Entah dari mana cerita ini harus kumulai. Yang pasti, pagi ini aku terbangun tak dikejutkan oleh apa-apa. Kebiasaanku pas bangun tidur selalu melihat jam yang ada di HP. Oh Tuhan, ternyata sepagi ini sudah ada SMS yang masuk. Perkiraanku, mungkin SMS dari salah seorang fans-ku yang entah siapa, karena memang beberapa bulan terakhir ini aku tak jarang mendapatkan SMS dari nomor kontak yang tak kukenal tuannya. Isi SMS-nya macam-macam: ada yang menawarkan produk ini dan itu, kuis berhadiah, nasihat, cerita, ngajak kenalan, hingga penipuan dengan modus yang beraneka-ragam. Inilah dia (HP) alat perlengkapan pribadi yang lebih seringnya tak menghormati ruang privasi si pemakai.
Ternyata SMS tersebut dari seorang sahabat karibku di Pontianak. Isinya memberitahukan bahwa hari Minggu ini (10 Oktober 2010) akan diadakan Reuni Pengajian Remaja yang pernah kami kelola beberapa tahun yang lalu ketika kami SMA. Sahabatku itu meminta aku membuat suatu catatan yang menceritakan mengenai pengajian kami tersebut. Entah bisa atau tidak kubuat catatan yang dimaksud. Yang pasti, kini aku sedang berusaha membuat catatan tersebut, sambil mengumpulkan serpihan-serpihan nostalgia yang telah lama berlalu itu. Catatan yang mungkin akan kutulis dari sisi yang sungguh subjektif.
REMSSI, begitulah nama pengajian remaja yang kami kelola itu. Singkatan dari: Remaja Ash-Shiddiqin, yang artinya kurang lebih yaitu: remaja yang benar atau remaja yang jujur. Cerita punya cerita, namanya ini berasal dari nama surau yang berada di Kampong Semerangkai, masuk ke dalam wilayah Kelurahan Dalam Bugis, atau mungkin Kelurahan Tanjung Hilir. Entah meengapa kemudian perkumpulan remaja Islam ini menjadi suatu organisasi yang independen.
Masih lekat di ingatanku, suatu sore (atau mungkin Ba’da Maghrib) datanglah bertandang ke rumahku yang ada di Kampong Tambelan (Kelurahan Tambelan Sampit) beberapa orang teman SMP-ku (SMP Negeri 4 Pontianak). Ketika itu aku masih duduk di kelas 2 SMK Negeri 4 (STM 2) Pontianak. Telah cukup lama aku tak bertemu dengan teman-teman SMP-ku itu selepas kami lulus dari SMP. Entah ada angin dari mana, teman-teman ku itu mengajakku bergabung dengan pengajian remaja Islam yang ketika itu mereka kelola, yang belakangan kuketahui nama pengajian yang dimaksud yaitu REMSSI. Tak disangka bahwa perjumpaan tersebut adalah awal dari masa-masa indah penuh perjuangan, persahabatan, kreativitas, dan keceriaan, dibumbui kisah-kisah suka dan duka ala remaja di masa SMA yang kadang diselingi dengan kekonyolan, terkadang juga terselip kisah cinta.
Kegiatan rutin kami ketika itu adalah pengajian setiap hari Minggu. Entah mengapa dipilih hari Minggu. Yang kuingat, ketika itu di hari Minggu agendaku dan beberapa teman yang lainnya cukup banyak. Paginya kami membina Pramuka di SMP 4 Pontianak. Siangnya pengajian REMSSI yang tiap minggunya digilir dari rumah ke rumah. Belakangan, kegiatan kami bertambah dengan diadakannya latihan Taekwondo. Kebetulan beberapa anggota kami sebelum-sebelumnya pernah aktif latihan di beberapa perguruan Taekwondo. Dan yang menjadi kegiatan rutin tahunan kami ketika itu adalah menjadi peserta perlombaan Perkampungan Ramadhan di Masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadri yang diadakan oleh REMSA (Remaja Masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadri). Beberapa kali kami pernah memenangkan perlombaan yang dimaksud, tentunya dengan perjuangan dari segenap anggota pengajian kami.
Oh iya, anggota pengajian kami ketika itu kebanyakan berasal dari siswa dan alumni SMP Negeri 4 Pontianak. Sisanya adalah rekrutan berdasarkan jalur pertemanan. Yang patut pula diingat bahwa kami bergerak secara independen, hal yang bertahun-tahun kemudian melekat pada diriku, terutama ketika aku menjadi aktivis di organisasi mahasiswa ekstra kampus. Pendanaan kegiatan kami sokong secara swadaya. Jika mengingat semuanya itu, barulah kusadari bahwa semenjak remaja aku telah dilatih untuk selalu independen dan tak pernah mau dikooptasi oleh kekuatan manapun. Begitu besar jasa REMSSI dalam hal melatih jiwa keorganisasian dan kepemimpinanku, sehingga belakangan setelah di perguruan tinggi aku beraktivitas dan juga kadang dipercayakan memimpin organisasi mahasiswa, dari organisasi Paduan Suara Mahasiswa, Lembaga Pers Mahasiswa, Senat Mahasiswa, Badan Eksekutif Mahasiswa, hingga Himpunan Mahasiswa Islam.
REMSSI yang kukenal adalah pengajian remaja Islam yang tak mengenal sekat-sekat etnis, latar belakang sosial dan ekonomi, latar belakang ideologi keagamaan, dan sekat-sekat lainnya yang memungkinkan kami terpecah belah. Yang kami ketahui ketika itu adalah kami terus beraktualisasi dan berkreasi mengisi masa-masa remaja kami dengan kegiatan yang positif. Walaupun tak dapat kupungkiri bahwa di tengah-tengah jalinan persahabatan itu kadang terselip hal-hal yang kalau mengingatnya aku jadi ingin tertawa.
Pengajian remaja ini awalnya ditulang-punggungi oleh beberapa orang temanku. Kemudian setelah aku dan beberapa teman yang lain bergabung, seiring bertambah dan berkurangnya anggota, maka dapatlah dikatakan bahwa pengajian ini ditulang-punggungi oleh enam orang pemuda, termasuk aku di dalamnya. Anggota perempuan tentunya tak dapat juga diabaikan, walaupun banyak di antaranya yang kadang-kadang aktif, kadang-kadang tidak. Belakangan, bertambah lagi tulang punggung pengajian kami dengan bergabungnya dua orang teman laki-laki kami. Formasi 6 + 2 inilah yang kemudian bertahan hingga akhir, hingga aku memutuskan hijrah ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan. Dan formasi 6 + 2 ini terus menjalin persahabatan, sehingga kemudian dikenal sebagai 6 ******* 2 **** *******.
Jalinan persahabatan ini di kemudian hari menjadi semacam jaringan persahabatan yang cukup luas, tak hanya sekedar lingkup pengajian. Jalinan persahabatan ini kadang bisa melakukan hal-hal yang di luar dugaan. Bayangkan, kami bersekolah di tempat yang berbeda-beda, tapi entah mengapa, kami bisa bolos sekolah bersama-sama. Maklumlah, aktivitas sekolah kadang membuat kami bosan. Bolos (dalam bahasa Pontianak disebut mbelet) menjadi suatu pelarian dari kebosanan itu. Banyak hal yang bisa membuat kami bolos bersama tersebut. Kami menunggu oplet ataupun bis di persimpangan jalan yang sama, sehingga sangat memungkinkan kami bertemu di persimpangan jalan tersebut. Waktu itu yang kuingat bahwa sopir oplet ataupun bis begitu enggan untuk mengambil penumpang pelajar, karena bayarannya setengah dibandingkan penumpang umum. Kalau masa menunggu angkutan umum itu sudah sampai pada saat-saat mendekati bel masuk sekolah, maka kami pun enggan untuk masuk sekolah. Bolos adalah salah satu pelarian, karena kalau balik lagi ke rumah, maka tentunya malu dengan keluarga yang ada di rumah. Kalau sudah seperti itu, maka kami saling memberikan kode yang masing-masing dari kami sudah sangat mengerti akan kode yang dimaksud.
Kami bolos tidak sekedar bolos, bukan ke kawasan pasar yang banyak tempat hiburannya, melainkan kami mengarungi daerah hulu Sungai Landak, tentunya memakai angkutan penumpang dan barang berupa transportasi sungai seperti motor air. Tujuan kami biasanya ke daerah Kuala Mandor yang di sana bermukim kerabat dari seorang teman kami. Inilah bolos yang paling indah, karena sambil bolos, kami bisa sambil melihat-lihat pemandangan yang indah, unik, dan khas Sungai Landak.
Kalau sudah ke Kuala Mandor ini, maka setidaknya besok paginya baru bisa balik ke Pontianak. Maklum, transportasi sungai memang terbatas jumlahnya. Namun yang diherankan, kami balik ke rumah masing-masing juga masih di waktu jam sekolah. Inilah yang dinamakan “Bolos Kuadrat”.Bagi yang tidak malu dengan keluarganya, biasanya langung balik ke rumah. Sedangkan bagi yang malu dengan keluarga, maka baru balik ke rumah ketika agak siang, kira-kira sudah waktunya bel pulang sekolah. Yang balik ke rumah pun kadang-kadang tak ditanyai oleh orang tua masing-masing: dari mana baru pulang hari ini, mengapa tidak masuk sekolah, mengapa pulang sekolah agak awal, dan semacamnya. Begitulah orang tua kami, sangat memberikan kebebasan kepada anak-anaknya. Imbal baliknya, kami harus pandai-pandai menjaga pergaulan, serta juga pandai-pandai menjaga nama baik orang tua dan keluarga kami.
Di antara kami, kebanyakan memiliki bakat seni. Jika sedang membaca shalawat, kami bisa bersuara merdu. Ketika membaca Al-Quran, kami bisa membacanya secara fasih, bahkan ada yang sangat merdu dan indahnya ketika mengalunkan ayat-ayat suci. Sedangkan aku sendiri lebih sering membaca Al-Quran dengan ejaan yang terpatah-patah. Tak lain tak bukan aku hanya ingin membaca Al-Quran secara baik dan benar.
Dalam hal yang lain, kami lebih seringnya memiliki hobi yang sama. Apalagi kalau bukan hobi bermusik. Di antara kami ada yang begitu pandai bermain gitar. Bahkan aku sendiri selain bisa memainkan gitar, juga bisa memainkan piano, selain juga bisa bernyanyi dengan merdu. Kedua alat musik ini kupelajari secara autodidak. Gitar kupelajari semenjak SD, sedangkan piano kupelajari semenjak SMP. Hobi bermusik inilah yang kadang menjadi penghidup suasana ketika kami berkumpul. Ada yang senang menyanyikan lagu dangdut Bang Haji Rhoma Irama, ada yang senang menyanyikan lagu Rock. Sedangkan aku berada di tengah-tengahnya. Kalau lagi memegang gitar, maka lagu yang kumain dan kunyanyikan adalah lagu Rock. Tak lama kemudian berganti dengan lagu pop nostalgia. Beberapa saat kemudian berganti dengan lagu dangdut. Kemudian terseliplah lagu India dan lagu Arab. Di akhirnya kututup dengan lagu Senandong Melayu.
Nostalgia ini tak lengkap kiranya tanpa tontonan film-film India dan film-film Allahyarham Tan Sri P. Ramlee. Ketika itu lagi booming film-film India yang dibintangi oleh Shahrukh Khan, Salman Khan, Amir Khan, Kajool, dan beberapa bintang film India yang lagi naik daun ketika itu. Beberapa film yang ngetop ketika itu antara lai: Kuch-Kuch Hota Hai, Maan, dan beberapa yang lainnya. Bahkan film Kuch-Kuch Hota Hai sampai beberapa kali ditonton tak pernah jemu-jemu. Karakter Shakhrukh Khan sendiri hingga bisa ditiru oleh seorang di antara kami Sedangkan film-film Allahyarham Tan Sri P. Ramlee antara lain: Bujang Lapok, Pendekar Bujang Lapok, Do-Re-Mi, Musang Bejanggot, dan beberapa yang lainnya yang sungguh merupakan film-film yang penuh inspirasi, yang dialog-dialognya sering kami tiru ketika sedang mengobrol.
Entah, apalagi yang harus kutulis, karena begitu banyaknya nostalgia tersebut jika semuanya ditulis. Kadang aku tersenyum-senyum mengingatnya, bahkan kadang juga bagai teriris-iris sembilu jika mengingat sesuatu yang hingga kini belum bisa kugapai.
Kawan, sungguh indah persahabatan yang telah kita jalin. Biarlah masa-masa yang telah lalu itu menjadi kenangan kolektif kita. Jangan pernah putuskan jalinan ini. Hanya ajal yang akan memisahkan kita. Senyumku untuk kalian semuanya.
Selamat be-reuni ria.
[Hanafi Mohan – Ciputat, Sabtu 9 Oktober 2010, 06:29 – 13:52 WIB]
Sumber foto: Koleksi Pribadi Hanafi Mohan
Tulisan ini dimuat di: http://hanafimohan.blogspot.com/
Sabtu, 09 Oktober 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Hi all. How are you?
BalasHapus