Bulan puasa adalah bulan yang istimewa bagi seluruh umat Islam, tak terkecuali bagi orang-orang di kampongku. Bulan yang penuh berkah ini disambut dengan begitu rupa. Masing-masing kampong biasanya mempunyai tradisi tersendiri dalam mengistimewakan bulan puasa.
Secara umum di kotaku, bulan puasa memang menjadi bulan yang istimewa di masyarakat. Ada hal-hal yang biasanya hanya ada pada bulan puasa seperti pasar juadah dan keriang bandong ("keriang" diucapkan orang Melayu dengan "keghiang" seperti lafal mengucapkan huruf "ghain" pada aksara Arab). Pasar juadah adalah pasar khusus menjual kue-kue untuk berbuka puasa (dalam Bahasa Melayu Pontianak, "juadah" artinya adalah kue). Di pasar juadah ini dijual bermacam ragam kue khas orang Melayu. Sedangkan keriang bandong adalah semacam seni menghias lampu (menggunakan pelita ataupun obor, tapi kini juga dimodifikasi menggunakan lampu listrik). Di kedai ataupun di pasar, pedagang biasanya menambah jualannya dengan jualan khas bulan puasa seperti kincau.
Khusus di kampongku, subuh bulan puasa adalah saat-saat yang ramai, terutama oleh anak-anak. Entah mengapa, kami menjadi begitu bergembira pada saat bulan puasa. Ada sesuatu yang begitu istimewa bagi kami di bulan tersebut, yaitu sesuatu yang sulit sekali untuk dideskripsikan. Selain subuh, malam bulan puasa juga adalah saat yang terindah bagi kami.
Jika di Indonesia mengenal dua musim, yaitu musim panas dan musim hujan, maka kami anak-anak Melayu juga mengenal musim permainan. Khusus pada bulan puasa, maka adalah musim permainan meriam karbit (meriam diucapkan "meghiam", seperti mengucapkan huruf "ghain" di dalam aksara Arab, karbit diucapkan "kaghbet"). Kami membuatnya dari buloh (bambu), kadang juga dari kaleng. Biasanya kami mendapatkan buloh dari hutan yang masih banyak di kampong kami ketika itu. Jika tak mendapatkan buloh dari hutan di kampong kami, maka kami mencarinya di kampong lain.
Sebagai bahan peledaknya adalah karbit yang dicampur dengan air. Untuk meledakkannya, maka harus disulut dengan api. Bukan hanya sekedar memainkannya, tapi kami juga melakukan semacam permainan perang-perangan. Yang kami adu adalah bunyinya. Semakin nyaring bunyinya, maka akan semakin bagus. Tidak ada pemenang dalam peperangan meriam karbit ini. Waktu memainkan permainan ini biasanya subuh dan malam hari. Namun terkadang juga ada yang memainkannya pada siang atau sore hari.
Khusus bagi budak-budak laot, perancang meriam kami yang paling handal adalah Izwar. Entah dari mana ia mendapatkan keahlian itu. Meriam karbit rancangannya pastilah mantap jika dimainkan. Selain itu, ia juga bisa menakar komposisi karbit dan air yang pas. Sehinga dapat dipastikan, meriam rancangannya dan meriam yang komposisi karbit dan air yang ditakarnya akan menghasilkan bunyi ledakan meriam yang begitu nyaring. Selain itu, Izwar juga bisa mengira waktu yang pas untuk menyulut api ke meriam. Karena jika waktunya tidak pas, walaupun meriamnya bagus dan takaran karbit serta airnya pas, maka tetap saja akan menghasilkan bunyi yang biasa-biasa saja, bahkan bisa jadi tidak berbunyi. Kalaupun berbunyi, maka bunyinya begitu pelan seperti bunyi kentut. Bunyi yang seperti ini kami sebut "keleput".
Puncak dari permainan meriam karbit adalah di malam takbiran. Kali ini, bukan lagi meriam berukuran kecil yang terbuat dari buloh ataupun kaleng yang biasa kami anak-anak mainkan, melainkan berukuran besar dan panjang yang terbuat dari kayu log. Ukurannya antara 3 hingga 5 meter, dengan diameter 40 hingga 60 centimeter (bahkan ada yang lebih panjang dan lebih besar lagi). Yang memainkan pun bukan lagi anak-anak, melainkan orang dewasa. Namun terkadang juga anak-anak tetap dilibatkan dalam permainan ini.
Pada malam takbiran, jangan ditanya lagi Pontianak seperti apa. Jika kita sedang berada di tempat yang sedang dilanda perang, maka keadaannya mungkin seperti itu, walaupun hanya sebatas bunyi ledakan meriam yang menggelegar. Tapi hal itu sudah cukup membuat orang yang baru datang ke Pontianak akan terperangah melihatnya. Tradisi meriam karbit di malam lebaran ini adalah tradisi massal di sepanjang Sungai Kapuas. Sebelah menyebelah di kedua sisi sungai akan didapati grup-grup meriam karbit yang jumlahnya bisa mencapai puluhan grup. Setiap grup bisa memiliki 5 hingga 10 meriam.
***
Orang kampongku memiliki rasa bahasa yang cukup unik. Segala hal yang khas pada suatu masa kadang dikaitkan dengan hal khas lainnya di masa itu. Misalkan di bulan Ramadhan adalah saat diwajibkannya orang-orang Islam berpuasa. Karena itulah, jika ada yang tidak berpuasa, maka hal tersebut cukup memalukan bagi orang yang bersangkutan. Agar tak terlalu menyinggung bagi yang tidak berpuasa, maka terciptalah istilah khusus untuk menamakan tindakan tidak berpuasa. Istilah tersebut juga memang sangat khas berkaitan dengan tradisi ketika bulan Ramadhan, yaitu tradisi membunyikan meriam.
Dalam hal ini, tindakan tidak berpuasa dikaitkan sebagai tindakan anak-anak. Karena itulah, tindakan tidak berpuasa kemudian diasosiasikan dengan permainan anak-anak ketika bulan yang suci ini. Permainan yang dimaksud adalah permainan meriam karbit yang terbuat dari buloh, yang biasanya kami sebut sebagai "bedel buloh". Maka orang yang tidak berpuasa kemudian disebut "bedel buloh". Istilah lainnya adalah "mbedel", artinya hampir sama, namun lebih singkat, dan terkadang maksudnya lebih menukik. Istilah lainnya lagi yaitu "Nyucol".
Bagi orang yang ketahuan sedang makan di siang hari bulan Ramadhan, apalagi terang-terangan dan tidak malu-malu, maka bagi yang melihat dan mengetahuinya biasanya akan meneriakkan kata yang menirukan bunyi meriam, yaitu "tuuummm" atau "duuummm". Kadang juga diteriakkan berturut-turut beberapa kali seperti bunyi beberapa meriam yang dibunyikan berurutan. Kadang juga ditambahkan dengan suara gemanya, sehingga berbunyi "tuuummm kakakaka". Orang yang makan di siang hari bulan Ramadhan itu biasanya juga disindir dengan kata-kata (seringnya berupa gurauan), bahwa bunyi bedelnya sangat nyaring.
Jika ada orang kampong lain yang sedang berada di kampongku, terkadang mereka tak mengerti dengan istilah-istilah seperti ini, karena memang di kampong mereka tak ada istilah yang seperti itu. Orang-orang kampongku bisa dengan leluasa dan dinamisnya membuat istilah-istilah dan juga tradisi-tradisi Melayu yang unik karena memang secara mayoritas penduduk kampongku adalah orang-orang Melayu yang masih asli. Sistem kekerabatan dan bahasa Melayunya masih begitu kental, dan sangat sedikit terjadi percampuran dengan unsur suku lainnya. Kalau ada yang melakukan perkawinan beda suku, maka ujung-ujungnya unsur Melayu di dalam keluarga tersebut akan lebih kental dibandingkan dengan unsur-unsur lainnya. Atau kalau tidak, unsur-unsur lain itu akan diserap secara kreatif menjadi sesuatu yang khas Melayu. Asimilasi dan akulturasi budaya tersebut terjadi secara alamiah dari dahulu hingga kini. #*#
[Hanafi Mohan – Ciputat, Maret-April 2009]
Cerita sebelumnya
Kembali ke Daftar Isi
Rabu, 06 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 ulasan:
Posting Komentar