Senin, 11 Mei 2009

[Cerbung: Senja Merah Jingga] 16- Seni Hadrah

Belajar seni tradisional Melayu adalah bagian terindah di masa kecilku. Tidak tanggung-tanggung, Yah Long selaku guru seni kami mempercayakanku sebagai kepala redat, yang tugasnya adalah mengepalai satu barisan penari redat. Biasanya terdapat empat baris, yang setiap baris dikepalai oleh seorang kepala redat. Dari empat orang kepala redat itu, biasanya terdapat seorang kepala redat yang tugasnya selain mengepalai barisan redatnya, juga menjadi pemberi aba-aba. Redat adalah unsur tarian di dalam seni Hadrah. Sekilas seperti tari Saman dari Aceh.

Hadrah adalah seni Melayu yang kental dengan nuansa ajaran Islam. Syair-syairnya berisikan pujian-pujian terhadap Nabi Muhammad, serta sejarah hidup Nabi Muhammad. Dari syair-syair hadrah, sedikit banyak kami anak-anak yang menyenandungkan syair-syair indah itu jadi mengetahui sejarah Rasulullah. Kami jadi tahu, bahwa ketika Nabi Muhammad lahir, bahwa api abadi di Persia ketika itu tiba-tiba menjadi padam.

Melalui seni hadrah, kami secara tidak langsung diajarkan untuk mencintai Rasulullah. Selain itu, kami juga harus bisa mengaji (membaca Alquran), karena syair-syair zikir hadrah menggunakan Bahasa Arab yang secara otomatis juga ditulis menggunakan aksara Arab. Namun ada juga syair zikir hadrah yang menggunakan Bahasa Melayu, yang kadang ditulis dengan aksara latin, tapi kadang juga ditulis dengan aksara Arab Melayu. Karena itulah, kami juga harus bisa membaca aksara Arab Melayu.

Ada beberapa unsur penting di dalam seni Hadrah, yaitu tar (alat musik sejenis rebana), syair zikir hadrah, dan redat. Tar dimainkan oleh tiga orang yang dinamakan "pembawa". Selain memainkan tar, "pembawa" juga menyenandungkan syair zikir hadrah. Sedangkan penari redat tugasnya selain menari, juga menyenandungkan syair zikir hadrah. Ketika tar belum dimainkan, maka yang menyenandungkan syair zikir hadrah adalah "pembawa", namun ketika tar dimainkan, maka yang menyenandungkan syair zikir hadrah adalah penari redat yang menyenandungkannya sambil melakukan tarian redat.

Izhar yang tak lain merupakan teman, keponakanku, dan juga cucunya Yah Long merupakan seorang "pembawa" andalan kami. Bersama dua orang lainnya, yaitu sepupunya Izhar bernama Syahrani, dan juga teman kami yang lain bernama Harmanyah, maka mereka bertiga memang benar-benar menjadi andalan kami. Di tangan mereka bertiga lah tempo syair dan gerakan kami para penari redat ditentukan. Salah sedikit saja dari pukulan tar yang mereka mainkan ataupun syair hadrah yang mereka senandungkan, maka akan kacau balaulah tarian yang kami lakukan dan syair yang kami senandungkan.

***

Pada masa itu, kami sering menjadi utusan untuk mengikuti berbagai perlombaan Hadrah yang biasanya diadakan di Istana Qadriah Kesultanan Pontianak. Perlombaan tersebut biasanya diadakan untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad, hari kemerdekaan Indonesia (17 Agustusan), dan juga Hari Jadi Kota Pontianak. Syair Hadrah yang dibawakan tentunya disesuaikan dengan moment peringatan (perayaan) yang dimaksud. Karena itulah, selain mengetahui sejarah hidup Nabi Muhammad, melalui syair zikir hadrah kami juga jadi mengetahui sejarah kemerdekaan Indonesia dan juga sejarah berdirinya kota kami. Misalkan, di dalam syair itu disebutkan, bahwa armada yang dipimpin oleh Syarif Abdurrahman Al-Qadri (pendiri dan sultan pertama Kesultanan Pontianak) sampai di Batulayang pada waktu subuh hari. Sampai di tempat itu, mereka melakukan sembahyang shubuh. Dari Batulayang, Syarif Abdurrahman memerintahkan kepada anak buahnya untuk menembakkan peluru meriam. Tempat jatuhnya peluru meriam nantinya akan dijadikan sebagai tempat bermukim. Ketika ditelusuri, ternyata peluru meriam jatuh di daerah persimpangan Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Di tempat tersebutlah kemudian didirikan Masjid Jami' Kesultanan Pontianak, dan tak jauh dari Masjid Jami' kemudian didirikan Istana Kesultanan. Hal ini kuketahui pertama kali melalui syair zikir hadrah.

Ketika syair zikir hadrah akan memasuki bait-bait yang berbunyi "sampai di Batulayang pada waktu subuh hari", maka terdapat jeda beberapa saat. Pada jeda inilah, aku sebagai salah seorang Kepala Redat berdiri, kemudian mengumandangkan azan shubuh. Setelah azan shubuh dikumandangkan, kami pun kembali menari sambil melantunkan syair zikir hadrah yang diiringi bunyi tar. Entah mengapa Yah Long memilihku untuk mengumandangkan azan. Mungkin beliau tahu bahwa suaraku cukup merdu melantunkan azan dibandingkan teman-temanku yang lainnya.

***

Yah Long yang tak lain adalah pamanku itu akan selalu diingat oleh orang-orang di kampongku sebagai seorang pelestari seni tradisional daerah kami. Di tengah derasnya hantaman budaya asing yang menyerbu menggilas setiap sendi kehidupan anak bangsa, Yah Long menjadi pahlawan bagi kami, yang berdiri pada garda terdepan menghalau serbuan demi serbuan budaya asing. Beliau bagi kami adalah orang tua yang selalu membimbing kami untuk selalu menjaga marwah Bangsa Melayu. Beliau adalah guru kami yang selalu mendidik kami dengan ketinggian budi pekerti, dengan keindahan seni budaya Melayu yang mempesona.

Sosoknya mungkin takkan tergantikan di hati kami. Dari tangan dinginnya, kami kemudian menjadi anak-anak Melayu yang akan selalu bangga dengan seni budaya daerah kami. Melalui dirinyalah, kami merasa beruntung dan bahagia telah dilahirkan sebagai anak-anak orang Melayu, yang dibesarkan dalam lingkungan budaya Melayu yang begitu kental. #*#


[Hanafi Mohan – Ciputat, April-Mei 2009]


Cerita sebelumnya

Kembali ke Daftar Isi

0 ulasan:

Posting Komentar