Hikayat Dunia

Kita hanya pengumpul remah-remah | Dari khazanah yang pernah ada | Kita tak lebih hanya penjaga | Dari warisan yang telah terkecai ||

Pontianak Singgah Palembang

Daripada terus berpusing-pusing di atas Negeri Pontianak, yang itu tentu akan menghabiskan bahan bakar, maka lebih baik pesawat singgah dahulu ke bandar udara terdekat. Sesuai pemberitahuan dari awak pesawat, bandar udara terdekat adalah Bandar Udara Sultan Mahmud Badaruddin II, Negeri Palembang.

Mudék ke Ulu

Pasangan dari kate “ulu” ielah “mudék”. Kate “mudék” beakar kate dari kate “udék”. Udék bemakne "sungai yang sebelah atas (arah dekat sumber)", "daerah di ulu sungai", juga’ bemakne "kampong halaman (tempat beasal-muasal)".

Soal Nama Negeri Kita

Belakangan ini kiranya ramai yang berpendapat ini dan itu mengenai asal usul dan makna nama "pontianak" kaitannya dengan Negeri Pontianak. Tapi apakah semua yang didedahkan itu betul-betul dipahami oleh masyarakat Pontianak?

Kampong Timbalan Raje Beserta Para Pemukanya [Bagian-3]

Selain banyak menguasai berbagai bidang keilmuan, beliau juga banyak memegang peran dalam kehidupan kemasyarakatan. H.M. Kasim Mohan yang merupakan anak sulong (tertua) dari pasangan Muhammad Buraa'i dan Ruqayyah ini merupakan seorang Pejuang di masanya.

Musik Motivasi Setahun Silam

“Satu Kursi untuk Seniman”, begitu tagline kampanyenya. Tekadnya untuk memajukan Kalbar lewat industri kreatif tentu patut diapresiasi. Melalui industri kreatif diharapkannya dapat menjadi jembatan menjulangkan budaya yang memayungi Kalimantan Barat.

Sultan Pontianak; Umara' dan 'Ulama

Kegemilangan Negeri Pontianak salah satunya diasbabkan kepemimpinan para Sultan-nya yang arif dan bijaksana. Sultan-Sultan Pontianak selama masa bertahtanya rata-rata memiliki dua peranan, yaitu berperan sebagai umara', sekaligus berperan sebagai 'ulama.

Puisi Buya Hamka untuk Muhammad Natsir

Kepada Saudaraku M. Natsir | Meskipun bersilang keris di leher | Berkilat pedang di hadapan matamu | Namun yang benar kau sebut juga benar ||

Kamis, 15 Mei 2008

[Cerpen] Simpang Tiga


Setengah gelisah kulirik jam tangan. HP-pun tak berbunyi sedari tadi. Angin sepoi-sepoi menerpa wajah. Di depan terbentang sungai kotaku. Pas di belakang ada Masjid Jami’. Aku sendiri kini berada di Kopol[1] Masjid Jami’.

Kukirim SMS ke orang yang aku tunggu kini, yaitu teman milisku, Iduy namanya. Dalam enam bulan ini kami rutin bermilis-milisan mendiskusikan kotaku. Tepat hari ini kami berjanji untuk bertemu. Aku pun tak tahu persis wajahnya seperti apa. Kami bersepakat untuk bertemu di Kopol Masjid Jami’ ini. Kebetulan ini adalah tempat favoritku. Dan teman milisku itu pun tak asing dengan tempat ini. Sore ini adalah hari kedua keberadaanku di kota sungai ini, setelah sekian lama kutinggalkan untuk menyelesaikan studi di Jakarta. Bukan main senangnya aku kemarin ketika turun dari kapal di pelabuhan kotaku. Memang tak terlalu banyak yang berubah. Jalan-jalan masih seperti tujuh tahun yang lalu. Bahkan kini semakin macet. Gedung-gedung, pasar, alun-alun, masih tetap sama. Paling-paling hanya sedikit yang berubah dan bertambah.

Tiba-tiba ada yang menepuk pundakku. Dia tak berucap sedikitpun. Kuperhatikan orang itu, mungkin umurnya masih sebaya denganku. Aku coba mengingat-ingat.

“Kawan, apa yang kau lamunkan? Ini aku. Sudah tak ingatkah kau denganku?” ucap orang itu kepadaku.

“Maaf, anda ini sebenarnya siapa ya? Terus terang aku tak kenal.”

“Benarkah kau sudah tak kenal denganku? Kita dulu sekolah di SMA yang sama, bahkan satu kelas. Kita sama-sama hobi musik, sehingga waktu itu kita membentuk band bersama teman-teman sekelas yang juga hobi musik. Kita beberapa kali mengikuti festival musik mewakili sekolah ketika itu,” ucapnya berpanjang lebar.

Aku mencoba mengingat-ingat masa yang telah lama itu. Tapi percuma, waktu yang telah cukup lama itu sangat sulit sekali untuk diingat, “Ah kawan, aku benar-benar lupa. Maklumlah, waktu itu sudah cukup lama. Oh ya, kalau kau memang teman SMA-ku, tentunya kau kenal dengan namaku?” ucapku kepada orang yang mengaku teman SMA-ku itu.

“Kau ngetes rupanya ya. Tapi baiklah, kalau itu yang kau inginkan. Nama kau Zamzami, tinggal di kampong[2] dekat jembatan, pemain keyboard kalau lagi ngeband, kau …”

“Sudah … sudah …, cukup. Sangat jelas sekali yang kau paparkan mengenai diriku tadi. Dan kini aku percaya kau memang teman SMA-ku. Dan kini kau sebutkanlah namamu, mudah-mudahan aku akan langsung ingat,” pintaku.

“Aku Wahyudi, biasa kalian panggil Yudi. Kalau ngeband aku lead gitar, dan …”

“Cukup Yud. Aku kini sudah ingat. Dan …, sejak awalpun tadi aku sudah mengira, kau pasti Yudi. Karena wajah kau sangat khas.”

“Ah, dasar kau ini. Kalau tahu seperti itu, menyesal aku berpanjang lebar tadi.”

“He … he … he …, maaf kawan!”

“Oh ya, ada keperluan apa kau di sini, Zam?” tanya Yudi.

“Aku sedang menunggu seseorang. Kau sendiri ada apa di sini?”

“Aku memang sering ke sini kalau lagi suntuk. Melihat pemandangan sungai yang sangat indah ini.”

“Yud, aku dengar-dengar kau dulu kuliah di Yogyakarta. Benarkah itu?”

“Benar sekali. Kau sendiri bagaimana Zam? Sepertinya kau sudah sukses ya?”

“Sukses? Belumlah itu kawanku. Aku baru menyelesaikan kuliah di Jakarta. Baru dua hari ini aku berada di kota kita ini. Oh ya, kemarin di kapal aku bertemu dengan teman sekelas kita, Andreas.”

Kami pun terus bercerita. Mengenang masa SMA dulu, keadaan kami setelah lulus dari SMA, bahkan keadaan kini. Tak terkecuali tentang kotaku ini.

* * *

Panas memang begitu teriknya di kotaku. Tapi di pinggir sungai ini, angin sepoi-sepoinya mengusir teriknya panas mentari hari ini. Penambang[3] sampan[4] dan penambang spid[5] berlalu-lalang menyeberangi sungai. Kadang tak jarang pula para penambang kendaraan tradisional itu menaik dan menurunkan penumpang di Kopol Masjid Jami’ tempat kami berada kini.

“Lihatlah kota kita ini, Yud! Masih seperti dulu, tak banyak yang berubah.”

“Iya, Zam. Memang tak banyak yang berubah. Lihatlah jembatan yang menyeberangi sungai ini, sudah semakin macet. Yang pasti sudah semakin tua. Mungkin umurnya hampir sama dengan kita.”

“Yang kau rasakan itu sama dengan yang aku rasakan. Lihatlah sungai tua ini. Ia terus mengalir, memberikan kehidupan pada warga kota kita. Tapi apa balasan baginya? Ia kini tercemar. Makhluk hidup yang ada di dalamnya semakin berkurang karena tercemar limbah merkuri.”

“Bukan hanya itu, Zam. Banjir dan kabut asap yang menjadi rutinitas setiap tahunnya di kota ini juga dikarenakan manusia sudah tak bersahabat lagi dengan alam.”

“Tapi tetap saja, sungai tua ini membuat kita rindu. Karena dari simpang tiga sungai inilah sejarah kota kita bermula.”

“Masjid tua di belakang kita ini juga menjadi saksi bisu berdirinya kota ini dua abad yang silam.”

“Dan, para pemuda kota ini sudah banyak yang tak tahu sejarah kotanya lagi, Yud.”

Sementara di halaman Masjid Jami’ Kesultanan, kulihat anak-anak memainkan permainan tradisional dengan riangnya. Sungguh sore yang begitu indah.

* * *

Waktu terus mengalir, sebagaimana air sungai di depan kami yang terus mengalir ke laut.

“Ternyata kau sudah banyak berubah, Zami.”

“Apanya yang berubah? Aku masih seperti yang dulu.”

“Kau memang sudah banyak berubah. Cara bicara, cara berpikir, juga pandangan kau terhadap kota ini.”

“Ah, kau bisa saja. Itu karena aku punya kesempatan untuk berpendidikan lebih tinggi. Selain itu, aku masih Zami seperti yang dulu.”

Temaram senja lambat-laun menggantikan terang benderang sinar matahari di Kota Khatulistiwa. Lampu-lampu dari rumah, kapal, motor air, dan bandong[6] yang ada di sepanjang tepian sungai satu persatu menyala menerangi kotaku di sisi sungainya. Azan maghrib pun kemudian berkumandang dari masjid tua itu.

“Ayolah kita shalat maghrib dulu!” ajakku kepada Yudi.

Lalu kami pun menuruni tangga yang ada di kopol masjid tua itu untuk berwudhu. Terasa air sungai mengalir sejuk ke wajahku. Tak peduli entah sudah berapa banyak merkuri yang mencemarinya. Yang pasti, Sungai Kapuas hingga kini tetap menjadi sumber kehidupan masyarakat kota yang dibelah sungai ini.

* * *

Kami sudah berada lagi di kopol masjid setelah menunaikan shalat maghrib di masjid tua yang merupakan masjid sekaligus bangunan pertama yang didirikan di kotaku ini.

“Zami, sedari tadi orang yang kau tunggu itu tak kunjung datang,” Yudi memulai pembicaraan.

“Tak tahulah, Yud. Mungkin ia berhalangan. Tapi untunglah ada kau. Sehingga kebosanan menunggu menjadi hilang.”

Suasana malam di pinggir sungai ini menambah asyiknya obrolan kami.

Tak dapat kubayangkan, jika air sungai ini meluap, merendam habis daerah sekitarnya. Dan itu bukan hanya bayangan. Setiap tahun ketika musim hujan, air pasang merendam hampir seluruh kawasan kota ini. Manusia sudah tak bersahabat lagi dengan alam. Hutan dibabat habis, dibakar, sehingga banjir menjadi rutinitas setiap tahun. Belum lagi kabut asap yang menjadi komoditas eksport yang cukup memalukan ke negara tetangga. Penambangan emas di hulu sungai yang kini semakin mencemari sungai dengan limbah merkurinya, sehingga ikan-ikan sungai pun kini sudah semakin berkurang.

* * *

Waktu terus merangkaki malam. Anak-anak yang bermain di halaman masjid pun semakin sepi. Transportasi sungai yang lalu-lalang menyeberangkan penumpang pun tinggal satu dua saja. Di simpang tiga ini awal berdiri kotaku, dengan masjid tua itu sebagai bangunan pertamanya.

“Mungkin hanya sampai di sini saja pertemuan kita, Yudi. Entah bilakah lagi kita bisa berbincang-bincang seperti ini.”

“Ya. Aku pun tak menyangka bisa bertemu dengan teman lamaku di simpang tiga sungai kota kita ini.”

Kami pun berpisah di simpang tiga yang bersejarah itu. Temanku menyeberangi sungai menggunakan spid. Sedangkan aku menyusuri jalan di pinggir sungai yang menuju ke arah rumahku di Kampong dekat jembatan.

* * *

Tidit … tidit …, HP-ku berbunyi. Langsung saja kubuka. SMS dari Yudi rupanya.

Trims Zami atas wktuny. Kpn2 qt bise ktemu agik – Yudi alias Iduy.

Ah, betapa bodohnya aku. Ternyata Yudi teman SMA-ku adalah Iduy teman milisku, orang yang kutunggu sedari tadi sore. [-,-]


- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Hanafi Mohan
Ciputat, 2 – 6 Mei 2007
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -


Catatan:

[1] kopol = Dermaga kecil di pinggir sungai.
[2] kampong = Istilah setempat (Bahasa Melayu Pontianak) yang lazim untuk menyebut “kelurahan”.
[3] penambang = Pengemudi.
[4] sampan = Transportasi penyeberangan sungai, sejenis perahu kecil yang dijalankan dengan dikayuh oleh tenaga manusia, sehingga jalannya agak sedikit lambat.
[5] spid = Hampir sama dengan sampan, tapi dijalankan dengan menggunakan mesin. Sehingga jalannya agak lebih cepat dibandingkan sampan.
[6] bandong = Kapal berbentuk seperti rumah, bisa memuat barang-barang dalam jumlah berton-ton. Merupakan angkutan barang untuk memasok ke kawasan-kawasan ulu sungai di Kalimantan Barat.



Tulisan ini dimuat di: http://www.hanafimohan.com/


Sumber Gambar: http://www.matatita.com/

[Cerpen] Tiga Orang Buta


Ada tiga orang buta yang pada suatu siang berkunjung ke kebun binatang. Mereka berteman sangat akrab, dan sering berjalan bersama. Mereka berjalan seakan tak memiliki tujuan. Itulah di pandangan orang awam yang tidak buta. Namun lain lagi pada sisi ketiga orang buta tersebut. Bisa saja mereka memang memiliki tujuan. Buktinya pada siang itu, mereka dapat tiba di kebun binatang. Dan itu mungkin bukan karena mereka kebetulan lewat, tapi bisa saja mereka memang merencanakan untuk ke kebun binatang. Yang pasti, kini mereka sudah berada di kebun binatang.

Singkat cerita, berjalanlah mereka mengitari kebun binatang. Hingga suatu saat, mereka sudah berada di depan kandang gajah. Mereka mendengar suara gajah di kandang itu. Jelas saja mereka tertarik, kemudian bertanya-tanya di antara mereka, “Suara apakah itu?” Karena mereka saling bertanya, kemudian jawaban itu tak terjawab. Mereka hanya mengira-ngira saja. Mungkin ini, mungkin itu, mungkin ini itu, dan kemungkinan-kemungkinan lainnya.

Tak berapa lama, lewatlah di depan mereka seorang petugas kebun binatang, yang kemudian menghampiri mereka, lalu bertanya, “Bapak-bapak sekalian, apakah ada yang bisa dibantu?”

Ketiga orang buta lalu menjelaskan tentang ketertarikan mereka akan suara yang mereka dengar itu, dan menanyakan suara apakah gerangan. Petugas kebun binatang kemudian berbalik menjelaskan sebagaimana mestinya. Karena ketertarikan akan suara gajah itulah, mereka kemudian meminta kepada petugas kebun binatang itu agar mereka bisa memegang gajah tersebut. Mengingat bahwa ketiga orang buta itu juga adalah pengunjung kebun binatang, maka petugas kebun binatang pun memperbolehkan mereka.

Kandang gajah ketika itu masih tertutup rapat. Petugas kebun binatang itu tak lain adalah penjaga kandang gajah tersebut, dan dialah yang bertugas menutup dan membuka kandang gajah. Ia pun mengambil kunci yang tersimpan di saku celananya, kemudian membuka gembok kandang tersebut dengan kunci yang ia pegang. Tak lama, terbukalah pintu kandang gajah itu. Petugas itu kemudian mempersilakan ketiga orang buta untuk masuk ke dalam kandang gajah.

Dituntun oleh si petugas, ketiga orang buta kini sudah berada di dekat binatang yang membuat mereka tertarik itu. Letak gajah memang tidak persis berada di pinggir kandang. Atau lebih tepatnya, gajah tersebut terletak agak ke dalam kandang. Sehingga setiap pengunjung yang ingin melihat gajah lebih dekat ataupun mungkin ingin memegangnya, maka si pengunjung memang harus masuk ke dalam kandang gajah tersebut.

Atas petunjuk dari si petugas, ketiga orang buta pun memegang gajah dalam waktu yang hampir bersamaan. Karena gajah tersebut memang lumayan besar, sehingga masing-masing dari ketiga orang buta kemudian memegang apa saja objek dari gajah yang terdekat dari mereka ketika itu. Betapa senangnya ketiga orang buta tersebut, karena keinginan mereka sudah tercapai.

Beberapa saat kemudian, karena memang pengunjung di luar kandang sudah banyak juga yang ingin masuk ke kandang gajah, maka si petugas pun mempersilakan ketiga orang buta untuk keluar dari kandang gajah dan memberikan kesempatan kepada pengunjung lainnya.

* * *

Ketiga orang buta kini sudah berada di luar kandang gajah. Mereka kemudian menyusuri lagi kebun binatang. Kaki mereka terus melangkah, melangkah, dan melangkah. Sambil berjalan, mereka bercerita mengenai pengalaman-pengalaman menarik selama di kebun binatang kali ini. Setiap orang menceritakan pengalaman yang berbeda-beda, walaupun memang diketahui bahwa dari awal mereka masuk ke kebun binatang, hingga saat mereka keluar dari kandang gajah, dan kemudian mereka berjalan lagi mengitari kebun binatang, mereka selalu bersama-sama. Tak ada kemudian yang satu meninggalkan yang lainnya, atau yang dua meninggalkan yang satunya, atau masing-masing mereka berpencar.

Hingga suatu saat dalam perjalanan mereka mengitari kebun binatang itu, tercetuslah dari mulut salah satu dari mereka mengenai gajah yang sudah mereka pegang beberapa saat yang lewat. Sebut saja orang buta yang berkata ini namanya adalah Orang Buta Pertama. Berkatalah ia, “Gajah yang sudah kita pegang tadi memang besar dan tegap ya seperti sebuah pohon.”

“Apanya yang besar dan tegap seperti sebuah pohon? Salah kau itu kawan,” timpal orang buta yang lainnya. Sebut saja orang buta yang ini bernama Orang Buta Kedua. Kemudian ia melanjutkan, “Yang betul, gajah itu lebar dan tipis seperti kipas.”

Mendengar perkataan dari kedua temannya yang sepertinya salah, orang buta yang satunya lagi kemudian ikut menimpali obrolan mereka itu. Sebut saja yang ini namanya adalah Orang Buta Ketiga. Ia-pun berkata, “Huh …, salah kalian itu,” sambil ia sepertinya menunjukkan wajah kepuasan, karena sudah bisa menyalahkan kedua temannya yang dianggapnya tidak benar dalam menggambarkan bentuk gajah.

“Yang tepat setepat-tepatnya adalah, bahwa gajah itu panjang dan bulat, yang sekilas seperti ular, namun kadang juga sekilas seperti selang air,” ujar Orang Buta Ketiga lagi.

Sepanjang jalan, mereka terus-terusan saja bertengkar mengenai bentuk gajah. Masing-masing orang mempertahankan pendapat, sesuai dengan yang diketahuinya. Satupun tak ada yang mau mengalah. Jangankan kalah, seri pun tidak. Orang-orang yang ada di kebun binatang pun yang kebetulan berpapasan dengan mereka merasa keheranan melihat tingkah ketiga orang buta itu. Mungkin ada juga yang merasa terganggu melihat dan mendengar pertengkaran ketiga orang buta tersebut. Ada juga yang terlempar kata, “Kasihan ya orang-orang buta itu. Selain buta, mereka juga gila.”

Di tengah pertengkaran itu, muncullah inisiatif dari Orang Buta Kedua, “Begini, aku punya sesuatu yang berharga.”

“Sesuatu yang berharga? Wah, menarik itu. Cepatlah kau keluarkan! Aku sudah tak sabar ingin mengetahuinya,” ujar Orang Buta Ketiga.

Orang Buta Kedua pun berucap lagi, “Begini, aku punya saran.”

“Aku sangka sesuatu yang berharga apaan. Rupanya hanya saran, Huh, kecewa aku,” celetuk orang Buta Ketiga dengan raut agak cemberut.

Kemudian Orang Buta Pertama berkata, “Ya sudah, cepatlah katakan, biar kami tidak semakin penasaran,” ujarnya kepada Orang Buta Kedua.

“Begini, bagaimana jika perbedaan pendapat kita tersebut ditanyakan kepada orang-orang yang ada di kebun binatang ini. Sehingga kita akan mendapatkan jawaban yang benar. Siapa tahu salah satu dari pendapat kita ada yang benar,” cetus Orang Buta Kedua.

“Salah satu? Berarti yang benarnya dua pendapat dong?” celetuk Orang Buta Kedua.

Orang Buta Pertama pun kemudian menimpali, “Aduh …, kau itu bergurau saja. Sedangkan permasalahan kita ini sudah sangat peliknya.”

“Yah …, kalau aku hanya berharap, semoga pendapatku yang benar, sedangkan pendapat kalian yang salah. Atau bisa saja, pendapat kalian yang salah, sedangkan pendapatku yang benar,” kembali Orang Buta Kedua berujar melengkapi perkataan-perkataan sebelumnya.

Lalu, tanpa berpanjang-lebar, mereka pun bertanya kepada orang-orang yang ada di kebun binatang itu. Kadang ada yang berlalu begitu saja tanpa memberikan jawaban. Atau ada juga yang menjawab dengan iseng. Atau ada juga yang merasa terganggu dengan apa yang dilakukan oleh ketiga orang buta itu, yang terkadang orang yang ditanyakan itu tersinggung ataupun marah.

Dari berbagai jawaban itu, ternyata tak memuaskan mereka. Kadang ada yang mengatakan bahwa pendapat Orang Buta Pertama-lah yang benar, sedangkan yang lainnya salah. Ada juga yang mengatakan, bahwa pendapat Orang Buta Kedua-lah yang benar, sedangkan yang lainnya salah. Atau ada juga yang berkata, bahwa pendapat Orang Buta Ketiga-lah yang benar, sedangkan yang lainnya salah. Atau ada juga yang berkata, bahwa pendapat-pendapat tersebut tak ada yang benar. Atau ada juga yang menjawab sebaliknya, bahwa semua pendapat ketiga orang buta tersebut benar.

Sehingga genaplah kebingungan ketiga orang buta tersebut terhadap permasalahan yang mereka hadapi. Mungkin perlu satu persepsi lagi, yaitu persepsi dari gajah mengenai gajah. [-,-]


<[ Hanafi Mohan
Ciputat, Januari – Februari 2008 ]>



Cerita Pendek (Cerpen) ini dimuat di: http://www.hanafimohan.com/


Sumber Gambar: http://akuserabut.blogspot.com/

Minggu, 11 Mei 2008

[Cerpen] Dua Azan


Setiap pulang ke negeri kelahiranku, ada saja hal-hal yang menarikku untuk selalu kembali ke negeri tersebut. Keunikannya, orang-orang yang kusayangi dan menyayangiku, dan hal-hal menarik lainnya. Tak terkecuali lebaran yang lalu.

Ada seseorang yang aku tak bertemu dengannya saat kepulangan yang lalu. Namanya adalah Nurhidayat. Kami biasa memanggilnya Aba’. Ia masih kerabatku juga. Aba’ dulunya adalah seorang guru di negeri yang jaraknya sekitar lima jam perjalanan dari negeriku. Orang-orang di tempatnya mengajar biasa memanggilnya "Pak Nur". Karena suatu trauma yang menimpanya, akhirnya ia berhenti mengajar, atau lebih tepatnya diberhentikan. Dan terakhir kuketahui ia kini bermukim di suatu kampong di negeri tersebut bersama isteri dan anak-anaknya.

Ketika kepulangan setahun yang lalu, aku sempat bertemu dengannya yang ketika itu ia ada suatu urusan yang harus diselesaikan di negeri kelahiranku. Entahlah di tahun ini ketika kepulanganku sebulan yang lalu, aku tak bertemu dengan Aba’.

Aba’ adalah sosok yang periang, humoris, walau kadang juga agak membuat kesal. Kehadirannya kadang dinantikan oleh orang-orang di kampongku. Apa lagi kalau bukan humornya yang begitu segar yang bisa membuat orang-orang yang ada di dekatnya tersenyum dan tertawa. Selain itu, ia juga memiliki beberapa keahlian yang jarang dimiliki oleh orang-orang. Salah satunya adalah keahlian memijat, yang di negeriku disebut sebagai "tukang urot". Sebenarnya ada beberapa orang di kampongku yang bisa memijat, bahkan mungkin lebih ahli darinya. Tapi mengapa orang-orang di kampongku masih begitu tertarik untuk dipijat oleh Aba’? Tentunya tak lain karena humornya itu.

Teringat aku setahun yang lalu, Aba’ bercerita kepadaku tentang berbagai hal. Tentang dirinya, tentang keluarganya, tentang lingkungan tempat ia bermukim, dan masih banyak lagi hal-hal lainnya yang ia ceritakan.

“Aba’ dulunya pernah ditugaskan mengajar di suatu kampong terpencil. Untuk menempuh ke kampong tersebut tak ada sarana jalan yang memadai. Sehingga karena itu pula sampan merupakan sarana transportasi andalan di kampong tersebut,” begitulah Aba’ memulai ceritanya kepadaku ketika itu.

“Lantas betahkah Aba’ mengajar di kampong tersebut?” tanyaku melengkapi obrolan.

“Ya, betah tak betahlah, karena hal tersebut sudah menjadi tugas Aba’ untuk mengabdi kepada negara ini. Apalagi mengajar dan mendidik merupakan panggilan jiwa Aba’. Dan Aba’ begitu menyenangi profesi tersebut.”

Sebagai seorang guru, keberadaan Aba’ memang cukup dipandang di kampong tempatnya mengajar tersebut. Ia menjadi tempat bertanya masyarakat sekitar dan sebagai sosok panutan yang boleh dikatakan cukup disegani. Dalam hal ini menurut Aba’, dirinya kadang berada pada posisi yang harus cukup berhati-hati dalam segala tindak-tanduk. Sebagai seorang guru ia tak hanya mendidik siswa di sekolah, tapi lebih daripada itu ia juga menjadi pendidik di masyarakat secara umum. Karena itulah sehingga menandaskan ia harus memiliki kemampuan lebih dari sekedar seorang guru.

* * *

Begitu banyak sekali pengalaman berharga yang Aba’ dapatkan selama mengajar, dari hal yang menyenangkan hingga yang tidak menyenangkan. Dari yang masuk akal hingga yang tidak masuk akal. Seperti yang berikut ini,

Suatu sore, Aba’ menyusuri jalanan di kampong tempatnya mengajar menuju ke kediamannya yang juga masih berada di kampong tersebut. Waktu itu Aba' dari rumah seorang warga untuk suatu urusan. Kampong itu memang sepi, apalagi di waktu sore hari, ditambah lagi rumah-rumah yang letaknya agak berjauhan.

Perjalanan yang ditempuh kurang lebih dua jam untuk sampai ke kediaman Aba’. Hal ini bukan saja karena jaraknya memang jauh, tapi juga karena faktor-faktor yang lain, seperti jalanan yang rusak dan kondisi alam yang tak memungkinkan untuk menempuh perjalanan dengan lancar dan cepat. Bayangkan saja, perjalanan tak hanya ditempuh melalui jalur darat, tapi Aba’ juga harus menempuh jalur sungai. Sedangkan sarana untuk jalur sungai inipun boleh dikatakan sangat minim.

Saat itu menunjukkan sekitar pukul 05:15 sore. Sambil berjalan, Aba’ melihat ke kanan kiri, mungkin ada surau ataupun langgar yang bisa disinggahi, kebetulan Aba’ belum menunaikan Sembahyang Ashar. Matahari sudah hampir tenggelam ketika itu. Hari memang sudah agak gelap, tapi masih terlihat cahaya terang dari sinar matahari.

Tak beberapa saat, Aba’ melihat suatu langgar kecil. Tak ayal lagi, Aba’ langsung saja singgah ke langgar tersebut, kemudian mengambil air sembahyang ke parit yang tak jauh dari situ. Selesai mengambil air sembahyang, Aba’ pun langsung menuju ke langgar. Ketika berjalan ke arah langgar, sayup-sayup terdengar azan dari dalam langgar tersebut. Azan yang sayup terdengar itu memang tidak menggunakan pengeras suara, karena kampong tersebut merupekan kampong terpencil yang belum dimasuki listrik. Walaupun tidak menggunakan pengeras suara, tapi suara azan itu cukup jelas Aba’ dengar.

Dalam benak Aba’ berkata, ah… pupuslah Sembahyang Ashar, karena waktu Sembahyang Maghrib sudah masuk. Tapi Aba’ juga masih heran, karena waktu sepertinya belum menunjukkan masuk Sembahyang Maghrib. Aba’ lihat jam, waktu baru menunjukkan kira-kira pukul setengah enam kurang lima menit. Biasanya masuk waktu Sembahyang Maghrib kira-kira pukul setengah enam lewat sepuluh menit. Tapi akhirnya Aba’ tak mempedulikan itu.

Aba’ pun masuk ke langgar. Ada seseorang di dalamnya. Mungkin orang itu yang tadinya azan. Ketika Aba’ masuk, orang itu langsung mempersilakan Aba’ untuk menjadi imam sembahyang. Tapi Aba’ kemudian berbalik mempersilakan orang itu saja yang menjadi imam. Orang itu pun maju sebagai imam, dan Aba’ tetap berada di belakang sebagai makmumnya. Lalu, kami berdua pun mulai untuk Sembahyang Maghrib.

Ketika selesai sembahyang, ternyata yang menjadi makmum sembahyang bukan hanya Aba’, melainkan ada sekitar dua saf. Satu saf didepan yaitu se-saf dengan Aba’, dan satu saf lagi di belakang.

Setelah berdo'a, para jamaah pun langsung beranjak. Begitu juga dengan orang yang menjadi imam itu. Ia pun beranjak. Aba’ hanya melihatnya. Ia juga melihat Aba’, lalu melemparkan senyuman kepada Aba’, dan Aba’ pun membalas senyuman itu. Tak beberapa lama, sepilah langgar, sedangkan Aba’ masih terpekur di atas sajadah. Hitung-hitung sambil istirahat dan menghilangkan letih.

Cukup lama Aba’ terpekur itu, walaupun Aba’ tak memperhatikan jam. Dalam keheningan itu, semakin terasalah begitu kecilnya diri ini di hadapan Yang Maha Kuasa. Dan di dalam keheningan itu, membayanglah betapa beratnya kehidupan yang harus dijalani. Namun di dalam keheningan itu, Aba’ terus mencoba berusaha untuk tabah dan sabar di hadapan-Nya, untuk tidak hanya terus-menerus mengeluh, meminta, memohon, dan berdoa saja. Tapi walaupun begitu, Aba’ tetap menyadari bahwa begitu banyaknya kekurangan diri ini. Semoga Tuhan memaklumi itu.

* * *

Allahu akbar Allahu akbar…

Terdengarlah suara azan. Oh, begitu lamanyakah aku terpekur sehingga masuk lagi waktu Sembahyang Isya’? Aba’ pun melihat jam, ternyata baru menunjukkan kira-kira pukul enam kurang lima belas menit. Aba’ pun heran. Ini yang rusak jamku atau sebenarnya apa yang terjadi? Untuk memastikan, Aba’ pun menuju keluar langgar. Ternyata benar. Hari memang masih sore. Di ufuk barat masih terlihat temaram senja. Dan Aba’ berkeyakinan, jam tangan Aba’ pun tak sedang rusak. Namun hal ini semakin menambah kebingungan Aba’. Kalau ini masih sore, lantas aku tadi sembahyang apa, dan azan yang baru saja kudengar juga sebenarnya azan apa?

Di luar langgar Aba’ lihat orang-orang berdatangan. Kemudian pandangan Aba’ berpindah ke arah mihrab melihat orang yang barusan azan. Sepertinya sosok orang tersebut hampir sama dengan orang yang sebelumnya juga azan. Atau mungkin memang orang yang sama? Tapi entahlah. Yang pasti, Aba’ semakin merasa kebingungan akan hal ini. Apakah mungkin orang-orang di sini memiliki tradisi dan ritual keagamaan yang berbeda? Apakah ini…? Apakah itu…? Dan masih banyak lagi kebingungan lainnya yang berpuat-putar di kepala ini.

Di tengah kebingungan itu, sembahyang pun akan segera dimulai dengan terdengarnya iqamat. Lalu orang-orang pun mulai bersembahyang. Pada posisi ini Aba’ begitu dilematis. Apakah Aba’ ikut sembahyang lagi atau tidak? Karena tadinya Aba’ sudah sembahyang. Setelah mempertimbangkan dengan cepat, akhirnya Aba’ memutuskan untuk ikut lagi sembahyang. Entahlah ini sembahyang apa namanya. Dan Aba’ pun tak tahu harus berniat untuk sembahyang apa. Yang pasti, Aba’ hanya berpikiran untuk menghormati orang-orang yang ada di situ. Dan menurut pertimbangan Aba’, mungkin setelah sembahyang nanti Aba’ bisa menanyakan sesuatu kepada para jama'ah. Yang menjadi imam ternyata bukan yang azan tadi, tetapi orang yang lain lagi.

Setelah selesai sembahyang, dan kemudian juga berdoa, para jamaah pun satu persatu segera meninggalkan langgar. Tak terkecuali orang yang azan tadi. Demi menjawab kebingungan tadi, Aba’ pun segera menghampiri orang tersebut dan juga memanggilnya, “Pak… Pak…, bisakah saya berbicara sebentar?”

Orang itu pun menoleh ke arah Aba’, “Oh iya, ada apa ya?”

“Begini Pak, bolehkah saya minta waktu sebentar?”

“Boleh saja.”

“Perkenalkan Pak, nama saya Nurhidayat. Biasa dipanggil Pak Nur. Saya mengajar di SD yang ada di kampong ini.”

Orang itu pun kemudian juga memperkenalkan dirinya, “Saya sendiri adalah Pak Awang, merupakan mu'azzin di langgar ini. Kalau boleh tahu, ada keperluan apa ya Pak…”

Aba’ pun segera menimpali, “Pak Nur.”

“Iya…, maksud saya, ada keperluan apa Pak Nur ingin berbicara kepada saya?”

Aba’ pun kembali berkata, “Begini Pak…”

“Pak Awang,” Pak Awang pun segera menimpali.

“Iya… Pak Awang, lebih baik kita duduk saja dulu!” ajak Aba’ kepada Pak Awang.

Lalu kami pun sama-sama duduk di dalam langgar. Terlihat suasana langgar yang sudah ditinggalkan para jamaahnya. Tinggallah saat itu hanya Aba’ dan Pak Awang saja yang tertinggal di dalam rumah ibadah yang kecil, bersahaja, dan sederhana itu. Setelah mengatur nafas, dan juga sambil mengatur bahan perbincangan, Aba’ pun memulai pembicaraan, “Pak Awang, ada sedikit hal yang ingin saya tanyakan kepada Bapak?”

“Tanyakanlah, Pak Nur. Mudah-mudahan saya bisa menjawabnya.”

“Pak Awang, apakah memang sudah menjadi tradisi di kampong ini untuk melakukan azan dan Sembahyang Maghrib sebanyak dua kali?” Aba’ pun menanyakan kebingungan itu.

“Maksud Pak Nur apa? Saya belum mengerti akan pertanyaan Pak Nur. Mungkin Pak Nur bisa perjelas lagi!” Pak Awang sambil mengernyitkan alisnya pertanda masih belum mengerti akan pertanyaan Aba’.

Sementara Aba’ juga tambah bingung, mengapa Pak Awang tak mengerti akan pertanyaan tersebut, sedangkan yang azan sebanyak dua kali tadi adalah Pak Awang sendiri, begitu juga sembahyangnya, yang pada kedua sembahyang tersebut ada Pak Awang di dalamnya, dan juga Aba’.

Aba’ pun menarik nafas sejenak sambil mengumpulkan kata-kata yang tepat untuk diajukan sebagai bahan percakapan kepada Pak Awang. Apalagi pikir Aba’ bahwa hal ini berkaitan dengan keyakinan dan tradisi yang dipegang oleh suatu masyarakat. Jadi memang harus agak berhati-hati dalam membicarakannya, agar orang yang bersangkutan yang menjalankan keyakinan dan tradisi tersebut tidak merasa tersinggung. Mengingat juga bahwa Aba’ bukanlah orang yang berasal dari kampung tersebut.

“Begini Pak Awang, tadi yang saya lihat dan saya ikuti bersama dengan Pak Awang dan penduduk di sini adalah kita melakukan Sembahyang Maghrib sebanyak dua kali, dan Pak Awang sendiri yang menjadi muazzin pada kedua Sembahyang Maghrib tersebut.”

Kemudian Aba’ kembali berhenti sejenak. Sepertinya masih terlihat ketidak-mengertian yang terpancar dari wajah Pak Awang. Sementara Aba’ kembali menyusun kata-kata yang tepat agar Pak Awang mengerti dan tidak merasa tersinggung dengan apa yang Aba’ bicarakan.

Kemudian Pak Awang berkata dengan kebingungannya, “Apa yang Pak Nur katakan ini? Terus-terang saya semakin tak mengerti. Dua azan, dua kali Sembahyang Maghrib, …”

“Tunggu dulu Pak Awang! Bukannya Pak Awang kan yang azan Maghrib tadi?”

“Iya, memang saya.”

“Sedangkan yang azan sebelumnya?”

“Yang sebelumnya kapan ya?”

Aba’ kemudian berhenti sejenak, sambil mengatur nafas dan menyusun kata-kata yang tepat, “Seperti Bapak katakan tadi, bahwa Bapak lah yang azan Maghrib. Mungkin yang Bapak maksud adalah azan Maghrib yang kedua. Nah, yang saya tanyakan kemudian adalah untuk azan Maghrib yang pertama, yaitu kira-kira pukul setengah enam kurang tadi, apakah Bapak juga yang azan? Karena seingat saya, Bapak jugalah yang menjadi mu'azzin pada azan Maghrib yang pertama tadi.”

Pak Awang seperti terlihat mulai mengerti dengan duduk persoalan yang sedang dibicarakan, “Ooowwhh…, jadi yang Pak Nur maksudkan adalah bahwa saya tadi sudah melakukan azan sebanyak dua kali?”

“Betul itu, Pak. Serta Sembahyang Maghribnya tadi juga dua kali,” tegas Aba’.

“Kalau itu yang Pak Nur maksudkan, berarti Pak Nur keliru. Karena saya hanya azan sekali tadi. Dan tidak ada tradisi di kampong ini azan hingga dua kali, apalagi Sembahyang Maghribnya juga dua kali.”

Kemudian, Aba’ lah yang menjadi bingung mendengar penuturan dari Pak Awang itu. “Tapi Pak Awang, tadi saya memang benar-benar melihat dan mengalami semua hal tersebut di langgar ini, dan Bapak lah yang saya lihat pada dua kali azan tadi.”

“Pak Nur tidak sedang mengada-ada, kan?”

“Mengada-ada? Tak ada gunanya, dan juga tak ada untungnya saya mengada-ada, Pak Awang.”

Suasana pun kemudian menjadi hening. Detik-detik seakan berjalan lambat.

* * *

Malam itu, karena sepertinya sudah kemalaman, Pak Awang kemudian menawarkan Aba’ untuk bermalam di rumahnya yang tak jauh dari langgar itu. Di rumah Pak Awang, kami kembali bercerita tentang berbagai hal, juga disertai beberapa orang anggota keluarga Pak Awang. Di kampong, profesi sebagai guru seperti Aba’ ini memang cukup dihormati. Oleh sebab itu pula, wajar saja orang kampong seperti Pak Awang dan keluarganya menerima dengan hangat Aba’ di rumahnya selayaknya seorang tamu, walaupun boleh dibilang mereka baru mengenal Aba’.

Beberapa bulan kemudian, Aba’ masih bertugas di kampong tersebut. Beberapa kali selama bertugas di kampong tersebut, tak jarang Aba’ menemui kejadian yang hampir serupa. Kadang Aba’ menyadari kejadian tersebut, namun kadang juga tak menyadarinya. Beberapa hari kemudian, barulah Aba’ menyadari, bahwa kejadian-kejadian yang dialaminya itu merupakan kejadian-kejadian yang ganjil. Begitulah penuturan Aba’ kepadaku mengenai sepenggal pengalaman hidupnya. [-,-]


Hanafi Mohan
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Ciputat, Senin 10 Desember 2007, 06.00 – 07.22 WIB 
Rabu, 13 Februari 2008, 00.30 – 01.05 WIB


Cerpen ini dimuat di: http://www.hanafimohan.com/


Sumber Gambar: http://syairsiparapara.blogspot.com/


[Cerpen] Sungaiku Tak Jernih Lagi


Entah mengapa, akhir-akhir ini semakin sulit saja menjala ikan di sungai. Biasanya timba yang kami bawa selalu penuh dengan ikan seluang, ikan sepat, dan udang. Bahkan kadang juga ikan mas dan ikan belidak. Tapi kini, jangankan ikan mas ataupun ikan belidak, ikan seluang pun hanya satu dua yang nyangkut di jala.

“Mungkin hanya ini, Nak, rejeki kita hari ini. Alhamdulillah, kita masih dapat ikan untuk dijadikan lauk hari ini,” kata ayahku ketika itu. “Kayuhlah sampan kita ini balik ke rumah!”

“Tapi Yah, kita kan baru dapat sedikit,” ujarku ketika itu dengan nada agak sedikit kecewa.

“Tak apalah, Nak. Besok-besok kan kita bisa menjala lagi. Sudahlah, mungkin Emak kau sudah menunggu di rumah,” pertegas ayahku lagi.

Kemudian aku pun mengayuh sampan kayu yang selama ini selalu setia menemani kami.

Rumahku berada di tepian sungai, atau tepatnya berada di atas air, karena memang rumah yang berada di pesisir sungai berdiri di atas air. Sampan adalah transportasi sungai yang penting di kotaku: untuk penyeberangan, angkutan penumpang dan barang, untuk berbelanja ke pasar, dan untuk aktivitas lainnya yang berhubungan dengan sungai: seperti menjala, mencari kayu, bahkan untuk berjualan.

Anak-anak seumurku yang selalu berhubungan dengan sungai harus bisa berenang, karena aktivitas kami seharian memang tak dapat dilepaskan dari keberadaan sungai. Tak jarang kudengar orang tenggelam di sungai hanya dikarenakan tak bisa berenang. Tersebab itu pulalah semenjak kami berumur kurang lebih dua sampai tiga tahun atau semenjak kami sudah bisa berjalan dan sering bermain-main di sungai, maka kami sudah dibiasakan dan diajarkan berenang.

* * *

Sungai adalah sumber kehidupan warga kotaku: untuk mandi, mencuci, mencari ikan, dan juga transportasi sungai.

“Dulu, air sungai kita ini masih biasa digunakan orang untuk minum dan memasak. Tapi sekarang orang-orang enggan, Nak. Mungkin sudah agak kotor. Apalagi kini motor air dan kapal sudah begitu banyaknya lalu-lalang di sungai,” ujar ayahku suatu ketika.

“Yah, apakah dari dulu sungai kita ini sudah sekeruh sekarang?” tanyaku kepada ayah.

“Seingat Ayah, dulu air sungai ini begitu jernihnya, tidak sekeruh sekarang ini,” jawab ayahku menjelaskan.

“Mengapa sekarang jadi keruh seperti ini, Yah?”

“Mungkin karena itu tadi, sudah banyak dilalui motor air dan kapal. Dan Ayah dengar-dengar, di hulu sungai juga sedang banyak yang menambang emas. Mungkin itu juga yang jadi penyebabnya, Nak.”

* * *

Sungaiku kini memang sudah tak jernih lagi. Tapi walaupun begitu, sungai yang sudah tak jernih ini tetap menjadi sumber kehidupan kotaku. Begitu bergantungnya warga kotaku pada sungai yang semakin hari semakin keruh ini. Sungai sudah bagaikan urat nadi bagi kotaku.

Kini, aku dan ayah masih tetap mencari ikan di sungai. Walaupun tak dapat dipungkiri, hasil yang kami dapatkan dari menjala ikan di sungai paling-paling hanya cukup untuk sekali makan, itu pun terkadang kurang.

“Kita patut bersyukur, Nak. Setiap kali menjala, kita tak pernah tak dapat ikan, walaupun ikan yang kita dapatkan sedikit. Mungkin hanya itulah rejeki kita,” tutur ayahku ketika aku mengeluhkan semakin sedikitnya ikan yang kami dapat ketika menjala.

Selain menjala ikan, aku dan ayah biasanya juga mencari kayu yang hanyut di sungai. Maklum, di kotaku banyak berdiri perusahaan-perusahaan kayu yang kami sebut "saumil". Kayu-kayu hanyut yang kami dapatkan di sungai itu mungkin adalah sisa pemotongan dari saumil. Kayu-kayu yang kami dapatkan itu kemudian kami jadikan kayu bakar. Tak jarang pula, jika kayu-kayu yang kami dapatkan itu cukup banyak, maka kayu-kayu bakar itu kami jual kepada orang-orang kampong kami yang memerlukan.

“Nak, walaupun sungai kita sudah semakin sedikit ikannya, tapi kita masih bisa mencari kayu. Dalam hidup ini kita tak boleh mengeluh. Yang harus kita lakukan adalah terus berusaha, asalkan usaha kita itu tidak merugikan orang lain,” tutur ayahku yang tak jemu-jemunya memberikan nasihat kepadaku.

* * *

Suatu sore, orang-orang kampongku gempar. Waktu itu aku dan ayah berada di depan rumah sedang mengemas kayu bakar yang akan kami jual.

“Pak Cik, Pak Cik! Tengoklah ke laot!” tutur seorang tetanggaku yang berjalan dari arah laot (sungai) menuju ke arah darat kepada ayahku.
“Memangnya ada hal apa di laot?” tanya ayahku memohon penjelasan dari tetanggaku itu.

“Banyak ikan yang timbol, Pak Cik,” jawab tetanggaku itu.

Tanpa menunggu lama, aku dan ayah langsung bergegas ke sungai. Ternyata orang-orang kampongku sudah ramai juga yang berada di sungai. Tak sedikit pula yang memungut ikan-ikan yang mengapung itu. Memang benar adanya yang dikatakan oleh tetanggaku, begitu banyaknya ikan-ikan yang mengapung di permukaan sungai, seperti tak berdaya lagi untuk berenang dan hidup di air sungai. Melihat itu, aku pun ingin ikut-ikutan memungut ikan-ikan yang mengapung itu, tapi kemudian dilarang oleh ayah.

* * *

Malam itu sehabis makan, ayah membuka percakapannya seperti yang selama ini selalu dilakukannya setiap selesai makan.

“Ayah tak habis pikir, mengapa ikan-ikan mengapung di sungai? Tak biasanya hal ini terjadi. Apalagi sekarang ini tidak lagi musim kemarau, dan air sungai pun tak sedang payau ataupun asin,” tutur ayah membuka perbincangan.

“Itukah sebabnya tadi Ayah melarang untuk memungut ikan?” tanyaku kepada ayah.

“Iya,” jawab ayah singkat.

Kemudian emak pun menimpali, “Tadi Emak lihat tetangga sebelah banyak sekali dapat ikan. Emak sebenarnya tadi mau meminta, tapi karena dilarang oleh Ayah kau, Emak pun tak jadi memintanya.”

“Seperti ada yang janggal. Pokoknya besok-besok kalau ada lagi ikan yang mengapung di sungai, jangan coba-coba mengambilnya. Biarkanlah saja orang-orang lain melakukannya, tapi kita jangan ikut-ikutan,” tukas ayahku memperingatkan.

* * *

Kini, ketika menempuh pendidikan di perguruan tinggi, barulah kuketahui, ternyata sungai di kotaku sudah lama tercemar limbah merkuri. Yang kuketahui dari sumber-sumber yang dapat dipercaya, bahwa limbah merkuri tersebut berasal dari aktivitas penambangan emas yang marak di hulu sungai kotaku. Juga disebutkan, bahwa limbah merkuri itu sangat berbahaya bagi kesehatan manusia, seperti yang pernah terjadi di Minamata.

Jika limbah merkuri itu telah mencemari sungai, berarti kehidupan yang ada di sungai itu akan terancam.

Pantas saja kemudian jika ikan-ikan sungai semakin hari semakin menyusut jumlahnya. Rupanya pencemaran limbah merkuri itulah penyebabnya.

Dan bagaimana dengan penduduk kotaku yang setiap hari memakai air sungai untuk mandi dan mencuci? Akankah mereka juga nantinya bisa terkena dampak buruk dari limbah merkuri tersebut? Walaupun memang untuk minum dan memasak, warga kotaku tidak menggunakan air sungai, melainkan air hujan. Tapi sebagian warga juga menggunakan air olahan (air ledeng) dari perusahaan air minum di daerahku untuk konsumsi sehari-hari, yang bahan bakunya juga dari air sungai.

Dari informasi yang kudapatkan, ternyata kandungan limbah merkuri yang terdapat pada air tidak dengan mudahnya dapat dihilangkan melalui proses pengolahan di perusahaan air minum. Apalagi selama ini yang kuketahui, bahwa air hasil olahan dari perusahaan air minum di kotaku kualitasnya tak terlalu baik. Mungkin karena itu pulalah selama ini sebagian warga kotaku enggan mengkonsumsi air olahan yang buruk kualitasnya tersebut, kecuali kalau sudah terdesak saat musim kemarau.

Yang membuatku gundah, ternyata limbah merkuri tersebut tidak hanya berdampak buruk bagi yang meminum air yang tercemar olehnya, melainkan juga berdampak buruk bagi siapa saja yang memakai air yang tercemar tersebut, walaupun hanya untuk mandi sekalipun. Apalagi pemakaian air yang tercemar itu sudah begitu lamanya. Ditambah lagi bahwa kadar merkuri pada air di sungai kotaku begitu sangat tingginya.

Jauh di luar pulauku, di kota tempatku menuntut ilmu kini, aku hanya bisa berharap, semoga kotaku tak menjadi Minamata kedua. [-,-]



Hanafi Mohan
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Ciputat, Juli 2007 – Februari 2008



Cerita Pendek (Cerpen) ini dimuat di: Laman Blog "Arus Deras"


Sumber Gambar: http://pietoyosusanto.wordpress.com/

[Cerpen] Penyanyi di Atas Kapal


Namanya Indah. Seorang biduan di atas kapal yang sebulan lalu aku tumpangi ketika pulang kampung. Suaranya begitu merdu, parasnya juga cantik.

“Jadi, kau berkenalan cukup dekat dengannya?” tanya Udin, teman seperjalananku.

“Bisa iya bisa tidak,” jawabku sekenanya, yang membuat Udin jadi penasaran. Sementara musik dangdut terus mengalun dengan iramanya yang khas, dinyanyikan seorang biduan yang cukup cantik, diiringi organ tunggal yang dimainkan oleh seorang pria.

“Bisa iya bisa tidak bagaimana maksud kau itu?”

Aku hanya tersenyum melihat Udin yang semakin penasaran.

* * *

Indah berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja. Ya, bisa dikatakan dari keluarga menengah ke bawah. Orang tuanya hanya sanggup menyekolahkannya hingga tamat SMP saja. Ayahnya hanya seorang petani miskin di sebuah desa di Jawa Barat.

Indah memang hobi menyanyi. Tuhan telah menganugerahkan kepadanya suara yang cukup merdu. Tak jarang pada acara perkawinan di desanya, Indah diminta untuk menyanyi di depan panggung. Juga pada panggung 17 Agustusan ataupun perayaan-perayaan lainnya.

Suaranya yang lumayan merdu itu, ditambah lagi parasnya yang cantik, semakin menjadikan Indah begitu populer di desanya. Hingga suatu saat, ia memberanikan diri untuk bertaruh nasib ke Jakarta. Melalui seorang kenalan, Indah ditawarkan untuk menjadi penyanyi di sebuah kafe yang ada di Jakarta. Lumayan, penghasilannya selama bekerja di kafe tersebut walaupun tak terlalu besar, namun sudah cukup bisa membantu perekonomian keluarganya. Bahkan ia bisa menyekolahkan adik laki-lakinya hingga ke perguruan tinggi.

Sementara Udin begitu seriusnya mendengarkan ceritaku. Ditambah lagi alunan musik dangdut di atas kapal yang aku tumpangi menuju Jakarta, semakin menambah keasyikan pembicaraan kami.

“Demikian dekatkah kau dengan Indah, hingga perempuan tersebut mau menceritakan kisah hidupnya padamu?” Udin kembali bertanya.

“Ya, boleh dikatakan seperti itulah, Din.”

Sedari tadi Udin memang sudah begitu penasaran akan ceritaku. Sepertinya kini Udin semakin tambah penasaran akan jawabanku yang selalu menggantung.

Suatu saat, datanglah tawaran dari seorang rekannya untuk menjadi penyanyi di atas sebuah kapal penumpang. Tawaran yang memang benar-benar baru bagi Indah. Apalagi ia baru kali ini mendengar, bahwa di atas Kapal Penumpang ada pertunjukan musik juga. Ditambah lagi ia memang belum pernah naik kapal. Semua hal-hal baru itu semakin menambah ketertarikan Indah untuk menerima tawaran tersebut.

“Terus … terus …?” Udin semakin tak sabar untuk mendengarkan kelanjutan ceritaku.

Menurut penuturan Indah, sudah sekitar setahun ini ia menjadi penyanyi di atas kapal penumpang. Pernah kutanyakan kepadanya, mengapa ia begitu betah menjadi penyanyi di atas kapal. Menurutnya, bukan betah sih sebenarnya. Namun karena mencari pekerjaan itu memang tak mudah. Apalagi ia hanya tamatan SMP. Kiranya hanya suaranya itulah yang menjadi modal untuk mencari duit.

“Masa’ sih cuma suaranya saja?” kembali Udin menimpali.

“Maksud kau apa, Din?”

“Ya, seperti yang kau katakan, bahwa Indah juga memiliki wajah yang cantik.”

“Maksud kau, dia bisa saja menjual dirinya, begitu? Misalkan menjadi pe …”

“Bukan …, bukan itu maksudku.”

Indah tak seperti yang kukira. Mulanya aku mengira ia berprofesi ganda. Maksudnya, selain sebagai penyanyi yang menjual suaranya, juga sekaligus bisa menjual tubuhnya. Sudah jamak diketahui, bahwa penyanyi di atas kapal memang seperti itu.

* * *

Malam itu di kafe yang ada di kapal penumpang tersebut, kulihat Indah sedang bercengkerama dengan seorang lelaki. Sepertinya obrolan mereka begitu asyiknya. Aku tak jauh duduknya dari tempat duduk Indah bersama lelaki tersebut.

Sambil mendengarkan hiburan musik dangdut di kafe tersebut, suasana hatikupun terbawa oleh lagu-lagu tersebut. Sekali-sekali aku melihat ke arah tempat duduk Indah dan lelaki yang tak aku kenal tersebut. Masih seperti yang kulihat tadi, mereka sedang asyik bercengkerama.

Tak terasa sudah dua jam lebih aku berada di kafe. Cukup suntuk memang jika tak ada hiburan musik di atas kapal penumpang. Yah, untunglah masih ada orang-orang seperti Indah yang mau menghibur para penumpang kapal dengan lagu-lagu yang dinyanyikannya.

Aku pun berhenti sejenak dari ceritaku, karena pelayan kafe di kapal sedang menyuguhkan dua gelas kopi yang aku pesan tadi. Sedangkan Udin sepertinya terus menantikan kelanjutan ceritaku. Sambil menghisap rokok dalam-dalam, kemudian cerita aku lanjutkan.

Beberapa saat kemudian, kudengar ada suara gaduh dari arah tempat duduk Indah bersama lelaki tersebut. Kulihat Indah segera bergegas keluar dari kafe. Akupun berinisiatif mengikuti Indah dari belakang. Ternyata Indah menuju ke arah belakang kapal. Akupun terus mengikuti. Agak berjarak memang, sepertinya ia tak menyadari jika kuikuti dari belakang. Kulihat dia berdiri berpegangan pada pagar belakang kapal. Sepertinya ia sedang menangis. Awalnya tak ingin kumendekatinya. Mungkin ia sedang ingin sendirian. Tapi kulihat tangisannya tak kunjung berhenti. Melihat itu, ingin sekali kumenghiburnya. Tapi dengan cara apa? Bingung juga aku ketika itu. Sempat kuberpikir, tak terlalu pantas kiranya diriku mencampuri urusan orang lain.

* * *

Sementara, hari semakin beranjak malam. Penyanyi di kafe semakin bersemangat menyanyikan lagu-lagu dangdut. Dari lagu dangdut sendu, dangdut rancak, dangdut koplo, kadang juga diselingi lagu pop. Kulihat para pengunjung kafe berjoget dengan riangnya. Sedangkan aku terus bercerita kepada Udin mengenai kisah Indah. Dan Udin tetap mendengarkan ceritaku dengan khidmatnya.

Akhirnya, aku pun memberanikan diri untuk menghampiri Indah,

“Eh, Mas,” Indah agak sedikit terkejut ketika aku menghampirinya.

“Kok sendirian aja?” tanyaku kepada Indah.

“Iya Mas, lagi pengen sendirian.”

“Berarti kalau begitu saya mengganggu dong?”

“Nggak apa-apa kok, Mas.”

“Beneran nih nggak apa-apa?”

“Iya, beneran,” jawabnya dengan dihiasi senyuman. Tapi tetap saja kesedihan di wajahnya tak dapat disembunyikan.

Kapal terus berjalan menyusuri lautan yang hanya terlihat gelap. Seakan-akan kegelapan itu seirama dengan kesedihan yang menimpa Indah.

Kembali Indah memulai pembicaraan, “Mas, apakah memang sudah sepantasnya setiap perempuan untuk direndahkan dan dilecehkan? Apakah setiap lelaki memang ditakdirkan untuk melakukan semua itu?”

Aku masih belum mengerti arah pembicaraan Indah. Sengaja tak kujawab pertanyaannya itu. Kupikir, biarlah ia menumpahkan segala kesedihannya. Mungkin dengan begitu akan berkuranglah kesedihan yang melandanya.

“Mas, aku memang penyanyi. Seperti yang Mas lihat sendiri, profesi ini kujalani hanyalah untuk mencari nafkah, untuk membantu perekonomian keluargaku. Tak lebih dari itu,” kembali Indah berucap, kemudian untuk beberapa saat terdiam. Terlihat matanya berkaca-kaca.

“Sebagian orang mungkin menganggap rendah profesiku ini. Tak jarang pula ada yang menganggapku sebagai perempuan murahan. Namun, jauh dari semua prasangka itu, aku hanyalah seorang penyanyi,” beberapa saat Indah terdiam setelah mengucapkan itu semua.

Kiranya sudah puaslah Indah menumpahkan segala kesedihan dan keluh-kesahnya. Akupun berucap, “Indah, sabar saja ya menghadapi semuanya!”

“Mas, terima kasih ya sudah mau mendengarkan curhat-ku.”

Malampun semakin larut. Sedangkan kapal terus berjalan menyusuri lautan.

* * *

Udin masih terus setia mendengarkan ceritaku. Sementara musik di kafe tempat kami bercengkerama sudah berubah menjadi musik disko. Sebelum memulai lagi pembicaraan, kuseruput kopi yang terletak di atas meja tempat kami bercengkerama.

Udin kemudian berujar, “Andaikan kali ini Indah juga ikut berlayar, mungkin aku bisa berkenalan dengannya.”

Dalam benakku berkata, Din, sebenarnya Indah tak pernah ada. Cerita tentang Indah hanyalah karanganku belaka, agar kau tak mudah berburuk sangka kepada siapa saja, termasuk kepada penyanyi di atas kapal yang kita tumpangi kini. Karena berburuk sangka bukanlah perbuatan yang baik. [-,-]


- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Hanafi Mohan
Ciputat, Desember 2007 – Februari 2008
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -


[Cerpen ini sebelumnya telah dimuat di Tabloid MaJEMUK Edisi 31 - Maret-April 2008]


Sumber Gambar: http://danwinckler.com/

[Cerpen] Mencari Rumah Tuhan

Di suatu masjid pada suatu Subuh di Bulan Ramadhan, seorang penceramah menceritakan, bahwa pada masa keemasan Islam, di Negeri Baghdad hiduplah seseorang yang bernama Bishir. Ia selalu berjalan tanpa alas kaki. Orang-orang heran melihat kebiasaan Bishir ini. Karena itu, Bishir dikenal dengan nama “Bishir Si Telanjang Kaki”.

Mengenai kebiasaannya ini, pernah orang-orang bertanya kepadanya, “Hai Bishir, mengapa Anda selalu berjalan tanpa alas kaki?”

Lalu dijawab Bishir dengan lugas, “Aku tak lain hanya menghormati rumah Allah. Bukankah bumi ini adalah rumah Allah? Dan kita sudah selayaknya tidak menginjakkan alas kaki di rumah Allah ini.”

Begitulah Bishir Si Telanjang Kaki, yang segenap penjuru bumi ini adalah rumah Allah baginya.

Suatu ketika, seorang sahabat dekatnya yang sedang berjalan di jalanan Kota Baghdad melihat seekor keledai membuang kotorannya di jalan. Melihat itu, spontan ia berucap, “Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.”

Ucapan sahabat dekat Bishir itu tanpa sengaja didengar oleh seseorang. Tak ayal lagi, orang itu pun bertanya keheranan kepada sahabat dekat Bishir itu, “Tuan, mengapa anda mengucap innalillah? Sedangkan yang anda lihat itu adalah suatu yang lumrah saja.”

“Jika ada makhluk di muka bumi ini dengan sembarangan membuang kotorannya di jalanan, berarti Bishir Si Telanjang Kaki sudah tiada,” perjelas sahabat dekat Bishir itu.

Benarlah adanya, pada hari itu Bishir Si Telanjang Kaki memang telah meninggal dunia.

Begitulah Bishir Si Telanjang Kaki yang memiliki kecintaan yang amat tinggi kepada Tuhannya, tutur Si Penceramah dengan suaranya yang hening, sejuk, dan tak terlalu keras, tapi sepertinya begitu memukau bagi para jamaah untuk mendengarkan ceramah yang damai dan begitu menggugah hati itu.

Kemudian penceramah itu kembali bertutur dengan suaranya yang tidak terlampau pelan, namun juga tak begitu nyaring.

Rasulullah pernah ditanya oleh seorang sahabat, “Ya Rasulullah, di manakah kita bisa mencari rumah Tuhan?”

Lalu dijawab oleh Rasulullah, “Carilah rumah Tuhan melalui orang-orang yang hancur hatinya, yaitu orang-orang yang lemah dan teraniaya hidupnya. Dari merekalah rumah Tuhan akan didapatkan.”

Ceramah Subuh itu pun terus mengalir dengan khidmatnya, tak terkecuali seisi masjid yang terus setia mendengar ceramah itu. Si Penceramah pun terus menuturkan ceramahnya yang menggugah seisi masjid itu.

Tersebutlah kisah seorang guru dengan tiga orang muridnya. Suatu hari, Sang Guru memerintahkan kepada ketiga muridnya itu untuk mencari rumah Tuhan. Tentu saja ketiga orang muridnya tersebut menjadi bingung mendapat perintah seperti itu. Namun, sebagai bukti ketaatan kepada Sang Guru, ketiga orang murid tersebut pun melaksanakan perintah gurunya itu, walaupun perintah tersebut sepertinya tidak masuk akal dan akan sulit untuk dilaksanakan.

Berjalanlah ketiga orang murid tersebut menyusuri pelosok kota. Berdasarkan pesan guru mereka, bahwa tanyakanlah kepada orang-orang yang hidupnya miskin. Karena itu, mereka mencari orang miskin yang ada di seluruh kota tersebut. Ketika melewati suatu jalan di kota tersebut, mereka pun bertemu dengan orang yang menurut perkiraan mereka sesuai dengan pesan gurunya untuk ditanyai di mana rumah Tuhan. Orang yang dimaksud itu pakaiannya compang-camping, lusuh, dan di pundaknya tergantung bungkusan dari kain yang juga lusuh yang entah apa isinya.

Bertanyalah salah seorang murid kepada orang itu, “Apakah Tuan tahu di mana letaknya rumah Tuhan?”

“Anda mungkin salah menanyakan hal tersebut kepada saya. Cobalah anda tanyakan kepada orang yang ada di ujung jalan ini, mungkin ia tahu,” jawab orang yang compang-camping itu.

Ketiga orang murid tersebut kemudian berjalan lagi menyusuri jalanan kota. Hingga beberapa saat kemudian mereka menemukan lagi orang yang mereka rasa cocok untuk ditanyai. Kondisi orang tersebut hampir serupa dengan orang yang pertama mereka temui sebelumnya. Dan mereka juga menemui kegagalan lagi. Orang yang mereka temui itu tak lebih hanya menyarankan untuk menanyakan kepada orang yang mungkin lebih menderita lagi dari dirinya.

Selanjutnya, ketika menemui orang ketiga, kejadian yang sudah-sudah kemudian terulang lagi. Rasanya mereka ingin menyerah saja dari tugas tersebut, karena selalu menemui kegagalan setelah beberapa orang mereka temui sesuai dengan ciri-ciri yang dikatakan oleh guru mereka. Namun apa mau dikata, bahwa ini semua adalah tugas yang harus mereka kerjakan sebagai bukti bakti mereka kepada guru mereka yang selama ini telah memberikan ilmu.

Kemudian, sampailah perjalanan mereka pada suatu perkampungan yang boleh dikatakan sebagai perkampungan kumuh. Mereka berharap, mudah-mudahan di perkampungan itu akan menemukan apa yang mereka cari. Setelah bertanya-tanya kepada orang-orang di sekitar perkampungan itu, mereka pun mendapatkan informasi mengenai seorang wanita janda miskin yang hidup bersama lima orang anaknya yang masih kecil-kecil. Tak ayal lagi, mereka pun mencari rumah janda tersebut. Menurut informasi yang mereka dapatkan, bahwa rumah janda tersebut hanyalah sebuah gubuk kecil yang apabila panas tak dapat menahan teriknya sinar matahari, apabila hujan tak dapat menahan derasnya guyuran air hujan, dan apabila angin bertiup dengan kencangnya maka gubuk janda tersebut juga tak dapat menahan kencangnya hembusan angin.

Sesuai dengan informasi yang telah didapatkan, mereka pun segera mendatangi rumah janda yang dimaksud yang terletak pada suatu sudut di kampung yang mereka datangi itu.

Pas berada di depan gubuk janda itu, mereka pun mengucapkan salam. Tak lama, terdengarlah jawaban salam dari dalam gubuk. Dan tak lama kemudian, keluarlah penghuni gubuk tersebut. Seorang perempuan dengan anak-anaknya yang masih kecil-kecil.

“Ada apakah gerangan Tuan-Tuan ini mendatangi kediaman kami?” tanya si penghuni gubuk itu kepada ketiga orang pemuda.

“Ibu, berdasarkan informasi yang kami dapat, bahwa di rumah ini berdiam seorang janda miskin dengan anak-anaknya yang masih kecil-kecil?” tanya salah seorang pemuda.

Terdiam ibu itu sejenak, kemudian ia menjawab, “Mungkin benarlah kiranya informasi yang Tuan-Tuan dapat itu.”

“Dan ibu ini siapa?” tanya salah seorang pemuda lagi.

“Sayalah janda miskin yang dimaksud itu,” kemudian ia melihat ke arah anak-anaknya, “dan ini adalah anak-anak saya. Sebenarnya apakah maksud kedatangan Tuan-Tuan ini?”

“Ibu, kami sedang mencari rumah Tuhan. Menurut Guru kami, untuk mencarinya tanyakanlah kepada orang-orang miskin. Kalau Ibu adalah orang termiskin di kampung ini, tentunya Ibu tahu di mana rumah Tuhan?”

Keadaan hening sejenak. Terasa ada sesuatu yang berat akan keluar dari mulut janda miskin itu, seberat hidup yang dijalaninya. Sedangkan ketiga orang pemuda tetap dengan setia menanti jawaban dari janda miskin itu.

Dengan mata yang berkaca-kaca, meluncurlah jawaban dari mulut janda miskin itu, “Bagaimana mungkin Tuan-Tuan ini bisa mendapatkan rumah Tuhan, sedangkan para penunjuk jalannya saja tak pernah Tuan-Tuan pedulikan dan tak pernah Tuan-Tuan perhatikan.”

Tersadarlah ketiga orang pemuda tersebut akan kekhilafan mereka.

Begitu mudahnya kita mencari rumah Tuhan, tegas Si Penceramah. Namun kita lebih sering lupa dan tak peduli kepada para penunjuk jalannya yang begitu banyak di sekitar kita. Kemudian Si Penceramah langsung menutup ceramahnya dengan mengucapkan salam.

Ketika ceramah berakhir, seisi masjid terlihat terus setia untuk mendengarkan ceramah yang kini sudah usai.

Ketika keluar dari masjid, terlontar ucapan dari seorang jamaah, “Sangat jauh perangai kita dari Bishir. Jangankan berjalan tak memakai sandal, malahan sandal yang kita pakai bahkan hingga masuk ke dalam masjid. Tak secuil pun akhlak kita seperti akhlaknya Bishir,” lalu orang itu pun mengambil sandalnya yang diletakkan di pelataran masjid, untuk kemudian segera berlalu bersama-sama dengan jamaah yang lainnya. [::]


- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Hanafi Mohan
Ciputat, September 2007-Februari 2008
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -


Sumber Gambar: http://belahmanukan.blogspot.com/


Tulisan ini dimuat di: http://www.hanafimohan.com/

[Cerpen] Kota yang Diselimuti Malam


Dalam satu tahun pada bulan-bulan tertentu, kotaku selalu diliputi oleh malam. Sepanjang hari selalu malam dan gelap yang ada. Gelap itu memberikan kesuraman kepada segenap warga kotaku. Sehingga orang-orang yang berasal dari luar kotaku pun enggan untuk berkunjung ke kotaku yang sebenarnya indah.

Ketika gelap-gulita menyergap kotaku, tidak jarang para penduduk terserang semacam penyakit saluran pernafasan, atau mungkin bisa disebut sebagai penyakit sesak nafas. Aku baru ingat, bahwa jika suatu ruangan dalam keadaan gelap, maka nafas kita akan menjadi sesak. Tapi apakah hanya karena gelap itu yang menjadikan para penduduk kotaku mengidap penyakit pernafasan?

* * *

Waktu itu aku masih duduk di bangku kelas satu SMA. Tak disangka tak diduga, gelap yang luar-biasa itu menyerang kotaku. Mungkin yang pertama kalinya kotaku mengalami hal seperti ini.

Tak pelak lagi, kotaku ketika itu lumpuh segala aktivitasnya. Menurut pemerintahan daerah kotaku, bahwa gelap tersebut sangat membahayakan. Apalagi waktu itu sudah banyak warga kotaku yang mengidap penyakit yang menurut instansi kesehatan di kotaku hal tersebut disebabkan oleh gelap yang misterius itu.

Gelap yang misterius itu beriring-berarak dari hutan-hutan yang ada di sekitar kotaku. Aku pun tak mengerti, mengapa gelap itu sungguh berbahaya? Padahal gelap adalah sesuatu yang biasa saja di dunia ini. Setiap hari pada waktu malam, kita pasti bertemu dengan gelap. Tapi memang gelap misterius yang menerpa kotaku lain daripada gelap yang biasanya kita temui setiap hari, karena gelap misterius itu menelan siang dan terang benderang dunia ini. Sehingga yang ada hanyalah malam dan gelap sepanjang hari.

Mengapa gelap ini harus terjadi? Apakah gelap itu datang dengan sendirinya? Hingga kini tak satupun orang yang tahu mengapa gelap itu terjadi. Juga apa yang menyebabkannya, orang-orang di kotaku sama sekali tak mengetahuinya.

* * *

Jauh di hutan-hutan sekitar kotaku, pohon-pohonnya sudah habis meranggas dimakan oleh gerigi-gerigi tajam yang buas. Tak peduli pohon yang sudah tua, yang setengah tua, maupun yang masih muda sekalipun, semuanya dilahap tak kenal ampun.

Tak habis dengan gerigi-gerigi yang menakutkan itu, agar lebih mudah memakan semua isi hutan dan juga agar lebih cepat, lidah-lidah api pun menjalari seluruh hutan. Karena mungkin hanya dengan cara inilah, aktivitas pembabatan hutan bisa efektif dan efisien.

Negeriku memang kaya-raya dengan hasil hutan. Dan kekayaan hutan itu juga otomatis bisa membuat kaya-raya negeriku. Yang menjadi kaya-raya itu memang bukan seluruh penduduk negeriku, melainkan hanya segelintir orang pemilik modal, baik yang mengantongi izin ataupun yang tidak. Kerennya lagi, mereka dinamakan sebagai Pemilik HPH, yang seakan-akan menjadi lampu hijau bagi para pembabat hutan tersebut untuk menghabiskan dan meluluh-lantakkan semua kawasan hutan yang ada di pulauku. Tentunya dengan menghalalkan berbagai macam cara.

Setelah beberapa lama kotaku diselimtui gelap, barulah orang-orang mengetahui, bahwa gelap yang menyelimuti kotaku berasal dari hutan-hutan yang dibakar yang berada di sekitar kotaku.

Tak lain, upaya yang dilakukan adalah berusaha untuk memadamkan kebakaran hutan itu. Tapi tetap saja kebakaran hutan itu sangat sulit untuk diredakan. Ditambah lagi dalam beberapa bulan ketika itu, hujan pun tak turun. Apalagi semua itu beriringan dengan musim kemarau. Sehingga akumulasi dari semua kondisi tersebut semakin membuat kesulitan untuk meredakan kebakaran hutan yang sudah cukup parah itu.

Gelap yang sudah tak misterius itu ternyata tak hanya menyerang kotaku, tetapi juga menyerang beberapa kota yang ada di negara tetangga yang kebetulan berada dalam satu pulau dengan negeriku. Sehingga negaraku kini tak hanya mengeksport tenaga kerja ke negara tetangga, tetapi juga mengeksport kabut gelap itu. Negara tetangga pun berbaik hati untuk ikut membantu meredakan kebakaran hutan di negeriku yang menjadi penyebab kabut gelap itu, yang boleh dikatakan sudah menjadi bencana nasional di negaraku.

* * *

Setelah berbagai upaya dilakukan, sedikit demi sedikit kebakaran hutan dapat ditanggulangi. Tentunya penanggulangan tersebut tak semudah membalik telapak tangan, karena kawasan hutan yang terbakar itu sudah begitu meluas. Bahkan kebakaran hutan itu boleh dikatakan sudah mendera hampir seluruh kawasan hutan yang ada di pulauku yang merupakan pulau terbesar ketiga di dunia. Apalagi pulauku dikenal sebagai pulau yang bertanah gambut, sehingga semakin mempersulit penanggulangan bencana yang tak pernah diharapkan ini.

Pada tanah gambut, kebakaran itu tak hanya terjadi di atas permukaan tanah, tapi juga meranggas hingga beberapa meter di bawah permukaan tanah. Dapat dibayangkan, yang kelihatan di atas permukaan tanah saja sudah begitu sulitnya untuk dipadamkan, apalagi yang tak kelihatan di bawah permukaan tanah.

* * *

Pesawat yang kutumpangi dari Jakarta menuju ke Pontianak baru sampai kini, setelah tadi beberapa jam tertunda keberangkatannya. Karena apa? Apalagi kalau bukan kabut asap yang masih menyelimuti Kota Pontianak pada awal Oktober ini. Ah, sungguh menjengkelkan bagi diriku. Lagi-lagi, kabut asap yang tak pernah diharapkan kedatangannya itu.

Dalam sekitar sepuluh tahun ini, memang tak henti-hentinya kota tercintaku selalu dirundung kabut asap. Segala macam penanggulangan sudah dilakukan, tapi tetap saja setiap tahun kabut asap akan datang mengunjungi kotaku. Dan boleh dikatakan, bahwa kabut asap itu kini sudah menjadi musim tersendiri di Kota Pontianak. Wajar saja bencana ini selalu terjadi, karena para pembabat hutan masih berkeliaran dengan bebasnya untuk menghabiskan semua isi hutan di Pulau Kalimantan. Kalau belum habis isi hutan di pulauku, maka belum akan berhenti juga mereka menggasak seluruh isi hutan. Dan yang membuat diriku tak habis pikir, pemerintah dalam hal ini seakan-akan tak berdaya menghadapi para pemusnah hutan ini. Padahal dampaknya sudah sangat jelas sekali di depan mata kita.

Kotaku memang kaya dengan berbagai musim yang beraneka-ragam. Ada musim hujan dan musim kemarau yang memang sudah dari dulunya rutin saling berganti-gantian. Ditambah lagi musim buah-buah yang juga rutin selalu ada di kotaku, dari langsat, cempedak, rambutan, durian, rambai, dan entah buah-buahan apalagi yang kalau sudah musimnya bagaikan banjir buah-buahan di kotaku. Yang pasti, kalau sudah banjir buah-buahan ini, harga buah-buahan itu menjadi lumayan murah. Dan juga yang tak pernah dilupakan adalah musim air pasang, yang kalau sudah musimnya, sangat merepotkan warga kota. Aku ingat dulu ketika masih anak-anak, entah karena memang ketika itu aku masih anak-anak, terus terang sangat senang sekali kalau sudah musim air pasang ini. Mungkin bukan hanya aku, anak-anak yang sebaya denganku juga begitu senangnya kalau lagi musim air pasang ini.

Dan kini, yang sudah berlangsung sekitar sepuluh tahun ini, bertambah lagi musim yang ada di kotaku. Apalagi kalau bukan musim kabut asap yang tak pernah diharapkan kedatangannya itu. [-,-]




- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Hanafi Mohan

~ Ciputat, 15 – 31 Juli 2007 ~
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -




Sumber gambar: http://www.rnw.nl/

Tulisan ini dimuat di: http://hanafimohan.blogspot.com/

Cerpen: Yang Tertinggal

YANG TERTINGGAL
Cerpen: Hanafi Mohan



Mengapa setiap hubunganku dengan perempuan harus berakhir dengan kematian? Mereka mati.

Atau jangan-jangan akulah sebenarnya yang telah mati, yang telah kalah, yang tak pantas lagi hidup di panggung dunia ini.

Ah, semakin kacau saja pikiranku setelah kekasihku mati beberapa hari yang lalu. Entah ini kekasihku yang ke berapakah yang akhirnya juga mati.

Dalam kegelisahanku itu, aku terus menyusuri jalan yang aku tak tahu di mana ujungnya, di mana berakhirnya.

Kulihat serombongan orang berpakaian hitam-hitam menuju ke suatu tempat. Rombongan apakah ini? Lantas kuikuti rombongan itu dari belakang.

Sepertinya aku kenal betul dengan tempat ini. Tak salah lagi, ini adalah pekuburan di dekat kosanku. Tapi mengapa sedari tadi aku tak menyadarinya.

Ada teman-temanku, ibuku, abangku, tetanggaku, dan orang-orang lain yang tak aku kenal.

Kok ibu dan abangku tiba-tiba ada di sini. Juga teman-temanku. Lalu kuhampiri tetanggaku. Kutanyakan padanya, siapa yang meninggal ini. Tapi ia tak mengubris pertanyaanku.

Ketika penutup muka mayat itu dibuka, terbelalak mataku. Benarkah yang kulihat kini, atau hanya ilusi. Kukucek-kucek mataku. Semakin terang di hadapanku wajah mayat itu. Tak lain adalah wajahku.

Lantas aku kini, berarti sudah mati. Berarti aku kini adalah roh. Pantas saja tetanggaku tadi tak mengubrisku.

“Mengapa tak dikubur di tanah kelahirannya saja Bu?” tanya tetanggaku kepada ibuku.

“Ia ingin dikubur di sini. Begitulah menurut catatan hariannya yang tertinggal di rumah temannya. Saya pun tahu dari temannya itu.”

“Oh …, begitukah Bu. Berarti ini memang wasiatnya.”

Aku hanya terdiam sedih melihat semua ini. Aku sudah mati.

Tapi tidak, ada sedikit kekuatan di dalam diriku untuk keluar dari semua ini. Berteriak aku sekuat-kuatnya. Walaupun aku tahu, aku kini hanyalah roh. Sehingga tak mungkin ada yang bisa mendengarku. Tapi aku tetap tak peduli. Mungkin Tuhan bisa mendengar teriakanku ini. Karena aku belum mau mati. Aku belum siap menghadapinya. Aku belum siap meninggalkan dunia ini. Masih banyak tugas yang harus kuselesaikan di dunia. Sehingga seharusnya tidak secepat ini Tuhan mengambil nyawaku.

Tiba-tiba ada seorang yang tak aku kenal menghampiri. Kemudian ia berucap, “Percuma kau lakukan itu anak muda. Karena kau hanyalah roh. Karena jasadmu kini akan segera dikubur.”

“Siapa anda? Sepertinya saya baru melihat anda. Jangan sok tahu, jangan sok menasehati saya. Karena saya memang sudah tahu.”

“Kalau begitu, mengapa kau masih berusaha untuk keluar dari ini semua?”

“Karena saya yakin, saya sebenarnya belum mati. Dan saya memang belum mau mati.”

“Sok tahu kau anak muda. Memang kau tahu kapan akan mati? Memangnya kau bisa mengatur kehidupan dan kematianmu?”

“Memang saya tidak tahu kapan akan mati. Dan memang saya tidak bisa mengatur kehidupan dan kematian saya. Tapi saya masih punya harapan untuk bisa hidup. Saya yakin, Tuhan mendengar semua ini.”

“Sia-sia semua harapanmu itu, anak muda. Lihatlah! Jasadmu kini sudah segera akan dikubur. Dan, yang patut kau ketahui, aku lah malaikat yang telah ditugaskan Tuhan untuk mencabut nyawamu satu hari yang lalu.”

Kemudian aku pun semakin gemetaran mendengar semua itu. “Tidak … tidak …”, mulutku semakin kelu, seakan-akan mulutku tak bisa mengeluarkan suara.

“… a … a … a …,” aku terus berteriak sekuat-kuatnya.

Tubuhku bergetar, tapi aku terus berteriak.

“San, Ikhsan, bangun, bangun! Sadarlah kau!” ada suara yang memanggilku, sangat dekat sekali, dan suara itu begitu aku kenal.

Tubuhku terus digoncang-goncang, “San, sadarlah! Ini sudah tengah malam. Tak enak didengar oleh tetangga.”

Mataku pun perlahan terbuka. Teriakanku pun semakin merendah, merendah, dan berhenti. Tapi keringat dingin mengucur di tubuhku. Kulihat temanku ada di dekatku.

“Bermimpi burukkah kau, San?”

Aku hanya bisa menarik napas panjang.

* * *

Pagi ini aku terbangun. Seakan-akan aku terlahir kembali. Masih tersisa bayang-bayang kematian itu.

HP ku masih tergeletak di tempatnya seperti tadi malam. Lalu ku ambil HP butut itu. Ada SMS rupanya. Lalu kubuka SMS itu.

Diarymu tertinggal d’rmhku, kawan. Ku tnggu kau d’rmhku nnti siang.

Lalu kubalas SMS temanku itu.

Iya, nnti siang aku k’rmhmu. Bnyk yg hrs kucrtkn pdmu. [-,-]


Ciputat, Senin 30 April – Selasa 1 Mei 2007

Kepada sahabatku

Cerpen: Teman?

TEMAN?
Cerpen: Hanafi Mohan



Apa maksudnya tersenyum seperti itu padaku? “Hei, apa maksudmu tersenyum seperti itu padaku?” Kuhampiri orang yang tersenyum dengan menyiratkan seribu tanda tanya itu. Ternyata orang itu adalah orang yang kukenal. Dia adalah temanku. Tapi, masihkah ia pantas aku sebut sebagai teman? Mungkin ia telah merasa menang dariku. Mungkin ia telah merasa berhasil mengalahkanku, sehingga aku hancur berderai seperti ini.

“Hei kawan, mampirlah ke sini! Kita ngobrol-ngobrol dulu. Sepertinya kita sudah lama sekali tak pernah bertemu, apalagi sekedar ngobrol.”

Ia mencoba berbasa-basi. Tapi, tak ada salahnya juga jika kuhampiri dia. Apa maksudnya? Toh selama ini dia bukan teman yang terlalu akrab denganku. Dan aku sebenarnya tidak terlalu mengenal sosoknya. Sehingga, seperti akhir-akhir ini, dia telah melakukan tindakan-tindakan yang tidak kusangka-sangka, yang itu di luar dugaanku selama ini.

Kujabat tangannya. Tapi..., seperti ada yang lain dari jabatan tangan kami itu. Serasa ada yang bergetar. Entah tangan siapakah sebenarnya yang bergetar itu. Serasa ada degupan jantung yang begitu kencangnya. Juga itu entah degupan jantung siapakah? Ada sesuatu yang tak menentu dari jabatan tangan itu.

“Kau sekarang di mana? Apa saja aktivitasmu?” tanyanya.

Oh, pertanyaan klasik seperti itu mudah sekali untuk dijawab. Atau memang tak perlu untuk dijawab, karena hanya basa-basi yang sudah terlanjur basi. Aku mungkin bisa mengajukan pertanyaan yang lebih menukik, lebih tajam, lebih menusuk, dan lebih pedas dari itu.

“Aku sekarang ada di mana-mana, di mana saja, asalkan aku bisa bernaung, beraktifitas, dan melakukan apa saja yang kuinginkan. Aku adalah burung yang selalu mencari udara yang bebas, tanpa mau dikurung dan dikerangkeng dalam keterkungkungan. Kegiatanku adalah mencari sesuatu yang berarti bagi diriku.”

Tergamam dia mendengar penjelasanku itu. Lalu aku bertanya, “Kau sendiri bagaimana sekarang? Apa saja aktifitasmu? Sudahkah kau dapatkan yang kau inginkan? Sudahkah kau temukan kebahagiaan?”

Dia lalu berkata, “Kau mungkin lebih beruntung dariku, kau mungkin lebih berbahagia dariku, kau ...”

“Hei, apa maksudmu berkata seperti itu? Bukankah sekarang keadaanmu lebih baik dariku? Kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan, yang tadinya aku yang menginginkan itu terlebih dahulu. Kau jangan berbalik-balik lidah seperti itu. Kau jangan berusaha menyenang-nyenangkan ’ku dengan berkata seperti itu. Basi’, tau!”

“Kau janganlah marah seperti itu kawanku. Sebenarnya apa maksud dari perkataanmu tadi?”

Heh..., dia berlagak bego’, setelah apa yang dilakukannya selama ini.

“Oh ..., jadi kau belum mengerti dengan apa yang kukatakan tadi? Mungkin kau hanya mengerti bagaimana mengalahkanku, bagaimana menghancurkanku. Sudahlah kawan, kau jangan berpura-pura seperti itu! Aku sudah tahu dengan sepak terjangmu akhir-akhir ini. Sesuatu yang tidak kusangka-sangka. Andaikan bukan kau yang melakukan itu semua, tapi orang lain. Tapi, semua itu kau yang melakukannya. Kau yang kuanggap selama ini sebagai teman, ternyata lebih jahat dan lebih licik dari musuhku sendiri.”

Dia masih tergamam seperti orang bego’. Atau sedang pura-pura bego’, atau memang benar-benar bego’? Ingin sekali aku melakukan sesuatu. Aku ludah mukanya itu, atau aku tonjok sekencang-kencangnya hingga lebam-biru lah mukanya yang seperti orang bodoh itu. Beraninya bersembunyi di balik wajah yang lugu itu. Tapi di balik keluguan itu, ternyata lebih buas dari srigala, yang siap menerkam siapa saja, bahkan teman sekali pun.

“Kawan! Tapi entahlah, masihkah pantas aku menganggapmu sebagai kawan. Sudahkah kau mengerti dengan perkataan-perkataanku tadi?”

“Terus terang, aku tak mengerti dengan segala perkataanmu tadi.”

“Atau perlu kulakukan sesuatu agar kau mengerti?”

“Iya, lakukanlah!”

Aku berpikir sebentar, apa yang harus kulakukan untuk membuat orang bego’ dan lugu, sekaligus jahat, licik, dan buas ini, menjadi mengerti. Biar yang kulakukan ini setimpal dengan apa yang telah diperbuatnya selama ini.

“Kawan! Kau mau yang lembut atau yang keras?”

“Terserah kau lah. Tapi tolong kau jelaskan dahulu beda keduanya!”

Ih, dasar orang bego’. Begitu saja tak mengerti. Masa’ harus kujelaskan lagi.

“Kalau yang lembut, kau pasti akan lama sekali mengertinya. Bahkan sampai kiamat pun dunia ini, kau tak akan pernah mengerti. Tapi kalau yang keras, sekarang pun kau akan langsung mengerti. Ayo, pilih yang mana kawanku?”

“Mana baiknyalah menurutmu. Lakukan saja!”

Kutarik nafas dalam-dalam, kemudian ... buk ..., tinjuku melayang ke mukanya yang culun itu.

“Aduh ..., apa maksudmu ini kawan?” sambil ia meringis dan memegangi mukanya yang sudah lebam-biru itu.

Kemudian sepertinya ia mau membalas tinjuanku itu. Aku pun segera meregang kedua tangannya. “Sabar kawanku! Itulah maksudku cara yang paling cepat itu.” Kemudian ia kembali tenang lagi, namun masih menyiratkan kebingungan dengan apa yang telah kulakukan. Aku pun menulis sesuatu di kertas. Setelah itu kusodorkan kertas itu ke depan mukanya, biar terbelalak matanya membaca tulisan di kertas itu. “Kau tahu kan ini?” sambil terus kusodorkan kertas itu ke depan mukanya.

“Iya, aku tahu itu. Tapi, aku masih bingung. Apa maksud semua ini?”

“Seperti yang telah kukatakan sedari tadi, bahwa aku juga menginginkan apa yang telah kutuliskan itu. Bahkan aku duluan yang menemukannya. Jauh hari sebelum dirimu. Kau, bahkan seluruh dunia ini tahu akan hal itu. Tapi kau, dengan tampangmu yang lugu dan tak berdosa itu kemudian menyerobotnya, merampasnya dariku.”

“Tapi mengapa baru sekarang kau katakan dan ceritakan?”

“Baru sekarang katamu! Dasar, musang berbulu domba kau ini. Kau tak ubahnya seperti srigala, bahkan lebih buas dari srigala”

“Lantas apa yang harus kulakukan sekarang teman?”

“Terserahlah apa yang akan kau lakukan. Karena kau memiliki segalanya. Dengan itu kau bisa bertindak seenak perutmu.”

“Tapi tidak bisa seperti ini kawan. Semua ini harus kita selesaikan!”

“Apa lagi yang harus diselesaikan? Semuanya sudah jelas. Dan ..., kau puas kan dengan hal itu, akan apa yang telah kau dapatkan kini? Atau ..., kau mau membalas tinjuanku tadi? Nih mukaku,” kusodorkan mukaku ke depan matanya.

“Atau bagian mana saja, hingga kau puas. Sampai diriku hancur dan tercabik-cabik pun tak apa-apa.”

Ia tetap saja tak bergeming.

“Bukan seperti itu kawan! Ada hal-hal yang harus kau ketahui dan kujelaskan padamu.”

“Apa lagi yang harus diketahui? Apa lagi yang harus dijelaskan? Semuanya sudah terang-benderang seperti ini. Atau ..., apakah kau mau dan sudi melepaskan yang telah kau rampas dariku itu?”

“Bukan itu maksudku kawan, tapi ...”

Datanglah seorang perempuan muda mendekati kami, lebih tepatnya lagi mendekati temanku itu. Suasana berubah menjadi tegang. Tapi ..., aku tak mau larut terlalu lama dengan ketegangan itu.

“Teman, kalau begitu aku pergi dulu.”

Kemudian aku pun segera beranjak dari kedua orang itu.

Tapi ..., langkahku seakan menjadi berat, kemudian menjadi terhenti. Ada tangan lembut yang memegang tanganku. Aku pun berbalik. Ternyata perempuan muda itu yang memegang tanganku. Aku tak kuasa dengan pegangan selembut itu. Kulihat titik-titik air mata mengalir lambat dari sudut mata perempuan muda itu. Mengapa titik-titik air mata itu lagi yang harus kulihat? Oh Tuhanku, mengapa begitu beratkah cobaan yang Kau timpakan kepadaku?

Akhirnya, aku kuatkan juga tekad untuk beranjak dari tempat itu. Pantang bagiku untuk menjilat ludah yang telah kukeluarkan.

Lambat laun, pegangan tangan perempuan muda itu pun lepas dari tanganku, seiring tekadku yang semakin kuat untuk beranjak dari situ.

“Tunggulah sebentar kawan!” pinta temanku itu.

“Sudahlah kawan, semuanya sudah jelas. Kecuali kalau kau mau menerima tawaranku tadi. Tapi itu pasti akan berat kau lakukan. Kalau begitu aku permisi dulu kawan.” Aku pun segera berlalu dari tempat itu.

“Kawan..., janganlah kau pergi!” teriak temanku. Tapi tetap tak kupedulikan. Tak ada lagi yang bisa menghalangi langkahku. Tidak siapa pun, dia temanku itu, dia perempuan muda yang bersama temanku itu, atau siapa pun yang akan melakukan itu terhadapku. Karena, aku akan terus berjalan menyusuri jalan dan liku-liku kehidupan ini. Karena hingga kini dunia belum berhenti. [-,-]

Ciputat, 10-11 Juni 2006

[Cerpen] Negeri Harapan


Malam itu di Negeri Sungai, aku terbangun. Baru saja aku memimpikan berada di negeri yang hutan belantaranya bukanlah pohon-pohon, namun adalah gedung-gedung yang menjulang tinggi. Jalan rayanya tak ubah seperti rimba raya. Ada juga jalan-jalan yang seperti kapsul.

Baru kali ini aku melakukan perjalanan dengan pesawat. Ketika mendarat di bandara negeri itu, kelap-kelip cahaya lampunya menambah indah suasana. Di bandara, aku langsung dijemput oleh sebuah mobil. Aku pun dibawa berjalan-jalan mengitari Negeri Harapan itu.

Waw …, indah nian negeri ini. Sangat berbeda dengan Negeri Sungaiku. Gedung-gedungnya menantang langit. Jalan-jalannya bersusun-susun. Lampu-lampunya terang-benderang. Andai aku dapat berlama-lama di negeri ini.

Tiba-tiba aku terbangun. Aku pun heran. Sepertinya ada yang janggal.

Tempat ‘ku terbangun ini, sungguh memang bukan kamar di rumahku yang ada di Negeri Sungai. Aku kenal betul dengan kamar itu. Rasanya baru beberapa saat yang lalu aku tinggalkan. Sehingga tak mungkin aku terlupa dengan kamar itu.

Kalau ini memang bukan kamarku, lantas kamar siapa? Di rumah siapa?

Atau memang aku masih bermimpi? Tapi sebegitu nyatakah seperti ini?

“Au …, sakitnya …,” mulutku berteriak, setelah ‘ku cubit lenganku untuk memastikan, mimpi atau nyatakah semua ini.

Lalu ‘ku tampar mukaku untuk memastikan lagi.

“Aduh …,” kembali ‘ku berteriak.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka.

“Dhani, sudah pagi nih. Katanya kamu minta dibangunkan,” ujar orang yang masuk ke kamar.

“Hah …,” ujarku lirih, sambil melihat heran ke orang itu.

“Hei …, mengapa Dhani? Kamu seperti orang yang kebingungan.”

Kemudian orang itu keluar dari kamar. Tapi buru-buru kupanggil, “Wan … Wawan …!”

Kemudian orang itu menoleh ke arahku, “Ada apa Dhani?”

Wawan …? Benarkah orang yang kupanggil tadi bernama Wawan? tanyaku di dalam hati.

“He … Dhani … ada apa …?”

“Wa … wan!” aku tergagap.

“Iya, mengapa kamu sedari tadi memanggilku?”

Kiranya benar, orang itu bernama Wawan.

“Begini maksudku, Wan. Air untuk berwudhu’ ada kan?”

“Ya … adalah. Kamu ini seperti orang yang linglung saja. Ah … sudahlah. Cepatlah kamu Shalat Shubuh! Mumpung matahari belum terlalu tinggi.”

Lalu orang yang bernama Wawan itu pun keluar dari kamar. Sementara kepalaku berputar-putar, pusing tak karuan. Entah apa yang ‘ku alami ini.

* * *

Sudah begitu lamanya aku berada di negeri yang semakin tak ‘ku pahami ini. Negeri yang semakin hari semakin semrawut, tidak aman, dan juga tidak nyaman.

Di Negeri Harapan ini, pernah suatu waktu aku bermimpi bergelut di suatu perkumpulan. Entah berapa lama aku bermimpi itu. Hari-hari yang begitu panjang ‘ku lalui di dalam mimpi itu. Hingga suatu saat aku dipercayakan untuk menjadi pimpinan perkumpulan itu. Sungguh sesuatu yang di luar khayalanku. Aku memang pernah berkhayal untuk bisa bergelut di perkumpulan itu. Tapi hanya sekedar bisa bergelut di sana, bukan menjadi pemimpinnya. Tapi yang ‘ku dapatkan ternyata lebih dari yang ‘ku khayalkan.

Suatu saat aku tersadar dari mimpi panjang itu. Aku tersadar di Negeri Harapan.

Ah, mengapa masih di Negeri Harapan? Tapi sudahlah. Ini mungkin sudah menjadi garisan. Yang harus ‘ku lakukan hanyalah menjalankannya. Aku tak lebih hanyalah salah seorang pemain drama kolosal. Yang ‘ku jalani hanyalah sedikit dari skenario alam raya ini.

Aku harus berkejar-kejaran dan berebut-rebutan dengan orang lain untuk menjadi yang terbaik. Kadang aku yang menang, orang lain yang kalah. Atau sebaliknya, orang lain yang menang, aku yang kalah. Untuk mencapai semua itu, harus rela bersikut-sikutan, atau tak jarang harus bercakar-cakaran. Demi menjadi yang terbaik.

Seorang temanku berkata, “Kau itu terlalu berlebih-lebihan untuk menjadi yang terbaik. Hingga segenap waktu dan energimu kau habiskan hanya untuk mencapai predikat yang terbaik itu. Sedangkan di dunia ini banyak hal yang bisa dilakukan tanpa harus menjadi yang terbaik.”

Tapi aku merasa enjoy melakukan semua itu. Walaupun semua waktu, energi, bahkan uang ‘ku habiskan demi menjadi yang terbaik.

* * *

Hingga suatu saat, aku berada pada titik nadir. Aku yang sudah terbiasa berlari berkejar-kejaran dan melesat mencapai semua keinginan, kini hanya bisa tertatih-tatih merangkaki waktu.

Aku tertekan. Tak tentu arah tujuanku. Bahkan sebenarnya aku kehilangan arah. Negeri Harapan yang nian indah dan menjanjikan segala kesenangan, kini bagiku tak lebih hanya bagaikan rimba belantara. Aku tersesat di tengah rimba yang tak berujung-pangkal.

Kini, aku hanya berharap bisa keluar dari semua kungkungan ini. Aku ingin seperti dulu bagaikan elang yang terbang bebas di angkasa. Bahkan di sanubari terdalam, aku ingin kembali berada di negeri tempatku berasal. Yaitu negeri yang mengalir sungai-sungai panjang nan lebar. Sungguh negeri yang damai.

Tapi bagaimana mungkin aku bisa kembali lagi ke negeri asalku itu? Kalaupun mungkin, bagaimana caranya? Sedangkan keberadaanku di Negeri Harapan ini pun tanpa terlebih dahulu ‘ku rencanakan. Tiba-tiba saja aku sudah berada di negeri yang sebelumnya hanya menjadi khayalanku ini.

Oh ya, mimpi …. Aku baru ingat, masuknya aku ke Negeri Harapan ini tak lain melalui mimpi. Sehingga sampai kapanpun, negeri ini tetaplah negeri mimpi, bukanlah negeri yang benar-benar nyata. Karena ini mimpi, maka aku harus terbangun lagi di negeri asalku, tempat di mana aku memimpikan Negeri Harapan ini. Masih dengan pertanyaan lamaku, mungkinkah ini semua hanyalah mimpi? Sedangkan yang ‘ku alami selama ini benar-benar nyata. ‘Ku usir semua pikiran yang sudah usang itu.

‘Ku susun rencana untuk melakukan semua itu. Segenap pikiran, perasaan, dan energi ‘ku curahkan untuk kembali lagi ke negeri asalku. Untuk menggapainya, apapun halangan dan rintangan akan ‘ku terjang, dengan sisa-sisa tenagaku yang kini mulai terkumpul lagi.

Melintang patah, terbujur lalu.

* * *

Pelan-pelan terbuka mataku. Cahaya putih menyilaukan menerobos memasuki kamar. Lalu ‘ku dengar suara-suara yang memang tak asing bagiku. Tapi sepertinya, suara-suara itu sudah lama sekali tak pernah ‘ku dengar. Dan … aku terpana melihat tempatku terbangun kini. Ya …, tempat yang begitu ‘ku kenal.

Aku pun langsung menuju ke jendela. Terang-benderang di luar sana. Motor air berlalu-lalang di sungai yang ada di depan mataku dengan suaranya yang khas. Sampan tradisional yang satu persatu melintas membawa dan menyeberangkan penumpang. Belum lagi suara kokok ayam yang bersahut-sahutan, menambah ramainya suasana sepagi ini. Angin sungai yang sejuk membelai wajahku. Aku masih asyik dengan semua ini.

Pintu kamar pun terbuka. Lalu muncul sesosok perempuan.

“Sudah bangun rupanya, Bang. Lelap sekali Za lihat Abang tidur tadi.”

“Za …,” aku masih terpaku dengan sosok perempuan itu.

“Bang, ada apa? Mengapa tercengang seperti itu melihat Liza? Adakah yang aneh?”

“Liza …, kaukah ini?”

“Ada apa gerangan, Bang? Tak ingatkah Abang, bahwa hari ini adalah ulang tahun ke lima perkawinan kita? Lihatlah kalender itu!” perempuan yang mengaku sebagai istriku itu menunjuk ke arah yang dimaksud di dinding kamar.

“Sudah Za tandai tanggal itu dengan spidol merah, Bang. Agar kita selalu ingat tanggal bersejarah itu,” kembali perempuan yang bernama Liza itu berucap.

Lalu perempuan yang mengaku sebagai istriku itu pun keluar dari kamar.

Aku pun melihat ke kalender yang dimaksud. Sangat jelas sekali tanggal yang ditandai dengan spidol merah itu … 15. Bulan Mei tahun 2015.

Kawin …? Aku masih tak mengerti.

Lalu perempuan bernama Liza yang mengaku sebagai istriku itu pun masuk lagi ke kamar membawa seorang anak kecil. Sepertinya lelaki. Anak itu berseragam TK.

“Raushan, salaman dulu dengan Ayah! Setelah itu Raushan baru berangkat ke sekolah,” ujar Liza kepada anak kecil itu.

Lalu anak itu menyalami dan mencium tanganku. Aku masih bingung dengan keadaan ini.

“Anak siapa, Za?”

“Abang ini bergurau saja dari tadi. Lebih baik Abang cepat mandi sana! Kebetulan air sungai sedang pasang,” kemudian Liza dan si kecil Raushan itu pun segera keluar dari kamar.

Nyata atau mimpikah semua ini? Ada sedikit rasa bahagia, karena aku dapat kembali lagi ke negeri asalku, yaitu Negeri Sungai. Namun aku masih setengah tak percaya dengan semua ini. Kepalaku terus berputar-putar memikirkannya.

* * *

Suatu pagi aku terbangun. Hening …, sehening hatiku yang damai. Ya … hening. Benar-benar tak ada suara seperti pagi biasanya.

Dan …, mengapa sepagi ini matahari tak menerobos masuk seperti biasanya? Adakah yang aneh? Adakah yang janggal dengan hari ini?

‘Ku lihat di sebelahku …, Liza …? Mana Liza istriku, yang biasanya menemani tidurku? Apakah ia sudah bangun? Atau …

“Za … Liza …,” ‘ku panggil-panggil istriku itu. Namun tak kunjung ada yang menyahut.

“Za …,” aku terus memanggilnya.

Mataku masih sayup. Sepertinya nyawaku belum berkumpul semuanya.

Tapi ‘ku lihat … lemari itu, rak buku itu …

Sekali lagi ‘ku panggil istriku. Namun lagi-lagi tetap sama, tak ada sahutan sedikit pun.

“Dhani …, kamu ini mengapa? Tingkahmu semakin aneh saja dari tadi ‘ku perhatikan.”

“Wawan, kau kah?” masih dengan kebingunganku.

“Kamu ini seperti orang yang linglung saja. Ah … sudahlah. Cepatlah kau Shalat Shubuh! Mumpung matahari belum terlalu tinggi. Oh ya …, dari tadi ‘ku dengar HP-mu berbunyi. Mungkin ada telepon masuk tadi. Atau mungkin SMS. Cobalah kamu lihat!”

Lalu ‘ku raih HP yang tak jauh letaknya dariku itu. Ada SMS rupanya. Lalu ‘ku buka SMS itu.

Slamat ULTAH kwanku. Moga ttap tgar & truslah brkrya. (ANDREAS)

“Tanggal berapa sekarang ini, Wan?”

“Tanggal dua puluh.”

“Bulan apa?” kembali ku bertanya.

“Kamu ini sama bulan saja sudah lupa. Bulan Mei sekarang ini, Dhan,” ucap Wawan dengan tegas.

“Jangan kamu bertanya tahun berapa ini! Keterlaluan kalau sama tahun saja lupa. Kamu lihat saja kalender tuh!” kembali Wawan berucap dengan tegas, sambil menunjukkan kalender yang dimaksud yang tertempel di dinding kamar.

Aku pun langsung menuju ke kalender yang dimaksud. Kucari tanggal yang dimaksud, yaitu 20 Mei, seperti yang dikatakan Wawan tadi. Dan ternyata kini tahun 2007, Hari Minggu.

Setelah itu, ‘ku buka jendela yang ada di kamar. Hanya tembok-tembok tinggi yang ‘ku lihat. Pantas saja sinar matahari pagi tak masuk ke kamar. Sinar itu mungkin terhalang oleh tembok-tembok tinggi yang ‘ku lihat kini.

Tak ada sungai. Tak terlihat motor air yang lalu lalang dengan suara khasnya. Tak ada sampan. Tak terdengar kokok ayam yang bersahut-sahutan. Tak ada angin sungai yang sejuk membelai wajahku.

Dan juga tak ada … Za …. [-,-]



Hanafi Mohan
Sedap Malam - Pisangan Ciputat
Senin 7 Mei – Selasa 8 Mei 2007


Kepada Sahabatku



Sumber Gambar: http://intisari-online.com/