarinya di kampong lain.

Sebagai bahan peledaknya adalah karbit yang dicampur dengan air. Untuk meledakkannya, maka harus disulut dengan api. Bukan hanya sekedar memainkannya, tapi kami juga melakukan semacam permainan perang-perangan. Yang kami adu adalah bunyinya. Semakin nyaring bunyinya, maka akan semakin bagus. Tidak ada pemenang dalam peperangan meriam karbit ini. Waktu memainkan permainan ini biasanya subuh dan malam hari. Namun terkadang juga ada yang memainkannya pada siang atau sore hari.

Khusus bagi budak-budak laot, perancang meriam kami yang paling handal adalah Izwar. Entah dari mana ia mendapatkan keahlian itu. Meriam karbit rancangannya pastilah mantap jika dimainkan. Selain itu, ia juga bisa menakar komposisi karbit dan air yang pas. Sehinga dapat dipastikan, meriam rancangannya dan meriam yang komposisi karbit dan air yang ditakarnya akan menghasilkan bunyi ledakan meriam yang begitu nyaring. Selain itu, Izwar juga bisa mengira waktu yang pas untuk menyulut api ke meriam. Karena jika waktunya tidak pas, walaupun meriamnya bagus dan takaran karbit serta airnya pas, maka tetap saja akan menghasilkan bunyi yang biasa-biasa saja, bahkan bisa jadi tidak berbunyi. Kalaupun berbunyi, maka bunyinya begitu pelan seperti bunyi kentut. Bunyi yang seperti ini kami sebut "keleput".

Puncak dari permainan meriam karbit adalah di malam takbiran. Kali ini, bukan lagi meriam berukuran kecil yang terbuat dari buloh ataupun kaleng yang biasa kami anak-anak mainkan, melainkan berukuran besar dan panjang yang terbuat dari kayu log. Ukurannya antara 3 hingga 5 meter, dengan diameter 40 hingga 60 centimeter (bahkan ada yang lebih panjang dan lebih besar lagi). Yang memainkan pun bukan lagi anak-anak, melainkan orang dewasa. Namun terkadang juga anak-anak tetap dilibatkan dalam permainan ini.

Pada malam takbiran, jangan ditanya lagi Pontianak seperti apa. Jika kita sedang berada di tempat yang sedang dilanda perang, maka keadaannya mungkin seperti itu, walaupun hanya sebatas bunyi ledakan meriam yang menggelegar. Tapi hal itu sudah cukup membuat orang yang baru datang ke Pontianak akan terperangah melihatnya. Tradisi meriam karbit di malam lebaran ini adalah tradisi massal di sepanjang Sungai Kapuas. Sebelah menyebelah di kedua sisi sungai akan didapati grup-grup meriam karbit yang jumlahnya bisa mencapai puluhan grup. Setiap grup bisa memiliki 5 hingga 10 meriam.

***

Orang kampongku memiliki rasa bahasa yang cukup unik. Segala hal yang khas pada suatu masa kadang dikaitkan dengan hal khas lainnya di masa itu. Misalkan di bulan Ramadhan adalah saat diwajibkannya orang-orang Islam berpuasa. Karena itulah, jika ada yang tidak berpuasa, maka hal tersebut cukup memalukan bagi orang yang bersangkutan. Agar tak terlalu menyinggung bagi yang tidak berpuasa, maka terciptalah istilah khusus untuk menamakan tindakan tidak berpuasa. Istilah tersebut juga memang sangat khas berkaitan dengan tradisi ketika bulan Ramadhan, yaitu tradisi membunyikan meriam.

Dalam hal ini, tindakan tidak berpuasa dikaitkan sebagai tindakan anak-anak. Karena itulah, tindakan tidak berpuasa kemudian diasosiasikan dengan permainan anak-anak ketika bulan yang suci ini. Permainan yang dimaksud adalah permainan meriam karbit yang terbuat dari buloh, yang biasanya kami sebut sebagai "bedel buloh". Maka orang yang tidak berpuasa kemudian disebut "bedel buloh". Istilah lainnya adalah "mbedel", artinya hampir sama, namun lebih singkat, dan terkadang maksudnya lebih menukik. Istilah lainnya lagi yaitu "Nyucol".

Bagi orang yang ketahuan sedang makan di siang hari bulan Ramadhan, apalagi terang-terangan dan tidak malu-malu, maka bagi yang melihat dan mengetahuinya biasanya akan meneriakkan kata yang menirukan bunyi meriam, yaitu "tuuummm" atau "duuummm". Kadang juga diteriakkan berturut-turut beberapa kali seperti bunyi beberapa meriam yang dibunyikan berurutan. Kadang juga ditambahkan dengan suara gemanya, sehingga berbunyi "tuuummm kakakaka". Orang yang makan di siang hari bulan Ramadhan itu biasanya juga disindir dengan kata-kata (seringnya berupa gurauan), bahwa bunyi bedelnya sangat nyaring.

Jika ada orang kampong lain yang sedang berada di kampongku, terkadang mereka tak mengerti dengan istilah-istilah seperti ini, karena memang di kampong mereka tak ada istilah yang seperti itu. Orang-orang kampongku bisa dengan leluasa dan dinamisnya membuat istilah-istilah dan juga tradisi-tradisi Melayu yang unik karena memang secara mayoritas penduduk kampongku adalah orang-orang Melayu yang masih asli. Sistem kekerabatan dan bahasa Melayunya masih begitu kental, dan sangat sedikit terjadi percampuran dengan unsur suku lainnya. Kalau ada yang melakukan perkawinan beda suku, maka ujung-ujungnya unsur Melayu di dalam keluarga tersebut akan lebih kental dibandingkan dengan unsur-unsur lainnya. Atau kalau tidak, unsur-unsur lain itu akan diserap secara kreatif menjadi sesuatu yang khas Melayu. Asimilasi dan akulturasi budaya tersebut terjadi secara alamiah dari dahulu hingga kini. #*#


[Hanafi Mohan – Ciputat, Maret-April 2009]


Cerita sebelumnya

Kembali ke Daftar Isi