Hikayat Dunia

Kita hanya pengumpul remah-remah | Dari khazanah yang pernah ada | Kita tak lebih hanya penjaga | Dari warisan yang telah terkecai ||

Pontianak Singgah Palembang

Daripada terus berpusing-pusing di atas Negeri Pontianak, yang itu tentu akan menghabiskan bahan bakar, maka lebih baik pesawat singgah dahulu ke bandar udara terdekat. Sesuai pemberitahuan dari awak pesawat, bandar udara terdekat adalah Bandar Udara Sultan Mahmud Badaruddin II, Negeri Palembang.

Mudék ke Ulu

Pasangan dari kate “ulu” ielah “mudék”. Kate “mudék” beakar kate dari kate “udék”. Udék bemakne "sungai yang sebelah atas (arah dekat sumber)", "daerah di ulu sungai", juga’ bemakne "kampong halaman (tempat beasal-muasal)".

Soal Nama Negeri Kita

Belakangan ini kiranya ramai yang berpendapat ini dan itu mengenai asal usul dan makna nama "pontianak" kaitannya dengan Negeri Pontianak. Tapi apakah semua yang didedahkan itu betul-betul dipahami oleh masyarakat Pontianak?

Kampong Timbalan Raje Beserta Para Pemukanya [Bagian-3]

Selain banyak menguasai berbagai bidang keilmuan, beliau juga banyak memegang peran dalam kehidupan kemasyarakatan. H.M. Kasim Mohan yang merupakan anak sulong (tertua) dari pasangan Muhammad Buraa'i dan Ruqayyah ini merupakan seorang Pejuang di masanya.

Musik Motivasi Setahun Silam

“Satu Kursi untuk Seniman”, begitu tagline kampanyenya. Tekadnya untuk memajukan Kalbar lewat industri kreatif tentu patut diapresiasi. Melalui industri kreatif diharapkannya dapat menjadi jembatan menjulangkan budaya yang memayungi Kalimantan Barat.

Sultan Pontianak; Umara' dan 'Ulama

Kegemilangan Negeri Pontianak salah satunya diasbabkan kepemimpinan para Sultan-nya yang arif dan bijaksana. Sultan-Sultan Pontianak selama masa bertahtanya rata-rata memiliki dua peranan, yaitu berperan sebagai umara', sekaligus berperan sebagai 'ulama.

Puisi Buya Hamka untuk Muhammad Natsir

Kepada Saudaraku M. Natsir | Meskipun bersilang keris di leher | Berkilat pedang di hadapan matamu | Namun yang benar kau sebut juga benar ||

Sabtu, 25 April 2009

[Cerbung: Senja Merah Jingga] 14- Gratis Menonton Bioskop


Ada satu tempat permainan video game yang cukup dekat dengan kampong kami. Lokasinya memang berada di seberang kampong kami, tapi cukup dekat untuk kami akses. Tempat ini sebenarnya bukanlah tempat permainan video game seperti halnya tempat lain yang berada di lokasi pasar, melainkan tempat ini sebenarnya adalah gedung bioskop. Lebih tepatnya adalah gedung bioskop yang menyediakan permainan video game. Karena memang dekat untuk kami akses, maka terkadang juga kami mendatangi gedung bioskop ini.

Nama tempatnya adalah Dynasty 21, salah satu gedung bioskop yang masih eksis di Pontianak ketika itu. Selain memang dekat, kedatangan kami ke gedung bioskop ini tak lain untuk mencari suasana baru. Memang suasananya begitu berbeda dengan tempat permainan video game yang lain. Kami bisa melihat di sudut-sudut gedung bisokop ini banyak muda-mudi yang duduk berpasang-pasangan. Tapi yang pasti kami tak terlalu mempedulikan hal itu, karena tujuan kami sebenarnya adalah bermain video game, mencari penantang-penantang baru bagi Izhar, dan juga menjalin persahabatan dengan anak-anak lain yang juga hobi bermain video game.

Entah mengapa, di kala tertentu, kadang muncul juga kejenuhan kami dengan hal-hal yang itu-itu saja. Aku sendiri kiranya jarang memiliki alternatif ide apa yang seharusnya kami lakukan di saat seperti ini. Ide biasanya datang dari Izhar.

Pontianak ketika itu memang masih sangat minim sarana hiburan. Hiburan yang sangat mudah kami dapatkan adalah melalui pasar. Di pasar, hiburan seperti video game lah yang paling mudah didapatkan dan biayanya cukup terjangkau bagi kami.

***

"Ikutlah denganku!" tiba-tiba Izhar menggamit pundakku.

"Ke mana?" tanyaku kepadanya.

"Sudah, ikut saja," begitu katanya dengan perkataan yang membuat benakku bertanya-tanya.

Aku pun mengikuti saja ke mana arah kaki Izhar melangkah. Ternyata ke ruang lobi bioskop, yang di situ terdapat warung makanan. Tepat apa yang kukira, Izhar pasti mengajak makan. Dan memang betul, kami berhenti di warung itu.

"Aku haus," kata keponakanku itu, "kau haus tidak?" dia menanyakanku.

Sebagai seorang paman, aku tentunya harus jaga image, "Ah tidak, kau sajalah."

Tapi Izhar memang berbeda. Dia mungkin tahu, aku juga sebenarnya haus. Tak mempedulikan apa kataku, ia sudah membeli dua kantong es sirup, kemudian memberikan satu kantong kepadaku, sedangkan satu kantongnya lagi langsung ia sedot.

Dua anak Melayu ini pun duduk di kursi kayu yang ada di lobi bioskop itu. Entah apa yang ada di benakku, dan entah apa pula yang ada di benak Izhar. Aku sendiri seperti tersedot dengan ramainya suasana. Ada yang ngantri untuk menonton, ada suara ini dan itu dari pengeras suara, ada tulisan ini dan itu, ada orang-orang dengan berbagai warna kulit. Yang lebih sering kulihat adalah orang-orang berkulit putih pucat kemerah-merahan dengan lubang mata agak sempit yang jika mereka berbicara, walaupun hanya dua orang, tapi bagaikan di pasar, riuhnya minta ampun. Merekalah yang kami kenal sebagai orang Cine (Cine adalah sebutan khas orang Pontianak terhadap orang Tionghoa). Populasi mereka memang cukup banyak di kotaku, yaitu berkisar kurang lebih 30 persen. Sedangkan sisanya adalah campuran antara orang Melayu, keturunan Bugis, keturunan Arab, keturunan India, dan beberapa suku lainnya.

Di tengah asyiknya aku mengamati suasana, Izhar pun mengucapkan sesuatu, "Pak mude, pernah nonton bioskop, ndak?" (pak mude artinya adalah paman).

"Dari mana duitnya, anak kemanak? Mana pernah lah Pak mude kau ini nonton semacam itu," ujarku kepada Izhar. (anak kemanak artinya adalah keponakan).

"Mau menonton, ndak?"

"Jangan kau tanyakan itu, Har. Udah pasti mau lah."

"Kalau begitu, ayolah ikut aku!"

"Hay, nak ke mana pula? Nontonkah? Dari mana pasal datang duitnya? Aku tak punya duit untuk itu. Kau sajalah kalau begitu."

"Jangan banyak cakap lah. Ikut saja!"

"Kau kah yang jamin?" (jamin artinya adalah traktir).

Namun Izhar segera berlalu dariku. Ia menuju ke kerumunan orang yang sedang menunggu untuk menonton. Aku pun menghampiri keponakanku ini.

Satu persatu kulihat orang-orang yang akan menonton masuk ke ruangan yang sepertinya dari luar kulihat begitu gelap. Sementara Izhar kulihat hanya terdiam di tepian. Entah apa pula yang akan diperbuatnya. Ketika Izhar kudekati, ia masih terdiam mematung. Kugamit saja dia. Menolehlah ia padaku. Aku masih bingung akan maksud Izhar ini. Kulihat wajahnya, sepertinya ada sesuatu yang begitu cerah, bagaikan mentari di waktu pagi.

Kalau memang mau menonton, mengapa Izhar belum membeli tiketnya. Setidaknya, begitulah pertanyaan yang bergelayut di benakku. Kalau duitnya tak cukup, mengapa pula ia mengajak menonton. Kalau memang duitnya hanya cukup untuk satu tiket, ya sudah, tak apa-apa. Beli saja satu tiket untuk dirinya, sedangkan aku, tak menonton pun tak apa-apa.

"Kau lihatlah orang-orang yang masuk itu!" tiba-tiba Izhar berujar kepadaku.

"Ya, aku lihat. Memangnya mengapa?"

"Kalau mau menonton, cukuplah kita mengikut orang-orang yang masuk itu dari belakang, ataupun dari samping mereka."

"Memangnya bisa seperti itu? Bukannya kita harus membeli tiket dulu untuk bisa masuk?" tanyaku meminta penjelasan Izhar.

"Itu kan cara yang biasa. Kau lihatlah, mereka yang masuk itu biasanya membawa anak. Nah, kita masuk mengikuti orang yang tidak membawa anak."

"Jadi, seakan-akan kita ini anak mereka? Begitu maksud kau?"

"Mungkin bisa dikatakan seperti itu," pertegas Izhar kepadaku.

***

Lalu, kami berdua pun mencari saat yang tepat itu, yaitu saat untuk menyelusup ke tempat pemutaran film bersama-sama penonton yang masuk. Izhar bahkan sempat-sempatnya melihat-lihat poster film. Mungkin ia sedang mencari informasi mengenai film yang kiranya bagus untuk ditonton. Memang, keponakanku ini seleranya cukup tinggi. Walaupun menonton tanpa menggunakan karcis masuk, tapi ia sempat-sempatnya memilih-milih film untuk ditonton.

Berdasarkan pilihan Izhar, maka kami pun menunggu di samping deretan para penonton yang akan masuk ke ruangan yang akan segera memutar film pilihan Izhar tersebut. Aku sebenarnya masih ragu-ragu akan yang dilakukan ini.

"Kau lah dulu yang masuk!" sambil kumenarik tangan Izhar.

"Janganlah. Tak sopan kiranya anak-kemanak ini mendahului pak mudenya. Kaulah dulu yang masuk, biar aku mengikut dari belakang saja."

Bisa saja temanku yang satu ini. Di saat-saat tak menguntungkan seperti ini, barulah ia mendahulukan aku sebagai pamannya. Tapi tak apalah, karena aku juga penasaran untuk menonton film bioskop, karena selama ini aku hanya mengetahui dari cerita orang-orang. Bagaimana rupanya film bioskop itu, aku tak tahu sama sekali. Hal seperti inilah yang disebut orang Melayu Pontianak sebagai sepo'. Lebih lengkapnya lagi biasanya diakhiri dengan kata laot, sehingga menjadi sepo' laot. (sepo' artinya adalah kampungan. Diambil dari kata sepo' laot. Sepo' Laot sebenarnya adalah nama suatu daerah di Kalimantan Barat, yang katanya daerah tersebut jauh dari peradaban. Sehingga orang Melayu Pontianak menggunakan kata sepo' untuk mengungkapkan tingkah seseorang yang kampungan).

***

"Siap-siaplah! Itu sepertinya ada orang yang tidak membawa anak," Izhar berujar kepadaku sekedar mengingatkan.

"Ya, aku tahu. Tapi kau segera menyusul, ya!"

Aku pun bersiap-siap. Sebenarnya masih ada ragu di diriku. Kalau boleh dikatakan, yaitu campuran ragu dan penasaran. Ragunya 20 persen, sedangkan penasarannya 80 persen. Sehingga pas kesempatan itu ada, aku pun langsung mendekat ke orang yang tidak membawa anak itu. Karena ada penjaga karcis yang ada di depan pintu, maka jantungku deg-degan juga. Tapi apa boleh buat, penasaranku sudah di ubun-ubun. Apalagi orang yang akan kujadikan sebagai bemper untuk masuk itu sudah hampir masuk ke dalam ruangan yang dijaga penjaga karcis itu.

Kini, yang ada di pikiranku tak lain adalah film yang akan segera kutonton itu. Sehingga, apapun caranya harus kulakukan. Sempat juga si penjaga karcis melihatku. Tapi entahlah, apakah ia curiga kepadaku atau tidak. Karena ketika aku masuk beriringan dengan orang yang kujadikan bemper itu, ternyata tak ada satu pun halangan. Si penjaga karcis pun malahan melemparkan senyum, sambil jemarinya agak sedikit sibuk memegang sobekan karcis.

Sementara aku sudah bisa lolos masuk, aku mencoba-coba melihat ke belakang. Tak lain adalah untuk memastikan, apakah Izhar sudah masuk. Ruangan yang kumasuki itu memang agak sedikit remang-remang. Aku tak tahu, apa yang harus kulakukan selanjutnya. Kulihat orang-orang yang lain terus berjalan ke depan. Dalam pikiranku, lebih baik aku mengikuti saja arah orang-orang itu berjalan.

***

Tiba-tiba aku terkejut, karena ada yang menggamitku. Dalam benakku berkecamuk, jangan-jangan si penjaga karcis itulah yang menggamit. Aku pun menoleh ke belakang. Ternyata tiada lain, yang menggamitku adalah Izhar. Jantungku rasanya sudah mau terlepas tadi. Kami pun segera mengikuti arah yang dituju oleh orang-orang yang lain.

Sungguh sensasi yang baru bagiku. Ruangan yang dituju itu adalah ruangan yang penuh dengan kursi bertingkat-tingkat. Jika kursi terdepan adalah kursi yang paling rendah keberadaannya, maka kursi paling belakang adalah kursi paling tinggi keberadaannya.

Anak Melayu yang sepo' ini tentunya agak bingung berada di ruangan yang baru pertama kali dijejaki ini. Lain denganku, lain pula dengan Izhar. Dia sepertinya sudah agak terbiasa dengan keadaan. Dia mengamati segenap ruangan, entah apa pula yang diamatinya itu. Aku juga mengamati ruangan, tapi sepertinya berbeda dengan apa yang sedang diamati oleh Izhar.

Beberapa saat kemudian, Izhar pun mengajakku mencari tempat duduk. Aku pun mengikutinya. Dan sepertinya memang terdapat dua kursi yang masih kosong. Maka duduklah kami berdua di situ sebelah-menyebelah (berdampingan). Keberadaan tempat kami duduk ini memang cukup tinggi, walaupun bukan yang paling tinggi. Dan letaknya pun tak terlalu di pinggir. Di samping kanan, kiri, belakang, dan depan kami juga ada orang-orang lain yang duduk. Beberapa kulihat adalah pasangan muda-mudi. Kulihat juga, bahwa ada kursi-kursi yang tak terisi. Sepertinya penonton tak terlalu banyak.

Tak berapa lama, gelaplah ruangan. Aku agak terkejut, mengapa pula ruangan menjadi gelap. Pikirku, mungkin lampunya rusak, atau sengaja dipadamkan untuk kemudian dinyalakan lagi. Tiba-tiba, ruangan menjadi terang. Aku sangka lampunya yang menyala, ternyata cahaya terang itu berasal dari arah depan. Lalu dari depan itu, ada gambar-gambar besar yang bergerak, juga terdengar ada suara-suara yang lumayan keras, sehingga kalau ada yang berbicara, mungkin hanya sayup-sayup terdengar oleh lawan bicaranya.

Rupanya, itulah kiranya film yang akan ditonton. Sementara film sedang berlangsung, suasana ruangan terkadang agak senyap, namun terkadang juga terdengar riuh. Izhar kulihat begitu serius menonton film, sedangkan aku sendiri terkadang tak terlalu memperhatikan film. Hal-hal di sekitar ruangan lebih seringnya membuyarkan perhatianku ke layar film yang ada di depan. Walaupun ruangan agak remang-remang, namun aku masih dapat begitu jelas melihat pasangan muda-mudi yang asyik-masyuk dengan urusan mereka masing-masing. Hal inilah kiranya yang sedikit banyak menyedot perhatianku.

***

Ketika film selesai, dan para penonton pun keluar, maka kami berdua juga keluar. Izhar meminta tanggapanku mengenai film yang baru saja kami tonton. Kukatakan saja padanya, bahwa filmnya sangat bagus. Maksudku di dalam hati, bahwa yang bagus itu adalah para muda-mudi yang asyik-masyuk itu, yang tanpa sengaja aku melihat keasyik-masyukan mereka. Sehingga sebenarnya aku tak terlalu tahu persis jalan cerita filmnya, karena perhatianku lebih banyak tertuju kepada adegan para muda-mudi itu. #*#


[Hanafi Mohan – Ciputat, medio April 2009]


Cerita sebelumnya

Kembali ke Daftar Isi

Selasa, 21 April 2009

[Cerbung: Senja Merah Jingga] 13- Street Fighter


Izhar, anak-kemanakku itu, adalah temanku yang begitu banyak memberikan arti pada masa kecilku. Ia banyak mengenalkanku pada hal-hal yang baru. Darinya, aku juga bisa merasakan masa kecil yang begitu indah. Ia begitu senang dengan inovasi-inovasi teknologi terbaru. Darinyalah aku banyak mengenal seluk-beluk wajah kotaku. Yaitu seluk-beluk yang ternyata bukan hanya kawasan budaya dan tradisi yang begitu terlihat di sekitar kampongku, juga sisi lain kotaku yang merupakan kota perdagangan di Kalimantan Barat. Terkadang aku diajaknya menelusuri sisi lain kotaku yang mungkin jarang sekali kulihat.

Pada masa-masa senggang sekolah SD dan madrasah, maka kami mencari hiburan yang lain dari biasanya. Yang pasti, bukan hiburan bernuansa alam sungai, melainkan yang bernuansa teknologi. Jika berkaca dari kemampuan ekonomi keluargaku, maka hiburan seperti ini mungkin begitu jauh bagiku. Tapi lagi lagi, semua ini dimungkinkan oleh Izhar. Hal ini karena keluarga Izhar lumayan berada untuk ukuran kampong kami. Sehingga uang jajan Izhar lebih dari cukup untuk mencecapi hiburan bernuansa teknologi.

* * *

Ketika itu sedang marak-maraknya permainan video game. Untuk mengakses permainan ini, kami harus mendatangi tempat-tempat tertentu yang menyediakan perangkat permainan ini yang biasanya berada di kawasan pasar di seberang kampongku. Yang lagi ngetrend ketika itu adalah Video Game Street Fighter. Karena itulah, tak ayal lagi, Street Fighter lah yang sering kami mainkan. Selain Street Fighter, Video Game Pesawat juga sering kami mainkan.

Lain dengan diriku, lain pula dengan Izhar. Anak-kemanakku ini sangat pandai memainkan berbagai video game itu, sedangkan kemampuan permainanku berada jauh di bawahnya. Karena itulah, aku sering kalah kalau bermain video game, video game apapun itu jenisnya. Tapi hal itu tidaklah membuatku membenci permainan yang satu ini. Aku sendiri terkadang lebih senang melihat orang lain bermain dibandingkan aku sendiri yang memainkannya. Aku lebih senang mengomentari permainan orang lain: salah inilah, salah itulah, kurang inilah, kurang itulah, dan sebagainya.

Karena Izhar begitu pandai bermain video game, maka aku selalu mendukungnya untuk terus meningkatkan kualitas permainannya. Aku memberikan komentar-komentar tajam dan menukik terhadap permainannya, apalagi ketika ia kalah. Izhar sendiri terkadang merasa jengkel dengan setiap komentarku, "Mengapa tak kau saja Pak Anda' yang bermain?" begitulah Izhar terkadang terlepas omong memanggilku. Aku sendiri terkadang senang dengan panggilan itu, karena memang sudah selayaknya keponakanku memanggil secara hormat seperti itu kepadaku. Namun terkadang juga aku merasa risih, seakan-akan aku ini sudah begitu tuanya dipanggil dengan sebutan "Pak". Apalagi aku dan Izhar sebaya. (Anda' artinya adalah orang yang ukuran badannya rendah/pendek).

"Janganlah kau ni Ngah becakap seperti itu! Tak salah kan seorang Pak Mude memberikan nasehat kepada anak-kemanak nya? Tak lain yang aku harap, yaitu agar kualitas permainanmu semakin mantap," begitulah seharusnya seorang paman terhadap keponakannya. (Ngah berasal dari kata Angah, artinya adalah anak yang kedua)

Untuk membuktikan ketangkasan Izhar, aku pun menyarankan kepadanya untuk menantang anak-anak yang lain adu duel memainkan Street Fighter. Izhar menyetujui saranku ini. Seakan-akan aku ini adalah seorang manajer, maka aku menawari anak-anak yang lain yang kuanggap kemampuannya setara dengan Izhar untuk berduel. Tak pelak lagi, beberapa orang anak yang ada di tempat permainan video game itu menyetujui tawaranku. Untuk membuat permainan ini menarik, maka aku menawarkan, bagi yang kalah, maka harus membayarkan seharga 1 koin permainan terhadap yang menang. Tak ayal lagi, banyaklah yang menjadi penantang Izhar, karena persyaratan permainan yang kutawarkan memang tak terlalu berat.

Sebagai taktik permainan, aku menyarankan Izhar untuk menguasai beberapa karakter petarung yang ada pada Video Game Street Fighter. Ini tak lain agar para penantang Izhar menjadi kesulitan membaca tipe permainan Izhar. Ternyata taktik ini berhasil. Para penantang Izhar satu persatu jatuh berguguran, dan kami mendapatkan keuntungan berupa 1 koin setiap kali menang.

* * *

Keponakanku ini pun kemudian menjelma menjadi bintang permainan Video Game Street Fighter. Setiap kali kami mendatangi tempat permainan Video Game, Izhar selalu dielu-elukan bagaikan seorang selebritis. Bahkan ada yang rela membayarkan permainan hanya karena ingin menantang Izhar. Kami memiliki berbagai macam taktik agar selalu menang. Selain penguasaan berbagai macam karakter petarung, aku juga menyarankan Izhar untuk mengalah pada awal-awal permainan, kemudian menggempur habis-habisan pada akhir permainan. Ini tak lain agar Izhar bisa mengetahui kemampuan dan taktik lawannya. Izhar membuat para penantangnya itu berada di atas angin pada awal-awal permainan, sehingga mereka menjadi mabuk kemenangan dan lengah pada permainan-permainan selanjutnya.

Ada juga penantang keponakanku ini yang begitu penasarannya karena selalu kalah, sehingga mereka menggunakan cara-cara yang licik untuk menang. Mengetahui hal ini, tentunya Izhar menjadi panas dibuatnya. Kalau sudah seperti ini, terkadang berujung pada tantangan untuk adu otot berkelahi. Untungnya ada aku yang bisa meredam emosi Izhar, sehingga tak terjadilah perkelahian. Apalagi memang banyak anak-anak lain yang membela Izhar, karena memang mereka mengetahui bahwa Izhar berada di pihak yang benar. Dan mereka juga mengetahui, bahwa kualitas permainan Izhar berada di atas rata-rata, sehingga tak mudah mengalahkannya, kecuali dengan cara-cara yang licik.

Dari permainan seperti ini, kami pun mendapatkan begitu banyak teman. Bosan di satu tempat permainan video game, maka kami pun mencari tempat yang lain. Setiap tempat permainan yang kami datangi, selalu aroma persahabatan yang kami tebarkan. Karena kami menyadari, tak ada gunanya mencari musuh. #*#


[Hanafi MohanCiputat, medio April 2009]


Cerita sebelumnya

Kembali ke Daftar Isi


Sumber gambar ilustrasi: http://www.gossipgamers.com/ dan http://www.errolgames.com/


Sabtu, 18 April 2009

[Cerbung: Senja Merah Jingga] 12- Berkomplot di Atas Sampan


Selain berteman dengan tiga budak-budak laot, aku juga berteman akrab dengan seorang anak kemanakku yang umurnya sebaya denganku. Namanya Izhar. Ia adalah anak dari kakak sepupuku, yang berarti ia adalah cucu dari pak mudeku. Tak lain dan tak bukan, Izhar adalah cucu dari pak mude tertuaku yaitu Yah Long. Pertemananku menjadi akrab dengan Izhar gara-gara kami sekelas ketika bersekolah di madrasah diniyah awaliyah.

Seharusnya Izhar memanggilku "Pak Mude" (atau di dalam keluarga berdasarkan sistem kekerabatan Melayu, maka anak kemanakku lazim memanggilku "Pak Andak"), karena aku adalah sepupu dari ibunya. Tapi karena masyarakat Melayu adalah masyarakat yang egaliter dan sistem kekerabatannya pun tidak kaku, maka tak ada permasalahan ketika seorang Izhar yang tak lain adalah anak-kemanakku hanya memanggilku dengan sebutan nama. Umurku dengannya persis sama, paling-paling hanya lebih tua dia beberapa bulan dariku.

Begitu egaliternya masyarakat Melayu, bahkan ada juga anak-kemanakku (anak kakak sepupuku) yang kupanggil dengan sebutan "abang" yang ini dikarenakan umurnya lebih tua dariku. Keunikan seperti ini juga dialami oleh kerabatku yang lain. Ada anak-kemanakku (anak kakak sepupuku) yang berada pada sisi kebingungan untuk memanggil dua orang mak mudenya (saudara perempuan ayahnya). Satu sisi adalah saudara ayahnya, sekaligus di sisi lain juga adalah isteri dari saudara akinya/datoknya (yang pertama), dan juga isteri dari saudara uwannya/neneknya (yang kedua). Sepertinya yang terakhirlah yang mereka ambil, yaitu memanggil dengan sebutan nenek terhadap dua orang orang yang tak lain adalah mak mudenya (saudara perempuan dari ayahnya).

* * *

Pada waktu masa kecilku, aku selalu ingin mencoba hal-hal yang baru, bahkan mungkin hal-hal yang tabu ataupun dilarang. Semakin tabu dan dilarangnya hal tersebut, maka aku semakin tertantang untuk melakukannya.

Suatu sore, Izhar yang merupakan anak kemanakku sekaligus temanku itu datang ke rumahku. Entah apa gerangan maksud kedatangannya ketika itu. Tapi yang kulihat, ia membawa dua buah pancing beserta jurannya. Tak salah lagi, Izhar mengajakku memancing. Selain membawa alat pancing, Izhar juga membawa sekantong makanan kecil, serta kopi dan gula. Begitu lengkapnya bawaan Izhar, bagaikan mau berangkat piknik. Bagi kami anak tepian sungai, tak ada kata piknik, rekreasi, ataupun liburan secara khusus dalam keseharian kami, karena setiap hari bagi kami adalah indah, setiap hari adalah piknik, rekreasi, ataupun liburan. Tak lain dan tak bukan, Sungai Kapuas lah tempat terindah bagi kami sebagai tempat mencari hiburan.

Biasanya kami memancing cukup duduk atau nyangkong saja di atas gertak, ataupun biasa juga menyelusup ke bawah rumah di tepian sungai. Kali ini, Izhar mengajak memancing menggunakan sampan. Hal ini karena ia ingin mendapatkan ikan lebih banyak dari biasanya dan mencari suasana baru. Kebetulan ayahku memiliki sampan, sehingga kami tak susah-susah meminjam ataupun menyewa dari orang lain.

Tujuan kami kali ini adalah tiang Jembatan Kapuas yang lazimnya kami sebut "pilar", "pila", ataupun "gardu". Selain tempatnya cukup teduh, memang biasanya tempat itu dijadikan sebagai tempat pemancingan ataupun menjala ikan. Dan entah mengapa, di tempat itu juga selalu banyak ikan. Karena itu, tak salah lah pilihan kami kali ini.

* * *

Sebenarnya, memancing bukanlah kegiatan yang terlalu kusukai. Entah mengapa, mungkin karena aku jarang mendapatkan ikan ketika memancing. Kegiatan mencari ikan yang paling kusukai adalah menjala. Mungkin karena ikan hasil tangkapan menjala bisa lebih banyak, walaupun bukanlah aku yang secara langsung menjala, melainkan abangku, sedangkan aku hanya menemani, atau paling tidak menjadi tukang kayuh sampan/juru mudi sampan.

Tak dinyana lagi, Izhar lah yang lebih sering mendapatkan ikan, sementara aku sangat jarang sekali mendapatkan hewan air yang satu ini. Sebelum berangkat tadi, kopi dan gula yang dibawa oleh Izhar sudah kuramu menjadi air kopi yang cukup nikmat. Begitulah setidaknya yang diakui oleh Izhar, bahwa air kopi buatanku cukup enak. Hal ini tak lain karena air kopi menjadi minuman wajib di dalam keluargaku, sehingga aku secara otomatis harus bisa meramu kopi dan gula menjadi minuman yang enak.

Oh ya, sebelum berangkat memancing tadi, Izhar menunjukkan kepadaku sebungkus rokok. Mungkin inilah yang menjadi daya tarik dalam kegiatan memancing kami. Sehingga bukan memancing tujuan utama kami, melainkan tujuan terpenting kami adalah merokok. Namun, mengapa kami harus repot-repot memancing kalau hanya sekedar untuk merokok? Ini tak lain karena merokok masih tabu dan terlarang bagi kami yang masih anak-anak. Kalau ketahuan oleh orang tua kami ataupun oleh abang-abang kami ataupun oleh kerabat kami yang lebih tua, maka pasti kami akan dimarahi, walaupun biasanya mereka itu perokok juga. Inilah yang membuat kami penasaran akan hal yang satu ini. Semakin ia dilarang bagi kami, maka kami semakin tertantang untuk melakukannya.

Kami heran, mengapa mereka boleh merokok, sedangkan kami dilarang. Apakah merokok itu perbuatan tercela? Kalau memang perbuatan tercela, mengapa mereka para orang dewasa itu boleh melakukannya, sedangkan untuk kami anak-anak dilarang habis-habisan.

Tak ada jalan lain untuk mencoba hal ini selain kami harus diam-diam dan sembunyi-sembunyi. Maka kami jadikanlah kegiatan semacam memancing sebagai kedok untuk merokok. Kami merasa dengan cara memancing ini cukup aman agar kami tak ketahuan merokok. Dan untuk itu, kami mencari tempat yang cukup nyaman dan aman itu semisalkan di tiang Jembatan Kapuas.

* * *

Hal ini sering kami lakukan. Jika jemu dengan memancing, maka kami mencari cara lain sebagai kedok untuk merokok, asalkan jangan sampai ada kerabat kami yang mengetahui bahwa kami merokok. Dan semua itu kami lakukan lumayan berhasil, karena hingga kini tak ada satupun kerabat kami yang mengetahui bahwa aku dan Izhar sudah menjadi perokok di usia kami masih belia.

Pada waktu itu, Izhar lah yang paling pandai merokok, sedangkan aku tak lebih hanyalah orang yang baru mencoba-coba. Ketika itu, aku belum bisa mengatur cara menghembuskan asap rokok, karena lebih seringnya aku menghembuskan dari mulut. Jika aku mencoba untuk menghembuskan dari hidung, maka aku pun akan terbatuk-batuk. Lain lagi dengan Izhar, ia sudah bisa menghembuskan asap rokok dari hidung. Bahkan bukan hanya itu, hembusan asap rokoknya itu bisa dibentuk menjadi bermacam ragam model. Entah dari manakah Izhar mempelajarinya. Beberapa kali aku mencobanya, tapi lagi-lagi hanya suara batuklah yang keluar dari mulutku.

Sebenarnya ada hal lain yang cukup mengganjalku ketika itu, dan mungkin juga Izhar. Hal itu adalah kebohongan. Aku selalu diajarkan oleh kedua orang tuaku untuk selalu jujur. Aku sendiri ketika itu merasa, bahwa hal yang kami lakukan ini adalah suatu dosa. Ketika merokok, terbayang wajah kedua orang tuaku, terbayang wajah Allahyarham Encek Zaidah, terbayang wajah guru-guru SD ku, terbayang wajah guru-guru madrasah-ku. Seakan-akan aku telah mengkhianati mereka. Seakan-akan aku telah melanggar ajaran-ajaran kebaikan dan akhlak yang telah mereka tanamkan kepada diriku.

Pada saat itu aku merasa, bahwa akulah manusia yang paling nista dan hina di dunia ini. Seakan-akan seluruh isi dunia mengutuk perbuatanku. Di depan kedua orang tuaku, aku selalu bersikap sebagai anak yang baik. Tapi lihatlah, di belakang mereka, aku berubah menjadi anak pembangkang. Dengan asyiknya bersama dengan anak-kemanakku, kami berkomplot melakukan perbuatan itu. Entah dari manakah ajaran ini kami dapatkan. Yang pasti, dari sekolah dan madrasah kami tak pernah mendapatkan ajaran seperti ini. Orang tua dan para kerabat kami juga tak pernah mengajarkan hal ini.

Untuk menyenangkan hati ayahku, setiap kali pulang dari memancing, kami selalu membawa kayu bakar, karena memang hasil pancingan kami begitu sedikitnya. Karena memang bukan memancinglah tujuan utama kami sebenarnya, melainkan merokok. Agar bau mulut kami tak kentara berbau rokok, maka Izhar sudah menyiapkan permen (kami lazim menyebutnya "sekelat" ataupun "kulom-kulom") untuk menutupi bau mulut kami. Selain itu, air kopi juga cukup efektif untuk menutupi bau rokok itu. Dengan cara seperti ini, maka tak ada seorang pun yang mengetahui bahwa kami merokok.

Lihatlah, betapa rapinya kami melakukan semua itu. Komplotan antara pak mude dan anak-kemanaknya ini pun terus berlanjut. Hingga pada masa-masa tertentu kami pun bosan untuk melakukannya lagi. Sesuatu yang dilakukan secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi memang kadang mengasyikkan dan begitu menantang. Tetapi ketika hal itu sudah tak lagi menjadi tantangan, maka lambat laun akan ditinggalkan. Yang ada kemudian adalah kebosanan.

Begitulah yang kurasakan sebagai anak Melayu tepian Sungai Kapuas. Hiburan bagi kami ketika itu sangat minimnya, sehingga kami memang harus pandai-pandai berinovasi menghadirkan sesuatu sebagai hiburan. Tak terkecuali hal-hal menantang seperti merokok juga bisa kami jadikan sebagai hiburan di tengah minimnya hiburan yang bisa kami dapatkan. #*#


[Hanafi MohanCiputat, medio April 2009]


Cerita sebelumnya

Kembali ke Daftar Isi


Sumber Foto/Gambar Ilustrasi: Dokumentasi/Koleksi Foto Ab Derraman Bein MadNatserr

Minggu, 12 April 2009

[Cerbung: Senja Merah Jingga] 11- Duta Budaya Melayu

Masa kecil adalah masa menanamkan segala macam nilai: baik itu positif maupun negatif. Lingkungan adalah salah satu faktor terpenting yang sangat mempengaruhi penanaman nilai itu.

Aku adalah satu dari sekian anak Melayu yang beruntung di atas bumi ini, karena sedari kecil memang hidup dan dididik dalam adat resam budaya Melayu. Semenjak kecil, aku sudah ditanamkan begitu rupa kesadaran untuk menjaga, melestarikan, dan mengembangkan budaya kami. Keluarga besar kami adalah sedikit dari keluarga yang memiliki kesadaran tinggi untuk hal ini. Orang yang berada di garda terdepan dalam hal ini adalah pak mudeku (abang dari ayahku) yang tertua, yaitu Haji Muhammad Qasim bin Haji Muhammad Buraa'i. Kami biasa memanggilnya Yah Long (Long adalah panggilan untuk anak tertua. Yah adalah singkatan dari ayah. Bagi kami, pak mude-pak mude kami juga adalah seperti ayah kandung kami sendiri).

Yah Long adalah mantan Kepala' Kampong kami. Beliau juga dahulunya adalah pejuang kemerdekaan. Perjalanan perjuangannya telah membawa dirinya hingga ke Pulau Jawa, Kalimantan Selatan, bahkan hingga ke Negeri Siam (Thailand). Ini kuketahui dari cerita ayahku.

Pak mudeku yang tertua inilah yang mendidik kami anak-anak Melayu ini untuk selalu menjaga marwah bangsa kami. Sedari kecil kami selalu dididiknya untuk hal ini. Lantunan syair hadrah, hentakan bunyi tar, dan tarian redat, itulah sedikit dari sekian banyak yang selalu diajarkannya kepada kami, selain juga beladiri silat Melayu yang juga diajarkannya.

Kami melalui ketelatenan Yah Long sudah menjadi duta budaya Melayu sejak usia belia. Tak jarang kami menampilkan pertunjukan seni hadrah di Istana Qadriyah Kesultanan Pontianak. Kelompok hadrah kampong kami adalah salah satu kelompok hadrah yang cukup dikenal se-Negeri Pontianak, hal ini antara lain karena kelompok hadrah kampong kami sering menjuarai pertandingan hadrah se-Negeri Pontianak, maupun se-Borneo Barat. Selain itu, kelompok hadrah kami juga pernah diutus menjadi duta budaya hingga ke Negeri Sarawak-Malaysia Timur (Borneo Utara).

Saking cintanya dengan seni Hadrah, suatu ketika, aku bersama tiga orang temanku di madrasah, yaitu: Izhar (keponakanku yang merupakan anak kakak sepupuku, cucu Yah Long), Ramli (kerabat jauhku), dan Jemi (kerabat jauhku, adiknya Pak Arif yang merupakan Kepala Madrasah menggantikan Tok Abu) bolos dari madrasah pada jam sembahyang Ashar. Ini semua kami lakukan demi berlatih seni hadrah yang tak berapa lama waktu itu kami akan melakukan pertunjukan di Istana Qadriyah.

Gara-gara ini, pak mudeku (adik dari ayahku, yang merupakan ketua yayasan yang menaungi madrasah) yang juga mengajar pelajaran Alquran memarahi kami pada saat jam pelajarannya di kelas. Terus-terang, aku malu sekali dengan teman-teman sekelas ketika itu. Tapi begitulah keadaannya. Semua itu kami lakukan karena begitu cintanya kami dengan seni budaya daerah kami.

* * *

Perkembangan seni budaya di Kota Pontianak memang kadang tak selalu berjalan mulus. Tapi untung saja, masih ada sebagian masyarakat yang memiliki kesadaran tinggi untuk melestarikannya. Ini kucermati tak lain karena memang kegigihan masyarakatlah yang berkeras untuk hal tersebut.

Hingga kini aku selalu bersyukur kepada Tuhan, karena pernah hidup di lingkungan yang memiliki kesadaran tinggi dalam melestarikan Budaya Melayu. Dalam lingkungan yang seperti itu aku dibesarkan dan dididik, sehingga kemudian mengalir dalam diriku penghargaan terhadap budaya. Bahkan hal ini berguna ketika aku berada di negeri rantau.

Ketika aku berada di negeri yang notabene bukanlah negeri berbudaya Melayu, maka kemudian muncul kesadaranku untuk juga menghargai budaya tempatku berada ketika itu. Aku bahkan kadang begitu tertarik untuk terlibat dalam budaya tersebut, terutama seni musiknya. Pernah kubayangkan seandainya aku bisa memainkan alat musik tradisional dari berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia. Pernah juga kubayangkan seandainya aku bisa memainkan alat musik dari berbagai bangsa di dunia.

Entah bagi anak-anak yang tak pernah hidup dan dididik dalam naungan budaya, mungkin mereka akan kebingungan menjejakkan kakinya. Mereka bingung, karena mereka terlepas dari akar budayanya. Mereka akan selalu menganggap sesuatu yang berasal dari luar itu adalah sesuatu yang baik. Mereka akan menelan mentah-mentah hal itu, karena mereka tak pernah tahu keluhuran budaya daerah mereka, keluhuran budaya nenek moyang mereka. Mereka pun kadang tak menghargai budaya daerah mereka sendiri. Kalau sudah seperti ini, maka mereka pun takkan menghargai budaya daerah lain. Yang akan mereka hargai tak lain adalah budaya nge-pop dan hedonisme. #*#


[Hanafi MohanCiputat, medio Februari 2009]


Cerita sebelumnya

Kembali ke Daftar Isi