Hikayat Dunia

Kita hanya pengumpul remah-remah | Dari khazanah yang pernah ada | Kita tak lebih hanya penjaga | Dari warisan yang telah terkecai ||

Pontianak Singgah Palembang

Daripada terus berpusing-pusing di atas Negeri Pontianak, yang itu tentu akan menghabiskan bahan bakar, maka lebih baik pesawat singgah dahulu ke bandar udara terdekat. Sesuai pemberitahuan dari awak pesawat, bandar udara terdekat adalah Bandar Udara Sultan Mahmud Badaruddin II, Negeri Palembang.

Mudék ke Ulu

Pasangan dari kate “ulu” ielah “mudék”. Kate “mudék” beakar kate dari kate “udék”. Udék bemakne "sungai yang sebelah atas (arah dekat sumber)", "daerah di ulu sungai", juga’ bemakne "kampong halaman (tempat beasal-muasal)".

Soal Nama Negeri Kita

Belakangan ini kiranya ramai yang berpendapat ini dan itu mengenai asal usul dan makna nama "pontianak" kaitannya dengan Negeri Pontianak. Tapi apakah semua yang didedahkan itu betul-betul dipahami oleh masyarakat Pontianak?

Kampong Timbalan Raje Beserta Para Pemukanya [Bagian-3]

Selain banyak menguasai berbagai bidang keilmuan, beliau juga banyak memegang peran dalam kehidupan kemasyarakatan. H.M. Kasim Mohan yang merupakan anak sulong (tertua) dari pasangan Muhammad Buraa'i dan Ruqayyah ini merupakan seorang Pejuang di masanya.

Musik Motivasi Setahun Silam

“Satu Kursi untuk Seniman”, begitu tagline kampanyenya. Tekadnya untuk memajukan Kalbar lewat industri kreatif tentu patut diapresiasi. Melalui industri kreatif diharapkannya dapat menjadi jembatan menjulangkan budaya yang memayungi Kalimantan Barat.

Sultan Pontianak; Umara' dan 'Ulama

Kegemilangan Negeri Pontianak salah satunya diasbabkan kepemimpinan para Sultan-nya yang arif dan bijaksana. Sultan-Sultan Pontianak selama masa bertahtanya rata-rata memiliki dua peranan, yaitu berperan sebagai umara', sekaligus berperan sebagai 'ulama.

Puisi Buya Hamka untuk Muhammad Natsir

Kepada Saudaraku M. Natsir | Meskipun bersilang keris di leher | Berkilat pedang di hadapan matamu | Namun yang benar kau sebut juga benar ||

Rabu, 30 September 2015

Menelisik Jati Diri, Menyibak Tamaddun Negeri


Pada sekitar tahun 2005, pernah menulis suatu makalah sebagai prasyarat mengikuti Intermediate Training pada organisasi mahasiswa ekstra kampus yang saya bergiat di organisasi tersebut ketika itu. Tajuk makalahnya masih ingat betul, yaitu “Teknologi dan Teralienasinya Manusia; Menyibak Relung-Relung Akal dan Hati”. Makalah tersebut khusus membahas mengenai Nilai-Nilai Dasar Perjuangan organisasi mahasiswa sebagai rumah ke-dua tempat saya berteduh tersebut.

Tulisan saya kali ini bukan ingin mendedah makalah yang dimaksud, hanya kebetulan teringat tajuk makalahnya itu saja. Dan sememangnya pengalaman beraktivitas di organisasi tersebut adalah salah satu tahap kehidupan yang pernah saya jejaki sehingga sampai pada tahap kehidupan kini.

Saya sungguh menyadari sesadar-sadarnya bahwa setiap fase kehidupan yang pernah saya lalui hingga sampai pada fase kini merupakan proses berterus-terusan menelisik jati diri. Segala macam pandangan saya kini adalah akumulasi dari semua fase yang telah dilalui itu. Sehingga saya pun sedikit demi sedikit dapat menyibak tamaddun negeri kampong halaman saya, negeri tempat saya lahir dan membesar diri.

Dilahirkan dan dibesarkan di salah satu negeri Melayu, juga dididik dengan segala macam tunjuk ajar Melayu berikut khazanah adat resam budaya Melayu yang begitu kaya. Setidak-tidaknya itulah jati diri sebagai Budak Melayu yang hingga kini tak pernah sedikit pun meluntur dari kedirian ini, apakanlah lagi sampai tumpas punah ranah berderai terkecai-kecai.

Masa-masa membesar diri di Negeri Pontianak patut saya akui sebagai masa-masa terindah yang pernah diri ini lalui. Dan kemudian masa-masa menempuh pendidikan di Tanah Betawi adalah masa-masa penuh tantangan dan menggoreskan selaksa pengalaman. Bertahun-tahun bermastautin di Tanah Betawi serta menimba ilmu dan pengalaman di negeri tempat bersinggasananya pusat kekuasaan negara ini tak kemudian memupuskan jati diri saya sebagai Budak Melayu Negeri Pontianak. Sebagaimanapun saya di masa kini, tetaplah takkan pernah luntur, bahwa saya tetaplah Anak Wathan Pontianak.

Sebagai salah satu negeri Melayu termuda di antara yang lainnya, Pontianak telah mawjud menjadi negeri yang diperhitungkan dahulu hinggalah kini. Hal itu tiada lain karena perjuangan para pemangku negerinya yang tak kenal lelah demi memartabatkan negeri ini. Dalam usianya yang masihlah muda ketika itu, Negeri Pontianak telah menjelma menjadi bandar utama di Borneo Barat, bahkan menjadi ibu negeri bagi Federasi Borneo Barat.

Pahit, manis, masam, masin, hambar, tawar, sepat, dan kelatnya perikehidupan tentu telah dilalui Negeri Pontianak sepanjang untaian sejarah dan ungkaian tamaddunnya. Selama masa yang tak sebentar itu, selaksa cabaran silih tukar berganti mendera negeri yang terberkahi ini, bahkan hingga kini serasa kunjung tak ada habisnya menimpa negeri yang sangat dicintai oleh putera-puterinya ini. Tapi Negeri Pontianak bukanlah negeri yang baru semalam tegak berdiri di atas hamparan bumi nan fana ini. Cabaran seperti apapun yang mendera negeri yang di'azazkan oleh jurai zuriat Rasulullah ini, maka segala macam cabaran itu takkan pernah meluluh-lantakkan negeri yang darussalam ini.

Teringat pula dengan untaian syair Zikir Hadrah yang sentiasa dilaung-laungkan oleh Kelab Hadrah Setia Tambelan setiap kali memperingati Hari Jadi Negeri Pontianak. Syair Hadrah Hari Jadi Negeri Pontianak dimaksud dikarang oleh Allahyarham Al-Ustadz Haji Muhammad Qasim Mohan (Haji Muhammad Qasim bin Haji Muhammad Bura’i bin Haji Adnan bin Haji Ahmad bin Haji Abu Na’im). Beliau adalah pemimpin Kelab Hadrah Setia Tambelan ketika itu, juga pernah berkhidmat mengemban amanah sebagai Kepala’ Kampong Tambelan Sampit untuk beberapa masa bakti. Begini tiga bait pertama dari untaian syairnya:

Maha suci Tuhan melimpahkan hidayahnya
Pada Syarif 'Abdurrahman yang dikehendakinya
Untuk membuka negeri, Pontianak namanya
Satu Tujuh Tujuh Satu Masehi di dalam sejarahnya

Syarif 'Abdurrahman kembali ke daerah
Di sebuah negeri bernama Mempawah
Menemui ayahnya yang pernah beramanah
Menganjurkan membuka negeri menegakkan agama Allah

Tiba di Mempawah ayahanda telah tiada
Hatinya merasa sedih mengenangkan ayahnya
Yang telah beramanah kepada dirinya
Supaya membuka negeri tempat kediamannya


Jika syair Zikir Hadrah dimaksud dihayati betul-betul, apalagi dibawakan dengan irama yang pas, tentu kita dapat hanyut dalam untaian Riwayat Negeri Pontianak yang 'kan selalu diingat-ingat oleh putera-puteri negeri ini. Untaian syair yang membawa pada perasaan yang begitu khas.

Tiga bait lainnya dalam untaian syair ini juga sedikit menggambarkan suatu episode sejarah yang begitu penting ketika didirikannya Negeri Pontianak. Begini untaian syairnya:

Sampai di Batu Layang di waktu shubuh hari
Sembahyang dua raka'at serta memuji
Kebesaran Tuhan Rabbul Izzati
Yang dicita-citakan telah dipenuhi

Beliau sepakat melepaskan tembakan
Di mana peluru jatuh di situ didirikan
Daerah Simpang Tiga peluru ditemukan
Di situlah pertama mereka menebang hutan

Syarif 'Abdurrahman bersyukur kepada Tuhan
Amanah ayahanda telah dapat dilaksanakan
Di waktu pertama bekerja menebang hutan
Didirikan Masjid Jami' Sultan Syarif 'Abdurrahman


Dan tak lupa pada salah satu bait penutupnya menggambarkan harapan dan ‘azam putera-puteri Negeri Pontianak untuk terus dan selalu menggemilangkan negeri yang begitu dicintainya ini. Bait penutup dimaksud berbunyi seperti ini:

Ya Allah iftahlana Ya Rahman
Berikanlah kami satu kekuatan
Dalam perjuangan menyukseskan pembangunan
Melanjutkan cita-cita Sultan Syarif 'Abdurrahman


Tarikan negeri ini terhadap masyarakatnya begitulah kental, bagai seorang anak dengan ibundanya. Sebagaimana seorang anak yang begitu akrab pertalian jiwanya dengan ibu kandung yang melahirkannya, sebegitu juga putera-puteri negeri ini dengan Negeri Pontianak sebagai negeri kampong halamannya, negeri tempatnya dilahirkan serta dibesarkan. Segenap jiwa dan raganya rela dikorbankannya demi menjaga marwah negeri ini, demi menjulangkan tamaddunnya yang tak lekang oleh panas, serta takkan pula usang oleh hujan.

Masih begitu banyak yang sepatutnya dilakukan oleh putera-puteri Negeri Pontianak demi semakin memartabatkan negeri ini masa kini hingga ke masa hadapan. Tapi satu yang pasti, jati diri sebagai Anak Wathan Pontianak patut berterus-terusan dipupuk. Luntur jati diri, terbenam pula negeri ini di samudera peradaban dunia.

Kampong halaman kita harus selamat, jangan sampai melintang pukang tak tentu hala tuju di tengah racaunya dunia ini. Kita dilahirkan dan dibesarkan di Negeri "Bumi Khatulistiwa" ini, maka tentulah kita juga yang akan menjaganya dan menyelamatkannya dari segala macam cabaran.

Semoga kita sentiasa dilimpahkan ketabahan dan kesabaran demi menggilang-gemilangkan negeri yang sama-sama kita cintai ini. Tawfiq serta hidayah dari Allah Rabbul Izzati tentu selalu kita harap-harapkan sebagai penuntun jalan tika gelita. #*#


Hanafi Mohan
Tanah Betawi, 8-16 Dzulhijjah 1436 Hijriyyah,
bertepatan dengan 22-30 September 2015 Miladiyyah



Selasa, 29 September 2015

Negeri Gelap Buta


Alkisah suatu negeri
Bertempat di bawah bayu
Hutannya lebat menghijau
Mentarinya terang merandang
Udaranya sejuk membelai
Airnya jernih berkaca-kaca
Alamnya kaya sentiasa makmur
Penduduknya ramah bersahabat

Syahdan zaman beralih masa
Dahulu berdaulat, kini terjajah
Dahulu beraja, kemudian dibenamkan
Dahulu bermartabat, kini di bawah kaki kuasa
Dahulu bertamaddun, alahai sayang kini gelap buta

Di bawah kaki penjajah tak dapat buat apa-apa
Penduduknya hanya deretan angka-angka
Apalah daya, tanah dirampas tinggallah ratapan
Hutan dibakar, kering sudah air mata
Udaranya jerebu, cahayanya asap pekat
Siangnya berselubung hitam
Malamnya berhias rembulan gemintang redup

Demikian kisah Negeri Gelap Buta
Sentiasa berkabut berhias kelam

#*#

Hanafi Mohan
Tanah Betawi, Khamis, 3 Dzulhijjah 1436 Hijriyyah,
bertepatan dengan 17 September 2015 Miladiyyah,
17:00-17:31 menjelang petang



Sumber foto ilustrasi: Video #PontianakMelawanAsap

Jumat, 11 September 2015

Raja Haji Melawat Pontianak


Alkisah maka tersebut perkataan Pangeran Syarif Abdurrahman bin Sayyid Asy-Syarif Husain Al-Qadri. Syahadan adalah Pangeran Syarif Abdurrahman itu bundanya orang Matan. Adapun ia mendapat gelaran Pangeran itu di dalam negeri Banjar tatkala ia beristerikan anak saudara Sultan Banjar yang bernama Ratu Syahar Banun. Syahdan adapun Pangeran Syarif Abdurrahman itu sudah memang ia beristerikan puteri Opu Daeng Menambon yang bergelar Pangeran Emas Seri Negara. Adalah puterinya yang jadi isteri Pangeran Syarif Abdurrahman itu bernama Utin Candramidi.

Sebermula kata sahibul hikayat ada pada suatu masa Pangeran Syarif Abdurrahman Al-Qadri pergi ke Negeri Sanggau maka hendak mudik melakukan perniagaannya. Maka ditahan oleh Panembahan sanggau tiada di berinya mudik ke sekadau. Maka Pangeran Syarif Abdurrahman Al-Qadri keras juga hendak mudik maka jadilah perbantahan dengan Panembahan Sanggau itu. Maka dibedilnya perahu-perahu Pangeran Syarif Abdurrahman Al-Qadri. Maka Pangeran Abdurrahman Al-Qadri membalas pula. Maka menjadi perang besarlah berbedil-bedilan dengan meriam dan lela azamatlah bunyinya serta sorak tempiknya. Syahdan adalah kelengkapan Pangeran Syarif Abdurrahman besar kecil ada empat puluh buah. Maka kira-kira tujuh hari perang itu maka tewaslah Pangeran Syarif Abdurrahman, lalu undur balik ke Pontianak, maka membuatlah perahu besar. Maka kira-kira lapan bulan bersiap-siap itu, maka Pangeran Syarif Abdurrahman minta bantu ke Riau.

Syahdan apabila Raja Haji Engku Kelana mendengar khabar surat dari Pontianak itu, maka ia pun bersiaplah di dalam negeri Selangor. Tiada berapa hari sampailah ia ke negeri Muntuk. Maka gemparlah negeri Palembang mengatakan Engku Kelana Raja Haji ada di Muntuk. Maka khawatirlah Sultan Palembang yang amat sangat kalau-kalau ia masuk ke Palembang. Maka musyawarahlah Sultan Palembang itu dengan segala menteri-menterinya. Maka sembah segala menteri-menterinya, `Baik kita periksa dahulu jangan kita menyangka-nyangka yang tiada baik dahulu.`

Syahdan maka Sultan Palembang pun menyuruh satu menterinya memeriksa Raja Haji. Maka jawab Raja Haji, "Kita ini hendak pergi ke Mempawah, ziarah ke makam Tuan Besar Mempawah, serta hendak ke Pontianak." Syahdan setelah suruhan Sultan mendengar titah Raja Haji itu, maka ia pun balik mempersembahkan kepada Sultannya. Maka menyuruh pula Sultan Palembang satu kerangkanya membawa wang dan harta, serta makan-makanan pada angkatan kelengkapan Raja Haji itu. Maka Raja Haji pun bertitah kepada suruhan itu katanya, `Kita kirim salam takzim kepada saudara kita Sultan Palembang itu dan kita menerima kasih kepadanya yang amat banyak tiadalah kita masuk kedalam Palembang lagi, karena kita hendak segera berlayar sekadarkan singgah mengambil air dan kayu jua di Muntuk ini, jangan lah saudara kita kecil-kecil hati akan kita.` Syahdan setelah suruhan itu mendengar perkataan Raja Haji itu maka ia pun bermohonlah masuk ke Palembang. Maka lalu dipersembahkannya kepada Sultan segala pesan-pesan Raja Haji itu. Maka Sultan Palembang pun terlalunya sukanya mendengar segala pesan-pesan Raja Haji Engku Kelana itu.

Syahdan maka apabila Raja Haji telah menerima pemberian dari Sultan Palembang itu, serta telah bermuat air dan kayu, maka ia pun berlayarlah ke Mempawah. Maka apabila tiba ke Mempawah maka disambutlah oleh Pangeran Adi Wijaya, iaitu Gusti Jameril, putera Paduka Ayahanda Baginda Opu Daeng Menambon bersama-samalah bersalam-salaman dan bertangis-tangisan, sebab baharu berjumpa-jumpaan dengan sanak saudaranya. Maka Raji Haji pun berangkatlah ziarah kepada makam Tuan Besar Mempawah [1]. Kemudian maka diperjamulah oleh paduka kakanda baginda itu Panembahan betapa adat raja-raja baharu bertemu saudara bersaudara.

Kemudian apabila sudah jumapa-jumpaan itu, maka Raja Haji pun bermohonlah hendak ke Pontianak hendak berjumpa paduka kekanda Utin Candera Midi, iaitu Puteri Opu Daeng Manambun yang jadi isteri Pangeran Syarif Abdurrahman Al-Qadri. Maka berangkatlah Raja Haji itu ke Pontianak. Maka apabila tiba ke Pontianak, dipermuliakanlah oleh Pangeran Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadri serta di perjumpakannya dengan istrinya Utin Candera Midi. Maka apabila berjumpa keduanya maka bertangis-tangisanlah sebab baharu berjumpa dengan sanak sauidara yang jauh-jauh.

Kemudian maka diberilah oleh Pangeran Syarif 'Abdurrahman itu akan Raja Haji itu sebuah istana. Maka naiklah Raja Haji itu ke Istana itu serta membawa anak gundiknya serta dengan joget tandaknya. Maka berkasih-kasihanlah Pangeran Syarif 'Abdurrahman dengan Raja Haji itu seperti orang bersaudara betul, serta tiadalah kalinya Pangeran Syarif 'Abdurrahman itu pergi berangkat berangkat ke istana Raja Haji laki isteri bermain-main joget Jambi. Maka sangatlah sukanya Utin Candera Midi itu akan permainan paduka adinda baginda itu kerana tiada ada di dalam Mempawah dan Pontianak joget yang demikian itu, hanyalah joget Jawa sahaja yang ada. Demikian lagi Raja Haji pun demikian tiada juga kalinya tia-tiap hari berjumpa dengan Pangeran Syarif 'Abdurrahman itu bergurau bersenda bersuka-sukaan.

Syahadan kata sahibul hikayat maka tiada berapa lamanya maka Pangeran Syarif 'Abdurrahman pun berkhabar kepada Raja Haji hal-ehwal bergaduh dengan Panembahan Sanggau itu, "Sudah lebih delapan bulan orang Pontianak tiada boleh berniaga ke Sengkadau lagi. Adapun sebab berhenti perang sebab lagi bersiap-siap berbuat kelengkapan perang kerana dahulu dicuba berperang maka tewaslah saya sebab kelengkapan tiada dengan sepertinya, lagi pula orang-orang saya pun tiada yang bersungguh mau bersusah-susah itu." Syahadan apabila Raja Haji mendengar khabar Pangeran Syarif 'Abdurrahman itu maka jawabnya, "Apalah lagi kita panjang-panjangkan lagi marilah kita langgar semula."

Setelah Pangeran Syarif 'Abdurrahman mendengar kata Raja Haji itu maka lalu berkerah menyiapkan segala kelengkapannya dan Raja Haji bersiap juga segala kelengkapan yang dibawanya dari Riau itu. Maka apabila sudah mustaid maka Pangeran Syarif 'Abdurrahman serta Raja Haji pun mudiklah ke Negeri Sanggau itu dengan dua buah kapal dan satu keci dan dua puluh delapan buah penjajab. Maka apabila sampai di Tayan maka orang-orang Sanggau pun sudah sedia menanti angkatan yang datang itu. Maka Raja Haji pun menyuruh langgar kubu Tayan itu kepada orang Riau dan orang-orang Pontianak. Maka berperanglah kira-kira dua hari lalu disuruhnya amuk kubu-kubu itu. Maka diamuklah oleh Bugis ada dua hari kubu Tayan pun alahlah, sebab banyak panglima-panglimanya mati. Maka bertaburanlah orang-orang Sanggau itu membawa dirinya ke sana ke mari.

Syahadan maka Raja Haji memudikkan segala kelengkapannya masuk ke dalam Sanggau itu. Maka apabila sampai di Kayu Tunu berjumpa pula dengan satu kubu yang besar serta beberapa banyak orang-orangnya. Maka berhentilah angkatan itu di situ bermusyawarah. Maka Raja Haji pun mengaturlah ikatan perang itu dengan ditentukannya yang akan jadi panglima kanan dan kiri serta mengaturkan melanggar perangnya serta semboyannya yang di dalam perangnya itu. Setelah teguhlah ikatan perangnya itu, pada dua puluh enam haribulan Muharram sanat 1192 maka memulailah perang.

Maka berperanglah segala kelengkapan itu melanggar kubu orang Sanggau itu. Maka berbedil-bedilanlah antara kedua pihak dengan meriam dan lela rentakanya gemuruhlah bunyi bahananya. Maka tiada juga berketewasan sebelah menyebelah. Syahadan rapatlah segala penjajab-penjajab itu kepada kubunya maka naiklah segala Bugis-Bugis mengamuk kubu-kubu itu. Maka beramuklah di dalam kubu itu berbedilkan senapang dan pemburasnya dan bertikamlah lembingnya dan bertitikkan kelewang pedangnya dan bertikamkan kerisnya berkejar-kejaran dan berhambat-hambatan ke sana ke mari. Maka seketika lagi tewaslah orang-orang Sanggau itu. Maka pecahlah perangnya bertaburanlah larinya kerana panglima-panglimanya banyak mati. Maka dapatlah kubu itu oleh Bugis. Maka alahlah Negeri Sanggau itu pada sebelas haribulan Safar sanat 1192.

Syahadan maka kedua raja itupun mudiklah ke Negeri Sanggau tempat kerajaannya, maka berhentilah kira-kira dua belas hari. Kemudian raja kedua itupun hilirlah, maka berhenti di Pulau Simpang Labi. Maka Raja Haji membuatlah satu benteng di Pulau Simpang Labi itu serta ditaruhnya enam meriam serta diberinya nama pulau itu Jam Jambu Basrah/Jambu Basrah/Jambu-Jambu Taberah. Setelah itu maka kedua raja itupun berbaliklah ke Pontianak dengan segala kelengkapannya itu. Maka tetaplah segala raja-raja itu di Pontianak bersuka-sukaan makan minum saudara bersaudara ipar beripar serta segala menterinya.

Syahadan kata sahibul hikayat maka tiada berapa lamanya, maka Raja Haji pun muafakat dengan segala orang tua-tua yang di dalam Pontianak hendak mengangkat Pangeran Syarif 'Abdurrahman menjadi Sultan di dalam Negeri Pontianak. Maka sembah segala orang tua-tua itu, "Mana-mana sahaja titah duli tuanku."

Syahadan setelah Raja Haji muafakat itu maka Raja Haji pun memulai bekerja serta menyediakan alat perkakas raja berlantik dan bertabal sebagaimana aturan adat istiadat pihak sebelah Johor, demikianlah diperbuatnya melainkan bertambah sahaja adatnya Bugis seperti mengaruk-aruk, iaitu adat Bugis. Setelah mustaid sekalian alat perkakas bertabal itu, maka pada ketika hari yang baik, maka Raja Haji pun mengumpulkan segala orang besar-besar dan raja-raja dan orang-orang negeri berkumpullah segala raja-raja itu. Maka Raja Haji pun memakailah dan memakaikan Pangeran Syarif 'Abdurrahman itu dengan pakaian berlantik. Setelah selesailah daripada itu, maka baharulah diturunkan ke balairung serta dengan jawatan semberabnya seperti pedang dan keris panjang dan puan dan kipas dan ketur dan lain-lainnya, serta orang perempuan membawa kain dukungnya enam belas orang, dan membawa dian berkelopak pun enam belas juga. Kemudian baharulah dinaikkannya Pangeran Syarif 'Abdurrahman itu di atas singgahsana kerajaan, kemudian berdirilah dua orang bentara pada kanan kirinya memegang tongkat berkepala emas.

Syahadan apabila selesai bersaf-saf dan beratur segala jawatan itu maka berdirilah Raja Haji di hadapan singgahsana kerajaan serta mengunus halamangnya berteriaklah ia dengan nyaring suaranya dengan katanya, "Barang tahu kiranya segala raja-raja dan orang-orang besar bahawa sungguhnya kami mengangkat akan Pangeran Syarif 'Abdurrahman ini menjadi raja di dalam Negeri Pontianak dengan segala takluk daerahnya. Adalah bergelar Sultan Syarif 'Abdurrahman Nur 'Alam Karar dan tetap di atas kerajaannya di dalam negeri ini turun atas anak cucunya." Syahadan maka menjawablah segala orang-orang itu, "Daulat, bertambah-tambah daulat!" Kemudian baharu dipukulkan nobat. Maka sekalian orang-orang pun menjunjung dulilah.

Syahadan apabila selesailah daripada pekerjaan lantik berlantik itu, maka Raja Haji pun membuatkan satu kota perdalamannya. Adapun kayu itu, iaitu kayu Kota Sanggau yang dipindahkannya ke Pontianak. Kemudian diaturkannya segala orang besar-besarnya dengan gelarannya dan pangkatnya dan pekerjaannya dan diaturkannya pula adat di dalam istana dan balai. Maka sekalian adat-adat itu seperti adat Negeri Riau jua adanya.

Syahadan kata ahli'l-tawarikh adalah kira-kira enam belas bulan Raja Haji itu di dalam Pontianak dengan bersuka-sukaan dengan Sultan Syarif 'Abdurrahman dua laki isteri dengan permainan tiap-tiap hari.

Syahadan maka tiba-tiba datanglah suruhan dari Riau menyilakan Raja Haji balik ke Riau kerana Yang Dipertuan Muda Dahing Kambuja gering sangat. Syahadan setelah Raja Haji mendengar khabar suruhan itu maka ia pun minta dirilah kepada Sultan Syarif 'Abdurrahman laki isteri hendak balik ke Riau. Maka Sultan Syarif 'Abdurrahman laki isteri pun berkemaslah menyiapkan perbekalan paduka kekanda itu. Syahadan di dalam hal itu datanglah pula sekali lagi suruhan dari Riau mengatakan paduka kekanda baginda Yang Dipertuan Muda Dahing Kambuja telah mangkat serta Raja Haji dan Sultan Syarif 'Abdurrahman laki isteri mendengar surat dari Riau itu maka ketiganya pun menangislah yang amat sangat. Maka Syarif 'Abdurrahman pun mengumpulkan segala tuan sayyid dan haji-haji dan lebai-lebai berkumpul ke dalam, tahlil dan membaca Qur'an dihadiahkan pahalanya kepada roh almarhum paduka kekanda baginda itu Yang Dipertuan Muda Dahing Kambuja dan beberapa pula ia mengeluarkan sedekah dan kenduri betapa adat orang kematian sanak saudaranya adanya.

Syahadan adapun Raja Haji maka bersiaplah ia akan berlayar. Maka apabila sampai waktunya maka berangkatlah Raja Haji keluar dari Pontianak. Maka Syarif 'Abdurrahman laki isteri pun mengantar hingga ke Kuala Pontianak.

Adapun Raja Haji lalulah berlayar ke sebelah barat menuju Negeri Riau. Maka apabila hampir dengan hutan Riau maka lalulah ia menuju Negeri Pahang. Maka tiada berapa hari maka sampailah ke Kuala Pahang. Syahadan maka Bendahara Tun Abdul Majid pun keluarlah mengalu-alukan Raja Haji itu datang. Maka apabila berjumpa bersalam-salamanlah keduanya, maka lalu dibawa oleh Datuk Bendahara akan Raja Haji itu mudik ke Negeri Pahang lalu diberinya istana sekali. Maka naiklah Raja Haji itu diam di darat sekaliannya.

Syahadan apabila tetaplah Raja Haji itu di dalam Negeri Pahang, maka Datuk Bendahara pun melantik Raja Haji itu betapa adat istiadat melantik Yang Dipertuan Muda. Maka menjadilah Raja Haji itu Yang Dipertuan Muda di dalam Negeri Riau dan Johor dengan segala takluk daerahnya sebab menerima pesaka paduka ayahandanya adanya. [~;~]



Catatan:
[1] Tuan Besar Mempawah yang dimaksud adalah Habib Husain, yaitu ayah dari pendiri Negeri Pontianak dan Sultan Pertama Pontianak (Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadri).


Sumber: Kitab “Tuhfat Al-Nafis”, Bahagian Dua, Sub-Bahagian 27 (dengan tajuk “Raja Haji Melawat Pontianak”), hal. 189-195, Penulis: Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji, Editor: Virginia Matheson, Penerbit: Fajar Bakti, Sdn. Bhd, Selangor, 1982


Senin, 07 September 2015

Piagam Persetudjuan antara RI dan BFO


Piagam Persetudjuan antara Delegasi Republik Indonesia dan Delegasi Pertemuan Untuk Permusjawaratan Federal (Bijeenkomst Federaal Overleg) tentang rentjana Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Pada hari Sabtu tanggal dua-puluh sembilan bulan Oktober tahun seribu sembilan-ratus empatpuluh sembilan kami Delegasi Republik Indonesia dan Delegasi Pertemuan Untuk Permusjawaratan Federal (Bijeenkomst Federaal Overleg) jang melangsungkan persidangan kami di Scheveningen. Setelah mempertimbangkan dan menjetudjui pikiran2 ketatanegaraan jang disusun oleh kedua Panitia Ketatanegaraan kami dalam beberapa persidangan bersama di Scheveningen dan ‘s Gravenhage semendjak bulan Agustus sampai achir bulan Oktober tahun 1949;
Dengan mendjundjung tinggi segala putusan kebulatan jang diambil dalam Konperensi Inter- Indonesia dalam sidangnja dikota Jogjakarta dan Djakarta dalam bulan Djuli dan Agustus 1949; Setelah mempeladjari dan mempertimbangkan rentjana Konstitusi Republik Indonesia Serikat itu, maka kami Menjatakan bahwa kami menjetudjui naskah Undang-Undang Dasar Peralihan bernama Konstitusi Republik Indonesia Serikat jang dilampirkan pada Piagam-Persetudjuan ini. Kemudian dari pada itu maka untuk membuktikan itu kami kedua Delegasi dengan bersaksikan Tuhan Jang Maha-Esa terhadap sikap-sutji dan kesungguhan-keinginan Bangsa dan Tanah Air Indonesia Serikat membubuhkan tanda-tangan parap kami pada Piagam-Persetudjuan ini:

a. Untuk Republik Indonesia,
Pemimpin Delegasi Republik Indonesia
(Drs. Moh. Hatta)

b. Untuk Daerah2-Bagian jang bekerdja-sama dalam perhubungan B.F.O.
Utusan Daerah Istimewa Kalimantan Barat (Sultan Hamid II) Ketua B.F.O.
Utusan Indonesia Timur (Ide Anak Agoeng Gde Agoeng) Wakil Ketua I B.F.O.
Utusan Madura (Dr. Soeparmo) Wakil Ketua II B.F.O.
Utusan Bandjar (A.A. Rivai)
Utusan Bangka (Saleh Achmad)
Utusan Belitung (K.A. Moh. Joesoef)
Utusan Dajak Besar (Mochran Bin Hadji Moh. Ali)
Utusan Djawa Tengah (Dr. r. Sudjito)
Utusan Djawa Timur (R. Tg. Djuwito)
Utusan Kalimantan Tenggara (M. Jamani)
Utusan Kalimantan Timur (Adji Pangeran Sosronegoro)
Utusan Pasundan (Mr. R. Tg. Djumhana Wiriaatmadja)
Utusan Riau (Radja Mohammad)
Utusan Sumatera Selatan (Abdul Malik)
Utusan Sumatera Timur (Radja Kaliamsjah Sinaga)

Kesepakatan ini tercantum pada Bag.32.Konstitusi RIS