Membaca dan menulis adalah dua kegiatan yang saling mengisi. Bagi para penulis, membaca adalah kegiatan yang begitu penting selain daripada kegiatannya menulis. Entah bagi para pembaca yang bukan penulis, apakah menulis juga menjadi bagian tersendiri selain dari kegiatannya membaca. Tapi sedikit banyak biasanya ada keinginan dari pembaca yang bukan penulis untuk juga menulis, walaupun keinginan itu kecil sekali porsinya, dan mungkin hanya muncul di benaknya.
“Sejarah Menulis …,” ah …, begitu besar sekali judul tulisan ini, walaupun isinya hanya kecil dan biasa saja. Keinginan menulis ini muncul begitu saja setelah aku membaca beberapa tulisan Eka Kurniawan di blognya, dan juga membaca biografi kepenulisannya.
Dulu, ketika masih SMP (atau mungkin juga masih SD), bersama abangku, iseng-iseng kami mempelajari buku primbon dan mujarabat milik ayahku (ayahku meninggal dunia ketika aku kelas tiga SMK/STM). Dalam hal mempelajari primbon ini, ternyata abangkulah yang jadi paling jago dan cepat menguasai hitung-hitungan untuk meramal seseorang berdasarkan ilmu perbintangan pada primbon tersebut.
Dari buku primbon dan mujarabat milik ayahku yang aku dan abangku pelajari itulah, aku kemudian mengetahui ramalan mengenai diriku. Diramalkan di situ, bahwa nantinya aku akan menjadi juru tulis. Diramalkan juga, bahwa nantinya aku akan merantau, berlayar, dan beberapa ramalan lainnya.
Terlepas dari benar atau tidaknya ramalan itu, tepat atau tidaknya yang telah termaktub di buku primbon dan mujarabat tersebut, aku kemudian memang merantau ke tanah Jawa, ke Kota Metropolitan Jakarta, dipercayakan menjadi juru tulis, dan sekretaris di organisasi yang pernah kugeluti. Semuanya ini tadinya mungkin hanya menjadi khayalan dan mimpiku. Atau juga mungkin tak pernah kukhayalkan dan mimpikan, namun kemudian perjalanan hidup berkata lain. Aku yang tak lebih hanyalah anak kampung di pesisir Sungai Kapuas Kota Pontianak, dari keluarga yang pas-pasan (atau lebih tepatnya dikatakan sebagai keluarga miskin), kemudian melalui jalan yang tak kusangka-sangka telah membawaku untuk merantau ke Jakarta, kemudian kuliah pada salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta.
Sebelum berangkat ke Jakarta, abangku menghadiahkan sebuah buku yang cukup tebal, yang kemudian buku itu kujadikan sebagai buku diary. Dari sinilah aku mulai rajin menulis diary. Betapa Jakarta merupakan tonggak awal hobiku menulis, dan itu harus kuakui. Semenjak di Jakarta lah, berhubungan dengan pekerjaanku pada sebuah rental komputer milik abang sepupuku, maka menulis menjadi bagian tersendiri dari hidupku. Setiap hari aku mengetik naskah makalah, bahkan skripsi. Kegiatan menyunting tulisan sudah menjadi keseharianku ketika itu, sedangkan saat itu aku belum kuliah.
Dari hobi menulis diary inilah, jari-jariku ringan saja kalau menulis. Ketika kuliah, jika teman-temanku mengalami problem yang begitu akut ketika menulis, maka sebaliknya, aku tidak mengalami problem tersebut.
Kemudian, hobiku menulis beranjak kepada bentuk yang lain, yaitu puisi, dan kemudian juga menulis lirik lagu untuk kumainkan di band kelas yang kugawangi ketika itu. Karena hobi menulis puisi inilah, pernah dua kali aku membacakan puisi karyaku di hadapan orang banyak. Yang pertama adalah ketika acara inaugurasi anggota baru organisasi ekstra kampus yang pernah kugeluti, yang ketika itu tulisanku yang berupa catatan harian juga diumumkan sebagai pemenang pertama lomba penulisan catatan harian yang diadakan oleh pengurus cabang organisasi ekstra kampus yang kugeluti itu. Yang kedua adalah ketika acara malam penutupan kegiatan Kuliah Kerja Sosial (KKS) pada sebuah desa di Provinsi Banten.
Dari hobi menulis puisi, kemudian perjalanan menulisku bergerak ke arah prosa. Tadinya aku tertarik untuk menulis Non Fiksi semacam Essay ataupun Opini. Mencoba beberapa kali menulis Non Fiksi, ternyata kurasakan bahasa tulisanku tak mengalir dengan lancar. Belakangan ini barulah aku menemukan tempat berlabuh yang tepat, yaitu Fiksi. Bahasa tulisanku ternyata bisa mengalir dengan lancar di Fiksi. Tadinya aku juga tak menyangka bisa menulis semacam Cerpen, karena jangankan menulis Cerpen, membaca Cerpen pun aku jarang. Dalam bayanganku, untuk bisa menulis Cerpen itu tidaklah mudah. Ternyata setelah dijalani, tak serumit bayanganku sebelumnya. Hanya perlu inspirasi dan imajinasi untuk melakukan semua itu (dan yang pasti juga kemauan).
Kini, setelah lancar menulis Fiksi, ketika kemudian aku menulis Non Fiksi, maka bahasa tulisanku di Non Fiksi pun menjadi lebih lancar. Kini, aku ingin menulis apa saja. Apa saja yang menurutku menarik, maka akan kutulis. Sehingga kadang aku merasakan, bahwa setiap hembusan nafasku adalah kata-kata: kadang berdetak seirama dengan detakan jantung, kadang berdenyut bersama dengan denyutan nadi, dan terkadang juga mengalir seiring dengan aliran darah. Seorang sastrawan pernah mengatakan, bahwa karya-karyanya adalah anak rohaninya. Layaknya seorang anak, maka kita juga harus menyayangi anak-anak rohani yang telah kita lahirkan itu. [Hanafi Mohan]
Ciputat, Selasa – 26 Agustus 2008
0 ulasan:
Posting Komentar