Senin, 21 Januari 2008

“The Da Vinci Code” Tak Hanya Mengguncang Iman Kristiani


Mungkin aku termasuk seorang yang terlambat membaca Novel “The Da Vinci Code” karya Dan Brown, karena novel ini untuk pertama kalinya terbit pada tahun 2003 (edisi Bahasa Inggris). Kemudian terbit di Indonesia (edisi Bahasa Indonesia) pada tahun 2004 dan 2005. Kini sudah tahun 2008. Jadi boleh dikatakan, bahwa aku adalah orang yang terlambat membaca Novel yang menarik ini. Namun bagiku, tak ada kata terlambat untuk membagi apa yang kumengerti dari isi novel yang kubaca itu. Karena bagiku, mungkin saja setiap orang memiliki pandangan yang berbeda setelah membaca isi novel tersebut, tak terkecuali aku.

Kini, aku sudah menyelesaikan membaca Novel “The Da Vinci Code”. Ketika dalam proses membacanya, aku selalu membuat perkiraan-perkiraan (persangkaan-persangkaan), bagaikan seorang detektif. Dan ternyata, persangkaan-persangkaanku itu begitu banyak yang meleset. Di akhir novel, aku baru bisa tersenyum dan menarik napas lega, setelah sebelumnya begitu banyak ketegangan-ketegangan di dalam novel ini.

Agar lebih menarik, bacalah novel ini secara berurutan dari awal sampai akhir. Buatlah suatu catatan mengenai persangkaan-persangkaan kita, yang mana persangkaan-persangkaan kita itu biasanya akan runtuh ketika kita membaca halaman-halaman selanjutnya. Catatlah temuan baru itu. Dan kemungkinan, persangkaan-persangkaan kita berdasarkan temuan-temuan baru itu juga akan runtuh ketika kita membaca halaman-halaman selanjutnya. Catat terus perkembangan novel. Jangan lupa juga untuk mencatat hal-hal yang menurut kita menarik, seperti teka-teki, sandi, kode, dan simbol yang terpecahkan, yang teka-teki, sandi, kode, dan simbol itu saling berkaitan dan memiliki banyak arti. Catat juga hal-hal lainnya yang kita anggap menarik, seperti fakta sejarah dan mengenai doktrin-doktrin agama. Pada novel ini mengenai doktrin Kristen.

Bagi pembaca yang beragama selain Kristen, novel ini juga menarik untuk kita baca, agar kita bisa kembali menyelami keyakinan agama kita selama ini, yang ternyata begitu banyak metafora-metafora yang metafora-metafora itu sudah kita anggap sebagai suatu kebenaran itu sendiri, yang dapat dikatakan bahwa metafora-metafora itu sudah menjadi doktrin dan dogma yang sangat sulit untuk digugat.

Di halaman-halaman akhir novel, betapa aku terkejut. Ternyata Kapten Bezu Fache tak lain adalah seorang Polisi yang profesional dalam menjalankan tugasnya (karena persangkaanku sebelumnya, bahwa Kapten Bezu Fache termasuk ke dalam komplotan pembunuhan ini, yaitu yang menurut perkiraanku adalah Komplotan Opus Dei). Karena berkatnyalah kemudian, kasus pembunuhan yang misterius ini dapat terungkap, yaitu dengan tertangkapnya Sir Leigh Teabing (Guru), dan sekaligus Prof. Langdon dan Sophie Neveu dapat diselamatkan.

Uskup Aringarosa tak lain hanyalah seorang Uskup di Opus Dei (Pemimpin tertinggi di Opus Dei) yang sedang menghadapi kesulitan, dan dia tidak mengenal sama sekali “Guru”. Tawaran dari “Guru” diterimanya, karena ia ingin keluar dari kesulitan tersebut. Tapi akhirnya dia dapat menyadari, bahwa ia tak lebih telah ditipu oleh “Guru”. Dan ternyata Silas, anak didiknya itu, tak lebih hanya seorang mantan penjahat, yang dengan menjalankan tugas misterius itu dia berharap bisa menebus dosanya. Akhirnya, Silas (menurutku) sepertinya kembali menjadi orang baik (di akhir cerita, sepertinya Silas mati, karena tertembak oleh Polisi). Dan juga Opus Dei tidak terlibat dalam kasus ini, karena Uskup Aringarosa hanya dijebak oleh Sir Leigh Teabing (Guru).

Dan terakhir, Langdon dan Sophie Neveu setelah memecahkan keberadaan Holy Grail, yang mana Holy Grail itu sepertinya hanya perumpamaan. Karena Holy Grail memang tak ada di tempat yang sesuai dengan petunjuk sandi Sauniere. Yang ada adalah kemudian, Sophie Neveu dapat bertemu dengan Neneknya dan adik laki-lakinya, yang selama ini dia ketahui dari kakeknya (Sauniere) bahwa Nenek dan adik laki-lakinya itu juga menjadi korban kecelakaan mobil bersama-sama dengan kedua orang tuanya.

Yang membuat aku bingung, kejadian di novel ini hanya berlangsung semalaman, dilanjutkan dengan pagi hingga sore hari kemudian (mungkin hanya berkisar sekitar kurang-lebih 20 jam, atau mungkin bisa pendek dari itu), yaitu dari terbunuhnya Sauniere pada jam 10.46 malam di Paris, hingga tertangkapnya Guru (Sir Leigh Teabing) di London (di Novel, waktu tertangkapnya tak dijelaskan, namun sekilas dapat diperkirakan mungkin sore hari besoknya).

Kronologi singkatnya secara berurutan:
Dari pukul 10 malam hingga sekitar 6 pagi di Paris.
1) 10.46 malam (Museum Louvre-Paris): Sauniere terbunuh.
2) 12.32 dinihari (Hotel Ritz-Paris): Langdon masih berada di Hotel Ritz-Paris.
3) Kemudian Langdon sudah berada di Museum Louvre (jamnya tidak disebutkan).
4) Langdon dan Sophie Neveu ke Stasiun Kereta Api (tak disebutkan jamnya)
5) Langdon dan Sophie Neveu berada di Bank Penyimpanan Zurich-Cabang Paris.
6) Tengah malam (jamnya tak disebutkan): berada di Puri Villette milik Leigh Teabing-Paris.
7) Melakukan penerbangan dari Paris ke London (jamnya tak disebutkan).

6.30 pagi hingga Sore di London
1) 6.30 : mendarat di London
2) 7.30 berada di Gereja Kuil-London
3) berada di Perpustakaan King’s College (pagi-waktu jelasnya tak dituliskan).
4) Biara Westminster-London (waktunya tak dituliskan)
5) Tertangkapnya Guru (Sir Leigh Teabing), mungkin sekitar sore hari.

Yang membuat aneh lagi, latar tempatnya pun berpindah-pindah, bahkan dari Paris hingga ke London (tempat dengan jarak yang mungkin tak dapat dikatakan dekat). Dengan cerita yang sungguh mencekam itu, mungkinkah hanya dalam waktu yang pendek itu (sekitar kurang lebih 20 jam) semua itu terjadi? Entahlah. Tapi yg pasti, novel ini begitu menarik, dan layak untuk dibaca.


Jika pada komentar dikatakan bahwa Novel “The Da Vinci Code” ini sudah menggoyang iman Kristiani. Maka bagiku, setelah aku menyelesaikan membaca novel tersebut, memang benar komentar itu. Bahkan aku ingin menambahkan, bahwa novel tersebut, jika dibaca dengan teliti dan tidak hanya literal, oleh siapa saja, oleh penganut agama apa saja, maka novel tersebut sepertinya juga akan menggoyang iman siapa saja pada agama apa saja. Contohnya aku kini (aku beragama “Islam”), semakin mempertanyakan doktrin-doktrin dan dogma-dogma yang dipegang dan diyakini oleh umat Islam selama ini yang sekilas seperti cerita kartun. Seperti yang umat Islam yakini selama ini pada cerita Adam dan Hawa sebagai manusia pertama yang tadinya hidup di Syurga, yang kemudian dibuang ke bumi karena telah melakukan dosa. Pada cerita Nabi Muhammad menerima wahyu (yang merupakan keyakinan umat Islam selama ini), yang dikatakan bahwa Nabi Muhammad berhadap-hadapan dengan Malaikat Jibril bagaikan dua orang yang sedang berdialog. Pada cerita lainnya yang diyakini umat Islam juga disebutkan, bahwa suatu waktu ketika Nabi Muhammad menerima wahyu, Beliau melihat Malaikat Jibril sebagai perantara penyampai wahyu tersebut terlihat sangat besar sekali dengan sayapnya yang menutupi langit. Dan yang paling kontroversial dari keyakinan umat Islam selama ini adalah cerita mengenai Isra’ Mi’raj, yaitu peristiwa ketika Nabi Muhammad melakukan perjalanan dalam semalam (mungkin hanya dalam beberapa jam) dari Masjidil Haram (Mekah-Arab Saudi) ke Masjidil Aqsa (Yerusalem-Palestina), kemudian dilanjutkan dari Masjidil Aqsa ke “Sidratul Muntaha” yang terletak di atas “langit ke tujuh”, kemudian bertemu dengan Tuhan (juga dikatakan bertemu dengan Nabi-nabi sebelumnya, seperti Nabi Isa, Nabi Musa, dan Nabi Ibrahim). Sungguh perjalanan yang misterius, supranatural, suprahuman, dan cenderung tak masuk akal. Tidakkah hal-hal seperti ini banyak sekali dalam agama-agama (termasuk Islam), yaitu cerita-cerita yang tak masuk akal, dan kita hingga kini terus dengan setia (terpaksa ataupun tidak terpaksa) untuk mempercayai bahwa peristiwa tersebut memang terjadi secara “nyata”.

Aku kira para komentator itu (Amirah Latifah, Sidnan Al-Faruqi, Ain Muhammadi, dan Adian Husaini – komentar mereka dimuat oleh Majalah Insani, April 2005) tidak hanya harus melihat Novel “The Da Vinci Code” itu dalam kaitannya dengan iman Kristiani, namun alangkah lebih baiknya mereka juga menyadari, bahwa di dalam agama Islam juga banyak doktrin-doktrin dan dogma-dogma yang juga harus kita pertanyakan, seperti halnya Dan Brown yang sudah berani mempertanyakan mengenai doktrin-doktrin Kristiani tersebut. Sehingga kita sebagai umat Islam tidaklah akan terus-menerus mengatakan bahwa Agama Islam-lah yang paling bersih dan paling benar, sedangkan agama lain itu kotor dan salah.

Aku rasa, Dan Brown tidak hanya menembak sasarannya kepada umat Kristen. Namun karena ia penganut Kristen, maka sasaran yang sangat dia pahami untuk dituju adalah umat Kristen. Tapi walaupun begitu, aku yakin, sebagai sastrawan, Dan Brown tetap menyelipkan pesan-pesan universal yang itu bisa dimengerti oleh umat agama apa saja. Yaitu bahwa kontroversi mengenai ajaran agama tersebut bukan hanya menimpa agama Kristen, namun juga menimpa agama-agama lainnya (Islam misalkan). Dan hal itu bisa secara jelas kita baca dalam Novel “The Da Vinci Code” ini. Namun, karena yang kita lihat melulu selalu kesalahan pada agama lain (apalagi novel ini membahas mengenai doktrin Kristen), maka kita lupa, bahwa di dalam agama kita (Islam)-pun sebenarnya banyak sekali ajaran, keyakinan, dan dan doktrin yang kontroversi. Namun, karena kita sudah terlanjur membenci agama Kristen, maka semakin menjadi-jadilah kita mengatakan bahwa Kristen adalah agama yang sesat. Padahal saya tetap yakin (dan jika pembaca mau membaca secara teliti lagi dan tidak hanya literal), bahwa Novel “The Da Vinci Code” ini juga tak sedikit menyelipkan pesan, bahwa agama apapun di dunia ini pasti memiliki doktrin dan dogma yang mungkin hampir serupa dengan yang terjadi pada masyarakat Kristen, yang jika ada yang menentang doktrin dan dogma tersebut (atau yang memiliki ajaran atau keyakinan yang berbeda dengan mayoritas umat), maka dia akan dianggap sesat dan kafir. Tidakkah selama ini kita sebagai Umat Islam juga mengalami hal tersebut?

Di Novel tersebut dituliskan, bahwa Uskup Aringarosa dan Silas adalah penganut Kristen yang fanatik, yang di dalam novel diceritakan dapat dengan mudah dimanfaatkan dan diperalat oleh Guru (Sir Leigh Teabing). Jika Silas adalah orang yang baru mengenal Agama Kristen, maka Uskup Aringarosa adalah orang yang sudah lama mengenal Agama Kristen, apalagi ia adalah seorang Uskup dan Pemimpin tertinggi Opus Dei. Bukankah di Islam sendiri begitu banyak orang-orang seperti ini? Yaitu yang kelihatannya sangat taat dan fanatik terhadap keyakinan yang ia imani, dan kemudian para penganut Islam yang fanatik ini akan sangat mudah dimanfaatkan dan diperalat oleh orang-orang (ataupun lembaga) yang memiliki kepentingan tersembunyi. Dan anehnya, para penganut Islam yang fanatik ini tidak sadar bahwa ia diperalat dan dimanfaatkan. Yang mereka tahu, bahwa apa yang mereka lakukan selama ini adalah demi membela “agama” (membela “Tuhan”).



= Ciputat, Sabtu-19 Januari 2008 Pukul 18.22 WIB =


Hanafi Mohan
Sang Pencari



0 ulasan:

Posting Komentar