Hikayat Dunia

Kita hanya pengumpul remah-remah | Dari khazanah yang pernah ada | Kita tak lebih hanya penjaga | Dari warisan yang telah terkecai ||

Pontianak Singgah Palembang

Daripada terus berpusing-pusing di atas Negeri Pontianak, yang itu tentu akan menghabiskan bahan bakar, maka lebih baik pesawat singgah dahulu ke bandar udara terdekat. Sesuai pemberitahuan dari awak pesawat, bandar udara terdekat adalah Bandar Udara Sultan Mahmud Badaruddin II, Negeri Palembang.

Mudék ke Ulu

Pasangan dari kate “ulu” ielah “mudék”. Kate “mudék” beakar kate dari kate “udék”. Udék bemakne "sungai yang sebelah atas (arah dekat sumber)", "daerah di ulu sungai", juga’ bemakne "kampong halaman (tempat beasal-muasal)".

Soal Nama Negeri Kita

Belakangan ini kiranya ramai yang berpendapat ini dan itu mengenai asal usul dan makna nama "pontianak" kaitannya dengan Negeri Pontianak. Tapi apakah semua yang didedahkan itu betul-betul dipahami oleh masyarakat Pontianak?

Kampong Timbalan Raje Beserta Para Pemukanya [Bagian-3]

Selain banyak menguasai berbagai bidang keilmuan, beliau juga banyak memegang peran dalam kehidupan kemasyarakatan. H.M. Kasim Mohan yang merupakan anak sulong (tertua) dari pasangan Muhammad Buraa'i dan Ruqayyah ini merupakan seorang Pejuang di masanya.

Musik Motivasi Setahun Silam

“Satu Kursi untuk Seniman”, begitu tagline kampanyenya. Tekadnya untuk memajukan Kalbar lewat industri kreatif tentu patut diapresiasi. Melalui industri kreatif diharapkannya dapat menjadi jembatan menjulangkan budaya yang memayungi Kalimantan Barat.

Sultan Pontianak; Umara' dan 'Ulama

Kegemilangan Negeri Pontianak salah satunya diasbabkan kepemimpinan para Sultan-nya yang arif dan bijaksana. Sultan-Sultan Pontianak selama masa bertahtanya rata-rata memiliki dua peranan, yaitu berperan sebagai umara', sekaligus berperan sebagai 'ulama.

Puisi Buya Hamka untuk Muhammad Natsir

Kepada Saudaraku M. Natsir | Meskipun bersilang keris di leher | Berkilat pedang di hadapan matamu | Namun yang benar kau sebut juga benar ||

Rabu, 10 September 2008

Penghujung Agustus di Republik Dangdut

Begitu inginnya aku menulis. Kadang mudah, namun tak jarang pula begitu sulitnya mendapatkan inspirasi untuk menulis. Hal ini sungguh kurasakan di bulan Agustus ini. Sebenarnya aku ingin sekali menghasilkan begitu banyak tulisan di bulan ini. Begitu banyak momen-momen penting di bulan Agustus: HUT RI, HUT TVRI, HUT RCTI, HUT SCTV, dan rumah makan siap saji yang kulalui kemarin, namanya juga ada HUT-nya (Pizza Hut).

Ya, begitu banyaknya momen penting di bulan ini, sehingga tak salah jika aku ingin menghasilkan begitu banyak tulisan di bulan yang penuh berkah ini. Apalagi pada tanggal 17 Agustus yang lalu, aku juga mengikuti suatu pelatihan menulis, dan setelah itu langsung touring bersama teman-temanku ke Gunung Salak. Inspirasi memang begitu banyaknya, tapi tak satupun dari inspirasi itu yang menurutku pas untuk dijadikan tulisan. Memang ada beberapa tulisan yang sudah kubuat, tapi aku merasa tulisan tersebut belumlah layak untuk diposting ke blog tercinta ini.

Dalam seminggu ini otakku membeku. Sepulangnya dari Gunung Salak, kakiku rasanya patah-patah. Ini tak lain karena kami juga hiking menuju ke Curug Seribu (masih di kawasan Gunung Salak) yang medannya cukup berat: mendaki, menurun, terjal, licin, belum lagi jalanan batunya yang cukup tajam menusuk telapak kaki. Jika tidak berhati-hati, tentunya kecelakaan sudah menunggu di depan mata.

Beberapa hari sekembalinya dari Gunung Salak, seorang mahasiswa baru di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta meminta bantuanku untuk menemaninya mencari kosan. Seharian mengelilingi kawasan sekitar kampus, akhirnya dapat juga kosan yang pas menurut selera mahasiswa baru itu. Hari Minggu yang lalu bertemu dengan teman kuliahku yang kini sudah lulus dan kerja. Selepas itu, sorenya jalan-jalan ke kawasan Blok M bersama seorang teman karibku. Senin malam kongkow-kongkow dengan teman karibku sambil menikmati suasana pasar malam di dekat rumahnya. Selasa sore bertemu dengan beberapa teman kuliahku sambil nonton film: American Gangster, Kungfu Panda, dan Kawin Kontrak.

Kemarin (Rabu) seharian saja di kosan. Sorenya barulah berkutat lagi di depan komputer mengedit skripsi temanku, sambil mendengarkan lagu arabia. Sebenarnya aku bermaksud pada Rabu malam ini nonton konser Gigi dan Ungu di Senayan. Tiketnya cukup murah, hanya 15.000 rupiah. Beberapa orang teman kutawari untuk menonton konser yang dimaksud, tapi tidak ada yang mau. Akhirnya, batallah menonton konser tersebut.

Setelah berkutat di depan komputer dari sore hingga sekitar pukul 7 malam, selesailah beberapa bahan tambahan yang kumasukkan ke skripsi temanku, itupun sambil ngobrol dengan istri temanku yang singgah sebentar ke kosanku menunggu suaminya, untuk kemudian dia bersama suaminya akan ke Bekasi.

Bosan juga seharian di kosan. Selepas temanku dan istrinya itu beranjak dari kosanku, akupun lantas keluar dari kosan bermaksud menemui seorang temanku di rumahnya. Ketika sampai di depan rumahnya, temanku itu kukontak lagi (pakai HP tentunya), tapi ternyata orangnya tidak ada, mungkin sudah tidur, atau mungkin sedang keluar. Akhirnya aku jalan saja menelusuri Jalan Pesanggrahan (jalan samping kampus UIN Jakarta). Tak disangka-sangka, ketika makan di sebuah warteg yang ada di Jalan Pesanggrahan, bertemulah aku dengan seorang temanku, dulunya kami sama-sama sebagai pengurus cabang organisasi mahasiswa ekstra kampus. Selepas makan, kami pun kongkow-kongkow di sebuah warnet yang tak jauh dari warteg tersebut, sambil temanku itu mencari bahan yang dicarinya menggunakan Mr. Google.

Cukup lama juga pertemuanku dengan temanku itu. Setelah itu, langsung saja aku bermaksud kembali ke kosan, karena hari sudah cukup malam. Ketika hampir mendekati kosan, sayup-sayup kudengar musik yang begitu merakyat di negeri ini. Tapi tak kuhiraukan, langsung saja aku menuju kosan. Perkiraanku, mungkin pentas pertunjukan perayaan 17 Agustusan, karena kebiasaan masyarakat sekitar lingkungan kosanku menutup perayaan 17 Agustusan yang mereka adakan adalah dengan mengadakan pentas pertunjukan musik. Sampai di kosan, musik tersebut masih begitu jelas terdengar. Perkiraanku, tempat pertunjukan musik tersebut mungkin tak jauh dari lingkungan kosanku. Lalu, keluarlah lagi aku mencari tempat pertunjukan musik yang dimaksud. Eh, ternyata benar juga, lokasi pertunjukan tersebut tak jauh dari lingkungan kosanku.

Jika ada pertanyaan, musik apakah yang paling merakyat di republik ini? Tak lain dan tak bukan, jawabannya pasti “dangdut“. Di Jakarta, tak lengkap kiranya perayaan 17 Agustusan tanpa pertunjukan musik yang satu ini, tak terkecuali di Ciputat.

Ternyata, tidak di Pontianak tidak pula di Jakarta, tetap saja musik dangdut yang paling merakyat. Tak jarang musik yang satu ini dicemooh, dihujat, dilarang untuk tampil, bahkan sampai-sampai seorang walikota berseteru dengan seorang artis dangdut gara-gara goyangan si artis katanya bisa menggoyahkan iman dan merusak moral masyarakat. Tapi, tetap saja dangdut yang dicintai dan digemari oleh rakyat republik ini.

Di depan panggung pertunjukan, kulihat begitu banyak orang yang menonton: dari anak-anak yang masih bau kencur hingga orang yang sudah lanjut usia, pria dan perempuan, ibu-ibu rumah tangga hingga bapak-bapak pemimpin rumah tangga, mahasiswa, pejabat RT dan RW setempat, hingga kuli bangunan, tukang ojek, sopir angkot, preman-preman setempat, yang semuanya berbaur di depan panggung pertunjukan musik dangdut.

Ketika tampil seorang biduanitanya, masih muda, cantik, pakaiannya seksi, para penonton yang ada di depan berjoget dengan riangnya, tak terkecuali biduanita itu juga berjoget, yang entah goyang apa namanya. Sepertinya biduanita yang satu ini masih baru. Hal ini terlihat dari performancenya di depan panggung: kaku, malu-malu, canggung, dan suaranya yang lebih banyak falsnya, musiknya ke barat, suara penyanyinya ke selatan, musik pengiringnya bernada dasar A minor, sementara penyanyinya dengan nada dasar B minor.

Selama penampilan penyanyi tersebut, aku bukannya menikmati lantunan suara dan goyangan pinggulnya, melainkan menutupi mulutku, lalu tersenyum-senyum sendiri. Ternyata penonton yang lain pun sadar akan keganjilan dari si penyanyi. Terdengar teriakan dan sorakan dari para penonton yang kecewa akan penampilan si penyanyi, “Tuuurun, tuuurun, tuuurun ...!“ Mungkin sadar akan performancenya yang tidak memuaskan, si penyanyi pun turun panggung setelah menyanyikan hanya beberapa lagu. Untungnya para penonton tidak sampai melempari si penyanyi dengan botol ataupun kaleng. Pertunjukan cukup damai dan aman, tidak ada keributan, tidak ada penonton yang rese’, pokoknya “piss” deh. Tak seperti konser-konser grup band populer di Indonesia yang kadang penontonnya rusuh, bahkan ada yang sampai meregang nyawa.

Penyanyi-penyanyi selanjutnya cukup memuaskan penonton, bahkan ada penyanyi yang menyanyikan sebuah lagu hingga kurang lebih 20 menit, entah berapa kali lagu tersebut diulang. Yang pasti, sepertinya penonton puas dengan penampilannya, dan entah sudah berapa banyak para penonton memberi saweran kepada penyanyi itu.

Yang tak kalah seru adalah para pemain musiknya. Jika para penyanyi bisa berganti-ganti, maka tidak untuk para pemain musik. Dari awal pertunjukan dimulai, hingga berakhirnya pertunjukan tersebut, merekalah (para pemain musik) yang meramu dan memainkan musik tersebut, tanpa ada yang menggantikannya, istirahat pun hanya beberapa saat saja. Yang paling kusuka dari pertunjukan musik dangdut adalah pemain gendangnya. Tentunya cukup pegal juga tangan si pemain gendang itu. Tapi ia terus memberikan permainan dan pertunjukan yang terbaik, demi menghibur para penonton. Suatu saat, mungkin karena tangan kanannya sudah pegal, maka si pemain gendang tersebut menggantikan tangan kanannya dengan kaki kanannya. Jadilah kini tangan kiri yang memainkan “dang”, sedangkan kaki kanan memainkan “dut”. Jika penonton yang lain asyik berjoget, maka aku cukuplah hanya menggerak-gerakkan kaki mengikuti hentakan irama musiknya.

Yang lebih dominan pada musik dangdut adalah elaborasi atas melodi, bukanlah kerapian harmoni. Bagi rakyat republik ini, musik semacam dangdut akan dengan mudah mengantar kepada pembebasan. Dalam kehidupan sosial, harmoni menjadi suatu persoalan yang begitu kritis. Karena itulah, melodi yang menghanyut-hanyut akan memudahkan terbukanya gerbang jiwa yang lain. Kemudian berjogetlah para pendengarnya.

Itulah musik dangdut. Mulut ini bisa berkata bahwa musik dangdut kampungan, tapi cobalah sedikit saja beri kesempatan hembusan irama dangdut membelai jiwa kita. [Hanafi Mohan]

Ciputat, Kamis – 28 Agustus 2008

Senin, 08 September 2008

Sejarah Menulis dan Primbon Ayahku


Membaca dan menulis adalah dua kegiatan yang saling mengisi. Bagi para penulis, membaca adalah kegiatan yang begitu penting selain daripada kegiatannya menulis. Entah bagi para pembaca yang bukan penulis, apakah menulis juga menjadi bagian tersendiri selain dari kegiatannya membaca. Tapi sedikit banyak biasanya ada keinginan dari pembaca yang bukan penulis untuk juga menulis, walaupun keinginan itu kecil sekali porsinya, dan mungkin hanya muncul di benaknya.
“Sejarah Menulis …,” ah …, begitu besar sekali judul tulisan ini, walaupun isinya hanya kecil dan biasa saja. Keinginan menulis ini muncul begitu saja setelah aku membaca beberapa tulisan Eka Kurniawan di blognya, dan juga membaca biografi kepenulisannya.
Dulu, ketika masih SMP (atau mungkin juga masih SD), bersama abangku, iseng-iseng kami mempelajari buku primbon dan mujarabat milik ayahku (ayahku meninggal dunia ketika aku kelas tiga SMK/STM). Dalam hal mempelajari primbon ini, ternyata abangkulah yang jadi paling jago dan cepat menguasai hitung-hitungan untuk meramal seseorang berdasarkan ilmu perbintangan pada primbon tersebut.
Dari buku primbon dan mujarabat milik ayahku yang aku dan abangku pelajari itulah, aku kemudian mengetahui ramalan mengenai diriku. Diramalkan di situ, bahwa nantinya aku akan menjadi juru tulis. Diramalkan juga, bahwa nantinya aku akan merantau, berlayar, dan beberapa ramalan lainnya.
Terlepas dari benar atau tidaknya ramalan itu, tepat atau tidaknya yang telah termaktub di buku primbon dan mujarabat tersebut, aku kemudian memang merantau ke tanah Jawa, ke Kota Metropolitan Jakarta, dipercayakan menjadi juru tulis, dan sekretaris di organisasi yang pernah kugeluti. Semuanya ini tadinya mungkin hanya menjadi khayalan dan mimpiku. Atau juga mungkin tak pernah kukhayalkan dan mimpikan, namun kemudian perjalanan hidup berkata lain. Aku yang tak lebih hanyalah anak kampung di pesisir Sungai Kapuas Kota Pontianak, dari keluarga yang pas-pasan (atau lebih tepatnya dikatakan sebagai keluarga miskin), kemudian melalui jalan yang tak kusangka-sangka telah membawaku untuk merantau ke Jakarta, kemudian kuliah pada salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta.
Sebelum berangkat ke Jakarta, abangku menghadiahkan sebuah buku yang cukup tebal, yang kemudian buku itu kujadikan sebagai buku diary. Dari sinilah aku mulai rajin menulis diary. Betapa Jakarta merupakan tonggak awal hobiku menulis, dan itu harus kuakui. Semenjak di Jakarta lah, berhubungan dengan pekerjaanku pada sebuah rental komputer milik abang sepupuku, maka menulis menjadi bagian tersendiri dari hidupku. Setiap hari aku mengetik naskah makalah, bahkan skripsi. Kegiatan menyunting tulisan sudah menjadi keseharianku ketika itu, sedangkan saat itu aku belum kuliah.
Dari hobi menulis diary inilah, jari-jariku ringan saja kalau menulis. Ketika kuliah, jika teman-temanku mengalami problem yang begitu akut ketika menulis, maka sebaliknya, aku tidak mengalami problem tersebut.
Kemudian, hobiku menulis beranjak kepada bentuk yang lain, yaitu puisi, dan kemudian juga menulis lirik lagu untuk kumainkan di band kelas yang kugawangi ketika itu. Karena hobi menulis puisi inilah, pernah dua kali aku membacakan puisi karyaku di hadapan orang banyak. Yang pertama adalah ketika acara inaugurasi anggota baru organisasi ekstra kampus yang pernah kugeluti, yang ketika itu tulisanku yang berupa catatan harian juga diumumkan sebagai pemenang pertama lomba penulisan catatan harian yang diadakan oleh pengurus cabang organisasi ekstra kampus yang kugeluti itu. Yang kedua adalah ketika acara malam penutupan kegiatan Kuliah Kerja Sosial (KKS) pada sebuah desa di Provinsi Banten.
Dari hobi menulis puisi, kemudian perjalanan menulisku bergerak ke arah prosa. Tadinya aku tertarik untuk menulis Non Fiksi semacam Essay ataupun Opini. Mencoba beberapa kali menulis Non Fiksi, ternyata kurasakan bahasa tulisanku tak mengalir dengan lancar. Belakangan ini barulah aku menemukan tempat berlabuh yang tepat, yaitu Fiksi. Bahasa tulisanku ternyata bisa mengalir dengan lancar di Fiksi. Tadinya aku juga tak menyangka bisa menulis semacam Cerpen, karena jangankan menulis Cerpen, membaca Cerpen pun aku jarang. Dalam bayanganku, untuk bisa menulis Cerpen itu tidaklah mudah. Ternyata setelah dijalani, tak serumit bayanganku sebelumnya. Hanya perlu inspirasi dan imajinasi untuk melakukan semua itu (dan yang pasti juga kemauan).
Kini, setelah lancar menulis Fiksi, ketika kemudian aku menulis Non Fiksi, maka bahasa tulisanku di Non Fiksi pun menjadi lebih lancar. Kini, aku ingin menulis apa saja. Apa saja yang menurutku menarik, maka akan kutulis. Sehingga kadang aku merasakan, bahwa setiap hembusan nafasku adalah kata-kata: kadang berdetak seirama dengan detakan jantung, kadang berdenyut bersama dengan denyutan nadi, dan terkadang juga mengalir seiring dengan aliran darah. Seorang sastrawan pernah mengatakan, bahwa karya-karyanya adalah anak rohaninya. Layaknya seorang anak, maka kita juga harus menyayangi anak-anak rohani yang telah kita lahirkan itu. [Hanafi Mohan]


Ciputat, Selasa – 26 Agustus 2008
Pukul 10.01 WIB