Hikayat Dunia

Kita hanya pengumpul remah-remah | Dari khazanah yang pernah ada | Kita tak lebih hanya penjaga | Dari warisan yang telah terkecai ||

Pontianak Singgah Palembang

Daripada terus berpusing-pusing di atas Negeri Pontianak, yang itu tentu akan menghabiskan bahan bakar, maka lebih baik pesawat singgah dahulu ke bandar udara terdekat. Sesuai pemberitahuan dari awak pesawat, bandar udara terdekat adalah Bandar Udara Sultan Mahmud Badaruddin II, Negeri Palembang.

Mudék ke Ulu

Pasangan dari kate “ulu” ielah “mudék”. Kate “mudék” beakar kate dari kate “udék”. Udék bemakne "sungai yang sebelah atas (arah dekat sumber)", "daerah di ulu sungai", juga’ bemakne "kampong halaman (tempat beasal-muasal)".

Soal Nama Negeri Kita

Belakangan ini kiranya ramai yang berpendapat ini dan itu mengenai asal usul dan makna nama "pontianak" kaitannya dengan Negeri Pontianak. Tapi apakah semua yang didedahkan itu betul-betul dipahami oleh masyarakat Pontianak?

Kampong Timbalan Raje Beserta Para Pemukanya [Bagian-3]

Selain banyak menguasai berbagai bidang keilmuan, beliau juga banyak memegang peran dalam kehidupan kemasyarakatan. H.M. Kasim Mohan yang merupakan anak sulong (tertua) dari pasangan Muhammad Buraa'i dan Ruqayyah ini merupakan seorang Pejuang di masanya.

Musik Motivasi Setahun Silam

“Satu Kursi untuk Seniman”, begitu tagline kampanyenya. Tekadnya untuk memajukan Kalbar lewat industri kreatif tentu patut diapresiasi. Melalui industri kreatif diharapkannya dapat menjadi jembatan menjulangkan budaya yang memayungi Kalimantan Barat.

Sultan Pontianak; Umara' dan 'Ulama

Kegemilangan Negeri Pontianak salah satunya diasbabkan kepemimpinan para Sultan-nya yang arif dan bijaksana. Sultan-Sultan Pontianak selama masa bertahtanya rata-rata memiliki dua peranan, yaitu berperan sebagai umara', sekaligus berperan sebagai 'ulama.

Puisi Buya Hamka untuk Muhammad Natsir

Kepada Saudaraku M. Natsir | Meskipun bersilang keris di leher | Berkilat pedang di hadapan matamu | Namun yang benar kau sebut juga benar ||

Jumat, 30 Januari 2009

Abad Modern dan Sumerisme

Hakikat Abad Modern, sebagai¬mana sejauh ini penjelasan terbaiknya diberikan oleh Marshall G.S. Hodgson, ialah Teknikalisme dengan tuntutan efisiensi kerja yang tinggi, yang diterapkan kepada semua bidang kehidupan. Maka, menurut Hodgson, Abad Modern itu sesungguhnya lebih tepat disebut Abad Teknik, apalagi jika harus dihindari konotasi moral yagn kontroversial pada perkataan “modern” (“modern” berarti “baik”, “maju”, dan lain-lain). Teknikalisme itu an sich melatarbelakangi timbul¬nya Revolusi Industri, sedangkan implikasi kemanusiaannya menyembul dalam bentuk Revolusi Perancis. Dua peristiwa yang secara amat menentukan menandai dimulainya Abad Modern itu terjadi pada sekitar pertengahan abad ke-18, bukannya di bagian Eropa yang mempunyai masa lampau yang panjang dan gemilang seperti Yunani dan Romawi, melainkan di Inggris dan Perancis di Eropa Barat Laut yang merupakan pendatang baru dalam pentas sejarah umat manu¬sia. Dan kelak akan ternyata bahwa asepek kemanusiaannya yang tercerminkan dalam cita-cita Revolusi Perancis itu adalah lebih bermakna daripada segi Tekniknya. Maka sering pula disebutkan tentang peranan utama generasi 1789 (Revolusi Prancis) dalam meletakkan dasar-dasar Abad Modern.

Sebagai suatu zaman baru, Abad Teknik, dalam efeknya terhadap sejarah umat manusia, dapat diban¬ding¬kan dengan Abad Agraria Berkota (Agrarianate Citied Society) yang dimulai oleh orang-orang Sumeria pada sekitar tiga ribu tahun sebelum Masehi. Dalam sejarah umat manusia, bangsa Sumeria adalah manusia pertama yang membangun masyarakat ber¬kota. Mereka juga yang pertama mampu mengatasi persoalan mereka karena gejala alam yang besar, yaitu luapan sungai-sungai Dajlah dan Furat, yang kemudian mereka manfaatkan untuk irigasi pertanian lembah “Antara Dua Sungai” (Mesopotamia). Dengan di¬pim¬pin oleh para pendeta mereka dari zigurat-zigurat, orang-orang Sumeria terus-menerus membuat kemajuan dalam berbagai bidang. Merekalah yang pertama menggunakan bajak dan weluku secara intensif untuk menggarap tanah, dan dengan begitu sangat meningkatkan produksi pertanian. Peningkatan produksi pangan (dan sandang) tidak saja mem¬per¬baiki taraf hidup para petani, tapi juga memung¬kinkan tumbuhnya kelas baru di kota-kota yang dapat menikmati hidup mak¬mur tanpa harus terjun langsung dalam pekerjaan pertanian. Mereka adalah juga manusia pertama yang membuat tulisan (huruf), menemukan perunggu dan menggunakan kendaraan beroda.

Berkat kemajuannya itu, bangsa Sumeria mendapati dirinya mampu dengan gampang mengalahkan dan menguasai bangsa-bangsa lain di sekitarnya, yaitu masyarakat-masyarakat pertanian tanpa kota. Dengan begitu perang tidak lagi hanya berupa pertempuran antar suku seperti sebelumnya, melainkan meningkat skalanya menjadi perang antar bangsa. Maka timbullah pada mereka, untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia, kehi¬dup¬an bernegara dalam arti kata yang sebenarnya, bahkan dengan wawasan imperialisme dan kolo¬nialis¬menya. Hal ini, selanjutnya menuntut kemampuan yang lebih tinggi untuk mengatur kehidupan bersama secara lebih cermat dan profesional. Jika selama ini pimpin¬an masyarakat terbatas hanya kepa¬da para pemimpin agama sebagai satu-satunya kelas literati, kini diperlukan kelompok orang-orang yang khusus menangani urusan kenegaraan, terutama perang, serta kelompok lain yang menangani perdagangan.

Cara dan pandangan hidup Sumeria (“Sumerisme”) menjadi model bagi umat manusia selama 5000 tahun, yaitu sejak tumbuhnya masyarakat berkota (citied society) pertama di Sumeria itu sampai dengan dimulainya Abad Teknik di Eropa Barat Laut. “Sumerisme” merupakan dasar pola kebudayaan manusia sejagad, meskipun di sana-sini, seperti misalnya di pedalaman Afrika, Pulau Irian dan Australia, masih terdapat kelompok orang-orang yang belum mengenalnya samasekali, bahkan sampai se¬karang. Sungguh, sejak masa Sumeria itulah umat manusia benar-benar memiliki “Peradaban” dan memasuki “Zaman Sejarah”.

Yang segera terlanda oleh gelom¬bang “Sumerisasi” itu ialah kalangan bangsa-bangsa Semit sendiri di sekitar Mesopotamia, kemudian bangsa Mesir di Lembah Nil dari kalangan ras Hamit, menyusul bangsa-bangsa Persia, Yunani, dan India dari kalangan ras Arya. Bangsa-bangsa lain yang lebih jauh dari Lembah Mesopotamia, melalui perkembangan dan pengaruh be¬ran¬tai, juga akhirnya terkena oleh arus “Sumerisasi” itu, seperti ditunjukkan oleh “bangsa” Jawa setelah kedatangan orang-orang “berperadaban” dari India.

Abad Agraria itu terus-menerus mengalami perkembangan secara progresif, dengan perbaikan tidak saja dalam hal-hal yang bersangkutan dengan pertanian, tetapi lebih penting lagi peningkatan konsep kemanusiaan yang mendasarinya, atau menjadi implikasinya. Peranan kaum intelektual yang diwakili oleh golongan literati dari pranata keagamaan tetap berlanjut sebagai sum¬ber kreativitas dan inovasi. Dalam perkembangan lebih lanjut, pengetahuan tulis-baca menjadi tidak terbatas hanya kepada kalangan agama saja, tetapi meluas ke kalang¬an-kalangan lain juga. Puncak dari “Sumerisme” itu, dalam artiannya sebagai peradaban duniawi dalam bentuk masyarakat berkota (citied society) dengan dasar ekonomi agraris dan dengan pengembangan serta peningkatan optimal aspek kemanusiaannya, ialah Dâr al-Islâm yang berhasil mendominasi umat manusia selama paling sedikitnya delapan abad. []

Sumber: Budhy Munawar-Rachman (editor), Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Sketsa Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban, Yayasan Pesantren Indonesia Al-Zaytun, 2008

Abad Modern: Aspek Teknik dan Aspek Kemanusiaan

Suatu hal yang tampaknya tak mungkin dihindari tentang Teknikalisme ialah implikasinya yang materialistik. Maka dalam menghadapi dan menyertai kemodernan, kaum Muslimin dituntut untuk memperhitungkan segi materialisme ini. Kalkulasi pribadi, inisiatif perorangan, efisiensi kerja adalah pekerti-pekerti yang baik dan ber¬manfaat besar. Tetapi, bagaimanapun, menundukkan nilai-nilai keakhlakan dan kema¬nusiaan ke bawah pemaksimalan efisien teknis, betapapun besar hasilnya, kata Hodgson, kemungkinan sekali akan terbukti merupakan mimpi buruk yang tak rasional.

Telah diketahui bahwa aspek kemanusiaan Abad Modern ini bisa, dan telah menjadi kenyataan, lebih penting dan lebih menentukan dari¬pada aspek teknikalismenya. Generasi 1789 yang secara garis besar meru¬pakan angkatan dua re¬vo¬lusi, yaitu Revolusi Amerika dan Revolusi Prancis, dari sudut pan¬dangan kemanusiaan modern Barat adalah peletak dasar-dasar segi kemanusiaan bagi kemodernan. Cita-cita kemanusiaan yang dirumuskan dalam slogan Revolusi Prancis, “Kebebasan, Persamaan, dan Persaudaraan,” memang belum seluruhnya terwujudkan dengan baik. Tetapi harus diakui bahwa dunia belum pernah me¬nyaksikan usaha yang lebih sungguh-sungguh dan lebih sistematis untuk mewu¬judkan nilai-nilai kemanusiaan itu, dalam bentuk pelaksanaan yang terlembagakan, daripada yang dilakukan orang (Barat) sejak terjadinya dua revolusi tersebut. Pengejawantahan terpenting cita-cita itu ialah sistem politik demokratis, yang sampai saat ini menurut kenyataan baru mantap di kalangan bangsa-bangsa Eropa Barat Laut dan keturunan mereka di Amerika Utara.

Aspek teknik yang material dan aspek kemanusiaan yang non¬material itu berjalan hampir seiring di Eropa Barat Laut, dan penyem¬bulannya ke permukaan juga terjadi se¬cara hampir bersamaan, yaitu dalam Revolusi Industri dan Revolusi Prancis. Tetapi bagi bangsa-bangsa lain yang hendak mencoba mengejar ketertinggalannya, jika tidak mungkin mengambil kedua aspek itu sekaligus, sering dihadap¬kan kepada pilihan yang tidak begitu mudah untuk menetapkan mana dari kedua aspek itu yang ha¬rus didahulukan. Tetapi biasanya bentuk kesiapan tertentu suatu bangsa akan mendorongnya untuk secara pragmatis menentukan pilih¬an tanpa kesulitan. Maka India misalnya, disebabkan oleh jumlah cukup besar dari kalangan atasnya yang berpendidikan Barat di bawah pe¬me¬rintahan kolonial Inggris, se¬cara amat menarik menunjukkan keberhasilannya untuk sampai batas tertentu menerapkan aspek kemanusiaan modern Barat, yaitu, dalam hal ini, demokrasi sistem pemerintahannya. Keberhasilan itu terjadi dengan seolah-olah mengingkari kenyataan sosial masyarakat Hindunya yang mengenal sistem kasta yang kaku, yang sama sekali tidak selaras dengan keseluruhan cita-cita kema¬nusiaan modern. Meskipun India berhasil mewujudkan dirinya seba¬gai “demokrasi terbesar di muka bumi”, perkembangan lebih lanjut menunjukkan bahwa kemelaratan rakyatnya senantiasa menjadi sum¬ber ancaman kelang¬sungan demo¬krasi itu.

Sebaliknya, saat-saat terakhir ini kita bisa menyaksikan peningkatan secara luar biasa kemakmuran material beberapa negara Timur Tengah pemilik petrodollar. Jika dibe¬narkan menggunakan kriteria India itu kepada gejala Timur Tengah ini, maka dapat dikatakan bahwa, kebalikan dari India, negara-negara petrodollar itu memiliki kesiapan tertentu untuk mengambil dari Barat dan mengadopsi, secara lahirnya, aspek teknik dan kemodernan. Tetapi jika tidak segera atau bersama dilakukan penggarapan yang serius terhadap aspek pengembangan kemanusiaannya, ada kemungkinan bahwa “kemajuan” material itu akan justru merupakan epok sejarah setempat yang ternyata nanti menimbulkan penyesalan yang mendalam. Nampaknya tantangan ini disadari sepenuhnya oleh para pemimpin negara-negara itu. []

Sumber: Budhy Munawar-Rachman (editor), Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Sketsa Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban, Yayasan Pesantren Indonesia Al-Zaytun, 2008

Kamis, 22 Januari 2009

Waktu yang Ideal untuk Menulis

Dalam satu hari, sebenarnya begitu banyak waktu yang bisa kita sediakan untuk menulis. Kalaupun tidak banyak, maka mungkin ada sedikit waktu yang bisa kita sisihkan untuk aktivitas yang satu ini.

Ada yang mengatakan, bahwa waktu yang ideal untuk menulis adalah ketika akan tidur. Mengapa? Karena pada waktu ini biasanya kita merefleksikan lagi apa-apa yang telah kita lakukan, menyusun rencana untuk besoknya, dan mungkin masih banyak lagi yang berkelebat di kepala ini. Saking banyaknya pikiran, bahkan terkadang kita menjadi begitu sulit untuk tertidur. Semakin mata ini dipejamkan, maka semakin banyak pula pikiran yang melintas.

Ketika bangun tidur juga merupakan waktu yang terbaik untuk menulis, karena pikiran kita masih segar. Ada juga yang berpendapat seperti ini.

Jadi, sebenarnya manakah waktu yang ideal untuk menulis? Belum lagi ada yang berpendapat lain, sehingga semakin banyak pilihan-pilihan waktu yang ideal itu.

Waktu secara garis besar sebenarnya hanya ada dua, yaitu waktu objektif dan waktu subjektif. Enam jam dikatakan lama, satu jam dikatakan sebentar. Inilah waktu objektif. Sedangkan waktu subjektif adalah waktu yang dirasakan oleh masig-masing orang. Bagi orang yang sedang berbahagia, maka enam jam dikatakannya hanya sebentar saja berlalu. Sedangkan bagi orang yang sedang menderita, maka satu jam pun menurutnya adalah waktu yang lama sekali berlalunya.

Dalam hal ini, maka dapatlah dikatakan, bahwa waktu yang ideal untuk menulis bagi setiap orang itu begitu subjektifnya. Menulis itu berkaitan dengan rasa, serta suasana hati. Ada orang yang begitu lancar menulis ketika ia sedang santai, namun ada juga yang lancar menulis ketika ia tidak santai. Ada orang yang lancar menulis ketika emosinya sedang stabil, namun ada juga yang lancar menulis ketika emosinya labil.

Menulis adalah pekerjaan yang mensinergikan antara data, fakta, dan teks, antara rasa, karsa, dan cipta, juga antara indera, rasio, dan emosi. Sehingga, menulis merupakan aktivitas yang superkompleks. Karena itulah, menulis merupakan kegiatan yang tidak mengenal waktu. Patut diingat, bahwa menulis adalah proses ketika seseorang berdialog dengan dirinya sendiri, yang itu harus juga didialogkannya dengan data, fakta, lingkungan, dan yang terpenting adalah kata-kata yang akan diturunkannya dalam bentuk teks. Di sisi yang lain, menulis adalah mentransformasikan bahasa lisan menjadi bahasa tulisan (teks).

Jangan dibingungkan dengan waktu ideal, karena yang mengetahui waktu ideal itu adalah diri kita masing-masing. Waktu ideal orang lain cukuplah menjadi referensi bagi kita. [Hanafi Mohan/Ciputat, 14-16 Januari 2009]


Sumber Gambar: http://harimgh.wordpress.com/

Menulis dari Belakang



Rindu Menulis di Kertas

Setelah lama tidak menulis di buku (kertas), ternyata kini aku rindu juga menulis di media konvensional yang satu ini, walaupun nanti akan terjadi kerja dua kali. Maksudnya, setelah kutulis di kertas (buku), tentunya akan diketik ulang di komputer. Tapi tak apalah, karena kedua media ini memilik kelebihan dan kekurangannya masing-masing.


Konstruksi Ide

Akhir-akhir ini, aku memang lebih sering mencurahkan ide dan gagasanku langsung ke komputer, tanpa terlebih dahulu ditulis di buku. Biasanya, ide dan gagasan itu kuendapkan dahulu di kepala, setelah itu barulah kuketik. Atau tak jarang juga langsung kuketik, walaupun baru berupa konstruksi kasar. Ketika mengetik, barulah ide dan gagasan itu lambat-laun terkonstruksi menjadi tulisan yang layak dibaca oleh orang lain.


Mulai untuk Menulis

Ketika akan mulai menulis, apakah yang pertama-tama harus ditulis? Kalau dikerucutkan lagi, kata apakah yang harus ditulis pertama kali?

Tak sedikit yang menghadapi kendala seperti ini. Sehingga jangankan satu kata, bahkan satu huruf pun tak tertulis. Aku mungkin termasuk ke dalam golongan ini, tapi itu dahulu. Walaupun tak dapat dipungkiri, kendala tersebut kini pun kadang menghampiriku.

Menurutku, yang pertama harus ditulis adalah menulis itu sendiri. Maksudnya, jika ingin menulis, maka menulis saja. Yakinlah, ketika huruf pertama tergores, maka akan terus bermunculan huruf-huruf yang lainnya. Kemudian, semuanya akan mengalir. Lambat-laun akan terangkai kata demi kata, kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf, hingga tersusun suatu tulisan yang utuh.


Dari Mana Memulainya?

Hal ini juga merupakan suatu kendala yang sering dihadapi. Jika sudah ada suatu ide, atau mungkin ide tersebut sudah terkonstruksi begitu rupa, maka dari mana kita akan memulai tulisan tersebut. Dari umum ke khusus, dari khusus ke umum, atau mungkin masih banyak lagi teori lainnya, yang kadang karena sudah banyak teori dan aturan itu, akhirnya menjadikan kita semakin bingung untuk menulis.

Abaikan semua teori dan aturan menulis tersebut. Kini, hal terpenting yang harus dilakukan adalah menulis, menulis, dan menulis. Ambil alat tulis kita, lalu tulislah di situ. Segera tulis huruf pertama. Jangan berhenti pada huruf pertama saja. Jika terhenti pada huruf pertama, maka berhentilah sejenak dari menulis. Tataplah huruf tersebut sedalam-dalamnya. Yakinlah, dari satu huruf tersebut akan berpendaran huruf-huruf lainnya. Bagaikan secercah cahaya lilin yang bisa menerangi ruangan yang tadinya gelap-gulita.


Menulis dari Mana Saja

Menulis dari belakang; inilah ide utama tulisan yang sedang anda baca kini. Pada postingan terdahulu aku pernah menulis "Membaca dari Belakang". Lantas apa pulakah "Menulis dari Belakang"?

Maksudnya, tidak harus sesuatu yang kita tulis duluan itu harus diletakkan di awal dan yang ditulis belakangan harus diletakkan di akhir. Ini sebenarnya hanya kreatifitas Sang Penulis saja dalam menyusun tulisannya.

Misalkan, kita ada suatu kerangka tulisan yang menurut kita itu sudah rapi dan sistematis. Ini baru kerangka. Ternyata, ketika akan mengurai poin-poin pada kerangka tersebut, kita menghadapi "kendala klasik", yaitu "berhenti sebelum memulai". Tentunya kita tak ingin hal ini terjadi.

Bacalah lagi kerangka tulisan tersebut. Perhatikanlah poin demi poin secara berurutan dari awal hingga akhir. Kita tentunya ingin menulis secara sistematis sesuai dengan urutan pada kerangka tersebut. Oke, kini menulislah sesuai dengan urutan poin demi poin. Mungkin pertama-tama kita akan lancar menulis poin yang pertama ini. Namun tak jarang pula kita menghadapi "kendala klasik" lagi. Jika seperti ini, maka abaikanlah keinginan kita untuk menulis secara sistematis.

Bacalah lagi secara cermat poin demi poin. Bias jadi, ide kita akan begitu lancar setelah mencermati poin demi poin itu. Bisa jadi pula akan bertambah poin yang baru. Kalau sudah seperti ini, maka mulailah menulis dari mana saja; bisa dari depan, dari tengah, atau dari belakang. Cari yang mana kira-kira lancar untuk kita tulis.

Gunakan memori asosiasi, gunakan mind mapping, atau gunakan cara menulis apa saja yang menurut kita cara tersebut menjadikan kita begitu lancar menulis.

Yang pasti, jangan terpaku pada kerangka tulisan. Kerangka tersebut hanyalah acuan awal. Bisa saja ketika menulis, kita tidak sesuai dengan kerangka tersebut. Mungkin bisa saja kerangka tersebut kita acak-acak, kemudian kita susun ulang lagi. Yang tadinya kita tulis paling awal, bisa saja kemudian diletakkan di tengah ataupun di akhir, atau bisa saja kita hilangkan sama sekali. Begitu juga yang kita tulis di tengah ataupun di akhir. Begitu juga poin awal bisa saja kita tulis belakangan, sedangkan poin di tengah ataupun di akhir kita tulis lebih duluan.

Sebenarnya ada aturan dalam menulis, tapi tidak ada aturan yang baku berkaitan dengan tulis-menulis. Bahkan setiap orang memiliki metode dan aturan tersendiri dalam menulis. Bahkan bagi orang-orang tertentu, dari waktu ke waktu metode dan aturan tersebut juga tidak stagnan dan itu-itu saja. Metode dan aturan tersebut akan berubah-ubah, tidak statis (melainkan dinamis), dan menyesuaikan dengan keadaan.

Jadi, jangan bingung ketika akan mulai menulis. Jika kita sudah bingung di awal menulis, maka kita sebenarnya sudah gagal sebelum memulai. Karena itulah, jadikan kebingungan tersebut sebagai awal yang indah untuk meraih pencapaian-pencapaian yang menarik dan menantang dalam menulis. Jadikanlah pula kebingungan itu sebagai pemicu kita untuk terus dan terus menulis. Dan jadikan pula kebingungan tersebut sebagai ketidak-bingungan.

Bingung berarti tidak bingung. Bingung berarti mengerti. Bingung berarti paham. Bingung berarti bisa.

Bersama kita bisa!

Kok jadi slogal salah satu partai politik sih? Wah, berarti sudah "ngawur" nih tulisannya. Kalau sudah seperti ini, tindakan terbaik yang harus dilakukan adalah berhenti dan menyudahi tulisan ini. Titik.
[Hanafi Mohan/Ciputat, 13-14 Januari 2009]



Sumber Gambar: http://penulismudakreatif.blogspot.com/

Rabu, 21 Januari 2009

Harapan Hampa terhadap Obama

Selasa, 20 Januari 2009 menjadi hari yang berbahagia di Amerika Serikat. Diperkirakan hampir tiga ribu orang menyesaki acara pelantikan Barrack Husein Obama di Capitol Hill-Washington DC. Acara pelantikan Presiden Amerika Serikat ke-44 ini menghabiskan biaya kurang lebih 190 juta dollar Amerika, suatu angka yang fantastis untuk suatu acara pelantikan presiden yang katanya termahal dan termeriah dalam sejarah Amerika Serikat.

Acara yang menghabiskan uang begitu banyak ini dilangsungkan di tengah penderitaan rakyat Palestina yang barusan selama tiga minggu dibantai oleh Israel (kini sedang memasuki masa gencatan senjata). Dengan keadaan ini, semestinya pelantikan Obama ini dibuat agak lebih sederhana, sehingga dunia akan lebih empati terhadap Amerika Serikat.

Jika kita dengar pendapat sebagian rakyat Palestina, sepertinya mereka tak terlalu berharap dengan Obama. Ketika terjadi krisis Gaza, Obama cenderung menutup mata terhadap kebiadaban Israel itu. Dan ini terbukti ketika pidato pelantikannya, Obama tak menyinggung sama sekali krisis kemanusiaan di Gaza-Palestina.

Idola Obama adalah Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat yang menghapuskan perbudakan. Ketika itu, Abraham Lincoln menunjuk beberapa orang yang berseberangan dengannya untuk menjadi menteri. Obama pernah mengatakan, bahwa ia akan mengikuti Lincoln dalam hal ini. Hal ini kemudian direalisasikannya dengan menunjuk beberapa orang yang tadinya berseberangan dengannya untuk menjadi menteri. Hillary Clinton yang notabene merupakan rivalnya saat pencalonan presiden pada Partai Demokrat ditunjuknya menjadi Menteri Luar Negeri. Dengan melakukan ini, Obama sepertinya yakin bahwa ia nantinya bisa bekerjasama dengan orang-orang tersebut, dan juga mampu untuk mengendalikannya.

Begitu banyak sekali harapan yang digantungkan rakyat Amerika Serikat terhadap presiden yang baru ini, tak terkecuali juga oleh seluruh masyarakat dunia.

Dari pidato pelantikannya, sepertinya tak terlalu bisa diharapkan akan terjadi perubahan kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat yang cukup berarti. Pidato Obama lebih banyak menyinggung mengenai perbaikan dalam negeri Amerika Serikat, titik tekannya adalah reformasi ekonomi.

Lantas, bagaimanakah dengan kebijakan luar negeri Amerika Serikat?

Mencermati pidato Obama, sepertinya kebijakan luar negeri yang akan dibuatnya tak jauh berbeda dengan pendahulunya. Ancaman terhadap keamanan Israel merupakan ancaman terhadap Amerika Serikat, begitulah yang dikatakan Obama ketika berpidato di AIPAC. Ada memang keinginan untuk menjalin persahabatan dengan seluruh negara, bangsa, dan pemimpin dunia, tapi lagi-lagi dari pidatonya itu, Obama masih sangat memperlihatkan superioritas dan keangkuhan Amerika Serikat.

Ketika menyinggung hubungan dengan negara-negara Muslim, ia sangat mengharapkan terjadinya hubungan yang baik, tapi selain itu dia juga menegaskan, agar negara-negara muslim jangan sampai menimbulkan ancaman terhadap keamanan Amerika Serikat (berkaitan dengan terorisme yang selama ini ditudingkan Amerika Serikat terhadap beberapa negara muslim). Seakan-akan terorisme itu erat sekali kaitannya dengan negara-negara muslim, padahal terorisme bisa dilakukan siapa saja dan oleh negara apapun (tidak melulu harus diidentikkan dengan negara-negara muslim).

Berkaitan dengan persoalan dalam negeri, fokus Obama adalah perbaikan ekonomi Amerika Serikat yang baru-baru ini mengalami krisis (kontras dengan pelantikan Obama yang meriah dan mahal).

Kini, tak ada yang bisa dibanggakan oleh Amerika Serikat dalam bidang industri. Industri IT (Information Technology) adalah salah satu yang masih bisa diandalkan oleh Amerika Serikat, walaupun kini sudah banyak pesaingnya. Bidang finansial (keuangan) juga merupakan andalan Amerika Serikat. Tapi diketahui bersama, beberapa bulan terakhir ini, bidang finansial juga rontok di Amerika Serikat, sehingga menimbulkan krisis ekonomi yang kini masih mendera negara superpower ini.

Rakyat Amerika Serikat dikenal sebagai orang-orang yang boros. Negara Adikuasa ini merupakan pemakai BBM terbesar di dunia. Sikap boros rakyatnya juga menjadi penyumbang tersendiri terhadap krisis finansial yang mendera Amerika Serikat kini. Karena itulah, Obama mengajak rakyatnya untuk memperbaiki kesalahan kolektif ini.

Pada pidatonya, Obama ingin menunjukkan, walaupun ia Afro-Amerika, tetapi nasionalismenya tak kalah dibandingkan dengan orang-orang Amerika Serikat lainnya, tak kalah dibandingkan dengan presiden-presiden pendahulunya. Dari hal ini, sepertinya Obama akan membuat kebijakan luar negeri yang tak jauh berbeda dengan para pendahulunya. Tak banyak yang bisa kita harapkan pada hal ini.

Obama tentunya nanti akan melakukan berbagai manuver politik luar negeri yang tak jauh berbeda dengan pendahulunya, atau mungkin bisa jadi akan berlebihan dan over acting, karena ia akan berusaha memperlihatkan nasionalismenya pada bagian ini. Maksudnya, bisa jadi kebijakannya terhadap negara-negara muslim dan negara-negara yang dicap sebagai negara teroris menjadi agak lebih keras dibandingkan dengan kebijakan pendahulunya.

Dengan terpilihnya Barrack Husein Obama sebagai Presiden Amerika Serikat, tentunya banyak sekali harapan yang digantungkan kepadanya. Bukan hanya oleh masyarakat Amerika Serikat, melainkan seluruh masyarakat dunia menggantungkan harapan yang begitu besar kepadanya. Terciptanya tatanan dunia baru yang lebih damai dan manusiawi, seperti itulah mungkin harapan semua orang.

Tapi harapan kini tinggallah harapan. Obama hanyalah setitik noktah, hanyalah buih di tengah samudera dunia ini, hanyalah bagian kecil dari Amerika Serikat yang Adikuasa nan Adidaya. Karena itulah, jangan menggantungkan harapan terlalu besar kepada Obama. Tentunya kita tak ingin harapan itu berubah menjadi harapan hampa.
[Hanafi Mohan/Ciputat, 20-21 Januari 2009]

Rabu, 07 Januari 2009

Ketika Obama Membisu



Palestina sudah seminggu lebih ini dibombardir oleh Israel, tapi bagaimanakah sikap Barrack Obama sebagai Presiden Amerika Serikat terpilih?

Sungguh mengecewakan. Ternyata Obama lebih memilih terdiam membisu melihat penderitaan Palestina. Dia terdiam seribu bahasa melihat tingkah-laku biadab Israel. Ternyata berbanding terbalik dengan George Walker Bush. Walaupun kekuasaannya sebentar lagi akan berakhir, tetapi dia begitu pandai memanfaatkan masa yang tinggal sedikit itu untuk berkoar-koar ke seluruh dunia, bahwa pada peristiwa pemboman Israel terhadap Palestina, maka dalam hal ini Palestina lah yang bersalah. Semua itu diungkapkan Bush tanpa beban apa-apa, seakan-akan ia tak memiliki dosa.
Barrack Obama



Kalau kita tanya Bush sekarang akan sikapnya itu, mungkin dia akan menjawab, “Begitu aja kok repot, toh masa jabatanku sekarang pun sudah akan berakhir. Lagian, Obama nggak ngomong apa-apa sih.”

Ada apakah dengan Obama, hingga dia terdiam membisu hingga kini dalam menyikapi tingkah Israel yang bar-bar itu? Apakah mungkin Obama belum percaya diri? Atau mungkin ada sebab yang lain. Kita tentunya bertanya-tanya hingga kini.

Ketika Obama membisu, maka Bush pun berkoar-koar. Begitulah kiranya yang terjadi kini. [Hanafi Mohan/Ciputat-4 Januari 2009]

Sumber gambar:
http://id.wikipedia.org/wiki/Barack_Obama
http://id.wikipedia.org/wiki/George_W._Bush

Spirit 'Asyura untuk Bangsa Palestina

Beberapa hari lagi, ‘Asyura (10 Muharram) akan datang. Di Indonesia, hari yang satu ini mungkin tak terlalu dianggap istimewa. Paling-paling hanya di beberapa daerah yang dirayakan cukup istimewa, karena sudah menjadi tradisi daerah tersebut. Beberapa daerah lain juga merayakannya, namun lebih seringnya berupa perayaan yang sederhana, hikmat, dan jauh dari hiruk-pikuk perlawanan. Lain halnya di beberapa wilayah Timur Tengah (terutama yang mayoritasnya adalah penganut Syi’ah), ternyata Hari ‘Asyura dirayakan dengan spirit perjuangan, perlawanan terhadap kezaliman penguasa dan penjajah, penuh dengan darah dan pengorbanan.

Spirit ‘Asyura inilah yang telah mengobarkan Revolusi Iran. Hal yang sama juga menginspirasi para pejuang di Iraq dan Afghanistan untuk terus melakukan perlawanan terhadap kezaliman dan penjajahan yang hingga kini masih mendera negeri mereka. Mudah-mudahan spirit Asyura juga menjadi salah satu landasan perjuangan rakyat Palestina yang hingga kini masih terjajah di negeri tumpah darah mereka sendiri oleh Bangsa Israel. Israel merupakan bangsa barbar dan nomaden yang dari dulu hingga kini tak pernah memiliki negeri sendiri.

Jika membayangkan apa yang terjadi dengan Bangsa Palestina kini, mungkin kita juga bisa membayangkan apa yang terjadi dengan pasukan Imam Husayn ibn Ali ibn Abi Thalib (cucu Rasulullah) yang dibantai di Karbala-Iraq oleh pasukan Yazid ibn Muawiyah. Jumlah pasukan Imam Husayn hanya kurang lebih 70 orang, sedangkan pasukan pembantainya berjumlah 30.000 orang. Inilah perang yang tidak seimbang.

Apa yang terjadi di Karbala pada masa lalu, kini terjadi lagi di Negeri Palestina. Sejarah memang selalu berulang. Genangan darah sepertinya tak pernah mau kering di negeri para nabi ini. Semoga kedamaian akan segera diraih oleh Bangsa Palestina.

Pada Hari ‘Asyura, di Iran kita akan mendengar teriakan, “Kullu yaumin ‘Asyura, Kullu Syahrin Muharram, Kullu Ardhin Karbala” (Setiap hari adalah ‘Asyura, setiap bulan adalah Muharram, dan setiap tempat adalah Karbala). [Hanafi Mohan/7 Januari 2009]

Sultan Hamid II; Federalis Itu Bukanlah Pengkhianat Bangsa






Jika ditanya, siapakah yang menciptakan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya? Maka dijamin banyak yang tahu. Ya, benar, penciptanya adalah WR. Supratman. Tapi banyakkah yang tahu, siapakah perancang lambang negara Indonesia (Burung Garuda/Garuda Pancasila)? Kemungkinan besar tidak banyak yang tahu jawabannya.

Ternyata, perancang lambang negara Indonesia adalah seorang Sultan di Kesultanan Pontianak-Kalimantan Barat. Dialah Sultan Hamid II. Banyak yang tak tahu akan hal ini. Kiprahnya dilupakan, bahkan beliau dituding sebagai pengkhianat bangsa. Ia dituduh sebagai dalang pemberontakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) yang dipimpin oleh Westerling). Begitulah sejarah, siapa yang berkuasa, maka dialah yang bisa menulis sejarah sesuai dengan versinya (versi penguasa).

Sultan Hamid II memiliki peran besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Beliau adalah Sultan Pontianak yang telah meneguhkan keberadaan Kalimantan Barat sebagai daerah yang seharusnya diperhitungkan dan dihargai sebagai negeri yang bermarwah. Beliau merupakan tokoh yang sudah kenyang asam garam perpolitikan pra kemerdekaan, semasa kemerdekaan dalam prosesi pembentukan identitas Negara Republik Indonesia ini, dan turut menjadi tokoh yang mempunyai peran dalam periode awal kemerdekaan. Karena itulah, eksistensi Sultan Hamid II tak pelak lagi menjadi percontohan yang mesti dibanggakan oleh masyarakat Kalimantan Barat.

Selama sejarah berkembangnya negara ini, penuh cerita yang manipulatif, sehingga peranan-peranan putra Kalimantan ini diabaikan dan tiada dianggap sebagai tokoh yang memainkan peranan dalam pembentukan negara-bangsa ini. Sultan Hamid II di-stereotipekan sebagai pemberontak, anti negara kesatuan, dalang APRA, dan sebagainya. Sehingga dengan gampangnya sejarah yang dimunculkan mentadbirkan Sultan Hamid II sebagai sosok antagonis dalam republik ini.

Sultan Hamid II, yang terlahir dengan nama Syarif Hamid Al-Qadrie, merupakan putra sulung Sultan Pontianak; Sultan Syarif Muhammad Al-Qadrie. Lahir di Pontianak tanggal 12 Juli 1913. Dalam tubuhnya mengalir darah Melayu-Arab –walau pernah diurus ibu asuh berkebangsaan Inggris. Istri beliau seorang perempuan Belanda yang kemudian melahirkan dua anak –keduanya sekarang di Negeri Belanda. Sultan Hamid II meninggal dunia pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batu Layang.

Beliau menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. HBS di Bandung satu tahun, THS Bandung tidak tamat, kemudian KMA (sejenis Akademi Militer) di Breda-Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda (KNIL = Koninklijk Nederland Indische Leger).

Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret 1942, ia tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Ketika ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945, dia diangkat menjadi Sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II.

Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) berdasarkan konstitusi RIS 1949 dan selalu turut dalam perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di Indonesia dan Belanda. Beliau juga pernah memperoleh jabatan sebagai Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran.

Aktivitasnya di bidang politik menjadi salah satu alasan bagi Presiden Sukarno untuk mengangkat Sultan Hamid sebagai Menteri Negara Zonder Porto Folio di Kabinet RIS (Republik Indonesia Serikat) pada 1949-1950. Pada 13 Juli 1945 dalam Rapat Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, salah satu anggota panitia mengusulkan tentang lambang negara. Dalam kedudukannya sebagai Menteri ini, Sultan Hamid II ditugaskan oleh Presiden Sukarno untuk mengkoordinasi kegiatan perancangan lambang negara.

Pada tanggal 10 Februari 1950, Sultan Hamid II mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang. Hasil akhirnya adalah lambang negara Garuda Pancasila yang dipakai hingga saat ini. Rancangan lambang negara tersebut diresmikan dalam sidang kabinet RIS yang dipimpin Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta pada 11 Februari 1950. Sejak saat itu, secara yuridis gambar lambang negara rancangan Sultan Hamid II secara resmi menjadi Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sultan Hamid II mempunyai jejaring diplomatik yang amat sangat berpengaruh dalam upaya mendapatkan pengakuan atas kedaulatan negeri ini. Namun kedekatannya dengan pemerintahan kolonial Belanda kerap dijadikan argumentasi bahwa Sultan Hamid II adalah pengkhianat. Apalagi ketika tokoh ini menjadi ketua sebuah daerah federasi dengan nama Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) pada awal tahun 1948 yang membawahi daerah swapraja dan neo-swapraja di Kalimantan Barat. Pemerintahan DIKB dipimpin Sultan Hamid II selaku kepala daerah. Lantas kemudian beliau memimpin delegasi BFO yang lebih setuju negara ini sebagai negara federal pada Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag-Belanda. Maka cukup sudah alasan untuk menyingkirkan dan mengubur dalam-dalam jasa-jasa Sultan Hamid II.

Beliau adalah seorang federalis, namun bukan berarti dirinya juga seorang yang tidak nasionalis. Ia mendukung pembentukan negara Republik Indonesia Serikat (RIS), tetapi ia tetap menolak keinginan pemerintah Belanda untuk menjadikan Kalimantan Barat sebagai sebuah negara bagiannya. Hal inilah yang dihilangkan dari sejarah. Padahal, dengan kecakapan dan keluasan jaringan diplomasinya pada saat itu, jika memang beliau menginginkan DIKB menjadi negara bagian Belanda, maka boleh jadi Kalimantan Barat sekarang bukan bagian dari Republik ini.

Cita-cita Sultan Hamid II bersama-sama ketua-ketua daerah swapraja dan neo-swapraja lainnya sederhana sekali, bahwa dengan terbentuknya negara federal, mereka menginginkan kesepakatan seperti yang telah mereka buat yakni untuk membentuk pemerintahan Kalimantan Barat sebagai sebuah daerah istimewa, sebagaimana kedudukan Kesultanan Yogyakarta yang berstatus sebagai provinsi daerah istimewa yang masih wujud hingga kini. Tapi karena federalisnya inilah, Sultan Hamid II menjadi korban perjuangan politiknya. Bahkan seumur hidupnya difitnah sebagai “pemberontak”.


Sultan Hamid II dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, sebagai wakil negara-negara bagian dan daerah federasi dengan gigihnya memperjuangkan agar negara Indonesia tetap menjadi negara federal. Selaku Ketua DIKB, Sultan Hamid II berusaha agar status Kalimantan Barat sebagai daerah istimewa mendapat pengakuan resmi dalam perundingan dengan pemerintah Indonesia dan Belanda.

Secara singkat, perjuangan tersebut tidak sia-sia. Kedudukan Kalimantan Barat sebagai daerah istimewa dan negara-negara bagian serta daerah federasi kemudian mendapat pengakuan dalam konstitusi negara RIS (Republik Indonesia Serikat). Hal ini sesuai dengan perjanjian KMB tentang pembentukan negara Republik Indonesia Serikat (RIS), serta persetujuan pemerintah Belanda menyerahkan kedaulatan pada tahun 1949 kepada pemerintahan RIS.

Jasa lainnya yang dihilangkan begitu saja adalah peranan Sultan Hamid II dalam KMB yang tidaklah semata-mata memperjuangan BFO dan Federalisme. Kesediaan Belanda menyetujui penyerahan kedaulatan seluruh wilayah bekas jajahannya di Hindia Belanda kepada Republik Indonesia Serikat ternyata tidak terlepas daripada jasa Sultan Hamid II yang mampu membujuk Ratu Yuliana selaku Ratu Belanda. Inilah bukti kelihaian diplomasi dan karena kedekatan Sultan Hamid II yang pernah menjadi Ajudan/Pengawal Ratu Yuliana-Belanda.

Hal lain yang juga dilakukan untuk menghilangkan eksistensi Sultan Hamid II adalah perihal siapa yang menjadi desainer dari Lambang Negara Indonesia yang masih terpakai hingga saat ini, yaitu Burung Garuda (biasa juga disebut Garuda Pancasila). Meski sejarah menutup-nutupi, namun sumbangsih Sultan Hamid II selaku perancang Lambang Negara Indonesia tersebut tak boleh dilupakan.

Boleh jadi sejarah dan pencatatan sejarah tidak berpihak kepada Sultan yang cerdas ini. Begitulah penyakit negara bangsa yang kerap dengan mudahnya menghilangkan jasa-jasa dan apa-apa yang telah diperbuat seseorang hanya karena adanya perbedaan pandangan, adanya perbedaan visi seperti mengenai ideologi dan model/bentuk negara, serta adanya pertentangan politik akibat perbedaan itu, terutama jika bertentangan dengan rezim yang berkuasa. Karena rezim yang berkuasalah yang menentukan seperti apa sejarah hendak dicatat dan diceritakan kepada generasi berikutnya.

Dalam hal tiadanya pengakuan negara, Sultan Hamid tiada sendiri. Ada Tan Malaka yang merupakan tokoh Pergerakan yang Revolusioner nan berjasa, tapi mati karena bangsanya sendiri. Ada juga Semaun yang tidak dihargai jasanya sebagai tokoh yang bergerak untuk memperjuangkan bangsanya, jauh sebelum 1945, tapi tak dianggap, hanya karena Semaun seorang yang berfaham kiri marxis sama halnya dengan Tan Malaka. Ada Natsir, yang keluar masuk penjara oleh bangsa yang diperjuangkannya. Dan ada juga Alex Evert Kawilarang seorang militer mumpuni yang hilang jejak sejarahnya hanya karena bermusuhan dan bermasalah dengan rezim Orba. Dan masih banyak lagi yang lainnya. [Hanafi Mohan/5Januari 2009]



Sumber Tulisan:

- Rudi Handoko, Sultan Hamid II, Federalisme dan Nasib Borneo Barat, link: http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=12044

- Situs Web Kepustakan Presiden Republik Indonesia, link: http://kepustakaan-presiden.pnri.go.id/ministers/popup_biodata_pejabat.asp?id=115

- Sultan Hamid II adalah Perancang Lambang Negara Republik Indonesia, Yayasan Sultan Hamid II Jakarta, link: http://istanakadriah.blogspot.com/2007/07/sultan-hamid-ii-adalah-perancang.html

- Sultan Hamid II Perancang Lambang Negara RI yang Terlupakan, link: http://swaramuslim.net/galery/more.php?id=A5657_0_18_0_M

- Sultan Hamid II dari Pontianak, link: http://id.wikipedia.org/wiki/Sultan_Hamid_II

- Sultan Hamid II Pencipta Burung Garuda, link: http://www.liputan6.com/news/?c_id=3&id=142366

Minggu, 04 Januari 2009

Alien Mendatangi Kampungku

Ketika kelas 2 SD, aku masuk ke sekolah agama (madrasah) di kampungku. Sekolahnya siang hingga sore hari. Jadi, pagi hingga siang hari bersekolah di SD, sedangkan siang hingga sore sekolah di madrasah.

Namanya adalah Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) Haruniyah. Sekolah agama ini dikelola oleh pamanku (Al-Mukarram Al-Ustadz H.M Yunus Mohan). Di madrasah ini, kami anak-anak Melayu mendapatkan ilmu yang berbeda dari yang kami dapatkan di SD. Ada ilmu Fiqih, Al-Qur'an dan Tajwid, Hadits, Tarikhul Islam, Bahasa Arab, Nahwu, Sharaf, Bahasa Inggris, dan Nasyid (kesenian).

Di SD kami belum mendapatkan pelajaran Bahasa Inggris, karena pelajaran ini baru didapatkan ketika SMP. Maka di madrasah kami telah dahulu mendapatkan pelajaran ini.

Yang mengajar Bahasa Inggris adalah Pak Taufik Ibrahim. Spesialiasi sebenarnya bukanlah Bahasa Inggris, tetapi ia adalah lulusan Jurusan Teknik Mesin. Pengalamannya bekerja di kapal, sehingga menjadikannya bisa berbahasa Inggris, dan dia juga pernah menjadi santri Pesantren Gontor, namun tidak sampai selesai. Dan memang untuk menguasai ilmu mesin juga harus bisa berbahasa Inggris.

Pak Taufik adalah guru yang sangat kreatif. Padahal ia bukanlah lulusan sekolah guru dan sejenisnya. Tapi metode yang ia gunakan untuk membuat kami keluar dari kebutaan terhadap bahasa Internasional yang satu ini patut diacungi jempol. Belajar tidak hanya di dalam kelas, tapi tak jarang juga keluar kelas. Pernah juga ia membawakan seorang native speaker untuk berbicara dengan kami. Ya, seorang turis, kami waktu itu menyebutnya "orang barat". Bagiku ketika itu adalah pertama kalinya melihat tampang orang barat yang hanya pernah aku lihat di televisi. Orangnya tinggi, mungkin bagi kami seperti raksasa.

Gemparlah kampungku ketika itu dikunjungi orang barat. Bagaikan orang barat itu seperti makhluk asing yang datang dari luar angkasa, yang belakangan aku ketahui dari film-film bahwa orang barat biasa menyebut makhluk luar angkasa dengan sebutan alien, yang belakangan juga ketika kuliah baru kuketahui arti sebenarnya dari alien, yaitu asing atau orang asing, bukanlah makhluk luar angkasa. [Hanafi Mohan]