Minggu, 11 Mei 2008

[Cerpen] Dua Azan


Setiap pulang ke negeri kelahiranku, ada saja hal-hal yang menarikku untuk selalu kembali ke negeri tersebut. Keunikannya, orang-orang yang kusayangi dan menyayangiku, dan hal-hal menarik lainnya. Tak terkecuali lebaran yang lalu.

Ada seseorang yang aku tak bertemu dengannya saat kepulangan yang lalu. Namanya adalah Nurhidayat. Kami biasa memanggilnya Aba’. Ia masih kerabatku juga. Aba’ dulunya adalah seorang guru di negeri yang jaraknya sekitar lima jam perjalanan dari negeriku. Orang-orang di tempatnya mengajar biasa memanggilnya "Pak Nur". Karena suatu trauma yang menimpanya, akhirnya ia berhenti mengajar, atau lebih tepatnya diberhentikan. Dan terakhir kuketahui ia kini bermukim di suatu kampong di negeri tersebut bersama isteri dan anak-anaknya.

Ketika kepulangan setahun yang lalu, aku sempat bertemu dengannya yang ketika itu ia ada suatu urusan yang harus diselesaikan di negeri kelahiranku. Entahlah di tahun ini ketika kepulanganku sebulan yang lalu, aku tak bertemu dengan Aba’.

Aba’ adalah sosok yang periang, humoris, walau kadang juga agak membuat kesal. Kehadirannya kadang dinantikan oleh orang-orang di kampongku. Apa lagi kalau bukan humornya yang begitu segar yang bisa membuat orang-orang yang ada di dekatnya tersenyum dan tertawa. Selain itu, ia juga memiliki beberapa keahlian yang jarang dimiliki oleh orang-orang. Salah satunya adalah keahlian memijat, yang di negeriku disebut sebagai "tukang urot". Sebenarnya ada beberapa orang di kampongku yang bisa memijat, bahkan mungkin lebih ahli darinya. Tapi mengapa orang-orang di kampongku masih begitu tertarik untuk dipijat oleh Aba’? Tentunya tak lain karena humornya itu.

Teringat aku setahun yang lalu, Aba’ bercerita kepadaku tentang berbagai hal. Tentang dirinya, tentang keluarganya, tentang lingkungan tempat ia bermukim, dan masih banyak lagi hal-hal lainnya yang ia ceritakan.

“Aba’ dulunya pernah ditugaskan mengajar di suatu kampong terpencil. Untuk menempuh ke kampong tersebut tak ada sarana jalan yang memadai. Sehingga karena itu pula sampan merupakan sarana transportasi andalan di kampong tersebut,” begitulah Aba’ memulai ceritanya kepadaku ketika itu.

“Lantas betahkah Aba’ mengajar di kampong tersebut?” tanyaku melengkapi obrolan.

“Ya, betah tak betahlah, karena hal tersebut sudah menjadi tugas Aba’ untuk mengabdi kepada negara ini. Apalagi mengajar dan mendidik merupakan panggilan jiwa Aba’. Dan Aba’ begitu menyenangi profesi tersebut.”

Sebagai seorang guru, keberadaan Aba’ memang cukup dipandang di kampong tempatnya mengajar tersebut. Ia menjadi tempat bertanya masyarakat sekitar dan sebagai sosok panutan yang boleh dikatakan cukup disegani. Dalam hal ini menurut Aba’, dirinya kadang berada pada posisi yang harus cukup berhati-hati dalam segala tindak-tanduk. Sebagai seorang guru ia tak hanya mendidik siswa di sekolah, tapi lebih daripada itu ia juga menjadi pendidik di masyarakat secara umum. Karena itulah sehingga menandaskan ia harus memiliki kemampuan lebih dari sekedar seorang guru.

* * *

Begitu banyak sekali pengalaman berharga yang Aba’ dapatkan selama mengajar, dari hal yang menyenangkan hingga yang tidak menyenangkan. Dari yang masuk akal hingga yang tidak masuk akal. Seperti yang berikut ini,

Suatu sore, Aba’ menyusuri jalanan di kampong tempatnya mengajar menuju ke kediamannya yang juga masih berada di kampong tersebut. Waktu itu Aba' dari rumah seorang warga untuk suatu urusan. Kampong itu memang sepi, apalagi di waktu sore hari, ditambah lagi rumah-rumah yang letaknya agak berjauhan.

Perjalanan yang ditempuh kurang lebih dua jam untuk sampai ke kediaman Aba’. Hal ini bukan saja karena jaraknya memang jauh, tapi juga karena faktor-faktor yang lain, seperti jalanan yang rusak dan kondisi alam yang tak memungkinkan untuk menempuh perjalanan dengan lancar dan cepat. Bayangkan saja, perjalanan tak hanya ditempuh melalui jalur darat, tapi Aba’ juga harus menempuh jalur sungai. Sedangkan sarana untuk jalur sungai inipun boleh dikatakan sangat minim.

Saat itu menunjukkan sekitar pukul 05:15 sore. Sambil berjalan, Aba’ melihat ke kanan kiri, mungkin ada surau ataupun langgar yang bisa disinggahi, kebetulan Aba’ belum menunaikan Sembahyang Ashar. Matahari sudah hampir tenggelam ketika itu. Hari memang sudah agak gelap, tapi masih terlihat cahaya terang dari sinar matahari.

Tak beberapa saat, Aba’ melihat suatu langgar kecil. Tak ayal lagi, Aba’ langsung saja singgah ke langgar tersebut, kemudian mengambil air sembahyang ke parit yang tak jauh dari situ. Selesai mengambil air sembahyang, Aba’ pun langsung menuju ke langgar. Ketika berjalan ke arah langgar, sayup-sayup terdengar azan dari dalam langgar tersebut. Azan yang sayup terdengar itu memang tidak menggunakan pengeras suara, karena kampong tersebut merupekan kampong terpencil yang belum dimasuki listrik. Walaupun tidak menggunakan pengeras suara, tapi suara azan itu cukup jelas Aba’ dengar.

Dalam benak Aba’ berkata, ah… pupuslah Sembahyang Ashar, karena waktu Sembahyang Maghrib sudah masuk. Tapi Aba’ juga masih heran, karena waktu sepertinya belum menunjukkan masuk Sembahyang Maghrib. Aba’ lihat jam, waktu baru menunjukkan kira-kira pukul setengah enam kurang lima menit. Biasanya masuk waktu Sembahyang Maghrib kira-kira pukul setengah enam lewat sepuluh menit. Tapi akhirnya Aba’ tak mempedulikan itu.

Aba’ pun masuk ke langgar. Ada seseorang di dalamnya. Mungkin orang itu yang tadinya azan. Ketika Aba’ masuk, orang itu langsung mempersilakan Aba’ untuk menjadi imam sembahyang. Tapi Aba’ kemudian berbalik mempersilakan orang itu saja yang menjadi imam. Orang itu pun maju sebagai imam, dan Aba’ tetap berada di belakang sebagai makmumnya. Lalu, kami berdua pun mulai untuk Sembahyang Maghrib.

Ketika selesai sembahyang, ternyata yang menjadi makmum sembahyang bukan hanya Aba’, melainkan ada sekitar dua saf. Satu saf didepan yaitu se-saf dengan Aba’, dan satu saf lagi di belakang.

Setelah berdo'a, para jamaah pun langsung beranjak. Begitu juga dengan orang yang menjadi imam itu. Ia pun beranjak. Aba’ hanya melihatnya. Ia juga melihat Aba’, lalu melemparkan senyuman kepada Aba’, dan Aba’ pun membalas senyuman itu. Tak beberapa lama, sepilah langgar, sedangkan Aba’ masih terpekur di atas sajadah. Hitung-hitung sambil istirahat dan menghilangkan letih.

Cukup lama Aba’ terpekur itu, walaupun Aba’ tak memperhatikan jam. Dalam keheningan itu, semakin terasalah begitu kecilnya diri ini di hadapan Yang Maha Kuasa. Dan di dalam keheningan itu, membayanglah betapa beratnya kehidupan yang harus dijalani. Namun di dalam keheningan itu, Aba’ terus mencoba berusaha untuk tabah dan sabar di hadapan-Nya, untuk tidak hanya terus-menerus mengeluh, meminta, memohon, dan berdoa saja. Tapi walaupun begitu, Aba’ tetap menyadari bahwa begitu banyaknya kekurangan diri ini. Semoga Tuhan memaklumi itu.

* * *

Allahu akbar Allahu akbar…

Terdengarlah suara azan. Oh, begitu lamanyakah aku terpekur sehingga masuk lagi waktu Sembahyang Isya’? Aba’ pun melihat jam, ternyata baru menunjukkan kira-kira pukul enam kurang lima belas menit. Aba’ pun heran. Ini yang rusak jamku atau sebenarnya apa yang terjadi? Untuk memastikan, Aba’ pun menuju keluar langgar. Ternyata benar. Hari memang masih sore. Di ufuk barat masih terlihat temaram senja. Dan Aba’ berkeyakinan, jam tangan Aba’ pun tak sedang rusak. Namun hal ini semakin menambah kebingungan Aba’. Kalau ini masih sore, lantas aku tadi sembahyang apa, dan azan yang baru saja kudengar juga sebenarnya azan apa?

Di luar langgar Aba’ lihat orang-orang berdatangan. Kemudian pandangan Aba’ berpindah ke arah mihrab melihat orang yang barusan azan. Sepertinya sosok orang tersebut hampir sama dengan orang yang sebelumnya juga azan. Atau mungkin memang orang yang sama? Tapi entahlah. Yang pasti, Aba’ semakin merasa kebingungan akan hal ini. Apakah mungkin orang-orang di sini memiliki tradisi dan ritual keagamaan yang berbeda? Apakah ini…? Apakah itu…? Dan masih banyak lagi kebingungan lainnya yang berpuat-putar di kepala ini.

Di tengah kebingungan itu, sembahyang pun akan segera dimulai dengan terdengarnya iqamat. Lalu orang-orang pun mulai bersembahyang. Pada posisi ini Aba’ begitu dilematis. Apakah Aba’ ikut sembahyang lagi atau tidak? Karena tadinya Aba’ sudah sembahyang. Setelah mempertimbangkan dengan cepat, akhirnya Aba’ memutuskan untuk ikut lagi sembahyang. Entahlah ini sembahyang apa namanya. Dan Aba’ pun tak tahu harus berniat untuk sembahyang apa. Yang pasti, Aba’ hanya berpikiran untuk menghormati orang-orang yang ada di situ. Dan menurut pertimbangan Aba’, mungkin setelah sembahyang nanti Aba’ bisa menanyakan sesuatu kepada para jama'ah. Yang menjadi imam ternyata bukan yang azan tadi, tetapi orang yang lain lagi.

Setelah selesai sembahyang, dan kemudian juga berdoa, para jamaah pun satu persatu segera meninggalkan langgar. Tak terkecuali orang yang azan tadi. Demi menjawab kebingungan tadi, Aba’ pun segera menghampiri orang tersebut dan juga memanggilnya, “Pak… Pak…, bisakah saya berbicara sebentar?”

Orang itu pun menoleh ke arah Aba’, “Oh iya, ada apa ya?”

“Begini Pak, bolehkah saya minta waktu sebentar?”

“Boleh saja.”

“Perkenalkan Pak, nama saya Nurhidayat. Biasa dipanggil Pak Nur. Saya mengajar di SD yang ada di kampong ini.”

Orang itu pun kemudian juga memperkenalkan dirinya, “Saya sendiri adalah Pak Awang, merupakan mu'azzin di langgar ini. Kalau boleh tahu, ada keperluan apa ya Pak…”

Aba’ pun segera menimpali, “Pak Nur.”

“Iya…, maksud saya, ada keperluan apa Pak Nur ingin berbicara kepada saya?”

Aba’ pun kembali berkata, “Begini Pak…”

“Pak Awang,” Pak Awang pun segera menimpali.

“Iya… Pak Awang, lebih baik kita duduk saja dulu!” ajak Aba’ kepada Pak Awang.

Lalu kami pun sama-sama duduk di dalam langgar. Terlihat suasana langgar yang sudah ditinggalkan para jamaahnya. Tinggallah saat itu hanya Aba’ dan Pak Awang saja yang tertinggal di dalam rumah ibadah yang kecil, bersahaja, dan sederhana itu. Setelah mengatur nafas, dan juga sambil mengatur bahan perbincangan, Aba’ pun memulai pembicaraan, “Pak Awang, ada sedikit hal yang ingin saya tanyakan kepada Bapak?”

“Tanyakanlah, Pak Nur. Mudah-mudahan saya bisa menjawabnya.”

“Pak Awang, apakah memang sudah menjadi tradisi di kampong ini untuk melakukan azan dan Sembahyang Maghrib sebanyak dua kali?” Aba’ pun menanyakan kebingungan itu.

“Maksud Pak Nur apa? Saya belum mengerti akan pertanyaan Pak Nur. Mungkin Pak Nur bisa perjelas lagi!” Pak Awang sambil mengernyitkan alisnya pertanda masih belum mengerti akan pertanyaan Aba’.

Sementara Aba’ juga tambah bingung, mengapa Pak Awang tak mengerti akan pertanyaan tersebut, sedangkan yang azan sebanyak dua kali tadi adalah Pak Awang sendiri, begitu juga sembahyangnya, yang pada kedua sembahyang tersebut ada Pak Awang di dalamnya, dan juga Aba’.

Aba’ pun menarik nafas sejenak sambil mengumpulkan kata-kata yang tepat untuk diajukan sebagai bahan percakapan kepada Pak Awang. Apalagi pikir Aba’ bahwa hal ini berkaitan dengan keyakinan dan tradisi yang dipegang oleh suatu masyarakat. Jadi memang harus agak berhati-hati dalam membicarakannya, agar orang yang bersangkutan yang menjalankan keyakinan dan tradisi tersebut tidak merasa tersinggung. Mengingat juga bahwa Aba’ bukanlah orang yang berasal dari kampung tersebut.

“Begini Pak Awang, tadi yang saya lihat dan saya ikuti bersama dengan Pak Awang dan penduduk di sini adalah kita melakukan Sembahyang Maghrib sebanyak dua kali, dan Pak Awang sendiri yang menjadi muazzin pada kedua Sembahyang Maghrib tersebut.”

Kemudian Aba’ kembali berhenti sejenak. Sepertinya masih terlihat ketidak-mengertian yang terpancar dari wajah Pak Awang. Sementara Aba’ kembali menyusun kata-kata yang tepat agar Pak Awang mengerti dan tidak merasa tersinggung dengan apa yang Aba’ bicarakan.

Kemudian Pak Awang berkata dengan kebingungannya, “Apa yang Pak Nur katakan ini? Terus-terang saya semakin tak mengerti. Dua azan, dua kali Sembahyang Maghrib, …”

“Tunggu dulu Pak Awang! Bukannya Pak Awang kan yang azan Maghrib tadi?”

“Iya, memang saya.”

“Sedangkan yang azan sebelumnya?”

“Yang sebelumnya kapan ya?”

Aba’ kemudian berhenti sejenak, sambil mengatur nafas dan menyusun kata-kata yang tepat, “Seperti Bapak katakan tadi, bahwa Bapak lah yang azan Maghrib. Mungkin yang Bapak maksud adalah azan Maghrib yang kedua. Nah, yang saya tanyakan kemudian adalah untuk azan Maghrib yang pertama, yaitu kira-kira pukul setengah enam kurang tadi, apakah Bapak juga yang azan? Karena seingat saya, Bapak jugalah yang menjadi mu'azzin pada azan Maghrib yang pertama tadi.”

Pak Awang seperti terlihat mulai mengerti dengan duduk persoalan yang sedang dibicarakan, “Ooowwhh…, jadi yang Pak Nur maksudkan adalah bahwa saya tadi sudah melakukan azan sebanyak dua kali?”

“Betul itu, Pak. Serta Sembahyang Maghribnya tadi juga dua kali,” tegas Aba’.

“Kalau itu yang Pak Nur maksudkan, berarti Pak Nur keliru. Karena saya hanya azan sekali tadi. Dan tidak ada tradisi di kampong ini azan hingga dua kali, apalagi Sembahyang Maghribnya juga dua kali.”

Kemudian, Aba’ lah yang menjadi bingung mendengar penuturan dari Pak Awang itu. “Tapi Pak Awang, tadi saya memang benar-benar melihat dan mengalami semua hal tersebut di langgar ini, dan Bapak lah yang saya lihat pada dua kali azan tadi.”

“Pak Nur tidak sedang mengada-ada, kan?”

“Mengada-ada? Tak ada gunanya, dan juga tak ada untungnya saya mengada-ada, Pak Awang.”

Suasana pun kemudian menjadi hening. Detik-detik seakan berjalan lambat.

* * *

Malam itu, karena sepertinya sudah kemalaman, Pak Awang kemudian menawarkan Aba’ untuk bermalam di rumahnya yang tak jauh dari langgar itu. Di rumah Pak Awang, kami kembali bercerita tentang berbagai hal, juga disertai beberapa orang anggota keluarga Pak Awang. Di kampong, profesi sebagai guru seperti Aba’ ini memang cukup dihormati. Oleh sebab itu pula, wajar saja orang kampong seperti Pak Awang dan keluarganya menerima dengan hangat Aba’ di rumahnya selayaknya seorang tamu, walaupun boleh dibilang mereka baru mengenal Aba’.

Beberapa bulan kemudian, Aba’ masih bertugas di kampong tersebut. Beberapa kali selama bertugas di kampong tersebut, tak jarang Aba’ menemui kejadian yang hampir serupa. Kadang Aba’ menyadari kejadian tersebut, namun kadang juga tak menyadarinya. Beberapa hari kemudian, barulah Aba’ menyadari, bahwa kejadian-kejadian yang dialaminya itu merupakan kejadian-kejadian yang ganjil. Begitulah penuturan Aba’ kepadaku mengenai sepenggal pengalaman hidupnya. [-,-]


Hanafi Mohan
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Ciputat, Senin 10 Desember 2007, 06.00 – 07.22 WIB 
Rabu, 13 Februari 2008, 00.30 – 01.05 WIB


Cerpen ini dimuat di: http://www.hanafimohan.com/


Sumber Gambar: http://syairsiparapara.blogspot.com/


0 ulasan:

Posting Komentar