Hikayat Dunia

Kita hanya pengumpul remah-remah | Dari khazanah yang pernah ada | Kita tak lebih hanya penjaga | Dari warisan yang telah terkecai ||

Pontianak Singgah Palembang

Daripada terus berpusing-pusing di atas Negeri Pontianak, yang itu tentu akan menghabiskan bahan bakar, maka lebih baik pesawat singgah dahulu ke bandar udara terdekat. Sesuai pemberitahuan dari awak pesawat, bandar udara terdekat adalah Bandar Udara Sultan Mahmud Badaruddin II, Negeri Palembang.

Mudék ke Ulu

Pasangan dari kate “ulu” ielah “mudék”. Kate “mudék” beakar kate dari kate “udék”. Udék bemakne "sungai yang sebelah atas (arah dekat sumber)", "daerah di ulu sungai", juga’ bemakne "kampong halaman (tempat beasal-muasal)".

Soal Nama Negeri Kita

Belakangan ini kiranya ramai yang berpendapat ini dan itu mengenai asal usul dan makna nama "pontianak" kaitannya dengan Negeri Pontianak. Tapi apakah semua yang didedahkan itu betul-betul dipahami oleh masyarakat Pontianak?

Kampong Timbalan Raje Beserta Para Pemukanya [Bagian-3]

Selain banyak menguasai berbagai bidang keilmuan, beliau juga banyak memegang peran dalam kehidupan kemasyarakatan. H.M. Kasim Mohan yang merupakan anak sulong (tertua) dari pasangan Muhammad Buraa'i dan Ruqayyah ini merupakan seorang Pejuang di masanya.

Musik Motivasi Setahun Silam

“Satu Kursi untuk Seniman”, begitu tagline kampanyenya. Tekadnya untuk memajukan Kalbar lewat industri kreatif tentu patut diapresiasi. Melalui industri kreatif diharapkannya dapat menjadi jembatan menjulangkan budaya yang memayungi Kalimantan Barat.

Sultan Pontianak; Umara' dan 'Ulama

Kegemilangan Negeri Pontianak salah satunya diasbabkan kepemimpinan para Sultan-nya yang arif dan bijaksana. Sultan-Sultan Pontianak selama masa bertahtanya rata-rata memiliki dua peranan, yaitu berperan sebagai umara', sekaligus berperan sebagai 'ulama.

Puisi Buya Hamka untuk Muhammad Natsir

Kepada Saudaraku M. Natsir | Meskipun bersilang keris di leher | Berkilat pedang di hadapan matamu | Namun yang benar kau sebut juga benar ||

Senin, 12 Desember 2022

Melancong ke Negeri Lampung



Lebih kurang 10 tahun tak pernah ke pelabuhan dan naik kapal. Kini merasakan lagi momen seperti itu (ke pelabuhan dan naik kapal). Begitu sekiranya yang kurasakan di Ferry Penyeberangan Merak-Banten hendak ke Bakauheni-Lampung, hari Juma’at petang, 16 September 2022.

Kapal, pelabuhan, laut, tentu dapat menyibak relung-relung kenangan silam. Dengan demikian perjalanan kali ini tak setakat pelancongan rekreasi, lebih dari itu bahkan bakal mendedah serba sedikit ehwal sejarah, tamaddun, serta hal-hal terkait lainnya.

Sekitar 22 tahun silam pertama kali naik kapal penumpang dan mengharungi lautan. KM Lawit nama kapalnya, 75.000 Rupiah harga tiketnya. Pertama kali merantau meninggalkan kampong halaman, berbekal keinginan mengubah hidup menjadi lebih baik lagi.

Selama 10 tahun (2000 - 2010) rutin melancong dari Pontianak ke Jakarta dan dari Jakarta ke Pontianak. Kedua rute yang berlainan arah ini punya ceritanya sendiri-sendiri. Rute Pontianak-Jakarta itu lebih kental dengan rasa hancur lebur berkeping-keping. Sementara Rute Jakarta-Pontianak kebalikannya.

Kapal, pelabuhan, laut, tak setakat menyibak, bahkan dapat menggali nostalgia yang sekiranya tak mungkin terlupakan dari lembaran-lembaran kenangan.

Setelah meninggalkan kampong halaman, usaha menggapai mimpi dan cita-cita demi masa depan yang lebih benderang kiranya tak pernah selangkah pun beranjak mundur.

Menjadi pioner di antara saudara kandung dalam hal merantau hingga ke luar Tanah Borneo merupakan suatu yang tak diduga-duga. Keistimewaan tersebut bukanlah tiba-tiba turun dari langit, bukanlah bintang jatuh, melainkan seumpama buah daripada pokok yang bertumbuh dari kecil hingga membesar diri melalui perawatan yang tak kenal kata lelah. Dirawat dengan cara yang baik, bukan dengan asal-asalan rawatan.

Kapal, pelabuhan, dan laut dengan demikian menjadi perumpamaan akan usaha yang pantang menyerah. Kerana ia nya usaha, maka itu merupakan proses. Usaha dan proses, tak hanya hasil.

Laut dan pantai itu menyiratkan ketenangan, terlebih pada malam hari. Ketenangan itu hadir dari dalam diri. Terkemudiannya ketenangan mawjud menjadi kebahagiaan.

Sebagai kaum pesisir, aku tentu begitu terbiasa dengan suasana pesisir. Setiap kali berada di wilayah pesisir, aku langsung dapat merasakan kedekatan dengan alamnya, dengan masyarakatnya (kaumnya), bahkan dengan wilayah/negerinya.

Kali ini ke Negeri Lampung, membawa hingga menelusuri Pulau Pahawang. Banyak spot snorkeling, serta objek-objek lainnya. Menuju ke pulaunya menggunakan kapal motor kecil, tapi dapat membawa rombongan kami yang berjumlah sekitar 20 orang ditambah barang-barang bawaan. 

Lampung punya sejarah panjang, begitupun tamaddunnya yang gemilang di masa silam. Hingga kini kegemilangan tersebut tentu masih menjejak di Bumi Lampung. Membicarakan Lampung seolah mendedah ungkaian sejarah yang begitu panjang, yang dapat membuat sesiapapun ta'zhim kepada Lampung. 

Sebegitu Lampung, sebegitu pula banyak negeri di Kepulauan Melayu ini yang memiliki ungkaian sejarah yang begitu panjang serta tamaddun yang gemilang di masa silam. Generasi kini memang tak hidup di masa silam, tapi generasi kini patut mengambil ibrah dari masa silam untuk kebaikan negerinya di masa hadapan.

Menjejakkan kaki di Pulau Sumatera kali ini merupakan yang kedua kali setelah yang pertama (sekitar Januari 2014) di luar rencana transit sebentar di Bandar Udara Negeri Palembang (Bandar Udara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II), dalam perjalanan dari Jakarta ke Negeri Pontianak.

Dalam memoriku, Sumatera itu memiliki tempat istimewa, sama istimewanya seperti Semenanjong Tanah Melayu. Dan tentu Tanah  Borneo, terutama Borneo Barat dan Negeri Pontianak menempati posisi paling istimewa dalam memoriku. 

Selain kerana Sumatera dan Semenanjong Tanah Melayu itu sama-sama merupakan Tanah Melayu sebagaimana Tanah Borneo, juga beberapa leluhurku ada yang berasal dari Tanah Sumatera, Riau (kini Kepulauan Riau), dan Semenanjong Tanah Melayu, selain juga leluhurku yang berasal dari Tanah Borneo (Negeri Banjar dan sekitarnya). Sebegitulah adanya posisi istimewa kawasan-kawasan dimaksud dalam memoriku.

Dalam masa yang telah dilewati ini, sudah dua tanah Melayu di Sumatera yang dilawati, walaupun hanya sebentar (Negeri Palembang dan Negeri Lampung). Tentu belumlah banyak yang dapat diselusuri hanya dengan waktu beberapa hari ini. 

Masih terazham keinginan bila-bila masa nanti terjejaklah kaki ini ke negeri-negeri Melayu lainnya di Sumatera dan sekitarnya, sekurang-kurangnya ke negeri-negeri asal leluhurku (Negeri Minangkabau, Negeri Siak Seri Inderapura, Daik-Negeri Lingga).

Terlebih lagi dapat menjejakkan kaki ini ke negeri-negeri Melayu lainnya di Kepulauan Melayu, di serata Alam Melayu ini. [#*#]

Hanafi Mohan,
Ditulis selama perjalanan melancong ke Negeri Lampung, 16-18 September 2022

Rabu, 05 Oktober 2022

Daftar Pegawai Non ASN Kementerian Agama

Salam.

Untuk membantu penyebaran informasi berkenaan Pegawai Non ASN wa bil khusus Pegawai Non ASN Kementerian Agama, berikut ini kami kongsikan Daftar Pegawai Non ASN Kementerian Agama >> “Silakan klik tautan ini“.

Daftar Pegawai Non ASN Kementerian Agama ini kami dapatkan langsung dari Pengumuman Pendataan Non ASN Pra-Finalisasi yang dimuat pada Laman Website Badan Kepegawaian Negara (BKN).

Terima kasih.

Selasa, 05 Juli 2022

Madrasah; Pendidikan Dasar Kami


Bangsa Melayu yang bertamaddun tinggi sangat memperhatikan ehwal pendidikan dan pengajaran. Tak terkecuali pendidikan dasar. Kerananya, madrasah diniyyah dengan berbagai tingkatannya itu (awwaliyyah, wustha, dan 'ulya) berperan sangat penting dalam hal ini.

Pendidikan di Madrasah Diniyyah Awwaliyah merupakan pendidikan dasar yang biasanya diselenggarakan di tengah-tengah masyarakat Melayu. Dari sekolah semacam inilah anak-anak Melayu belajar Islam lebih mendalam. Berbagai ‘ilmu dipelajari: Al-Qur'an, Hadits, Fiqh, Tarikh, Bahasa Arab, dan sebagainya. 

Selain madrasah, sebetulnya masih ada beberapa yang lain, seperti surau, langgar, dan belajar mengaji Al-Qur'an di Guru Mengaji. Terlebih penting lagi adalah pendidikan di dalam keluarga. Setiap orang tua berkewajiban mendidik anaknya dalam berbagai hal, termasuk juga keislaman. 

Jadi dalam Keluarga Melayu itu sebetulnya dasar-dasar keislaman telah ditanamkan kepada anak-anaknya oleh orang tuanya. Aqidah, akhlaq, dan adab telah jauh-jauh hari diajarkan kepada setiap anak dalam keluarganya. Kemudian lembaga pendidikan lebih kepada menguatkan lagi dasar-dasar yang sudah ada itu. 

Dengan demikian setiap orang tua dalam keluarga Melayu itu harus faham Islam. Bekal kefahamannya itu merupakan modal dasar kelak ketika mendidik anak-anaknya. Oleh kerana itu pula sangat jarang orang tua dalam keluarga Melayu menitipkan anak-anaknya bersekolah di sekolah berasrama/menginap. 

Itulah pula yang menjadi sebab pendidikan Islam di luar rumah yang masyhur di negeri-negeri Melayu itu adalah yang berbentuk Langgar, Surau, ataupun Madrasah, bukan sekolah-sekolah berasrama/menginap. Waktu di luar sekolah adalah bahagian daripada tugas penting orang tua mendidik anak-anaknya. 

Pengajaran yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya adalah masa-masa yang istimewa, takkan tergantikan di masa yang lain. Anak-anak dapat ungkapkan ataupun bertanya macam-macam persoalan kepada orang tuanya, tak terkecuali dalam hal keislaman. Bagi orang tua yang kurang pemahaman keislamannya tentunya menjadi dilematis. 

Makanya ketika di madrasah tinggal dikuatkan lagi dasar yang sudah ada itu. Misalkan dalam hal membaca Al-Qur'an, di madrasah tak diajarkan lagi membaca Al-Qur'an dari dasarnya sekali, kerana dasar-dasar membaca Al-Qur'an telah diajarkan di rumah. Di madrasah lebih kepada mempelajari 'ilmu Tajwid, Qira'ah, Tafsir, serta beberapa 'ilmu lainnya yang berkenaan dengan Al-Qur'an. Tawhid/Aqidah dan Akhlaq, Hadits, Fiqh, Ushul Fiqh, Bahasa Arab, Nahwu, Sharaf, Tarikh, Khat, Imla', dan Arab Melayu juga merupakan 'ilmu dasar yang diajarkan di madrasah. 

Ilmu-ilmu dasar keislaman ini jika di sekolah berasrama/menginap boleh jadi baru dipelajari di usia anak 13 tahun ke atas. Tapi di madrasah ilmu-ilmu tersebut telah dipelajari secara mendalam di usia anak 7 hingga 12 tahun. Di madrasah tempat kami belajar dahulu juga diajarkan Bahasa Inggris. Masa itu di SD tak ada pelajaran Bahas Inggris (sebagai pelajaran wajib ataupun tidak wajib), tapi pd masa yang sama itu di madrasah kami telah diajarkan Bahasa Inggris. Sungguh aspek ilmu bahasa ini begitu diperhatikan di madrasah kami, tanpa menepikan bahasa ibunda kami sendiri. [#*#] 

 

Hanafi Mohan,

Ciputat, 20 Ramadhan 1443 Hijriyyah,

bertepatan dengan 22 April 2022 Miladiyyah

 

Senin, 04 Juli 2022

Kopi dan Keluarga Kami


Tempo hari sempat membaca thread tentang kedai kopi yang cukup terkenal dan dikenal dengan harganya yang memang mahal untuk masyarakat umum. Terbaca thread tersebut jadi pengen cerita ehwal kopi dan keluarga kami. 

Sejak kecil kami memang sudah dikenalkan dan dibiasakan minum kopi (sejak balita, bahkan lebih muda lagi). Laki-laki, puan-puan, tua, maupun muda, semuanya dalam keluarga kami adalah peminum kopi yang aktif, dan harus pandai membuat kopi sendiri (dalam Bahasa Melayu Pontianak disebut “ngancogh kopi” atau “ngancor kopi”). 

Minum kopi memang menjadi kebiasaan di kampong kami. Hampir setiap acara, selalunya dihidangkan kopi. Untuk acara tertentu seperti pernikahan, biasanya yang disajikan adalah Air Serbat. Di acara lainnya kadang disajikan Air Rojak yang dicampur sedikit cabe. 

Kini ramai orang tiba-tiba jadi suka minum kopi atau seakan-akan pakar membuat minuman kopi dengan berbagai alat pembuat minuman kopi plus metode pembuatannya. Melihat fenomena ini, aku yang semenjak kecil memang pengopi dan pandai membuat minuman kopi jadi sedikit geleng-geleng kepala. 

Teringat masa kecil dahulu, pagi hari sebelum berangkat sekolah, emak di rumah biasanya menyajikan kueh-mueh dan kopi panas. Belum sah kami pergi sekolah kalau belum makan kueh-mueh dan minum kopi panas tersebut. Kebiasaan yang seperti itu hingga kini aku bawa sebagai tradisi keluarga. 

Kebiasaan di keluarga kami, waktu meminum kopi itu pagi dan petang hari. Dan masa-masa minum kopi tersebut merupakan moment kami berkumpul dan saling bercerita. Dan moment inilah yang selalu aku rindukan. Setiap kali balek kampong ke Pontianak, ngopi di rumah Emak merupakan suatu yang begitu berharga. 

Konon kebiasaan minum kopi juga merupakan kebiasaan yang turun-temurun. Kalau orang tuanya peminum kopi, biasanya anak-anaknya juga menjadi peminum kopi. Putera-puteri kami yang masih berusia di bawah lima tahun pun (bahkan berusia di bawah tiga tahun) juga jadi suka minum kopi. Setiap melihatku sedang ngopi, mereka pasti minta. 

Teringat masa berpuluh-puluh tahun silam, ketika menemani Ayah ke pasar. Usai belanja satu dua barang, ayah biasanya mengajak singgah ke kedai kopi di dalam pasar. Kerapnya memesan kopi campur susu kental manis (alias kopi susu). Tak lupa kueh-mueh untuk kawan ngopi. Selepas ngopi, barulah kami melanjutkan aktivitas lainnya di pasar. 

Ayah telah lama pun tiada (yaitu pada tahun 1999, ketika aku kelas 3 SMK/STM, dan adikku kelas 3 SMP), tapi tradisi ngopi dalam keluarga kami tetap terjaga hinggalah kini. Kopi adalah minuman wajib yang sentiasa mengiringi gerak langkah keluarga kami. Setiap singgah ke rumah Emak, pasti beliau bertanya mau dibuatkan kopi atau tidak. Kopi buatan beliau tentunya sangat khas.

 

Hanafi Mohan,

Ciputat, 8-10 Juni 2022

Selasa, 10 Mei 2022

Syair Tuan Guru, Mengenang Tengku Zulkarnain



~ Syair Tuan Guru ~ Bismillah itu permulaan kalam Syukur kepada Khaliqul 'Alam Shalawat untuk Nabi yang Khatham Shallallahu 'alayhi wa sallam Bangsawan ulama bermartabatnya Cerdik nan pandai termasyhurnya Bijaklaksana tutur katanya Berani dan jujur apa adanya Tengku nan 'alim Sang Juru Da'wah Bersuara lantang membela marwah Berjuang untuk luruskan aqidah Wafat di Bulan Ramadhan Karimah Tuan 'lah guru penyuluh ummat Banyaklah orang ta'zhim nan hormat Kepergianmu teramat cepat Sungguhlah tiada berbilang sa'at Kalaulah Tuan tak bersuara Kuncuplah kami Qawm Dhu'afa Tapi 'lah Tuan tak pernah jera Hinggalah kami tegak perkasa Demikian syair patik madahkan Éhwal Tuan Guru yang juga bangsawan Semoga hadhirin redha berkenan Wassalamu'alaykum kami haturkan [~] Dikarang dan disyairkan/dibaca oleh Hanafi Mohan, al-walad al-bilad Negeri Pontianak, di Tanah Betawi, Rabu tarikh 30 hari bulan Ramadhan sanat 1442 Hijriyyah, bertepatan dengan tarikh 12 hari bulan Mei sanat 2021 Miladiyyah Syair ini dipersembahkan untuk Allahyarham Al-Mukarram Al-Ustadz Al-Hajj Tengku Zulkarnain bin Tengku Rafiuddin Saudin, yang wafat pada hari Senin, 28 Ramadhan 1442 Hijriyyah, bertepatan dengan 10 Mei 2021 Miladiyyah Video ini pertama kali disiarkan oleh Lentera Timur Channel setahun lepas, yaitu pada tarikh 2 Syawwal 1442 H/14 Mei 2021, pada tautan berikut ini : https://www.youtube.com/watch?v=3RZ4TEzIglw&t=2s

Kamis, 07 April 2022

Bahasa Ibunda Kami

 


Borneo (Kalimantan) adalah satu dari sekian banyak kawasan terbanyak Bumiputera Bangsa Melayu-nya. Sebab itu pula merupakan wilayah yang menjadikan Bahasa Melayu sebagai Bahasa Ibunda-nya, juga Lingua Franca dalam konteks Bahasa Rasmi, Perdagangan, dan Pergaulan.

 Negeri kami (Negeri Pontianak) selain sebagai ibu negerinya Borneo Barat, juga berperan menjadikan Bahasa Melayu sebagai Bahasa Rasmi dan Bahasa Administratif ke dalam dan ke luar negerinya, bahasa perhubungan antar kaum, bahasa ‘ilmu, dan tentunya sebagai Bahasa Ibunda bagi tiap anak negerinya. 

Anak Wathan Pontianak itu lahir, membesar, marah, sedih, senang, berfikir, bahkan bermimpi pun dalam Bahasa Ibunda-nya. Hingga kini belum ada satu bahasa pun yang dapat menggantikan keduduk’an Bahasa Melayu selama jatuh bangunnya tamaddun Negeri Pontianak. 

Bahasa Melayu menjadi bahagian terpenting dalam ehwal pembentuk'an jati diri Negeri Pontianak. Tanpa Bahasa Melayu, boleh jadi tak'kan mawjud Negeri Pontianak sebagaimana adanya kini. Peran Bahasa Melayu yang begitu besar ini tentu tak hanya dialami oleh Negeri Pontianak. 

Martabat Bahasa Melayu terletak pada kemasyhurannya sebagai bahasa ilmu, sastera, da'wah, dan tentunya Lingua Franca di segenap Alam Melayu. Bahasa ini menjadi syarat utama bagi para cerdik pandai demi membuka kunci ‘ilmu serta mensyi'arkannya kepada khalayak. 

Dalam peringkat antarabangsa, Bahasa Melayu menempati posisi penting sebagai bahasa perhubungan dan pergaulan. Di manapun penutur Bahasa Melayu bermastautin, di situ pula bahasa ini dipergunakan dalam pergaulan sehari-hari. 

Bahasa Melayu pula menempati keduduk'an penting dalam da'wah Islam, sebagaimana Bahasa Arab, Parsi, Turki, dan Urdu. Sesiapapun yang ingin memperdalami Islam di Kepulauan Melayu (Alam Melayu) ini, maka pengetahuan Bahasa Melayu menjadi syarat utamanya. 

Tak ada yang dapat menafikan bahwa Bahasa Melayu telah melewati sejarah yang panjang hingga seperti saat ini. Bahasa ini menjadi bahasa yang mempersatukan, bukanlah bahasa yang memecah-belah. Bahasa ini berkembang dan menyebar secara damai, bukan di bawah ancaman senjata. 

Bahasa Ibunda kami ini telah merentasi zaman. Juga merupakan bahasa yang tak mengenal sempadan. Setiap negeri Melayu memiliki loghat Bahasa Melayu-nya tersendiri. Di beberapa kawasan tertentu, Bahasa Melayu menjadi bahasa perhubungan antar kaumnya yang berbeda-beda bahasa.

 

"Jika hendak mengenal orang berbangsa,

lihat kepada budi dan bahasa."

Begitulah yang termaktub dalam “Gurindam Dua Belas” Fatsal Lima gubahan Raja Ali Haji. Jadi Bahasa Melayu merupakan bahasa yang selalu bersanding dengan akhlaq budi pekerti yang mulia.

 

"Bahasa kita penuhlah hikmah

Untuk sampaikan ilmu dan kauniyah

Bertentu tuju meluruskan aqidah

Hinggalah insan berakhlaqul karimah"

(dalam “Syair Menjulang Pantun” gubahan Hanafi Mohan)

Bahasa Melayu merupakan bahasa yang penuh hikmah. Yaitu bahasanya para 'alim 'ulama.

 

Bahasa Melayu bukanlah calang-calang bahasa. Inilah bahasa yang telah melewati sejarah nan panjang, merentasi zaman berzaman. Cabaran demi cabaran tentu pula telah ditempuhi oleh bahasa ibunda kami ini. Emas tetaplah emas, walaupun ditutup-tutup dengan arang nan hitam. 

Pahit dan manisnya perikehidupan telah dilalui Bangsa Melayu sepanjang untaian sejarah dan ungkaian tamaddunnya. Selama masa yang tak sebentar itu, selaksa cabaran silih tukar berganti mendera bangsa kami. 

Bangsa Melayu bukanlah bangsa yang baru semalam tegak berdiri di atas hamparan bumi nan fana ini. Cabaran seperti apapun yang mendera bangsa kami, maka segala macam cabaran itu takkan pernah dapat meluluh-lantak’kan bangsa nan besar ini. 

Hampir segenap kawasan Asia Tenggara merupakan laman bermain Bangsa Melayu. Jadi kalau setakat hendak jadikan Bahasa Melayu sebagai bahasa rasmi di Asia Tenggara itu sebetulnya telah kami capai sejak berabad-abad silam. 

Tekad kami malahan hendak menjadikan Bahasa Melayu sebagai bahasa dunia. Layar pun telah lama terkembang. Kiranya surut dari ke’azaman ini kami berpantang. Dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim, kami isytiharkan "Bahasa Melayu sebagai Bahasa Rasmi Dunia, Bahasa Rasmi Antarabangsa". *#*

 

Hanafi Mohan,

(Tanah Betawi, 4-5 Ramadhan 1443 Hijriyyah/5-6 April 2022 Miladiyyah)

Minggu, 03 April 2022

Menyambut Ramadhan di Pontianak Dua Tahun Lepas


Pada 20 Maret 2020 melakukan perjalanan balik ke Pontianak. Suasana Jakarta masa itu agak mencekam awal-awal merebak Pandemi Covid-19 (awal-awal itu masih disebut Virus Corona saja). Kantor-kantor, sekolah, kampus, hampir semuanya dirumahkan (bekerja dan belajar dari rumah saja). Bahkan tempat ibadah pun ada pembatasan/ditutup. 

Juma'at 20 Maret 2020 itu keberangkatan dari Jakarta ke Pontianak sesuai jadwal di tiket jam 12:50 WIB siang, menggunakan Maskapai Lion Air. Dari rumah kontrakan di Ciputat menuju Bandara Jakarta sekitar pukul 8 atau 9 pagi. Kondisi jalan memang agak sepi, tak seperti hari-hari biasanya. 

Kalau berangkat seorang diri seperti ini dari Ciputat biasanya ke Terminal Lebak Bulus terlebih dahulu naik Ojek Online. Di Lebak Bulus barulah naik Bus DAMRI menuju Bandara Jakarta. Waktu itu tarifnya masih sekitar 40.000 hingga 50.000 Rupiah. Beberapa bulan kemudian tarif tersebut naik 100%.

 

Flashback dua hari sebelumnya…

Rabu, 18 Maret 2020, kampus kami masih beraktivitas normal seperti biasanya (terutama pegawai). Walaupun memang semenjak awal Maret sebagian dosen ada yang berinisiatif melakukan perkuliahan secara online, kemudian ditindaklanjuti oleh fihak kampus untuk perkuliahan secara online seluruhnya.

Beberapa kampus yang ada di Jabodetabek mulai awal Maret 2020 itu sudah ada yang tegas melakukan perkuliahan secara online. Sementara di media massa sudah terjadi bermacam-macam polemik: mulai ramai yang positif Covid-19, lockdown atau tidak lockdown, dan sebagainya. 

Sekira pukul 3 atau 4 petang hari itu, mendadak pimpinan kantor kami menginstruksikan untuk rapat. Rupanya membahas ehwal semakin merebaknya kasus positif virus corona. Serta memberitahukan terkait instruksi rektor untuk bekerja dari rumah hingga dua pekan ke depan, selanjutnya akan ditinjau ulang. 

Sambil dalam rapat itu juga berkomunikasi ke isteri terkait perkembangn tersebut. Mengingat juga isteri rencananya akan melahirkan sekira dua pekan ke depan di Pontianak. Jikalau jadi lockdown, perkiraanku mungkin tak dapat ke mana-mana, imbasnya tak dapat melihat kelahiran anak ke-2 ku nantinya. 

Dalam ketidakjelasan kondisi masa itu, serta menghindari hal-hal di luar dugaan, bersama isteri akhirnya kami putuskan bahwa aku harus segera balik ke Pontianak. Isteri dan anak sulungku waktu itu memang sudah berada di Pontianak sejak beberapa bulan sebelumnya. Hal-hal yang lainnya nanti difikirkan belakangan hari. 

Beberapa saat kemudian isteri langsung pesankan tiket via aplikasi tiket[dot]com. Habis rapat, kami sekantor bersiap-siap pulang ke rumah masing-masing. Aku sendiri singgah dulu ke ATM BNI di dalam kampus untuk membayar tiket. Sampai di rumah (di Cipayung, Ciputat), buka TV, berita masih polemik corona. 

Selain polemik-polemik tersebut di atas, ada juga pro-kontra pembatasan/penutupan rumah ibadah. Tak mau tenggelam dengan polemik-polemik itu, lebih baik mempersiapkan keberangkatan ke Pontianak yang akan ditempuh dua hari ke depan. Kalau mau diikut-ikutkan memang rasanya fikiran kita tak menentu di tengah situasi masa itu.

 

Kembali lagi ke cerita naik Bus DAMRI…

Suasana di jalan agak sepi dibandingkan hari-hari biasanya, termasuk juga di Tol. Sekira 45 menit perjalanan Bus DAMRI, sampailah di Bandara Jakarta, check-in, masuk ruang tunggu, kemudian masuk pesawat. Semua penumpang bermasker. Tak hanya bermasker, aku sendiri bahkan sampai pakai sarung tangan. 

1 jam 20 menit perjalanan dari Jakarta ke Pontianak. Sampai di Bandara Pontianak, menuju ke kampong kami menggunakan motor/mobil sekira 45 menit. Waktu itu yang menjemput entah abang entah adikku (lupa). Sampai di rumah mertua (hanya beberapa gang dari rumah orang tuaku), disambut isteri, aku bagai pengungsi dari Wuhan. 

Sekira sehari dua hari kemudian menghadiri pernikahan anak dari kakak sepupuku di kompleks Kampus UNTAN Pontianak. Memang tak seperti biasanya, orang-orang bermasker, harus cuci tangan, mau bersalaman juga harus disemprot hand sanitizer. Sungguh hal yang baru pada masa itu. 

Polemik pembatasan/penutupan rumah ibadah ternyata hinggap juga di masyarakat Pontianak. Bahkan ada beberapa masjid yang tidak selenggarakan Shalat Jum'at. Surau di dekat rumah mertua masih menyelenggarakan Shalat Lima Waktu seperti biasanya, paling-paling kita harus bawa sajadah sendiri, karena karpetnya sudah digulung. 

Mau berjumpa dengan kerabat/teman pun agak berjaga-jaga. Khawatir yang bersangkutan tersebut lagi membatasi bertemu orang. Jadi aktivitas sehari-hari memang lebih banyak di rumah, kebetulan juga WFH (Work from Home alias bekerja dari rumah). Awal-awal itu shalat pun di rumah, Shalat Jum'at pun diganti Shalat Zhuhur (karena mengira masjid yang akan dituju itu tutup).

 

Cerita pun disingkatkan. Awal April 2020 kami mempersiapkan persalinan isteri ke satu rumah sakit di Sungai Raya, tepat berada di perbatasan Kota Pontianak-Kubu Raya (administratifnya masuk Kubu Raya, tapi secara sejarah sebetulnya masih merupakan wilayah Kesultanan Pontianak). Saat itu hari Juma'at. 

Pergi ke Rumah Sakit menggunakan mobil ojek online, kebetulan drivernya masih kerabat juga, rumahnya tak jauh dari rumah orang tuaku. Yang membawa mobil yaitu anaknya (jadi hanya gunakan akun ayahnya), usianya jauh di bawahku. Sampai Rumah Sakit, sebelum masuk, kami harus ke bilik penyemprotan dahulu dan juga cek suhu. Di Lobby urus administrasi dan minta ditempatkan di Kelas 1 (sudah pengalaman ketika kelahiran anak sulung juga di Rumah Sakit yang sama). 

Besoknya, Sabtu 10 Sya'ban 1441 Hijriyyah, anak ke-2 kami lahir, laki-laki. Mungkin sekitar jam 12 siang. Tak boleh ada yang berkunjung. Hari Selasa hampir siang diperbolehkan balik, setelah sebelumnya mengurus administrasinya yang agak membuat pening kepala, karena pakai BPJS. 

Balik dari Rumah Sakit dijemput menggunakan mobil oleh dua anak kemanak dari isteri (anak dari abangnya) yang juga sekaligus anak kemanakku (abangnya isteriku menikah dengan kakak sepupuku). Anak sulung kami (perempuan) juga ikut menjemput (waktu itu usianya 2,5 tahun). Akhirnya sampailah kami di rumah mertua dengan sambutan penuh sukacita.

 

Cerita pun disingkatkan saja. Hampir mendekati Nishfu Sya'ban, bahkan setelahnya, masyarakat di kampongku dan sekitarnya nampak masih lesu, mungkin efek Waba' Corona. Tapi semakin mendekati Ramadhan, pelan-pelan masyarakat mulai bertimbulan gairah hidupnya. Entah mengapa. 

Dan yang paling dahsyat, kusaksikan sendiri, kelesuan masyarakat karena Waba' Corona itu tiba-tiba hilang, berganti dengan semangat dan sukacita ketika menyambut Ramadhan 1441 Hijriyyah. Jalanan yang tadinya sepi, tiba-tiba ramai masyarakat yang lalu lalang, suasananya hampir mirip ketika menyambut Hari Raya Aidil Fithri. Surau-surau pun penuh jama'ahnya. 

Begitu luar biasanya Bulan Ramadhan memompakan semangat hidup bagi masyarakat Pontianak ketika itu. Hilang segala kelesuan, berganti dengan gairah menyala-nyala. Ternyata Ramadhan lah yang diperlukan masyarakat Pontianak saat itu. Yang sebelumnya lemah tak berdaya, tika menyambut Ramadhan masyarakat bersuka-cita, senang tak terkira, hilang segala duka lara. *#*

  

- Hanafi Mohan -

(Tanah Betawi, 29 Sya'ban-1 Ramadhan 1443 H/1-2 April 2022 M)

Rabu, 30 Maret 2022

Air dan Negeri Kami

Di kampong halaman kami di Negeri Pontianak, serta banyak negeri di Borneo Barat, kami sehari-hari dari dahulu hingga kini memang terbiasa mengkonsumsi air hujan untuk memasak dan minum. Air sungai, air leding, ataupun air kolam (sumur) hanya digunakan untuk mandi dan mencuci pakaian, bukan untuk memasak dan minum. 

Di Jabodetabek kalau cerita bahwa di banyak wilayah di Borneo Barat sehari-hari gunakan air hujan untuk memasak dan minum, tentu mereka terheran-heran. Sudah terbukti karena pernah cerita macam itu ke beberapa kawan/orang yang dikenal, mereka berasal dari Jabodetabek dan wilayah selain Jabodetabek. 

Air tanah di banyak wilayah di Borneo Barat memang kurang bagus kualitasnya, sehingga tidak cocok untuk memasak dan minum. Baru menggali tanah kurang dari semeter saja sudah keluar airnya. Kalau membuat lubang kuburan harus dikeluarkan dahulu airnya hingga kering. 

Setelah lubang kuburan yang selesai digali itu dikeringkan airnya, barulah jenazah dapat dimasukkan ke dalam kuburan. Jenazahnya sebelumnya dimasukkan dahulu ke dalam keranda (peti jenazah), barulah keranda berisi jenazah dimasukkan ke dalam liang kubur, kemudian dimakamkan sebagaimana mestinya. 

Umumnya seperti itulah kondisi wilayah-wilayah di Borneo Barat (Kalimantan Barat) yang berdekatan dengan sungai dan laut. Beberapa wilayah yang berdekatan dengan bukit dan gunung biasanya air tanahnya dapat dikonsumsi untuk memasak dan minum, tapi harus menggali agak dalam layaknya sumur/perigi. Di antaranya yaitu beberapa kawasan di Negeri Mempawah dan Kota Singkawang. 

Kalau dari cerita orang-orang tua kami, dahulunya air sungai juga kadang dikonsumsi (untuk memasak dan minum) oleh masyarakat Pontianak pada masa itu. Masa kecil dahulu kalau Pontianak lagi kemarau, kami kadang juga mengambil air sungai untuk dikonsumsi, mengambilnya agak ke tengah sungai. 

Rumah tua kami dahulu (rumah panggung) berada di tepi Sungai Kapuas. Karena abrasi yang semakin melebar, rumah tepi sungai juga terkena imbasnya. Awalnya bawah rumah masih tanah. Belakangan hari bawah rumahnya juga ada airnya, lebih tepatnya kini rumahnya berada di atas air. Atasnya rumah, di bawahnya air. 

Menyesuaikan topografi Pontianak, umumnya masyarakat membuat rumah yang bertiang. Dahulunya berupa Rumah Panggung. Belakangan hari jarang yang membuat Rumah Panggung, tapi tetap saja membuat rumah bertiang. Jadi ada bagian bawah rumahnya berjarak 60 cm hingga 70 cm dari lantai rumah ke tanah. 

Di bulan-bulan tertentu, intrusi air asin dari laut ke sungai menyebabkan air sungai menjadi payau, bahkan menjadi masin. Biasanya kalau untuk mandi dan mencuci, air sungai yang payau/masin itu kami campur dengan air hujan. Sabun mandi, shampo, dan sabun cuci semahal apapun biasanya tak mempan di air payau/masin itu. 

Masa kecil dahulu, kalau Pontianak lagi kemarau, persedian air hujan di tempayan pun menipis, maka ramai-ramailah kami ke Kantor PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) pakai sampan, bawa wadah-wadah yang besar-besar, lalu meminta air leding di situ. PDAM pun menyediakan pipa untuk diambil airnya, daripada pipa-pipa itu dirusak oleh massa yang memerlukan air bersih. 

Kini sudah agak jauh berbeda, saluran leding PDAM sudah hampir merata menjangkau se-Negeri Pontianak. Walaupun tetap saja untuk konsumsi masyarakat umumnya masih menggunakan air hujan. Leding biasanya hanya dipergunakan untuk mandi dan mencuci. Yang belum punya leding tentunya menggunakan air sungai/air parit/air kolam/air sumur untuk mandi dan mencuci. 

Ditambah lagi kini air mineral isi ulang (air galon) juga sudah hampir merata dijual di setiap pelosok kampong, jadi problem kemarau seperti dulu-dulu tak lah lagi ada kini. Maksudnya, kalaupun masuk musim kemarau kini, tapi tentu tak sesulit macam masa-masa dahulu kalau terjadi kemarau. 

Di negeri kami, hampir merata atap rumah itu terbuat dari seng. Kalau dulu-dulu atap rumah biasanya menggunakan atap sirap (terbuat dari kayu belian/kayu ulin/kayu besi ataupun kayu mabang). Yang lebih sederhana lagi biasanya menggunakan atap daun yang terbuat dari daun pokok sagu ataupun pokok nipah. Karena hampir merata atap-atap rumah di Pontianak itu berbahan seng, maka berefek pada suhu di siang hari. Panas matahari di Pontianak sungguh menyengat (kata orang Pontianak “panas bedengkang”), kemudian ditambah lagi efek dari atap seng, maka suhu di siang hari semakinlah bertambah-tambah panas menyengat alias panas bedengkang. 

Atap rumah di negeri kami ini sebetulnya fungsional sebagai media penadah air hujan, kemudian dialirkan dan ditampung pada wadahnya. Media untuk menampung air hujan itu biasanya berupa tempayan semen dan drum bekas tangki minyak. Kalau sekarang-sekarang ini sudah mulai banyak digunakan penampung air berbahan fiberglass dan semacamnya. Bagi kalangan yang berduit, biasanya sampai membuat penampung air dari beton yang cukup besar, diletakkan di satu sudut rumahnya, bahkan ada yang khusus membuat penampung air dari beton itu diinstalasikan di bagian bawah rumahnya. Dengan demikian, persediaan air hujan dapat mencukupi ketika masuk musim kemarau. 

Negeri Pontianak diuntungkan dengan adanya sungai yang besar (Sungai Kapuas) beserta anak sungainya yang juga besar (Sungai Landak). Ditambah lagi banyak anak sungai yang agak lebih kecil serta kanal-kanal (parit) yang juga bermuara ke sungai. Selain itu juga diuntungkan dengan curah hujannya yang deras dan sering (rata-rata per-bulannya 15 hari). 

Negeri kami dengan air umpama Mesir dengan Sungai Nil-nya. Bahkan kapal-kapal berukuran besar pun dapat dengan mudahnya masuk dan berlayar di sungai-sungai kami. Keberadaan sumber air yang cukup banyak ini sepatutnya memudahkan fihak-fihak terkait dalam ehwal mengolah air bersih lebih baik lagi ke depannya. 

Konsumsi air hujan tetap dapat dipertahankan. Ditambah lagi dengan optimalisasi pengolahan air bersih oleh PDAM melalui cara-cara yang progressif. Tentu hal itu akan ber-impact pada kemudahan masyarakat mendapatkan air bersih, kesehatan, kesejahteraan, dan kemajuan Negeri Pontianak di masa hadapan. #@# 

 

- Hanafi Mohan -

(Tanah Betawi, 27 Sya'ban 1443 H/30 Maret 2022 M)