Hikayat Dunia

Kita hanya pengumpul remah-remah | Dari khazanah yang pernah ada | Kita tak lebih hanya penjaga | Dari warisan yang telah terkecai ||

Pontianak Singgah Palembang

Daripada terus berpusing-pusing di atas Negeri Pontianak, yang itu tentu akan menghabiskan bahan bakar, maka lebih baik pesawat singgah dahulu ke bandar udara terdekat. Sesuai pemberitahuan dari awak pesawat, bandar udara terdekat adalah Bandar Udara Sultan Mahmud Badaruddin II, Negeri Palembang.

Mudék ke Ulu

Pasangan dari kate “ulu” ielah “mudék”. Kate “mudék” beakar kate dari kate “udék”. Udék bemakne "sungai yang sebelah atas (arah dekat sumber)", "daerah di ulu sungai", juga’ bemakne "kampong halaman (tempat beasal-muasal)".

Soal Nama Negeri Kita

Belakangan ini kiranya ramai yang berpendapat ini dan itu mengenai asal usul dan makna nama "pontianak" kaitannya dengan Negeri Pontianak. Tapi apakah semua yang didedahkan itu betul-betul dipahami oleh masyarakat Pontianak?

Kampong Timbalan Raje Beserta Para Pemukanya [Bagian-3]

Selain banyak menguasai berbagai bidang keilmuan, beliau juga banyak memegang peran dalam kehidupan kemasyarakatan. H.M. Kasim Mohan yang merupakan anak sulong (tertua) dari pasangan Muhammad Buraa'i dan Ruqayyah ini merupakan seorang Pejuang di masanya.

Musik Motivasi Setahun Silam

“Satu Kursi untuk Seniman”, begitu tagline kampanyenya. Tekadnya untuk memajukan Kalbar lewat industri kreatif tentu patut diapresiasi. Melalui industri kreatif diharapkannya dapat menjadi jembatan menjulangkan budaya yang memayungi Kalimantan Barat.

Sultan Pontianak; Umara' dan 'Ulama

Kegemilangan Negeri Pontianak salah satunya diasbabkan kepemimpinan para Sultan-nya yang arif dan bijaksana. Sultan-Sultan Pontianak selama masa bertahtanya rata-rata memiliki dua peranan, yaitu berperan sebagai umara', sekaligus berperan sebagai 'ulama.

Puisi Buya Hamka untuk Muhammad Natsir

Kepada Saudaraku M. Natsir | Meskipun bersilang keris di leher | Berkilat pedang di hadapan matamu | Namun yang benar kau sebut juga benar ||

Kamis, 30 April 2015

Pontianak Singgah Palembang


Lebih setahun yang lalu, di Kedai Lentera (tepatnya di pelantar kantor Lentera Timur waktu itu) bersama kawan-kawan sedang khidmat mengikuti Bincang Petang dengan tajuk “Membaca Riwayat Depok”. Bincang Petang kali ini menghadirkan Wenri Wanhar yang merupakan penulis buku bertajuk “Gedoran Depok: Revolusi Sosial di Tepi Jakarta, 1945–1955”. Sungguh bincang-bincang yang dimulai sekira jam empat atau lima petang kala itu amat menarik.

Di sela-sela bincang-bincang itu kusempatkan menulis intisarinya yang langsung kupublikasi di akun Twitter melalui mobile phone. Sekira jam tujuh petang, berdering mobile phone Samsung di tanganku. Nyatanya ada panggilan dari abangku di Pontianak. Supaya tak mengganggu kawan-kawan yang sedang khidmat berbincang-bincang, aku pun masuk ke ruang tamu Lentera Timur yang banyak berjejer buku-buku berkualitas itu.

Dari Pontianak abangku memberitahu sesuatu yang kiranya dapat membuatku sebak seketika. Bang Téh (panggilan akrab abangku itu) mengkhabarkan bahwa Wak Ujang (Pak Mude sekaligus ayah angkatku) telah wafat. Sedih tentunya mendapatkan khabar itu. Wak Ujang (nama lengkapnya ‘Abdullah bin ‘Umar) adalah seorang yang berjasa besar mengasuh dan mendidikku. Masa-masa kecilku sentiasa berada dalam asuhan dan didikannya. Waktu pertama kali hendak merantau ke Tanah Betawi, Wak Ujang sempat membekalkan petuah-petuah untuk kupedomani selama di tanah rantau.

Dalam malam itu juga, aku harus segera memutuskan balik ke Pontianak atau tidak. Setelah menghubungi seorang kawan yang bekerja di Travel/Biro Perjalanan yang ada di Pontianak, barulah aku dapat memutuskan kepastian untuk balik. Tiket pesawat untuk balik ke Pontianak pada malam itu juga kiranya sudah tak mungkin kudapatkan, kecuali tiket pesawat untuk balik pada esok paginya. Sepakat, kuputuskan untuk balik menuju Pontianak pada esok paginya.

Kulihat di pelantar kantor Lentera Timur sepertinya kawan-kawan masih asyik berbincang-bincang ihwal Negara Republik Depok.

***

Setelah positif mendapatkan tiket untuk keberangkatan esok pagi, melalui rental komputer terdekat, tiket pun kucetak.

Malam itu kami di Lentera Timur berbincang panjang lebar mengenai banyak hal. Lain apa yang mulut ini bincangkan, lain pula hati dan pikiran ini yang hanya dapat berharap semoga segera sampai ke Pontianak. Sampai jauh malam juga kami berbincang-bincang, aku, Gusti Eka Suhendra, Tengku Dhani Iqbal, Wenri Wanhar, dan Ken Miryam Vivekananda Fadlil.

Di penghujung malam ketika mata dan mulut sudah tak dapat lagi diajak berkompromi, tak lupa aku berpamitan dengan kawan-kawan, karena jam tiga shubuh sudah harus menuju bandar udara Jakarta. Dan malam itu aku menginap di Kantor Lentera Timur (waktu itu Lentera Timur masih berkantor di Jalan Sawo Manila No. 10, Jatipadang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan).

Kalau sudah mau menghadapi keberangkatan yang sepagi itu, biasa mata memang sulit tertidur. Bukan apa-apa, khawatir telat bangun saja. Jadi, malam itu aku memang tak tidur.

Menjelang jam tiga, aku pun bersiap-siap, mandi, berkemas-kemas seadanya saja. Tas yang kubawa dari Ciputat hanya berisi sehelai dua helai pakaian, karena rencananya memang mau menginap semalam di Lentera Timur.

Kawanku, Gusti Eka Suhendra, budak Pontianak juga yang waktu itu lagi menyelesaikan studi S1 di UIN Jakarta, kulihat ia masih lelap tidur. Mau tak mau kuhugah dia bangun. Sebelumnya ia memang bersedia mau mengantarkanku ke Terminal Pasar Minggu, untuk kemudian naik Bus Damri menuju bandar udara Jakarta.

Kalau keberangkatan pesawat sekitar jam enam pagi, setidak-tidaknya sudah harus check in kurang lebih jam lima. Sekitar jam empat shubuh aku sudah berada di dalam Bus Damri. Dalam kondisi seperti ini, pikiran masih tak menentu jika belum check in.

***

Bukan pertama kali ini saja bepergian sepagi ini, beberapa tahun sebelumnya juga pernah. Pertama sekali ketika menghadiri Kongres HMI yang waktu itu dilaksanakan di Makassar (kebetulan berangkatnya rombongan menggunakan pesawat dari Jakarta). Yang kedua balik Lebaran ke Pontianak, sekali bersama seorang kawan menggunakan kapal dari Jakarta, keduanya sendiri menggunakan pesawat dari Jakarta.

Untuk keberangkatan kali ini ke Pontianak, pesawat dijadwalkan lepas landas sekira jam enam pagi. Jika sesuai yang dijadwalkan (tak ada delay), maka sudah mendarat ke Pontianak sekitar jam setengah delapan.

Tepat seperti yang diperkirakan, sekira jam enam pagi pesawat pun lepas landas. Menurut informasi dari keluarga di Pontianak, prosesi pemakaman dilaksanakan sekira jam sebelas. Berarti besar kemungkinan aku dapat mengikuti dari prosesi memandikan jenazah, pengkafanan, shalat jenazah, hingga pemakaman. Dengan demikian, aku dapat sedikit tenang duduk menunggu di dalam pesawat hingga mendarat ke Pontianak.

***

Aku ingin sedikit bercerita mengenai Wak Ujang (kami akrab memanggilnya “Wak” atau “Uwak” saja). Nama lengkapnya yaitu Abdullah bin ‘Umar. Uwak Ujang merupakan suami dari kakak ayahku yang bernama Zaidah binti Haji Muhammad Buraa’i (kami anak-kemanaknya akrab memanggilnya “Encék”, atau masyarakat kampongku ada juga yang memanggilnya “Cik Zaidah”). Dalam Bahasa Melayu Pontianak, "Cik" atau “Cék” atau “Encik” atau "Encék" adalah panggilan untuk orang yang terkecil tubuhnya di antara adik-beradiknya. Kata asalnya/kata dasarnya adalah Kecil atau Keci'. Cik/Cék/Encik/Encék juga digunakan sebagai panggilan terhadap orang yang dihormati.

Pada masa hidupnya, Almarhom Encék Zaidah dikenal sebagai seorang tabib yang memiliki banyak keahlian dalam bidang perubatan. Di antara keahlian beliau yaitu dalam ilmu kebidanan (profesinya oleh orang Melayu disebut “dukon beranak”), pijat refleksi (profesinya oleh orang Melayu disebut “dukon urot”), dan juga dalam ilmu farmasi (terutama sangat ahli meracik obat-obat herbal Melayu berupa jamu, rebusan, dan sejenisnya).

Lain Encék Zaidah, lain pula suaminya, yaitu Uwak Ujang. Beliau (Uwak Ujang) merupakan orang Melayu Pontianak yang berasal dari keluarga keturunan Bugis yang sudah berabad-abad bermastautin di Negeri Pontianak. Kampongnya bernama Kampong Sungai Itik (Kampong Sungai Iték), salah satu kampong yang berada di dalam Negeri Pontianak.

Di Negeri Pontianak, panggilan “Wak” atau “Uwak” adalah panggilan akrab dan khas kepada lelaki keturunan Bugis yang sebaya dengan orang tua kami. Sepengetahuanku, kata "Wak" atau “Uwak” bermakna "Bapak". Negeri Pontianak dan beberapa negeri di Borneo/Kalimantan memang sejak dahulu hingga kini dikenal sebagai salah satu tempat bermukimnya para perantau Bugis dari Pulau Sulawesi.

Semenjak Emak melahirkan adikku, otomatis aku yang waktu itu baru berusia tiga tahun lebih banyak diasuh oleh Encék dan Uwak. Kami (ayah dan emakku anak-beranak serta Encék dan Uwak anak-beranak) waktu itu sama-sama mendiami rumah tua berbentuk rumah panggung peninggalan keluarga besarku dari sebelah emaknya ayahku dan ayahnya emakku (Uwanku dari sebelah ayah yang bernama Ruqayyah binti Haji ‘Abdurrahman adik beradik kandung dengan Datok/Akiku dari sebelah emak yang bernama Harun bin Haji ‘Abdurrahman).

Pada masa mudanya, Uwak merupakan pemain orkes (band) alias pemusik (pemain musik). Beliau adalah pemain bass pada orkes yang dipimpin oleh Pak Mudeku (abang dari ayahku) yang tertua, yang di orkes itu ada juga Pak Mude-Pak Mudeku yang lain sebagai personelnya. Hingga masa-masa tuanya pun, Uwak masih pacak memetik dawai gitar dan bass gitar, termasuk juga Bass Klasik alias Bass Tongkang. Tak jarang kalau aku lagi bermain gitar, sesekali Uwak meminjam gitar yang sedang kumainkan itu untuk dimainkannya.

Seingatku, selain Gitar dan Bass, Uwak juga pacak memainkan Akordion, Halmanian/Harmonium, dan mungkin juga Biola (orang kampongku menyebutnya “Piol” atau “Viol”). Pada masa kecilku, pernah sekali kulihat beliau bersama beberapa orang Pak Mudeku bermain Orkes pada satu acara di Madrasah Diniyyah Awwaliyyah Haruniyah, Negeri Pontianak. Uwak juga pacak memainkan Tar (perkusi untuk mengiringi Hadrah). Selain pacak memainkan Tar, Uwak juga pacak menyetel/menstem Tar hingga menghasilkan suara yang lawar berdenting.

Uwak Ujang merupakan seorang yang telaten merawat sesuatu. Tar Kelab Hadrah kampong kami di antaranya dirawat oleh beliau. Aku selalu asék kalau sedang memerhatikannya merawat Tar. Geringséng Tar yang terbuat dari gangse itu biasa dibersihkannya dengan brasso, hingga betul-betul mengkilap, yang itu akan mempengaruhi bunyi Tar.

Sehari-hari beliau selalu berpakaian rapi. Aku ingat dengan Minyak Jambol-nya itu. Ketika akan berangkat sekolah, tak jarang aku pinta minyak jambol-nya itu untuk kusapukan di rambut. Dan yang selalu tak pernah kulupa, sepeda onta-nya. Waktu kecil kalau lagi demam, dengan sepeda onta itulah beliau selalu membawaku ke Puskesmas. Di Pontianak Timur waktu itu Puskesmas hanya ada dua, di Kampong Dalam dan di Kampong Banjar. Habis berobat di Puskesmas Kampong Dalam, biasanya kami singgah makan sate di seberang Puskesmas. Dengan sepeda onta itu juga Uwak biasa mambawaku ke pasar. Sepeda onta itu adalah kendaraan sehari-harinya untuk berangkat kerja. Waktu itu beliau bekerja di Dinas Kebersihan Kota Pontianak.

Aku ingat, Uwak juga banyak kepandaian. Apa-apa yang bisa dilakukannya, maka dikerjakannya sendiri. Dari membuat mainan, mensol sepatu dan sandal, menjahit, sungguh beliau orang yang kreatif. Kalau sepatu sekolahku rusak, hanya Uwak lah andalanku untuk membetulkannya. Buah karyanya juga rapi-rapi. Yang pasti beliau adalah orang yang tak mau berpangku tangan, bahkan hingga ke masa-masa tuanya. Tukang sembelih sapi dan kambing yang terkenal di kampongku tak lain adalah Uwak seorang.

Waktu kecil, karena nakal dan pengkang, tak jarang aku dimarahi oleh Encék yang tegas, yang setiap perkataan yang meluncur dari lisannya laksana sabda. Dan yang selalu tampil sebagai pembelaku adalah Uwak. Karena nakal dan pengkang, tak jarang juga anak tunggalnya Encék dan Uwak (yang tak lain adalah Abang Sepupuku) memarahiku. Nakal dan pengkangnya aku itu juga tak jarang membuatku berselisih paham dengan kakak dan abang-abangku. Kalau sudah dalam kondisi seperti ini, tak ada lain lagi yang bakal membelaku kecuali hanya Uwak lah yang hadir sebagai pembela.

Kalau Ayah dan Emakku lain lagi, beliau berdua lebih sering hadir sebagai sosok pendamai. Mereka pun lebih banyak mendidik kami dengan cara yang lemah lembut, sabar, bahkan tak pernah mau memelasah, tak pernah mau memarahi kami sampai semarah-marahnya. Encék yang tegas, Uwak yang pembela, serta Ayah dan Emak yang pendamai juga sabar, merekalah yang berkolaborasi mendidik kami sedari kecil, mewarnai hidup kami dengan ajaran akhlaq mulia, sehingga kami membesar sebagai pribadi-pribadi yang bertanggungjawab, pribadi yang pandai menjaga marwah diri dan keluarga, juga marwah kampong halaman dan negeri tanah kelahiran kami.

***

Dari perangkat audio yang ada di dalam pesawat mengabarkan bahwa sebentar lagi akan segera mendarat di bandar udara Pontianak. Kilas berkilas bayangan kampong halaman semakin jelas di hadapan mata. Entah perasaan hati waktu itu telah bercampur aduk macam-macam. Aku hanya terus coba menguatkan hati untuk tak terlalu tenggelam dalam perasaan yang tak menentu.

Sepagi ini langit di atas Negeri Pontianak tampak cerah. Tak kulewatkan untuk memandangi alur sungai yang panjang meliuk-liuk itu. Iya, Sungai Kapuas adalah salah satu sungai terpanjang di Kepulauan Melayu ini. Sungai yang mengalir melewati banyak negeri di Borneo Barat, serta menjadi urat nadi bagi negeri-negeri yang dilaluinya.

Pesawat yang kutumpangi kini tepat berada di atas Kota Khatulistiwa. Entah indah entah tidak pemandangan Negeri Pontianak dilihat dari pesawat yang kutumpangi ini. Mungkin hanya indera penglihatanku yang tertuju ke arah bawah sana, tidak demikian dengan pikiranku yang mengembara lintas melintas ruang dan waktu.

***

Baru kusadari, sedari tadi sudah dikabarkan bahwa tak lama lagi pesawat akan mendarat. Tapi mengapa tak kunjung mendarat juga? Seakan-akan Negeri Pontianak masih jauh, padahal di bawah sudah terlihat Bumi Khatulistiwa yang sungguh kukenali itu.

Pesawat sepertinya enggan 'tuk turun. Dari tadi sepertinya hanya berpusing-pusing mengedari langit Pontianak. Selama bepergian dengan pesawat, tak biasa-biasanya hal demikian ini kujumpa.

Tak lama kemudian, terdengar kabar dari perangkat audio yang ada di dalam pesawat, karena kendala cuaca, untuk sementara waktu tak dapat mendarat. Dengar-dengar, Pontianak sedang berkabut. Tapi kulihat dari atas, sepertinya cuaca cerah-cerah saja. Mungkin hanya terlihat dari atas cuaca nampak cerah. Entah dari bawah, mungkin memang betul sedang berkabut.

Menurut kabar, pesawat sementara waktu akan diarahkan menuju bandar udara terdekat. Hal tersebut dilakukan untuk menghemat bahan bakar. Daripada terus berpusing-pusing di atas Negeri Pontianak, yang itu tentu akan menghabiskan bahan bakar, maka lebih baik pesawat singgah dahulu ke bandar udara terdekat. Sesuai pemberitahuan dari awak pesawat, bandar udara terdekat adalah Bandar Udara Sultan Mahmud Badaruddin II, Negeri Palembang. Waktu tempuh dari Pontianak ke Palembang lebih kurang satu jam.

Seharusnya jam setengah delapan pesawat sudah mendarat di Pontianak. Tapi kini harus singgah dahulu ke Palembang. Satu jam dari Pontianak menuju ke Palembang, berarti sekira jam setengah sembilan mendarat di Palembang. Lalu mengisi bahan bakar selama satu jam, berarti setengah sepuluh selesai mengisi bahan bakar. Kalau tepat waktu, setengah sepuluh dari Palembang terbang menuju Pontianak. Lama perjalanan satu jam, berarti setengah sebelas atau jam sebelas mendarat di Pontianak.

Aku terus mengira-ngira waktu. Sesampai di Palembang nanti aku harus segera memberitahu keluarga di Pontianak. Entah dapat atau tidak menghadiri prosesi pemakaman nanti, semua di luar kuasaku.

***

Satu jam perjalanan, pesawat pun mendarat di Bandar Udara Sultan Mahmud Badaruddin II, Negeri Palembang. Sungguh beruntung rakyat Negeri Palembang, karena bandar udaranya dilekatkan nama salah seorang sultannya. Berbanding terbalik dengan negeri tanah kelahiranku, Negeri Pontianak, yang bandar udaranya hingga kini masih bernamakan orang yang entah dari mana pula asal-muasal negerinya.

Sesampai di ruang tunggu, langsung kuhubungi keluarga di Pontianak, memberitahukan posisiku kini sedang berada. Tentu keluarga di Pontianak terheran-heran. Kujelaskan apa musababnya sehingga kini aku berada di Palembang. Informasi yang kuterima dari keluarga di Pontianak, bahwa kini sedang proses pengkafanan. Mungkin tak lama lagi akan segera shalat jenazah.

Kalau sekiranya aku masih belum tiba di Pontianak, namun prosesi terus berlanjut hingga prosesi pemakaman, telah kuserahkan kepada keluarga di Pontianak untuk tak menungguku. Hal ini mengingat hari semakin beranjak siang, mengingat prosesi pemakamanan juga menyesuaikan dengan kondisi alam Pontianak yang air sungainya pasang surut. Dengan demikian, prosesi pemakaman harus tepat waktu jika tak mau prosesi tersebut sulit dilakukan, jika tak mau liang kubur dan kerenda direndam oleh air.

***

Sama halnya seperti Negeri Pontianak, negeri tempatku berada kini (Negeri Palembang) juga salah satu negeri Melayu yang masyhur. Di dalam riwayat sejarah, negeri-negeri Melayu di Borneo Barat juga berkait kerabat dengan Negeri Palembang. Begitupun masyarakat Melayu di Borneo Barat juga tak sedikit yang berkait kerabat dengan masyarakat Melayu Negeri Palembang. Hubung kait kekerabatan dimaksud juga saling berkait dengan banyak negeri Melayu di Alam Melayu ini.

Selamat datang di Tanah Sumatera. Selamat datang di Negeri Palembang Darussalam, Bumi Sriwijaya, tempat beradanya Bukit Siguntang yang sering kubaca di dalam Sejarah Melayu. Begitulah benakku berkata ketika pesawat mendarat di negeri yang terberkahi ini.

Aku coba mengingat-ingat untaian riwayat Sejarah Melayu yang pernah kubaca dan kaji. Kiranya seperti tergambar jelas di semesta minda akan kejayaan Bangsa Melayu yang pernah terukir di kanvas peradaban. Borneo, Sumatera, Semenanjong, Sulu-Mindanao, Campa, dan masih banyak lagi negeri-negeri di Alam Melayu ini yang mengukirkan tamaddun bangsa yang besar ini.

Mengingat Negeri Palembang, aku jadi teringat dengan cerita Almarhom Ayah mengenai Datok Palembang. Menurut Ayah, Datok Palembang adalah seorang 'ulama perempuan yang pernah hadir di keluarga besar kami. Datok Palembang adalah isteri kedua daripada Moyangku (Haji Adnan bin Haji Ahmad). Datokku yang bernama Haji Muhammad Buraa'i bin Haji Adnan merupakan anak tiri daripada Datok Palembang. Dengan demikian, ayahku yang bernama 'Abdusy Syukur bin Haji Muhammad Buraa'i merupakan cucu tiri dari Datok Palembang. Selama masa kecil ayahku bersama saudara-saudaranya mendapatkan pendidikan agama dari Datok Palembang.

Moyangku yang bernama Haji Adnan bin Haji Ahmad merupakan seorang nakhoda. Setelah isteri pertamanya wafat, moyangku ini menikahlah dengan Datok Palembang yang ketika itu telah janda. Mungkin ketika itu moyangku sedang singgah dari pelayarannya ke Negeri Palembang. Sampai sekarang aku tak dapat tau nama lengkap dari Datok Palembang. Menurut yang diceritakan ayah, keturunan Datok Palembang dari suami pertamanya mungkin hingga kini ada di Negeri Palembang.

***

Sekitar jam sebelas, tibalah pesawat yang kutumpangi ke Negeri Pontianak, setelah sebelumnya singgah di Negeri Palembang. Rencananya, adikku yang akan menjemput di bandar udara Pontianak. Dan menurut kabar dari keluargaku, prosesi pemakaman kini sedang berlangsung.

Tadi pagi adikku sudah ke bandar udara Pontianak. Tapi karena aku belum tiba, maka ia singgah dahulu menunggu di rumah Pak Mudeku (abang dari Emakku) yang terletak di Kampong Arang, Sungai Raya/Sungai Raye. Bandar udara Pontianak sendiri terletak di Kampong Sungai Durian (Kampong Sungai Derian), Sungai Raye. Dari Kampong Arang ke Kampong Sungai Derian jaraknya tak terlalu jauh. Tapi karena masih agak lama juga ketibaanku ke Pontianak, maka adikku balik lagi ke kampongku, Kampong Tambelan, Pontianak Timur.

Ada sekitar lima belas menit lebih aku menunggu jemputan dari adikku yang ketika kuhubungi ia sedang berada di rumahku di Kampong Tambelan.

***

Setiba di kampongku, ternyata prosesi pemakaman telah usai. Di antara keluarga besarku yang sedang berkumpul bertakziah ada juga yang bertanya soal terlambatnya ketibaanku. Kukatakan saja bahwa pesawat yang kutumpangi harus singgah dahulu ke Negeri Palembang karena cuaca yang tak memungkinkan untuk mendarat di Negeri Pontianak pagi tadi, sekaligus pesawatnya mau mengisi bahan bakar.

Hanya do’a yang dapat kupanjatkan untuk Almarhom Uwak, orang yang selama ini sangat berjasa terhadap keluargaku. Almarhom Encék dan Almarhom Uwak yang hanya memiliki satu orang anak itu sangat mengasihi kami adik beradik. Boleh dikatakan, bahwa kakak dan abang-abangku pada masa kecilnya juga pernah diasuh oleh Encék dan Uwak. Yang terakhir kemudian adalah aku, yang bukan hanya diasuh, tapi sekaligus aku adalah anak angkat dari Encék dan Uwak.

Encék wafat pada tahun 1988, ketika itu aku baru kelas satu Sekolah Dasar (SD). Dan pada hari Sabtu tarikh 24 Rabi'ul Awwal 1435 Hijriyyah, bertepatan dengan tarikh 25 Januari 2014 Miladiyyah, sekitar jam tujuh malam di Kampong Tambelan (Tambelan Sampit, Pontianak Timur, Negeri Pontianak, Borneo Barat), Uwak pun menyusul Encék kembali ke haribaan ALLAH. Semoga beliau sentiasa dicucuri limpahan rahmat dan kasih sayang ALLAH Rabbul 'Izzati.

Dan kami adik beradik akan sentiasa mengenang beliau dengan kenangan baik dan indah. Kepada zuriat kami nanti juga akan kami kisahkan mengenai Encék dan Uwak yang telah berlambak-lambak mencucurkan kasih sayangnya terhadap kami adik-beradik. #*#



Hanafi Mohan
Tanah Betawi, Penghujung April 2015


Sumber gambar ilustrasi: jpnn.com



Kamis, 23 April 2015

Kaum Buta Huruf


Orang-orang tua di kampongku (di dalam Negeri Pontianak) pada suatu masa dahulu pernah digolongkan sebagai kaum buta huruf. Tapi apakah mereka betul-betul buta huruf? Nyatanya mereka sangat pacak nan pandai baca-tulis Arab dan Arab Melayu. Lalu apa musababnya sehingga mereka digolongkan sebagai kaum buta huruf? Tiada lain jawabannya, karena mereka tak pandai baca-tulis Latin.

Di gedung sekolah kami ketika itu, kalau pagi hingga siang kelasnya berisi murid-murid sekolah dasar yang sedang belajar, maka lain lagi siang hingga petang harinya. Kelas-kelas kami siang hingga petang dipakai oleh orang-orang tua kami untuk belajar baca-tulis Latin.

Para "Kaum Buta Huruf" ini dengan khidmat mempelajari baca-tulis abjad yang diguna-pakai oleh bangsa-bangsa nun jauh di sana. Mereka mau tak mau menerima sebutan sebagai orang-orang yang buta huruf. Menurut penguasa ketika itu, orang-orang yang buta huruf tersebut adalah orang-orang yang bodoh.

Kini sebagian dari "Kaum Buta Huruf" itu telah ramai yang tiada, telah pergi mendahului kami. Dari mereka lah kami belajar mengaji Al-Qur'an, menderas baca tulis Arab dan Arab Melayu.

Dan sememangnya mereka bukanlah Kaum Buta Huruf. Perubahan zaman serta beralihnya otoritas penguasa ke tangan kaum sekuler-republikan-unitaris telah ikut pula menepikan mereka para orang tua kami dengan stigma "Kaum Buta Huruf".

Mengingat stigma-stigma semacam itu yang suatu masa dahulu pernah ditimpakan kepada orang-orang tua kami, insyaflah diri kami, bahwa kaum kami pada masa itu secara sistematis memang sengaja hendak diketepikan oleh otoritas penguasa negara ini. Bahkan sampai kini pun kaum kami tetap dianggap sebagai kaum marjinal, dengan dilekatkan berbagai stigma negatif pula tentunya. Dan itu semua terjadi di kampong halaman kami sendiri, di negeri tanah kelahiran kami yang dahulunya pernah berdaulat. *#*



Hanafi Mohan
Tanah Betawi, 21-23 April 2015


* Sumber gambar ilustrasi: Laman Website batamtoday.com

Rabu, 22 April 2015

Ketika Arab Melayu Dibenamkan di Negeri Sendiri


Bilakah Abjad Arab Melayu mula digunakan di kalangan Bangsa Melayu? Sudah berabad-abad silam tentunya Abjad Arab Melayu diamalkan dan diguna-pakai oleh Bangsa Melayu. Setidak-tidaknya bermula pada masa Islam sudah betul-betul mewujud sebagai kekuatan politik pada masa itu dalam bentuk kerajaan-kerajaan Islam (kesultanan-kesultanan). Bahkan bisa jadi lebih awal lagi dari masa-masa yang dimaksud. Bisa lebih awal maksudnya yaitu bisa lebih awal lagi dibandingkan ketika Islam sudah mewujud sebagai kekuatan politik. Yang pasti setelah Islam tersebar di Kepulauan Melayu ini.

Sebelum mengamalkan Abjad Arab Melayu, tentu bumiputera di Kepulauan Melayu ini terlebih dahulu telah mengenal dan mengguna-pakai beberapa abjad selain Arab Melayu. Misalkan yang masyhur pada masa itu adalah Abjad Rencong. Beberapa lainnya adalah Abjad Pallawa yang berasal dari India bagian selatan, serta abjad-abjad turunannya (yang tiap wilayah/negeri memiliki abjad tersendiri yang merupakan abjad turunan dari Abjad Pallawa).

Pada dasarnya Abjad Arab Melayu memanglah mengadopsi Abjad Arab. Di dalam Abjad Arab Melayu ditambahkan beberapa huruf yang khas dari Bahasa Melayu yang tidak ada di dalam Abjad Arab. Abjad Arab Melayu sendiri merupakan buah dari Budaya Melayu, berkat persinggungannya dengan Arab-Islam. Huruf-huruf pada Abjad Arab Melayu sebagian besarnya memanglah diambil dari Abjad Arab, yang itu juga suatu yang tak dapat disangkal-sangkal.

Bagaimana pula penyebaran Abjad Arab Melayu sehingga dikenal oleh seluruh masyarakat Melayu? Abjad dimaksud tersebar seiring sejalan dengan penyebaran Agama Islam di Kepulauan Melayu ini. Juga berkait-kelindan dengan Dakwah/Syi'ar Islam oleh para 'ulama, melalui kitab-kitab ilmu yang mereka tulis. Sastera Melayu juga mempunyai peran tersendiri dalam penyebaran abjad yang satu ini. Selain itu, pihak-pihak istana kerajaan-kerajaan/kesultanan-kesultanan pada masa itu juga mempunyai andil yang besar dalam menyebarkan abjad tersebut.

Huruf Arab Melayu boleh dikatakan sudah pupus, sebab di masa-masa kini tak diperkenalkan lagi membaca dan menulis dengan Arab Melayu. Macam mana upaya kita untuk mengangkatnya kini? Salah satu usahanya yakni dengan menghidupkan kembali lembaga-lembaga pendidikan semacam Madrasah Diniyyah di seluruh negeri-negeri Melayu.

Apakah itu sudah cukup? Tentunya belumlah cukup jika hanya itu saja usaha yang dilakukan. Para 'ulama Melayu harus kembali menghidupkan budaya menulis, sebagaimana 'ulama-'ulama Melayu terdahulu. Setelah budaya menulis itu hidup di antara 'ulama-'ulama Melayu, barulah sedikit-sedikit setiap 'ulama memberanikan diri menulis dalam Abjad Arab Melayu. Begitu juga dengan para penulis dan sasterawan Melayu yang lainnya, mau tak mau harus membiasakan diri menulis dalam Abjad Arab Melayu.

Para guru (ustadz-ustadzah) juga punya tanggungjawab yang sama dalam hal mengangkat khazanah Bangsa Melayu yang satu ini. Dan memang ini semua menjadi tanggungjawab semua budak-budak Melayu dari mana pun asal negerinya, dan di mana pun ia bermastautin. Ini tanggungjawab kita bersama yang mengaku Budak Melayu, yang jelas tersemat pada dirinya sebagai putera-puteri Bangsa Melayu adanya.

Salah satu usaha yang boleh dilakukan kini untuk menghidupkan Abjad Arab Melayu dapat juga dengan cara menulis penanda-penanda bangunan dan jalan menggunakan Abjad Arab Melayu (juga untuk penanda di tiap kampong/pemukiman). Hal serupa boleh pula diberlakukan pada media-media visual yang lainnya semacam baliho, spanduk, poster-poster iklan di tepi jalan, dan sebagainya. Serta melalui pendidikan sekuler sekarang ini sedikit-sedikit patut juga kiranya dimasukkan semacam mata pelajaran Abjad Arab Melayu.

Walaupun ada upaya untuk memakai lagi Huruf Arab Melayu pada masa sekarang, tapi belum begitu maksimal untuk bisa dikenal lagi oleh Orang Melayu. Penyebabnya karena kita memang sudah asing dengan Abjad Arab Melayu. Padahal peradaban Abjad Arab Melayu itu belum jauh masanya meninggalkan kita.

Sungguh begitu dahsyatnya kekuasaan dan pendidikan sekuler yang diamalkan di serata Kepulauan Melayu ini, yang telah mencuci otak kita dan menghilangkan ingatan sejarah kita akan peradaban Abjad Arab Melayu tersebut. Dan kemudian hancur binasa punah ranahlah peradaban serta khazanah tersebut dari kehidupan Bangsa Melayu kini. Ironis memang, Arab Melayu dibenamkan di negerinya sendiri. Diakui atau tidak, Faham Nasionalisme/Ultranasionalisme lah yang menghancurkan peradaban dan budaya Bangsa Melayu. Termasuk juga dalam hal Abjad Arab Melayu. #*#



Hanafi Mohan
Tanah Betawi, 4 Rabi’ul Akhir 1436 H,
bertepatan dengan 23-24 Januari 2015 M




* Gambar ilustrasi : Salah satu Surat Dakwaan di Mahkamah Syari'ah Kesultanan Pontianak pada masa Sultan Syarif Yusuf Al-Qadri (Sultan Pontianak ke-V). Surat Dakwaan ini ditulis dalam Bahasa Melayu menggunakan Abjad Arab Melayu.

* Sumber gambar ilustrasi : Koleksi Foto Hanafi Mohan

* Tulisan ini sebelumnya pernah dimuat di Laman Web Melayu.us