Selasa, 07 Juli 2009

[Cerbung Senja Merah Jingga] 21- Ledakan di Malam Takbiran

Pada era 90-an, permainan meriam karbit yang sudah menjadi tradisi masyarakat Pontianak pernah dilarang oleh aparat pemerintahan dan aparat keamanan setempat. Entah mungkin ketika itu yang menjadi walikotanya bukanlah orang Pontianak (bukan orang Kalimantan) dan aparat keamanan pun kebanyakan didatangkan dari luar Kalimantan, sehingga mereka tak tahu bahwa meriam karbit adalah tradisi di kota kami. Bukan hanya pada era-90-an, pada era-era sebelumnya, permainan rakyat ini memang sudah begitu dilarang. Setiap malam lebaran, ada saja terdengar letusan pistol di pesisir Kapuas. Tak lain dan tak bukan itu adalah letusan pistol aparat keamanan yang sedang mengejar-ngejar para pemain meriam karbit. Kami dibuat bagaikan penjahat hanya karena kami ingin melestarikan tradisi daerah kami.

Kami sebagai masyarakat Pontianak tentunya tak terima dengan pelarangan ini. Ini sama saja melarang tradisi kami tetap hidup di kota yang kami cintai. Sama saja hal tersebut sedikit demi sedikit membunuh tradisi kota kami. Apa tahunya mereka akan tradisi kami? Mereka tak tahu, bahwa tradisi ini sudah hidup ratusan tahun, bahkan semenjak Kota Pontianak didirikan.

Abangku pernah menceritakan, ketika ia SD, gara-gara ketahuan mencari buloh untuk dijadikan sebagai meriam, maka ia dan teman-teman sebayanya ketika itu sampai ditangkap oleh polisi dan dijebloskan ke dalam penjara kepolisian sektor. Sungguh begitu protektifnya aparat pemerintahan dan aparat keamanan terhadap permainan rakyat Pontianak ini ketika itu. Puncak dari pelarangan permainan meriam karbit adalah sekitar pertengahan era 90-an. Saat itu pada suatu sore ketika kami sedang khusyu' menjalankan ibadah puasa, datanglah semacam inspeksi mendadak dari sepasukan aparat keamanan yang menggunakan speedboat. Bunyi sirine mengaung-ngaung, sehingga warga pesisir Sungai Kapuas berkeluaran memenuhi gertak (jalan dari kayu) di sepanjang pesisir sungai.

Tak ada sama sekali rasa takut kami ketika itu. Kami berada pada pihak yang benar dalam mempertahankan tradisi kami. Tradisi kami bukanlah tradisi yang merugikan orang lain. Kami bangga dengan tradisi yang kami miliki, mengapa pula orang-orang yang tak tahu dengan tradisi kami harus melarang sejadi-jadinya tradisi yang sudah hidup beratus-ratus tahun di kota kami. Tak ada alasan kiranya mereka melarang tradisi kebanggaan kami ini. Para aparat keamanan itu mengatakan, bahwa tradisi kami ini sudah mengganggu ketertiban umum. Sedangkan tradisi kami ini sudah berjalan ratusan tahun, dan selama ini tak ada satu pun kami dengar keluhan dari masyarakat akan tradisi kami ini. Namun tetap saja aparat keamanan berkeras untuk melarang tradisi ini. Hingga kemudian mereka memotong sebuah meriam kayu milik kelompok yang ada di seberang kampongku.

Kami tak dapat berbuat apa-apa atas tindakan beringas aparat keamanan itu. Tindakan seperti ini memang sudah menjadi tipikal aparat pemerintahan dan aparat keamanan pada masa rezim pemerintahan otoriter orde baru. Setelah kejadian ini, muncullah protes di masyarakat kotaku. Para tokoh masyarakat dan keluarga Kesultanan Pontianak satu persatu bersuara membela tradisi kota kami ini. Sudah lama kiranya masyarakat kotaku terdiam akan tindakan aparat pemerintahan dan aparat keamanan yang semena-mena terhadap tradisi kota kami.

 
Ini adalah puncak gunung es atas pelarangan tradisi kota kami. Yang melarang itu tak lain adalah aparat pemerintahan dan aparat keamanan setempat. Seperti telah kusebutkan, bahwa pada masa itu, para petinggi pemerintahan daerah bukanlah putra daerah kami. Untuk waktu yang lama, daerah kami merasakan tekanan yang begitu rupa. Para petinggi pemerintahan daerah ketika itu dengan semena-mena menginjak-injak harga diri dan martabat masyarakat kami. Untuk waktu yang lama, marwah masyarakat kami diinjak-injak oleh penjajah jenis baru. Penjajah ini datang dari luar daerah kami, datang dari luar pulau kami. Mereka umumnya datang dari daerah-daerah yang dahulunya berada di bawah kekangan penjajahan Belanda. Lepas dari penjajahan Belanda, maka merekalah yang menjadi penjajah baru. Mungkin karena mereka sudah terlalu lama berada di bawah kekangan penjajah, sehingga mental mereka pun kemudian terdidik begitu rupa meniru para tuan penjajah mereka itu.

***

Jika mendengar cerita-cerita mengenai meriam karbit, terutama para pemain meriam ataupun masyarakat pesisir sungai yang dikejar-kejar aparat keamanan pada malam takbiran, beragam tragedi dan komedi bercampur baur di dalamnya. Dengarlah cerita dari seorang kerabatku ini yang di masa mudanya juga pernah dikejar-kejar oleh aparat keamanan pada malam takbiran. Ia dan pemuda sebayanya di kampongku ketika itu memiliki bermacam taktik ketika ada patroli dari aparat keamanan. Bayangkan, betapa tidak kesalnya aparat keamanan yang sedang berpatroli ketika itu, karena begitu mereka lewat berpatroli menggunakan speedboat pas di depan panggar meriam (tempat yang dibuat dari kerangka kayu yang berdiri di atas sungai sebagai tempat meletakkan meriam kayu), maka meriam kayu yang memang sudah siap untuk dibunyikan pun langsung disulut dengan api. Tak ayal lagi, bunyi ledakan meriam tentunya membuat terkejut para aparat keamanan tersebut. Lebih tepatnya lagi mungkin terkejut bercampur kesal dan jengkel. Bayangkan, kedatangan mereka yang bermaksud untuk berpatroli, menginspeksi, bahkan mungkin untuk menangkap para pemain meriam karbit itu telah disambut dengan begitu menawannya berupa ledakan meriam yang mungkin lebih nyaring bunyinya dibandingkan dengan bunyi senjata yang mereka bawa.

Mendapati penyambutan yang mengejutkan dan menjengkelkan itu tentunya telah cukup untuk membakar emosi mereka. Sepasukan aparat keamanan itu pun dengan sigapnya naik ke gertak kayu di atas sungai, kemudian mereka pun menyergap para pemain meriam karbit yang telah membuat mereka jengkel itu. Para pemain meriam karbit tentunya tak kehabisan akal. Aparat keamanan yang berbekalkan pistol ataupun senjata api itu bolehlah dengan gagah berani dan beringasnya mengejar mereka bagaikan kejar-kejaran antara anjing dan kucing. Tetapi urusan medan, para pemain meriam karbit itulah yang lebih lihai dan menguasai keadaan.

Ketika itu, gertak kayu di tepi sungai yang ada di kampongku adalah gertak kayu yang bisa dilepas-lepas. Gertak kayu yang seperti ini biasanya difungsikan agar kapal ataupun motor air yang akan naik dok bisa masuk dan berlandas di area sebelum gertak yang memang diperuntukkan sebagai galangan.

Para aparat keamanan yang ingin meringkus para pemain meriam karbit tentunya tak tahu keadaan dan seluk-beluk pesisir sungai yang seperti ini. Ketika kejar-kejaran itu terjadi, ketika aparat keamanan melewati gertak yang bisa dilepas-lepas itu, maka satu-persatu mereka tercebur ke sungai. Mungkin gertak tersebut memang sebelumnya telah dipersiapkan untuk dilepaskan, entah itu dengan cara yang bagaimana. Mungkin dari para pemain meriam karbit itu ada yang memang ditugaskan untuk melepaskan gertak ketika aparat keamanan melewati gertak yang dimaksud. Para pemain meriam karbit tentunya telah memperhitungkan segala sesuatu agar aparat keamanan yang tercebur ke sungai itu tidak mengalami cedera. Tapi hal itu tentunya tak menjadi jaminan aparat keamanan yang terjatuh itu tak mengalami sakit ataupun cedera. Karena yang kutahu, biasanya di area sekitar gertak banyak sekali tunggul-tunggul kayu yang tertanam di dasar sungai. Tunggul-tunggul kayu itu cukup tajam jika terkena bagian tubuh kita. Tunggul-tunggul kayu itu tadinya mungkin bekas tiang rumah ataupun bekas tiang gertak.

Di saat yang lain, patroli tersebut dilakukan secara diam-diam. Yang pasti, para pemain meriam karbit diberlakukan bagaikan pelaku tindak kriminal. Padahal, para pemain meriam karbit bukanlah pelaku tindak kriminal, melainkan orang-orang yang dengan segala upayanya berusaha untuk melestarikan tradisi kota kami. Tapi tentunya para pemain meriam karbit tak kehabisan akal ketika disergap secara tiba-tiba. Yang pasti, mereka akan tetap melakukan upaya agar tradisi daerah kami ini tetap hidup. Mereka akan melawan sebisa yang mereka lakukan jika ada pihak-pihak yang ingin memberangus tradisi kota kami ini. Tak lain dan tak bukan, bahwa yang mereka lakukan adalah untuk menunjukkan kepada dunia, bahwa mereka bukan pelaku tindak kriminal, melainkan mereka adalah pelestari tradisi dan budaya. Tak apa mereka tak didukung secara materi, yang penting usaha mereka melestarikan tradisi kota kami ini jangan dihalang-halangi, apalagi sampai dilarang dan mereka dikejar-kejar bagaikan penjahat.

Mungkin bisa jadi pelarangan yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap permainan meriam karbit tak lain karena mereka iri terhadap bunyi ledakan meriam karbit yang lebih nyaring dan menggelegar dibandingkan bunyi letusan senjata mereka. Ketidakmengertian mereka akan tradisi kota kamilah yang mungkin menjadi faktor utama pelarangan tersebut. Atau mungkin ada hal-hal lain yang itu lebih prinsipil. Atau mungkin bisa jadi ada tekanan-tekanan tertentu dari penguasa ketika itu agar tradisi dan budaya masyarakat kami yang jauh dari pusat kekuasaan, yang berada di pinggiran, yang itu menurut mereka tak layak hidup dan berkembang di negeri bhinneka tunggal ika ini. Atau jangan-jangan masyarakat kami tak lebih hanya dianggap sebagai masyarakat sempalan di negeri ini, yang di anggapan mereka mungkin budaya dan tradisi kami tak perlu kiranya hidup dan berkembang selayaknya budaya dan tradisi masyarakat lain yang ada di pusat kekuasaan. Entahlah. Yang pasti, masyarakat kami akan tetap dan terus melestarikan budaya dan tradisi daerah kami, entah bagaimana pun aral dan rintangan yang menghadang. Melintang patah, terbujur lalu. #*#


[Hanafi Mohan – Ciputat, akhir Maret – akhir Juni 2009]

Cerita sebelumnya

Kembali ke Daftar Isi

Sumber: http://hanafimohan.blogspot.com/

0 ulasan:

Posting Komentar