Aku adalah satu dari sekian anak Melayu yang beruntung di atas bumi ini, karena sedari kecil memang hidup dan dididik dalam adat resam budaya Melayu. Semenjak kecil, aku sudah ditanamkan begitu rupa kesadaran untuk menjaga, melestarikan, dan mengembangkan budaya kami. Keluarga besar kami adalah sedikit dari keluarga yang memiliki kesadaran tinggi untuk hal ini. Orang yang berada di garda terdepan dalam hal ini adalah pak mudeku (abang dari ayahku) yang tertua, yaitu Haji Muhammad Qasim bin Haji Muhammad Buraa'i. Kami biasa memanggilnya Yah Long (Long adalah panggilan untuk anak tertua. Yah adalah singkatan dari ayah. Bagi kami, pak mude-pak mude kami juga adalah seperti ayah kandung kami sendiri).
Yah Long adalah mantan Kepala' Kampong kami. Beliau juga dahulunya adalah pejuang kemerdekaan. Perjalanan perjuangannya telah membawa dirinya hingga ke Pulau Jawa, Kalimantan Selatan, bahkan hingga ke Negeri Siam (Thailand). Ini kuketahui dari cerita ayahku.
Pak mudeku yang tertua inilah yang mendidik kami anak-anak Melayu ini untuk selalu menjaga marwah bangsa kami. Sedari kecil kami selalu dididiknya untuk hal ini. Lantunan syair hadrah, hentakan bunyi tar, dan tarian redat, itulah sedikit dari sekian banyak yang selalu diajarkannya kepada kami, selain juga beladiri silat Melayu yang juga diajarkannya.
Kami melalui ketelatenan Yah Long sudah menjadi duta budaya Melayu sejak usia belia. Tak jarang kami menampilkan pertunjukan seni hadrah di Istana Qadriyah Kesultanan Pontianak. Kelompok hadrah kampong kami adalah salah satu kelompok hadrah yang cukup dikenal se-Negeri Pontianak, hal ini antara lain karena kelompok hadrah kampong kami sering menjuarai pertandingan hadrah se-Negeri Pontianak, maupun se-Borneo Barat. Selain itu, kelompok hadrah kami juga pernah diutus menjadi duta budaya hingga ke Negeri Sarawak-Malaysia Timur (Borneo Utara).
Saking cintanya dengan seni Hadrah, suatu ketika, aku bersama tiga orang temanku di madrasah, yaitu: Izhar (keponakanku yang merupakan anak kakak sepupuku, cucu Yah Long), Ramli (kerabat jauhku), dan Jemi (kerabat jauhku, adiknya Pak Arif yang merupakan Kepala Madrasah menggantikan Tok Abu) bolos dari madrasah pada jam sembahyang Ashar. Ini semua kami lakukan demi berlatih seni hadrah yang tak berapa lama waktu itu kami akan melakukan pertunjukan di Istana Qadriyah.
Gara-gara ini, pak mudeku (adik dari ayahku, yang merupakan ketua yayasan yang menaungi madrasah) yang juga mengajar pelajaran Alquran memarahi kami pada saat jam pelajarannya di kelas. Terus-terang, aku malu sekali dengan teman-teman sekelas ketika itu. Tapi begitulah keadaannya. Semua itu kami lakukan karena begitu cintanya kami dengan seni budaya daerah kami.
* * *
Perkembangan seni budaya di Kota Pontianak memang kadang tak selalu berjalan mulus. Tapi untung saja, masih ada sebagian masyarakat yang memiliki kesadaran tinggi untuk melestarikannya. Ini kucermati tak lain karena memang kegigihan masyarakatlah yang berkeras untuk hal tersebut.
Hingga kini aku selalu bersyukur kepada Tuhan, karena pernah hidup di lingkungan yang memiliki kesadaran tinggi dalam melestarikan Budaya Melayu. Dalam lingkungan yang seperti itu aku dibesarkan dan dididik, sehingga kemudian mengalir dalam diriku penghargaan terhadap budaya. Bahkan hal ini berguna ketika aku berada di negeri rantau.
Ketika aku berada di negeri yang notabene bukanlah negeri berbudaya Melayu, maka kemudian muncul kesadaranku untuk juga menghargai budaya tempatku berada ketika itu. Aku bahkan kadang begitu tertarik untuk terlibat dalam budaya tersebut, terutama seni musiknya. Pernah kubayangkan seandainya aku bisa memainkan alat musik tradisional dari berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia. Pernah juga kubayangkan seandainya aku bisa memainkan alat musik dari berbagai bangsa di dunia.
Entah bagi anak-anak yang tak pernah hidup dan dididik dalam naungan budaya, mungkin mereka akan kebingungan menjejakkan kakinya. Mereka bingung, karena mereka terlepas dari akar budayanya. Mereka akan selalu menganggap sesuatu yang berasal dari luar itu adalah sesuatu yang baik. Mereka akan menelan mentah-mentah hal itu, karena mereka tak pernah tahu keluhuran budaya daerah mereka, keluhuran budaya nenek moyang mereka. Mereka pun kadang tak menghargai budaya daerah mereka sendiri. Kalau sudah seperti ini, maka mereka pun takkan menghargai budaya daerah lain. Yang akan mereka hargai tak lain adalah budaya nge-pop dan hedonisme. #*#
[Hanafi Mohan – Ciputat, medio Februari 2009]
Cerita sebelumnya
Kembali ke Daftar Isi
panggilannya apa nih?pak long?..aku juga orang melayu"tatangga kali ya!!!".ok seni baik sekali,aku waktu dirumah gak tau seni2seni seperti ini,tapi dimalaysia,bawaan orang jawa seni seperti rebbana ,sholawat udah menjdai santapan pengalamanku disini tiap harinya..
BalasHapuswww.youtobe.com/asmadias
disini adalah rebanna yang dibawakan oleh team remaja masjid TKI dimalaysia...salam kenal.succes keep blogging and smile always...
Panggel ja' Pak Anda', artinye mungkin awak tau sendiri. Orang MElayu hrs tau arti panggelan-panggelan itu: Along, Angah, Ude, Uteh, Cik, Uneng, Anda', Itam, Anjang, Itam, Usu, dan maseh banyak lagi.
BalasHapusKalau di Kampongku di Kota Pontianak, kesenian rebana disebut sebagai Kesenian Hadrah dan Redat, dan itu adalah kesenian asli orang Melayu di Pontianak-Kalimantan Barat. Selain di Pontianak, juga dikenal di setiap kota.kabupaten di Kal-Bar.
Kesenian rebana dari daerah lain semisalkan dari Jawa sepertinya agak berbeda dengan kesenian Hadrah ala orang Melayu di Kal-Bar. Kesenian Hadrah orang Melayu lebih rancak, lebih bersemangat, dan lebih indah, apalagi dipadu dengan gerakan redat yang merupakan gabungan gerakan tari Melayu dan silat Melayu seperti yang ada di Kampongku di Kota Pontianak, dan itu kami pelajari sejak kami kecil.
Sayang sekali awak di Sambas tak pernah mengenal kesenian Hadrah, padahal itu adalah kesenian yang sangat khas Melayu.
BEruntunglah saya yang sudah kenal dan mempelajari kesenian Melayu ini sejak usia saya dini.