Kalimantan merupakan salah satu pulau terluas di Asia Tenggara, ketiga terluas di dunia setelah Greenland dan Irian (Papua). Pulau ini (Kalimantan) dinaungi oleh tiga negara serumpun, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Konsentrasi penduduknya lebih banyak berada di kawasan pesisir. Berbeda dengan pulau lain di kawasan Asia Tenggara, maka Kalimantan mempunyai ciri khas tersendiri dalam hal masyarakatnya yang heterogen. Khusus Kalimantan Barat, etnis mayoritasnya adalah Melayu, Dayak, dan Tionghoa. Jika etnis Melayu terkonsentrasi di kawasan pesisir (hilir), maka etnis Dayak terkonsentrasi di kawasan pedalaman (hulu), sedangkan etnis Tionghoa hampir merata di semua kawasan, terutama di kawasan kota. Sisanya adalah keturunan Arab, keturunan India, Bugis, Madura, Jawa, dan beberapa etnis lainnya.
Di Kota Pontianak, setidaknya ada beberapa etnis yang cukup mudah dikenali dari bahasa dan budayanya (maksudnya yaitu yang selain Melayu, karena bahasa sehari-hari di Pontianak adalah Bahasa Melayu, ditambah lagi keturunan Arab, keturunan India, Bugis, dan beberapa suku lainnya juga mengidentifikasi diri sebagai orang Melayu, sehingga sebenarnya cukup sulit membedakan seseorang itu Melayu atau bukan). Etnis yang dimaksud yaitu Tionghoa dan Madura. Pada tulisan ini ini akan dibahas mengenai Etnis Madura dengan sampel komunitas masyarakat Madura yang berada di Kecamatan Pontianak Timur.
Umumnya masyarakat Madura di Pontianak Timur hidup dalam komunitas sesama mereka, sebagian mungkin jarang yang mau berbaur dengan masyarakat lainnya. Di Pontianak Timur, pemukiman masyarakat Madura terkonsentrasi di tiga kelurahan yang dekat dengan kawasan Istana Qadriyah Kesultanan Pontianak. Kelurahan yang dimaksud yaitu Kelurahan Dalam Bugis, Tambelan Sampit, dan Tanjung Hilir. Khusus di Kelurahan Tambelan Sampit, masyarakat Madura terkonsentrasi di Kampong Luar (Kelurahan Tambelan Sampit terdiri dari tiga kampong, yaitu Kampong Tambelan, Kampong Sampit, dan Kampong Luar).
Yang cukup khas dari komunitas masyarakat Madura yaitu dalam hal perilaku beragamanya. Hampir dapat dikatakan bahwa masyarakat Madura yang berada di Pontianak Timur mayoritasnya beragama Islam. Setidak-tidaknya dari pengalaman dan pengamatan penulis sendiri, sebenarnya tak terlampau sulit membedakan antara orang dari etnis Madura dibandingkan orang dari etnis lainnya dalam hal perilaku beragama.
Ada beberapa hal yang sering ditemui berkaitan dengan perilaku beragama masyarakat Madura, baik itu orang yang taat beragama, maupun yang tidak taat beragama. Misalkan ketika shalat, bagi kalangan prianya sudah menjadi keharusan memakai peci dan sarung, seakan-akan berpeci dan bersarung ketika shalat itu adalah kewajiban agama. Bagi mereka, kalau tidak berpeci dan bersarung ketika shalat akan mengurangi keafdhalan shalat yang dilaksanakan tersebut.
Di rumah orang-orang Madura juga akan kita dapati kekhasan tersendiri, yaitu mereka senang memajang foto para ulama (kyai). Orang Madura sangat menghormati para ulama (kyai), bahkan terkadang cenderung mengkultuskan. Dalam hal perayaan hari besar Agama Islam, mereka juga sangat khas. Hampir pada setiap perayaan hari besar Islam mereka aktualisasikan dengan cara-cara yang mungkin bagi masyarakat lain hal tersebut terlalu berlebih-lebihan dan tidak proporsional. Selain itu, dalam hal menyekolahkan anak-anaknya, masyarakat Madura lebih cenderung memilih sekolah-sekolah agama seperti madrasah, pesantren, dan semacamnya.
Kekhasan perilaku beragama seperti ini tentunya menarik untuk dikaji dan diteliti, terlepas dari apakah perilaku beragama tersebut cenderung positif ataupun negatif. Dengan demikian diharapkan bisa ditemukan jawaban mengapa perilaku beragama masyarakat Madura bisa seperti itu.
Sebagai bangsa yang plural dan berbhinneka tunggal ika, kita tentunya mafhum bahwa begitulah adanya Bangsa Indonesia. Kekhasan pada suatu masyarakat (ataupun etnis) seperti yang ditunjukkan oleh masyarakat Madura tentunya menjadi kekayaan tersendiri bagi negara bangsa ini. Dengan begitu, kita menjadi bisa saling memahami, menghargai, menghormati, dan bertoleransi antar sesama masyarakat Indonesia, antar sesama anak bangsa yang katanya besar ini.
Di dalam ajaran Islam disebutkan bahwa perbedaan itu adalah suatu rahmat. Pada konteks Indonesia, tentunya diharapkan kemajemukan bangsa ini adalah warna-warni yang indah yang selayaknya dirajut sedemikian rupa sehingga menjadi tenunan yang bernilai tinggi. [Hanafi Mohan – Ciputat, 15-16 Mei 2010]
Tulisan ini kupersembahkan kepada seseorang yang berada di Pontianak, karena beberapa informasi yang berkaitan dengan tulisan ini kudapatkan darinya.
Tulisan ini dimuat di: http://hanafimohan.blogspot.com/
Minggu, 16 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 ulasan:
Posting Komentar