Sabtu, 18 April 2009

[Cerbung: Senja Merah Jingga] 12- Berkomplot di Atas Sampan


Selain berteman dengan tiga budak-budak laot, aku juga berteman akrab dengan seorang anak kemanakku yang umurnya sebaya denganku. Namanya Izhar. Ia adalah anak dari kakak sepupuku, yang berarti ia adalah cucu dari pak mudeku. Tak lain dan tak bukan, Izhar adalah cucu dari pak mude tertuaku yaitu Yah Long. Pertemananku menjadi akrab dengan Izhar gara-gara kami sekelas ketika bersekolah di madrasah diniyah awaliyah.

Seharusnya Izhar memanggilku "Pak Mude" (atau di dalam keluarga berdasarkan sistem kekerabatan Melayu, maka anak kemanakku lazim memanggilku "Pak Andak"), karena aku adalah sepupu dari ibunya. Tapi karena masyarakat Melayu adalah masyarakat yang egaliter dan sistem kekerabatannya pun tidak kaku, maka tak ada permasalahan ketika seorang Izhar yang tak lain adalah anak-kemanakku hanya memanggilku dengan sebutan nama. Umurku dengannya persis sama, paling-paling hanya lebih tua dia beberapa bulan dariku.

Begitu egaliternya masyarakat Melayu, bahkan ada juga anak-kemanakku (anak kakak sepupuku) yang kupanggil dengan sebutan "abang" yang ini dikarenakan umurnya lebih tua dariku. Keunikan seperti ini juga dialami oleh kerabatku yang lain. Ada anak-kemanakku (anak kakak sepupuku) yang berada pada sisi kebingungan untuk memanggil dua orang mak mudenya (saudara perempuan ayahnya). Satu sisi adalah saudara ayahnya, sekaligus di sisi lain juga adalah isteri dari saudara akinya/datoknya (yang pertama), dan juga isteri dari saudara uwannya/neneknya (yang kedua). Sepertinya yang terakhirlah yang mereka ambil, yaitu memanggil dengan sebutan nenek terhadap dua orang orang yang tak lain adalah mak mudenya (saudara perempuan dari ayahnya).

* * *

Pada waktu masa kecilku, aku selalu ingin mencoba hal-hal yang baru, bahkan mungkin hal-hal yang tabu ataupun dilarang. Semakin tabu dan dilarangnya hal tersebut, maka aku semakin tertantang untuk melakukannya.

Suatu sore, Izhar yang merupakan anak kemanakku sekaligus temanku itu datang ke rumahku. Entah apa gerangan maksud kedatangannya ketika itu. Tapi yang kulihat, ia membawa dua buah pancing beserta jurannya. Tak salah lagi, Izhar mengajakku memancing. Selain membawa alat pancing, Izhar juga membawa sekantong makanan kecil, serta kopi dan gula. Begitu lengkapnya bawaan Izhar, bagaikan mau berangkat piknik. Bagi kami anak tepian sungai, tak ada kata piknik, rekreasi, ataupun liburan secara khusus dalam keseharian kami, karena setiap hari bagi kami adalah indah, setiap hari adalah piknik, rekreasi, ataupun liburan. Tak lain dan tak bukan, Sungai Kapuas lah tempat terindah bagi kami sebagai tempat mencari hiburan.

Biasanya kami memancing cukup duduk atau nyangkong saja di atas gertak, ataupun biasa juga menyelusup ke bawah rumah di tepian sungai. Kali ini, Izhar mengajak memancing menggunakan sampan. Hal ini karena ia ingin mendapatkan ikan lebih banyak dari biasanya dan mencari suasana baru. Kebetulan ayahku memiliki sampan, sehingga kami tak susah-susah meminjam ataupun menyewa dari orang lain.

Tujuan kami kali ini adalah tiang Jembatan Kapuas yang lazimnya kami sebut "pilar", "pila", ataupun "gardu". Selain tempatnya cukup teduh, memang biasanya tempat itu dijadikan sebagai tempat pemancingan ataupun menjala ikan. Dan entah mengapa, di tempat itu juga selalu banyak ikan. Karena itu, tak salah lah pilihan kami kali ini.

* * *

Sebenarnya, memancing bukanlah kegiatan yang terlalu kusukai. Entah mengapa, mungkin karena aku jarang mendapatkan ikan ketika memancing. Kegiatan mencari ikan yang paling kusukai adalah menjala. Mungkin karena ikan hasil tangkapan menjala bisa lebih banyak, walaupun bukanlah aku yang secara langsung menjala, melainkan abangku, sedangkan aku hanya menemani, atau paling tidak menjadi tukang kayuh sampan/juru mudi sampan.

Tak dinyana lagi, Izhar lah yang lebih sering mendapatkan ikan, sementara aku sangat jarang sekali mendapatkan hewan air yang satu ini. Sebelum berangkat tadi, kopi dan gula yang dibawa oleh Izhar sudah kuramu menjadi air kopi yang cukup nikmat. Begitulah setidaknya yang diakui oleh Izhar, bahwa air kopi buatanku cukup enak. Hal ini tak lain karena air kopi menjadi minuman wajib di dalam keluargaku, sehingga aku secara otomatis harus bisa meramu kopi dan gula menjadi minuman yang enak.

Oh ya, sebelum berangkat memancing tadi, Izhar menunjukkan kepadaku sebungkus rokok. Mungkin inilah yang menjadi daya tarik dalam kegiatan memancing kami. Sehingga bukan memancing tujuan utama kami, melainkan tujuan terpenting kami adalah merokok. Namun, mengapa kami harus repot-repot memancing kalau hanya sekedar untuk merokok? Ini tak lain karena merokok masih tabu dan terlarang bagi kami yang masih anak-anak. Kalau ketahuan oleh orang tua kami ataupun oleh abang-abang kami ataupun oleh kerabat kami yang lebih tua, maka pasti kami akan dimarahi, walaupun biasanya mereka itu perokok juga. Inilah yang membuat kami penasaran akan hal yang satu ini. Semakin ia dilarang bagi kami, maka kami semakin tertantang untuk melakukannya.

Kami heran, mengapa mereka boleh merokok, sedangkan kami dilarang. Apakah merokok itu perbuatan tercela? Kalau memang perbuatan tercela, mengapa mereka para orang dewasa itu boleh melakukannya, sedangkan untuk kami anak-anak dilarang habis-habisan.

Tak ada jalan lain untuk mencoba hal ini selain kami harus diam-diam dan sembunyi-sembunyi. Maka kami jadikanlah kegiatan semacam memancing sebagai kedok untuk merokok. Kami merasa dengan cara memancing ini cukup aman agar kami tak ketahuan merokok. Dan untuk itu, kami mencari tempat yang cukup nyaman dan aman itu semisalkan di tiang Jembatan Kapuas.

* * *

Hal ini sering kami lakukan. Jika jemu dengan memancing, maka kami mencari cara lain sebagai kedok untuk merokok, asalkan jangan sampai ada kerabat kami yang mengetahui bahwa kami merokok. Dan semua itu kami lakukan lumayan berhasil, karena hingga kini tak ada satupun kerabat kami yang mengetahui bahwa aku dan Izhar sudah menjadi perokok di usia kami masih belia.

Pada waktu itu, Izhar lah yang paling pandai merokok, sedangkan aku tak lebih hanyalah orang yang baru mencoba-coba. Ketika itu, aku belum bisa mengatur cara menghembuskan asap rokok, karena lebih seringnya aku menghembuskan dari mulut. Jika aku mencoba untuk menghembuskan dari hidung, maka aku pun akan terbatuk-batuk. Lain lagi dengan Izhar, ia sudah bisa menghembuskan asap rokok dari hidung. Bahkan bukan hanya itu, hembusan asap rokoknya itu bisa dibentuk menjadi bermacam ragam model. Entah dari manakah Izhar mempelajarinya. Beberapa kali aku mencobanya, tapi lagi-lagi hanya suara batuklah yang keluar dari mulutku.

Sebenarnya ada hal lain yang cukup mengganjalku ketika itu, dan mungkin juga Izhar. Hal itu adalah kebohongan. Aku selalu diajarkan oleh kedua orang tuaku untuk selalu jujur. Aku sendiri ketika itu merasa, bahwa hal yang kami lakukan ini adalah suatu dosa. Ketika merokok, terbayang wajah kedua orang tuaku, terbayang wajah Allahyarham Encek Zaidah, terbayang wajah guru-guru SD ku, terbayang wajah guru-guru madrasah-ku. Seakan-akan aku telah mengkhianati mereka. Seakan-akan aku telah melanggar ajaran-ajaran kebaikan dan akhlak yang telah mereka tanamkan kepada diriku.

Pada saat itu aku merasa, bahwa akulah manusia yang paling nista dan hina di dunia ini. Seakan-akan seluruh isi dunia mengutuk perbuatanku. Di depan kedua orang tuaku, aku selalu bersikap sebagai anak yang baik. Tapi lihatlah, di belakang mereka, aku berubah menjadi anak pembangkang. Dengan asyiknya bersama dengan anak-kemanakku, kami berkomplot melakukan perbuatan itu. Entah dari manakah ajaran ini kami dapatkan. Yang pasti, dari sekolah dan madrasah kami tak pernah mendapatkan ajaran seperti ini. Orang tua dan para kerabat kami juga tak pernah mengajarkan hal ini.

Untuk menyenangkan hati ayahku, setiap kali pulang dari memancing, kami selalu membawa kayu bakar, karena memang hasil pancingan kami begitu sedikitnya. Karena memang bukan memancinglah tujuan utama kami sebenarnya, melainkan merokok. Agar bau mulut kami tak kentara berbau rokok, maka Izhar sudah menyiapkan permen (kami lazim menyebutnya "sekelat" ataupun "kulom-kulom") untuk menutupi bau mulut kami. Selain itu, air kopi juga cukup efektif untuk menutupi bau rokok itu. Dengan cara seperti ini, maka tak ada seorang pun yang mengetahui bahwa kami merokok.

Lihatlah, betapa rapinya kami melakukan semua itu. Komplotan antara pak mude dan anak-kemanaknya ini pun terus berlanjut. Hingga pada masa-masa tertentu kami pun bosan untuk melakukannya lagi. Sesuatu yang dilakukan secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi memang kadang mengasyikkan dan begitu menantang. Tetapi ketika hal itu sudah tak lagi menjadi tantangan, maka lambat laun akan ditinggalkan. Yang ada kemudian adalah kebosanan.

Begitulah yang kurasakan sebagai anak Melayu tepian Sungai Kapuas. Hiburan bagi kami ketika itu sangat minimnya, sehingga kami memang harus pandai-pandai berinovasi menghadirkan sesuatu sebagai hiburan. Tak terkecuali hal-hal menantang seperti merokok juga bisa kami jadikan sebagai hiburan di tengah minimnya hiburan yang bisa kami dapatkan. #*#


[Hanafi MohanCiputat, medio April 2009]


Cerita sebelumnya

Kembali ke Daftar Isi


Sumber Foto/Gambar Ilustrasi: Dokumentasi/Koleksi Foto Ab Derraman Bein MadNatserr

2 ulasan:

  1. You have really great taste on catch article titles, even when you are not interested in this topic you push to read it

    BalasHapus
  2. Thank you. Hopefully useful and continue to read my writing.

    BalasHapus