Hikayat Dunia

Kita hanya pengumpul remah-remah | Dari khazanah yang pernah ada | Kita tak lebih hanya penjaga | Dari warisan yang telah terkecai ||

Pontianak Singgah Palembang

Daripada terus berpusing-pusing di atas Negeri Pontianak, yang itu tentu akan menghabiskan bahan bakar, maka lebih baik pesawat singgah dahulu ke bandar udara terdekat. Sesuai pemberitahuan dari awak pesawat, bandar udara terdekat adalah Bandar Udara Sultan Mahmud Badaruddin II, Negeri Palembang.

Mudék ke Ulu

Pasangan dari kate “ulu” ielah “mudék”. Kate “mudék” beakar kate dari kate “udék”. Udék bemakne "sungai yang sebelah atas (arah dekat sumber)", "daerah di ulu sungai", juga’ bemakne "kampong halaman (tempat beasal-muasal)".

Soal Nama Negeri Kita

Belakangan ini kiranya ramai yang berpendapat ini dan itu mengenai asal usul dan makna nama "pontianak" kaitannya dengan Negeri Pontianak. Tapi apakah semua yang didedahkan itu betul-betul dipahami oleh masyarakat Pontianak?

Kampong Timbalan Raje Beserta Para Pemukanya [Bagian-3]

Selain banyak menguasai berbagai bidang keilmuan, beliau juga banyak memegang peran dalam kehidupan kemasyarakatan. H.M. Kasim Mohan yang merupakan anak sulong (tertua) dari pasangan Muhammad Buraa'i dan Ruqayyah ini merupakan seorang Pejuang di masanya.

Musik Motivasi Setahun Silam

“Satu Kursi untuk Seniman”, begitu tagline kampanyenya. Tekadnya untuk memajukan Kalbar lewat industri kreatif tentu patut diapresiasi. Melalui industri kreatif diharapkannya dapat menjadi jembatan menjulangkan budaya yang memayungi Kalimantan Barat.

Sultan Pontianak; Umara' dan 'Ulama

Kegemilangan Negeri Pontianak salah satunya diasbabkan kepemimpinan para Sultan-nya yang arif dan bijaksana. Sultan-Sultan Pontianak selama masa bertahtanya rata-rata memiliki dua peranan, yaitu berperan sebagai umara', sekaligus berperan sebagai 'ulama.

Puisi Buya Hamka untuk Muhammad Natsir

Kepada Saudaraku M. Natsir | Meskipun bersilang keris di leher | Berkilat pedang di hadapan matamu | Namun yang benar kau sebut juga benar ||

Minggu, 22 Juni 2008

[Cerpen] Panggilan dari Ibu


Begitu aku turun dari kapal penumpang, desauan angin Sungai Kapuas yang begitu lembut dan segarnya langsung menerpa wajahku. Kemudian mataku menyapu keadaan di Pelabuhan Pontianak. Ternyata masih seperti dahulu. Tak terlalu banyak perubahan yang kulihat. Keadaannya tak jauh berbeda dengan keadaan ketika bertahun-tahun yang lalu kutinggalkan pelabuhan ini untuk menuju ke Pelabuhan Tanjung Priok. Aku juga mencoba-coba mengedarkan pandanganku untuk melihat ke arah hulu, di mana terletak daerah Simpang Tiga yang bersejarah itu, yaitu simpang tiga pertemuan Sungai Kapuas dan Landak, yang tak jauh dari situ terdapat Masjid Jami’ Kesultanan Pontianak dan Kampong Beting.

Siang-siang seperti ini, tentunya Pontianak sedang panas-panasnya, benakku. Apalagi kulihat cuaca begitu cerahnya. Ya … cerah, cerah ala Kota Pontianak. Cerah dengan panas matahari yang begitu menyengat, karena memang kota ini pas dilalui oleh garis edar matahari (equator). Matahari itu bagaikan hanya beberapa jengkal saja di atas kepala ini. Itulah yang dulunya sering kurasakan ketika berada di Kota Khatulistiwa ini.

Sengaja aku tidak turun berdesak-desakan tadi. Sehingga suasana kini memang tidak terlalu ramai dengan penumpang yang sedang turun berdesak-desakan itu. Bentuk bangunan Pelabuhan Pontianak yang sangat khas Kalimantan Barat itu mengingatkanku ketika bertahun-tahun lalu kapal yang kutumpangi meninggalkan Kota Pontianak. Bentuk bangunan yang begitu khas itu kemudian terpatri di dalam ingatanku, karena memang di saat-saat yang sangat berat seperti itu, hal-hal seperti ini menjadi begitu berharganya. Rasanya diri ini ingin turun lagi dari kapal ketika itu. Melihat teman-teman dan saudara-saudaraku melambai-lambaikan tangannya di tepi pelabuhan. Seakan-akan itu adalah lambaian terakhir untukku. Sedangkan aku hanya terpaku membisu dengan segala remuk-redam di atas kapal melihat lambaian tersebut. Lambaian yang seakan-akan tak mau melepaskanku pergi, yang seakan-akan memanggil diriku untuk segera turun dari kapal yang kutumpangi itu. Namun apalah daya, pintu kapal sudah ditutup, juga tangga yang menghubungkan kapal dengan pelabuhan sudah ditarik dan dinaikkan kembali ke atas kapal. Aku hanya bisa memandang rombongan pengantarku itu dengan berbagai macam perasaan tak menentu. Sementara kapal yang kutumpangi sedikit demi sedikit merangkak meninggalkan pelabuhan.

Sebenarnya masih ada satu adegan dramatis yang kutunggu-tunggu hingga aku terus melihat rombongan pengantarku itu sambil harap-harap cemas, walaupun memang tekad kapal yang kutumpangi tak dapat ditahan-tahan untuk tidak beranjak dari pelabuhan. Adegan tersebut adalah hal yang paling menegangkan dan paling indah yang biasanya kulihat di film-film romantis. Ingin kulihat dari rombongan pengantarku itu ada seorang gadis yang berlari mengejar kapal yang kutumpangi, sambil ia berteriak, “Kandaaa … Kandaaa …, janganlah tinggalkan Dinda seorang diri di kota ini! Sampai hatikah Kanda meninggalkan kekasihmu ini merana dalam penantian?”

Jika adegan tersebut sempat terjadi ketika kapal yang kutumpangi belum terlalu jauh meninggalkan pelabuhan, maka aku sudah menyiapkan beberapa alternatif tindakan yang semuanya begitu dramatis jika kulakukan.

Alternatif pertama, aku akan segera meloncat dari kapal untuk menyongsong gadis tersebut. Jika alternatif ini yang kuambil, maka kemungkinan besar aku akan membatalkan keberangkatanku ke Pulau Jawa, untuk kemudian aku akan hidup dalam naungan kebahagiaan bersama gadis tersebut di kota kelahiranku.

Tapi setelah kupikir lagi, sepertinya tindakan tersebut tak lebih merupakan tindakan bodoh dari seorang laki-laki muda sepertiku yang masa depannya masih terbentang luas di depan. Kemungkinan laki-laki seperti ini adalah laki-laki yang tidak memiliki tingkat ketegaran yang tinggi, bukan laki-laki pejuang, namun tak lebih hanyalah seorang laki-laki pecundang yang tak berani mengejar masa depan dan mencapai cita-citanya, yang begitu berat untuk meninggalkan kota kelahirannya, keluarganya, dan gadis yang dicintainya.

Alternatif kedua, aku akan memohon kepada Kapten Kapal untuk merapat kembali ke pelabuhan demi masa depanku yang lain yang sedang menungguku di pelabuhan. Jika Kapten Kapal itu tidak mengindahkan permohonanku, maka aku akan memelas-melas memohon kepadanya demi masa depanku yang lain ini, sambil kukatakan kepadanya, “Sampai hatikah Tuan Kapten melihat kehancuran dua orang anak manusia yang sedang berada dalam kekalutan dan kegundahan cinta ini? Kehancuran tersebut tak lain disebabkan karena Tuan Kapten tidak bersedia merapat kembali ke pelabuhan hanya untuk beberapa menit.” Kemudian karena tindakanku juga didukung oleh para penumpang lainnya, maka aku semakin bertambah semangat, sedangkan Kapten Kapal menjadi luluh hatinya demi melihat usahaku yang tak pernah surut memperjuangkan cintaku.

Walaupun begitu, persetujuan Tuan Kapten untuk merapat kembali ke pelabuhan juga bukan tanpa garansi. Ia hanya memberiku waktu lima menit untuk menemui kekasihku yang menunggu di pelabuhan. Tidak lebih tidak kurang, kembali ia tegaskan ketika aku akan menuruni tangga kapal. Jika lewat dari waktu tersebut, maka tidak ada lagi tempat untukku di kapal. Dengan waktu yang tak terlalu lama itu, akupun segera bergegas dengan cepatnya menuruni tangga kapal. Tak kuhiraukan lagi apakah aku akan terpeleset ataupun terjatuh ketika menuruni tangga kapal tersebut.

“Hei anak muda, jangan terlalu tergesa-gesa! Akupun pernah mengalami apa yang kau alami kini. Karena itulah, Kapten yang baik hati ini akan memberimu injury time selama tiga menit. Perjuangkanlah cintamu!” terdengar teriakan seseorang dari atas kapal, kemungkinan adalah Tuan Kapten yang baik hati itu. Aku yang sudah ada di pelabuhan langsung disambut oleh seorang gadis muda yang tak lain adalah kekasih hatiku. Melihat sambutan yang penuh pengharapan itu, aku pun langsung menyanyikan lagu yang diciptakan oleh Allahyarham Tan Sri P. Ramlee, penyanyi legendaris Malaysia yang banyak sekali penggemarnya di Kotaku, termasuk aku. Lagu itu berjudul: “Hancor Badan Dikandong Tanah”. Begini bunyi baitnya:

Hancor badan kandong tanah
Budi baek dikenang juga
Biar alam hancor dan musnah
Cintaku tiada berubah


Lalu kekasihku itu juga bernyanyi dengan nyanyian yang sama, karena lagu ini aslinya memang dinyanyikan secara berduet antara laki-laki dan perempuan. Begini bait yang dinyanyikan kekasihku itu:

Dua tiga boleh cari
Mana sama abang seorang
Kalau janji sudah tepati
Tiada orang menghalang


Akupun kemudian melengkapi lagi nyanyian yang begitu indah dan syahdu itu:

Kalau sungguh kau berkata
Senang rasanya diriku


Kekasihku itu pun juga melengkapi dua baris lagi dari bait di atas:

Memang sungguh ku berkata
Janganlah ragu-ragu

Kemudian nyanyian cinta ini kami tutup dengan menyanyikan secara bersama-sama bait awal lagu, yang juga menjadi bait terakhir dari lagu ini:

Hancor badan kandong tanah
Budi baek dikenang juga
Biar alam hancor dan musnah
Cintaku tiada berubah

Ketika kami menyanyikan lagu tersebut, seakan-seakan seluruh alam ini menjadi musik pengiring bagi lagu cinta yang kami nyanyikan. Kami berpegangan tangan. Tangan kananku dengan tangan kirinya, dan tangan kiriku dengan tangan kanannya. Kami saling bertatapan dalam tatapan yang penuh kasih.

“Kanda, mengapakah Kanda harus pergi meninggalkan Dinda dalam kesendirian? Tentunya Dinda akan merindukan Kanda selalu di sini,” ucap kekasihku dengan matanya yang berkaca-kaca.

Akupun kemudian juga berkata, tapi mataku tak berkaca-kaca, mungkin tak ingin dikatakan sebagai lelaki yang cengeng, “Percayalah Dinda, cinta ini hanya untukmu seorang. Kanda pergi takkan lama. Nanti, Kanda akan kembali lagi merajut benang-benang cinta kita. Dinda, ikhlaskanlah kepergian Kanda ini!”

Suasana pun menjadi hening dan syahdu. Kulihat ada yang mengalir pelan dari sudut matanya, “Pergilah Kandaku sayang. Pergilah hai pejuang. Raihlah cita-citamu. Dinda akan bersabar menantimu.”

Hatiku membuncah mendengar perkataannya itu, melihat tangisannya yang melepas kepergianku.

“Waktumuuu tinggal sedikiiit, anak mudaaa,” terdengar suara dari atas kapal.

“Kanda pergi dahulu, Dinda,” semakin erat ia menggenggam tanganku, seakan tak ingin melepaskan diriku.

“Kanda, jangan pernah tinggalkan sembahyang, ya! Jagalah kesehatan Kanda selama di rantau orang!”

Perlahan ia melepaskan genggamannya di tanganku. Sementara air matanya masih mengalir pelan. Kulihat wajah itu dalam-dalam. Kulihat matanya yang bening itu. Kuhapus air matanya. Kemudian, perlahan tapi pasti, aku pun berlalu darinya dengan segala remuk-redam. Tak ada lagi kata yang dapat kuucapkan. Juga dirinya. Masih kudengar isak tangisnya ketika kakiku menaiki tangga kapal. Kulihat di atas kapal, orang-orang melihat adegan yang begitu dramatis ini. Seakan-akan mereka merestui cinta kami.

Saat-saat akan memasuki pintu kapal, masih kusempatkan melihat ke arah kekasihku di pelabuhan. Memang tidak kudengar lagi isak tangisnya. Dari kejauhan kulihat lambaian perpisahannya. Aku pun melambaikan tanda perpisahan yang sama. Hatiku menangis, tapi tidak mataku. Kucoba menguatkan hatiku. Diriku harus tegar. Di saat itu, aku memang tidak menangis seperti halnya kekasihku. Tapi di saat-saat yang lain, ketika kesendirian di negeri rantau, ketika mengingat orang-orang yang dicintainya, ketika memimpikan orang-orang yang menyayanginya, juga ketika membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an, ataupun setelah selesai sembahyang di tengah malam, lelaki yang lembut hatinya ini akan tersedu-sedan menangis.

Ah…, betapa cengengnya diriku.

Memang, cinta kadang membuat orang buta. Tak jarang pula orang kehilangan akal sehatnya, hanya karena urusan yang satu ini.

Setelah kutimbang-timbang, ternyata alternatif kedua begitu naifnya. Mungkin saja dilaksanakan, dan mungkin juga susah untuk dilakukan. Alternatif kedua ini muncul di benakku tak lain karena aku sering nonton film India. Ketika nonton film-film tersebut, aku merasa bahwa tokoh utama yang ada di dalam film itu adalah aku. Dan aku kadang membayangkan, seandainya suatu waktu aku mengalami adegan-adegan tersebut, tentu begitu indahnya, pikirku.

Karena naifnya itu, maka alternatif kedua ini aku urungkan. Kemudian aku masih memiliki alternatif ketiga, yang tak kalah dramatisnya, walaupun begitu menyakitkan.

Alternatif ketiga, aku hanya akan terdiam dengan segala remuk-redam melihat kekasihku berteriak-teriak memanggilku. Hal ini karena kapal yang kutumpangi sudah agak jauh bertolak dari pelabuhan, walaupun misalkan aku masih bisa melihat orang-orang yang mengantarku. Menurut perkiraanku, mungkin saja kapal bisa kusuruh untuk merapat lagi. Tapi apa gunanya bagi diriku melakukan perbuatan bodoh tersebut. Sehingga tindakan terbaik dan bijak yang mungkin kulakukan adalah hanya terdiam di pinggir kapal, melihat orang-orang yang mengantarku, melihat kekasihku yang berteriak-teriak memanggilku. Kejamkah sebenarnya diriku? Tentu tidak. Aku hanya mencoba untuk tegar dan menguatkan tekadku untuk mencapai cita-cita. Walaupun begitu, hatiku sebenarnya menangis, menangis sejadi-jadinya. Siapapun tak akan kuat dan tak akan tahan jika berada dalam keadaan seperti ini.

* * *

Lain yang kuharapkan, lain pula yang terjadi. Kulihat rombongan pengantarku sudah menghilang dari pelabuhan. Gadis yang kutunggu-tunggu tidak juga muncul. Sehari sebelum keberangkatanku, si gadis pujaanku hanya mengucapkan beberapa kata, “Semoga Abang selamat di perjalanan hingga sampai ke tujuan.” Tidak lebih dari itu. Dan aku hanya mengucapkan kata-kata pamit yang biasa-biasa saja, tanpa dibumbui kata-kata yang romantis. Dan yang patut kau ketahui kawan, bahwa selama aku mengenalnya, tak pernah satu kata cinta pun yang kuucapkan kepadanya, dan sebaliknya, tak pernah satu kata cintapun yang ia ucapkan untukku. Begitulah aku, laki-laki yang tak pernah mengatakan secara terus-terang perasaan cintanya kepada seorang perempuan. Begitulah aku, laki-laki yang mulutnya akan terkunci rapat-rapat ketika berhadapan dengan seorang perempuan. Karena sikapku yang tak mengasyikkan ini, suatu ketika di perantauan, ketika aku mulai ingin belajar untuk dekat secara serius dengan seorang perempuan, kemudian ditolak mentah-mentah oleh perempuan itu. Tragisnya, perempuan itu menolakku sebelum sempat aku mengungkapkan perasaan cintaku kepadanya. Itulah kisah cintaku yang membosankan, yang tak pernah cocok untuk dijadikan sebagai cerita drama romantis.

Sementara kapal sepertinya sedang bersiap-siap untuk berangkat, walaupun masih bertambat di pelabuhan. Saat-saat di mana perasaan hati ini campur aduk. Ada perasaan senangnya, ada perasaan sedihnya, dan berbagai macam perasaan lainnya. Senang, karena untuk pertama kalinya aku akan menjejakkan kakiku di kota metropolitan yang selama ini hanya menjadi mimpi dan khayalanku. Dan di antara pemuda sebaya di kampungku, akulah yang pertama kali menjejakkan kaki di kota metropolitan. Sedangkan aku sendiri tak lebih hanyalah seorang pemuda dari keluarga miskin. Sementara lebih banyak lagi pemuda yang sebaya denganku yang mereka itu berasal dari keluarga yang lebih kaya dariku yang lebih memungkinkan mereka untuk merantau ke Pulau Jawa. Itulah perasaan senangku, senang yang bercampur aduk. Lantas kemudian, mengapa aku juga harus memiliki perasaan sedih? Ini aku rasa wajar saja. Karena aku akan meninggalkan semua orang yang kucintai dan mencintaiku, meninggalkan tanah kelahiranku, meninggalkan semua kenangan-kenangan indah masa remajaku. Perasaan ini semakin mendalam ketika aku melihat ke arah hulu Sungai Kapuas, tempat beradanya Simpang Tiga Kapuas-Landak, tempat beradanya Masjid Jami’ Kesultanan, tempat beradanya Istana Kesultanan, tempat beradanya Jembatan Kapuas, tempat beradanya rumahku, tempat di mana kenangan-kenangan indah terukir di sana.

Saat yang membuat diriku sedih juga ketika kapal sudah berjalan menjauhi pelabuhan, menyusuri ke arah hilir Sungai Kapuas menuju ke muara, saat melintasi Tugu Khatulistiwa, melewati kawasan Batulayang, saat di mana Pontianak semakin menjauh dari pandangan, saat di mana sudah tak memungkinkan lagi diriku untuk mengatakan tidak terhadap keberangkatan tersebut, saat di mana air sungai dan air laut bertemu, yang pertemuan kedua air tersebut seakan-akan antara mau dan tidak mau, seakan-akan tidak ikhlas dan tidak rela. Ya …, rasa tidak ikhlas dan tidak rela untuk meninggalkan kota kelahiranku juga sempat muncul di saat-saat itu, saat-saat ketika perasaan ini hancur teraduk-aduk. Tapi apa mau dikata, kapal sudah semakin menjauh meninggalkan kotaku. Di depan sudah menunggu lautan yang begitu luas, yang di depannya lagi sudah menunggu harapan hidupku.

* * *

Tiba-tiba lamunanku dikejutkan oleh seseorang yang menawarkan jasa angkutan penyeberangan. Tanpa menimbang terlalu lama, aku pun mengiyakan tawaran tersebut. Akupun segera melaju dengan speedboat menyeberangi Sungai Kapuas. Tujuanku adalah Masjid Jami’ Kesultanan Pontianak. Aku ingin sujud syukur di masjid bersejarah tersebut.

Terlihat Alun-alun Kapuas yang tak jauh dari situ juga ada Kantor Walikota dan MAKOREM. Masih asri alun-alun tempat warga kotaku berkumpul itu. Sementara speedboat terus membawaku menyeberangi Sungai Kapuas. Terlihat dari kejauhan Simpang Tiga Kapuas-Landak. Aku ingin melewati Simpang Tiga itu, aku ingin merasakan saat-saat terindah menyeberangi dan melaluinya seakan-akan aku adalah Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadri yang ketika 2 abad yang silam memutuskan untuk menjadikan daerah di dekat simpang tiga tersebut sebagai tempat pertama untuk mendirikan kota kelahiranku.

* * *

Senang rasanya hatiku sudah menunaikan nazar untuk shalat sunnat dan sujud syukur di Masjid Jami' Sultan Syarif 'Abdurrahman Al-Qadrie jika aku lulus kuliah. Dan nazar tersebut tidak kutunda-tunda ketika kedatanganku di kota tumpah darahku. Begitu turun dari kapal, aku langsung menuju Masjid Jami' Kesultanan Pontianak itu yang jaraknya memang tak terlalu jauh dari pelabuhan, hanya menyeberang beberapa menit. Tidak tanggung-tanggung, perjalanan menuju Masjid Jami' kulakukan dengan menaiki speedboat menyusuri Sungai Kapuas, melewati Simpang Tiga Kapuas-Landak, sambil melihat pesona pesisir Sungai Kapuas yang begitu unik. Perjalanan yang begitu indah, karena inilah Landmark Kota Pontianak dengan berbagai keunikannya.

Selesai menunaikan nazarku, rehat sebentar di pelataran Masjid Jami', kemudian aku mengitari halaman masjid, menikmati keindahan masjid tua itu. Beberapa saat kemudian, akupun langsung beranjak dari masjid, kemudian langsung menuju Istana Qadriyah yang tak terlalu jauh jaraknya dari Masjid Jami' Kesultanan. Istana Qadriyah adalah pusat pemerintahan Kesultanan Pontianak di masa silam. Dibandingkan dengan Masjid Jami', memang Istana Qadriah waktu pendiriannya lebih belakangan. Kedua bangunan ini menjadi saksi bisu sejarah bermulanya kotaku. Kata orang Pontianak, bagi orang-orang yang berkunjung ke Pontianak, jika belum menjejakkan kaki di kedua tempat ini, maka belumlah orang tersebut sampai di Kota Pontianak.

Sungai Kapuas juga punya ceritanya sendiri. Minumlah air Sungai Kapuas, niscaya kau akan kembali lagi ke Kota Pontianak. Begitulah yang dipercayai oleh masyarakat kotaku. Ini bukan takhayul, dan juga bukan khurafat. Aku lebih melihatnya sebagai bentuk penghormatan terhadap suatu tempat, dan itu tidak melebihi kewajaran, dan juga tidak syirik. Demi penghormatan dan rasa sayangku terhadap tanah tumpah darahku inilah, beberapa tahun yang lalu ketika akan meninggalkan Bumi Khatulistiwa menuju ke Pulau Jawa, akupun meminum air Sungai Kapuas yang katanya sudah tercemar limbah merkuri itu, yang ketika itu aku belum tahu jika air Sungai Kapuas sudah tercemar limbah yang berbahaya itu. Jika aku adalah "anak", maka kota kelahiranku adalah "ibu". Dan meminum air Sungai Kapuas adalah bentuk penghormatanku terhadap "ibu", sekaligus merupakan ucapan pamit, dengan tekad akan kembali lagi ke hadapan "ibu" jika aku sudah berhasil.

Kemudian aku kembali lagi ke hadapan ibu, ke pangkuan tanah tumpah darahku, memenuhi panggilan tanah kelahiranku, yang selama bertahun-tahun di perantauan, panggilan itu selalu terngiang-ngiang di telingaku. Suatu panggilan cinta dan kasih sayang yang tak ada tandingannya. Panggilan itu yang membuatku selalu kuat dan tabah menghadapi aral dan rintangan di rantau orang.

* * *

Begitu memasuki jalan gang yang menuju ke rumahku, sepertinya sepanjang jalan bertaburkan bunga menyambut kedatangan putra yang telah lama merantau ini. Setiap orang yang berpapasan denganku bagai mempersembahkan senyum penyambutan terhadapku. Seakan-akan terngiang-ngiang di telingaku bunyi suara Tar (rebana) yang dulu biasanya sering kumainkan bersama grup Hadrah yang dipimpin oleh pamanku. Juga sepertinya terdengar bunyi marwas yang berharmoni dengan gitar gambus, biola, dan akordion. Seakan-akan saling bersahut-sahutan antara syair-syair zikir hadrah, senandung melayu, lagu jepin, dondang, dan joget, juga lantunan syair, pantun, gurindam, dan ghazal. Seakan terlihat dari kejauhan tarian redat hadrah yang begitu takzim dan tarian jepin yang penuh semangat. Semuanya laksana mempersembahkan penyambutan terhadapku, bak pahlawan yang baru pulang dari peperangan.

Hatiku berdebar-debar ketika semakin mendekati rumahku. Terlihat orang-orang begitu ramai berkumpul di rumahku, di pelataran, di ruang tamu. Oh, inikah penyambutan yang dipersiapkan oleh keluargaku untuk putranya yang datang dari rantau? Semakin kumendekat ke rumah, semakin jelas begitu ramainya orang-orang berkumpul di rumahku. Tapi aku heran, seakan semuanya berada dalam aura kesedihan. Ada apakah ini gerangan? Mengapa tidak menyambutku dengan gembira? Terlihat orang-orang menangis, kakakku, abang-abangku, adikku, saudara-saudara sepupuku, pak mude-pak mudeku (paman-pamanku), mak mude-mak mudeku (bibi-bibiku), para sanak keluargaku, segenap keluarga besarku, semuanya terlihat berurai air mata. Ketika melihat kedatanganku, segenap keluargaku semakin bertambah sedih.

Mana ibuku? Aku segera bergegas ke dalam rumah menuju ke dapur tempat biasanya ibuku sedang berada, yang biasanya ia sedang masak. Tapi ibuku tak ada. Mungkinkah ibu sedang tidur? Akupun ke kamar ibuku. Mak …, Emak …, anakmu kini datang, Mak. Ketika aku masuk ke dalam kamar, kulihat sesosok tubuh terbujur kaku. Kudekati sosok yang tertutup oleh kain putih itu. Kulihat juga di sekeliling sosok itu, orang-orang sedang membaca Al-Qur'an. Ada apa ini? Aku semakin tak mengerti. Siapakah yang berselimut kain putih ini? Orang-orang memandangku dengan pandangan sedih. Tapi tak ada satupun yang menjawab kebingunganku. Seorang kerabat menuntunku ke sosok yang berselimut kain putih. Ia membukakan selimut putih itu. Lalu tersibaklah dan terlihat wajah yang kurindukan selama ini. Mak …?

Mak, anakmu sudah datang Mak. Bangunlah, Mak. Mulut ibuku menyiratkan senyuman, menghiasi wajahnya yang tegar dan sabar. Mungkin ibuku sedang letih setelah mengerjakan rutinitasnya, sehingga ia kini harus beristirahat. Mak, tak apalah kalau Emak masih letih. Anakmu ini akan menunggu di sini hingga Emak bangun.

Orang-orang yang berada di dalam kamar kulihat berderai air mata melihat perangaiku. Aku heran, mengapa mereka bersedih begitu rupa. Tak bolehkah ibuku tertidur sejenak melepaskan kepenatannya? Mak, mengapa orang-orang ini berlaku aneh?

Lalu seorang perempuan yang parasnya seperti ibuku, menghampiri. Dia adalah kakakku. "An, Emak sudah pergi," katanya kepadaku.

"Kak Ngah, Emak pergi? Lalu yang berselimut itu siapa?" tanyaku.

"Itulah Emak yang kita cintai," jawab kakakku.

"Kak Ngah mengatakan bahwa Emak pergi. Tapi yang sedang tertidur berselimut kain putih itu adalah Emak. Berarti Emak tidak pergi, kan?"

"Kau harus mengerti Adikku, bahwa Emak telah pergi untuk selamanya meninggalkan kita, dan meninggalkan dunia ini. Emak telah menghembuskan nafas terakhirnya beberapa waktu yang lalu. Emak sudah wafat, An."

Mengetahui hal itu, akulah yang kemudian tanpa sadar berurai air mata. Tak ada kata-kata yang dapat kuucapkan selain daripada bahasa air mata. Mengapakah keadaan yang sama ini harus kualami lagi? Beberapa tahun yang lalu ketika aku kelas tiga SMA, kejadian yang sama juga sudah kualami, yaitu wafatnya ayahku, yang ketika itu aku tak sempat melihatnya menghembuskan nafas terakhir. Ketika itu aku sedang tidak berada di rumah. Lantas kini, ketika aku kembali dari rantau, kiranya kelulusan kuliahku akan kupersembahkan kepada ibuku. Tapi kini, semuanya sudah tak berarti. Bertahun-tahun aku di rantau, menuntut ilmu, mencari pengalaman hidup, semuanya aku lakukan adalah untuk membahagiakan ibu. Kini, siapakah lagi yang akan kubahagiakan? Hatiku remuk-redam menghadapi kenyataan ini.

* * *

"An, mengapakah kau hanya berdiri terdiam membisu? Masuklah, Nak!" suara seseorang yang begitu kukenal dan sangat kurindu menyelusupi telingaku. Mataku ke kanan ke kiri mencari asal suara.

"Mak?" aku tergamam.

"Hei, seperti inikah anak emak yang baru pulang dari rantau? Kau laksana melihat hantu rupanya," suara itu berkata-kata kepadaku. Suara yang tak lain adalah suara ibuku.

Apakah sebenarnya yang telah kualami ini? Sudah begitu kacaukah pikiranku? Entahlah. Aku hanya ingin membahagiakan ibu. Dan kini, ibu sudah berada di depan mataku. Bukan seperti bayanganku sebelumnya, yaitu ibu berpulang ke rahmatullah di hari kedatanganku.

Ibu, aku hanya ingin membahagiakanmu. Ingin kukatakan kalimat itu, tapi semuanya menjadi kabur. Ternyata di hari kepulanganku, bukan akulah yang membahagiakan ibu, tapi ibulah yang telah membahagiakanku. Betapa tidak, bahwa kehadirannya telah menghapus kesedihanku, menghilangkan kelelahan jiwaku, dan membuat sirna remuk-redam selaksa gundah-gulanaku.

Ingin kubersimpuh di kakinya, mengucapkan terima kasih yang tak terhingga, dan entah ucapan-ucapan apa lagi yang memang semestinya kuucapkan.

* * *

Kulihat dari dalam rumahku ada seorang perempuan berkerudung. Benakku berujar, siapakah gerangan?

Perempuan itu membawakan minuman ke ruang tamu di mana kini kuberada. Wajahnya begitu teduh, sehingga mengusir kegerahan tubuhku yang dikarenakan panas terik matahari Kota Khatulistiwa.

Wajah perempuan itu mengingatkanku kepada seseorang. Perempuan yang selalu kurindukan siang dan malam. Perempuan yang menjadi fajar hidupku, yang selalu menerangi gelap-gulita hatiku.

* * *

Teringat aku bertahun-tahun yang lalu, di tepian Kapuas, di sebuah tangga tempat pemandian orang pesisir sungai dan juga sekaligus tempat mengambil air sembahyang (wudhu'), kami duduk di tangga itu melihat Kapuas dengan segala aktivitasnya. Kami menjuntaikan kaki di atas air, menyentuh-nyentuhkan ujung kaki di air. Ya, aku dan dia, hanya berdua saja. Begitu romantis bagiku ketika itu. Dan mungkin juga dia.

Kami saling mengucapkan kata. Ya, aku dan dia. Walaupun seringnya kata-kata kami ditingkahi oleh suara gemerisik gelombang, riuh rendah transportasi air, dan campuran-campuran suara lainnya. Senyumnya begitu manis bagiku bagaikan yang tergambar pada bait-bait lagu Azizah yang dinyanyikan Allahyarham Tan Sri P. Ramlee. Suaranya merdu bagaikan suara penyanyi Senandung Melayu. Alunan suaranya mendayu-dayu dengan logatnya yang begitu kental, membuatku sulit melupakannya hingga kapanpun.

Tidur malam terbayang, teringat kamu seorang, membikin hati pemuda, menjadi bimbang, oh Azizah.

Begitu indahnya Allahyarham Tan Sri P. Ramlee mencipta dan menyenandungkan lagu itu. Dan apa yang kualami ini bagaikan senandung Melayu itu. Sungguh indah tak terperikan.

Kini aku berada lagi di tempat yang sama, bersama seorang perempuan berkerudung. Dia menceritakan masa-masa ketika ditinggal wafat oleh ibunya. Kemudian ia lama-kelamaan merasa dekat kepada ibuku, seakan-akan ibuku adalah pengganti sosok ibunya. Dia menceritakan bagaimana seluruh keluargaku menerimanya, dia menceritakan bagaimana ibuku sudah menganggapnya bagai anak sendiri.

Suaranya mengalunkan logat Melayu Pontianak yang begitu khas dan penuh kesopanan. Seorang perempuan yang dididik dalam adat resam budaya Melayu, di Alam Melayu yang lembut yang telah melahirkan para pujangga ternama, para penyanyi dengan suara-suara merdu, para seniman, yang terlahir bukan dari sekolah seni, tapi dari Alam Melayu yang merupakan sekolah seni terbesar bagi bangsa Melayu.

Gadis Khuntien, aku takkan pernah melupakan pesona alami dari perempuan Kota Khatulistiwa yang lemah lembut dan penuh kesopanan.

Orang Melayu Pontianak memang tidak berbicara berpantun-pantun dan bersyair-syair. Tapi setiap kata-kata yang diucapkan adalah pantun dan syair yang bersenandung, yang berharmonisasi, dengan dinamik yang begitu indah.

Di tepi Sungai Kapuas, adalah tempat terindah bagi orang Pontianak. Desauan anginnya menepis panas terik mentari di khatulistiwa, menghadirkan kilasan-kilasan nostalgia terindah.

Tercetak jelas di pelupuk mataku budak-budak laot yang riang: Witri yang kudengar kini menjadi pelaut mengikuti pamannya, Denis yang terus berjuang menjadi musisi ternama di Jakarta, Izwardi yang sudah menikah dan menjadi pelopor pemuda di kampungku, dan aku yang kini duduk bersama seorang perempuan berkerudung, yang tak lain adalah gadis khuntien yang selalu menjadi kekuatan jiwaku dalam menempuh hari-hari terberat di perantauan.

Gadis khuntienku masih seteduh yang dulu, bahkan kini lebih teduh lagi dengan balutan kerudungnya, membuat hatiku semakin teduh, menjadikan jiwaku damai selalu setelah kembali dari pengembaraan mencari hikmah di negeri harapan yang begitu jauh dari negeri sungaiku.

Nostalgiaku terus mengalir laksana air Sungai Kapuas yang mengalir ke hilir, ke muara, dan ke laut. Kupandangi wajahnya yang teduh, ia hanya mempersembahkan senyumnya yang termanis – semanis Limau Sambas, yang dikenal orang Jakarta dengan sebutan Jeruk Pontianak. [Aan]


// Hanafi Mohan - Ciputat, 24 April 2008 – 25 Mei 2008 – 17 Juni 2008 //


Sumber Foto: http://firdaus45.wordpress.com/

[Cerpen] Kebahagiaan Itu


Kiranya dalam dua Minggu terakhir ini adalah saat yang begitu berbahagia bagiku. Kebahagiaan itu membuncah-buncah, hingga tak dapat lagi kutahan, dan ingin rasanya kumembagi kepada siapa saja. Di minggu-minggu yang lalu kebahagiaan itu telah perlahan-lahan mendekatiku. Ya …, cerpenku sudah dimuat di Tabloid Majemuk, itulah kebahagiaan di minggu-minggu yang lalu. Kebahagiaan yang telah tersemai itu kemudian terus kusirami, kupupuk, kupelihara, hingga menimbulkan ketenangan di jiwa ini, hingga melahirkan semangat hidupku.

Berita bahagia ini kuberitahu kepada para sahabatku sekitar seminggu yang lalu. Sahabat, hingga kapanpun akanlah tetap menjadi sahabat. Sahabat terbaik, kiranya tak semua sahabat adalah sahabat terbaik bagi kita. Tapi seburuk-buruknya sahabat, tetaplah sebagai sahabat, yang mana tali silaturahim itu harus terus terjalin, terikat, dan terpaut erat hingga ruh berpisah dari jasad.

Mereka para sahabatku itu memberikan support yang begitu berarti bagiku. Mereka berkata, “Selamat temanku, akhirnya berhasil juga kau menjadi penulis. Tak percuma usaha yang telah kau lakukan selama ini. Teruslah konsisten, kawan. Kami para sahabatmu ikut berbahagia akan berita ini. Kami bangga dan bahagia, ternyata ada juga teman kami yang menjadi penulis, yang hal itu tak dapat kami lakukan. Hanya kaulah kiranya di antara kita yang bisa mencapai hal itu.”

Ketika menuliskan kata demi kata di tulisan ini, kurasakan betapa menyesak seluruh isi dada ini, hingga tanpa terasa mengalir pelan dari sudut mataku titik-titik air mata kebahagiaan itu. Sementara di telingaku terus mengalun lagu-lagu syahdu dari Jazirah Arabia. Lagu-lagu Arabia ini menyelusup pelan dan perlahan ke relung sepi hatiku, menghapus segala remuk-redam dan gundah-gulana semesta jiwa ini. Semua ini semakin menambah kesyahduan di tengah malam yang hening ini ketika kumengetikkan tulisan ini huruf demi huruf, hinggga kemudian terangkai menjadi kata demi kata, hingga kemudian terjalin menjadi kalimat demi kalimat, hingga kemudian terbingkai menjadi paragraf demi paragraf, hingga kemudian sepertinya jari-jariku tak pernah mau berhenti menari-nari di atas tuts keyboards.

Dalam beberapa tahun ini ketika satu persatu di antara kami lulus dari perkuliahan, maka kami sudah jarang sekali bertemu, terutama aku yang begitu jarangnya bertemu dengan sahabat-sahabatku. Aku dianggap sebagai anak hilang oleh mereka. Entah mengapa, dalam beberapa tahun ini begitu dalam sekali deraan-deraan hidup yang kurasakan. Kolaps, kemudian merangkak perlahan-lahan, kemudian aku berusaha bangkit, lalu berjalan tertatih-tatih. Tak lama kemudian terjatuh lagi, dan kemudian berusaha bangkit lagi, lalu terjatuh dan bangkit lagi silih berganti. Ketika berada pada titik nadir itu, selaksa hidupku pecah berderai berkeping-keping. Dari sinilah, aku perlahan-lahan menjauh dari para sahabatku. Bukannya aku benci dengan mereka, tapi memang keadaanku lagi tak memungkinkan untuk selalu bersama-sama dengan mereka.

Malam yang lalu (Selasa malam Rabu) kami bertemu lagi. Tak ada kiranya yang paling membahagiakan di antara kami selain daripada bernostalgia akan masa-masa yang telah lewat, yaitu masa-masa ketika kami masih sering bersama-sama ketika menuntut ilmu sebagai mahasiswa tingkat awal, hingga tingkat pertengahan, hingga tingkat akhir ketika kami bersama-sama berbaur di masyarakat saat Kuliah Kerja Sosial (KKS). Nostalgia-nostalgia terindah itu melesat keluar dari memori kolektif kami. Begitu bersemangatnya kami saling bercerita, kadang kami tertawa bahagia mengingat kenangan indah yang pernah kami ukir bersama itu.

Musik Arabia terus mengalun syahdu. Kadang suara orkestrasi biola yang mengiris-ngiris bertingkah-tingkahan dengan suara synth string yang memukau. Belum lagi suara merdu para biduanita Arabia yang begitu menyentuh kalbu yang berkelindanan dengan harmoni suara gitar dan piano yang diiringi dengan hentakan-hentakan drum yang dinamis yang ditingkahi bermacam-ragam suara perkusi.

Entah mengapa, baru kali ini kurasakan sensasi menulis yang begitu luar-biasa. Tulisanku mengalir begitu rupa seiring seirama dengan lantunan musik Arabia yang memikat jiwa dan semesta intuisi. Setiap kata yang kutuliskan mengalir pelan, kadang juga deras, sementara telingaku menikmati musik Arabia dengan berjuta-juta rasa. Beraneka-macam rasa pun silih berganti ketika mendengar musik ini, seiring dengan silih bergantinya pula kata-kataku mengalir sedemikian hingga bertukar pelan dengan deras.

* * *

Setelah puas saling bertukar cerita, perut kami pun terasa lapar. Jam telah menunjukkan sekitar pukul 12 malam. Ada-ada saja ide kreatif yang diungkapkan seorang sahabatku yang biasa kami panggil dengan panggilan “Bembeng”. Kebetulan di antara kami ketika itu ada seorang teman yang telah memiliki pekerjaan yang lumayan, dan yang pasti gajinya lumayan pula. Kami biasa memanggilnya dengan panggilan yang begitu gagah, yaitu “Rambo”.

Nah, Bembeng pun mengungkapkan kepada Rambo, “Bo, tak terasa hari semakin merangkak malam, sementara obrolan kita pun semakin serunya..Seperti kita ketahui, di tengah malam seperti ini adalah saat di mana Tuhan menurunkan berkah yang tak terhingga, pintu langit pun dibukakan selebar-lebarnya oleh Yang Maha Kuasa. Di malam seperti ini Tuhan juga mengutus para malaikat ke bumi, yang mana malaikat itu membentangkan sayapnya lebar-lebar menaungi bumi dari ujung timur hingga ke ujung barat. Tapi seiring dengan itu pula, semakin malam perut ini semakin terasa lapar pula. Alangkah lebih indahnya di depan kita ini terhampar makanan yang bisa mengusir lapar itu, sehingga kita bisa tetap mereguk keberkahan yang diturunkan Tuhan di tengah malam yang sunyi-senyap ini. Untuk mereguk keberkahan itu bersama-sama, alangkah indahnya bagi yang telah mendapatkan keberkahan di antara kita berempat ini bersedia dengan penuh keikhlasan membagi keberkahan tersebut untuk kita bersama. Hitung-hitung sebagai rasa kesyukuran atas berkah yang telah direguknya.”

Untungnya Rambo langsung mengerti akan perkataan Bembeng yang berpanjang lebar dan terjalin indah itu. “Ya udah, ayo kita cari makan sekarang di seantero Ciputat ini,” berkata Rambo dengan segenap pengertian, yang itu dapat kami menggerti pula bahwa Rambo lah yang akan mentraktir.

Kami berempat pun saling berpandangan. Rambo pun berkata lagi, “Bagaimana? Setujukah kalian?”

Aku pun menyahut, “Selama itu untuk kebaikan kita bersama, maka Aan (aku) akan setuju-setuju saja.”

Tak lama kemudian, temanku yang satu lagi yang bernama Bulet pun memberikan persetujuan yang sama, “Bulet insya Allah akan setuju juga ketika hal tersebut lebih banyak manfaat dibandingkan mudharatnya.”

Sementara Bembeng jangan ditanyakan lagi, karena dialah pengusul ide yang kreatif ini di saat kami menderita penyakit kelaparan kolektif. “Ya udah, ayolah kita ke mana (maksudnya, marilah kita segera pergi mencari makan ke tempat yang menyediakan makanan tersebut).”

Aku, Bulet, dan Rambo kemudian menyanyikan koor yang sama dan serentak tanpa adanya aba-aba dari Conductor “Ayo!” dengan nada sama-sama mengajak.

Tanpa menunggu aba-aba dari siapa pun, kami kemudian sama-sama beranjak menuju ke luar dari kosan Bulet tempat kami berada ketika itu. Rambo kebetulan membawa mobil, jadi wisata kuliner kami di tengah malam ketika itu menjadi lebih menarik lagi. Tujuan kami adalah tempat makan yang representatif dan nyaman, kalau bisa ada hiburan musiknya. Mungkin sejenis restoran, rumah makan, atau kafe yang agak lumayan mewah dan cukup berkelas.

* * *

Menyusuri semesta Ciputat dengan menggunakan mobil di tengah malam kiranya begitu mengasyikkan, apalagi jalan raya sepanjang kawasan Selatan Jakarta begitu lengangnya di tengah malam yang penuh berkah ini.

Pikiranku mengembara pada sebuah novel yang pernah kubaca. Pada suatu bagian dari novel tersebut menggambarkan perjalanan wisata kuliner yang dialami oleh sekelompok mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di suatu kota di Timur Tengah, yang dapat pula dikatakan bahwa kota ini sebenarnya sudah termasuk dalam wilayah Benua Afrika.

Untuk mendapatkan sensasi mengenai novel tersebut, maka ketika mengetikkan kata demi kata yang berhubungan dengan pengembaraan pikiranku ini, maka kemudian Winamp di komputer langsung kupaksa untuk menyetel soundtrack film yang mengangkat kisah dari novel tersebut.

Mahasiswa-mahasiswa pada novel tersebut umumnya digambarkan sebagai mahasiswa-mahasiswa yang berasal dari kalangan menengah ke bawah. Ketika itu mereka diajak oleh tetangga apartemen mereka yang merupakan warga pribumi di kota tersebut untuk merayakan ulang tahun istri dan anak lelakinya di sebuah Restoran Mewah untuk ukuran kota itu.

Tentu saja para mahasiswa Indonesia itu kaget bercampur bahagia. Kaget, karena seumur-umurnya mereka memang belum pernah makan di Restoran Mewah. Bahagia sudah pasti, karena di tengah kesulitan yang mereka alami di negeri rantau itu, ternyata masih ada juga orang yang berbaik hati kepada mereka, sehingga mereka bisa makan enak di sebuah restoran mewah.

Mereka pergi menggunakan mobil seperti halnya wisata kuliner yang sedang kualami ini. Yang paling kuingat adalah bahwa mereka menggunakan pakaian seadanya. Ada yang menggunakan celana training (celana untuk olah raga), ada yang hanya memakai baju kaos, dan ada juga yang memakai baju kemeja, tapi kemejanya itu kumal dan tak rapi. Paling hanya satu di antara mahasiswa tersebut yang benar-benar siap untuk pergi, pakaiannya rapi, yang pasti digambarkan begitu sempurnanya di novel tersebut, karena mahasiswa yang satu ini adalah tokoh utamanya. Dan yang harus selalu diingat, bahwa anak perempuan dari tetangga apartemen mahasiswa Indonesia ini kemudian jatuh cinta setengah mati dengan mahasiswa yang sangat sempurna itu. Bahkan ketika di restoran mewah tersebut, si mahasiswa yang sangat sempurna itu diajak berdansa oleh anak perempuan tetangganya ini. Namun sayang, si mahasiswa yang sangat sempurna ini begitu jaimnya (jaga image), karena ia kemudian menolak ajakan anak perempuan dari tetangganya itu.

* * *

Ah, begitu indahnya perjalanan wisata kuliner di tengah malam ini kurasakan, bagaikan cerita di novel tersebut, walaupun tak persis-persis amat. Tapi satu kesamaannya, dan paling minimal sekali adalah aku, karena sahabat-sahabatku yang lain termasuk orang berada dan memang berasal dari Jakarta dan sekitarnya. Sementara aku sama halnya dengan mahasiswa Indonesia seperti di novel tersebut, yaitu perantau dan berasal dari keluarga menengah ke bawah, naik mobil pun begitu jarangnya. Tapi walaupun begitu, keadaanku kini bersama ketiga sahabatku hampir persis sama dengan yang diceritakan di novel tersebut, yaitu kami sama-sama menggunakan pakaian seadanya. Ada yang pakai celana pendek, pakai baju kaos, dan yang pasti semuanya lusuh dan kucel.

Sepanjang menelusuri kawasan Selatan Jakarta, ternyata tak ada lagi restoran, rumah makan, atau kafe yang masih buka di tengah malam seperti ini. Jangankan restoran, rumah makan mewah, ataupun kafe berkelas, tempat makan yang biasa-biasa saja seperti warung pecel lele dan sejenisnya yang biasanya berada di pinggir jalanpun sepertinya sudah tak ada lagi yang masih buka dan berjualan. Tapi kami tak kenal menyerah, sehingga kami terus saja menelusuri jalan raya mencari restoran, rumah makan, atau kafe yang dimaksud.

Lain diharap, lain pula kenyataan. Dalam penelusuran ini, akhirnya kamipun menyerah, karena perut kami memang sudah tak dapat lagi diajak kompromi.

Hingga pada suatu ketika terlihatlah ada Warung Pecel Lele di suatu sisi jalan yang kami lewati. Karena perut kami memang sudah lapar, ya sudah, tak ada rotan, akar pun jadi. Tak ada Restoran Mewah, Warung Pecel Lele pun jadi. Maka berhentilah kami di Warung tersebut. Kamipun memesan makanan menurut selera kami sesuai dengan menu yang disediakan Warung Pecel Lele tersebut. Sambil menunggu makanan, kamipun berbincang-bincang.

Dalam pikiranku berharap, andai Wisata Kuliner ini dilengkapi dengan adanya seorang perempuan muda cantik yang jatuh cinta kepadaku, yang kemudian dia mengajakku berdansa, tentunya aku takkan menolaknya, tak seperti mahasiswa sempurna yang menjadi tokoh utama di novel tersebut yang kemudian menolak dan jaim (jaga image). Tapi itu hanya kelebat pikiranku. Kalaupun ada kejadian seperti di novel tersebut, aku rasa akan sulit sekali harapanku menjadi kenyataan. Yang ada malahan jantungku akan berdegup kencang, tubuhku akan bergetar hebat, yang pasti dag dig dug tak karuan, karena aku bukanlah tipikal lelaki romantis, lebih tepatnya aku adalah tipikal lelaki yang dingin yang tak pernah cocok dijadikan sebagai karakter tokoh utama suatu drama romatis. Selain itu, aku bukan pula tipikal lelaki yang menjadi idaman setiap perempuan. Jika harapanku ini menjadi kenyataan, kiranya tak ada yang dapat diucapkan selain daripada kata mutiara yang sering diucapkan oleh Naga Bonar, "Apa kata dunia???"

* * *

Besok siangnya, hadirlah kebahagiaan lain di hatiku. Sebuah Cerpen yang baru kutulis dalam jangka waktu dua bulan ini kusuruh Bembeng untuk membacanya. Sebelumnya Bembeng juga membaca puisi-puisiku yang di antaranya Bembeng begitu tahu sekali sejarah terciptanya puisi tersebut, karena beberapa puisi tersebut ada yang kucipta khusus untuk dijadikan sebagai bait lagu, yang kemudian lagu itu kami mainkan di band kami. Yang pasti, begitu banyak sekali komentar Bembeng tentang puisiku yang menghadirkan nostalgia terindah bagiku.

Dan satu berita dari Bembeng yang membuatku bahagia, bahwa seorang perempuan yang menjadi inspirasi puisi-puisiku kini sedang sendiri alias jomblo. Yang pasti, Bembeng menyemangatiku untuk terus mengejar cintaku terhadap perempuan yang dimaksud.

Ah, bisa aja Bembeng, benakku berkata. Malu-malu mau sih aku ini. Atau mungkin malu-maluin, he he he…, aku tertawa sendiri.

Mengenai Cerpen terbaruku itu, Bembeng tertawa terkekeh-kekeh, karena ceritanya adalah campuran humor, drama romantis, dan kesedihan.

Sampai di sini, aku bingung mau menuliskan apa lagi. Karena hari sudah pagi, aku belum tidur, sementara ide ceritaku sudah habis dan mentok.

Ya sudah, sampai di sini saja ceritanya. Ini hanyalah refleksi kebahagiaanku dalam dua minggu ini.

Sementara kini di telingaku mengalun lagu Arabia yang begitu khidmat dan syahdu yang dinyanyikan seorang biduan yang suaranya begitu merdu. Musiknya begitu hening …, hening …, hening …, dan kemudian berhenti. [Aan]


- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Hanafi Mohan
Ciputat – Kamis, 19 Juni 2008, 02.14 – 06.24 WIB
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -



Sumber Gambar: http://bulansubuh.blogspot.com/