Senin, 25 Februari 2013
Sang Penggawe
Pawana nan lembut berhembus di bawah naungan khatulistiwa di tengah hari buta. Walau sedang panas bedengkang, tapi belaian kasih sayang dari angin di tepi Sungai Tua begitu melenakan raga, membuat pikiran berkelana entah ke mana. Entah ada atau tidak puaka buas yang sedang mengintai di laman bermain budak-budak laot itu. Entah apa pula amuk prahara yang bakal terjadi di Negeri Khatulistiwa Bertuah, di semesta hamparan Benua Hujung Tanah.
Jikalau roda waktu memanglah bisa diputar ulang, atau manusia bisa melompat-lompat antar satu dimensi waktu ke dimensi waktu yang lainnya, tentu diri ini ‘kan bergegas berdesut menuju beberapa tahun silam, bahkan berpuluh-puluh tahun silam, bahkan berabad-abad silam. Tiada sesiapa yang nak dijumpai, kecuali para Tetua Kampong Timbalan Raje, atau mungkin Para Pemangku Negeri yang beristana di Simpang Tiga Pertemuan Sungai Kapuas dan Sungai Landak, atau mungkin Para Leluhur Benua yang hutannya lebat menghijau dengan sungainya yang lebar-lebar, panjang-panjang, dan beranak-anak bercabang-cabang.
Entah bilakah masanya lagi bisa menjejakkan kaki di sempadan berwarna merah jingga. Di sempadan itu kilau berpendar pancarona, di antara siang dan malam, tika teja berarak kala senja nan syahdu. Seakan-akan roda waktu berputar laju lintas melintas dimensi demi dimensi. Kilasan demi kilasan yang ganti berganti hadir seperti ketika berdiri sendiri di kopol yang menjadi saksi bisu lembaran sejarah, sambil menanti kumandang nan sayup dari mihrab di tepi simpang tiga bermulanya negeri.
Negeri kami berjodoh dengan hilir Sungai Kapuas dan hilir Sungai Landak yang di perjumpaan kedua sungai tua itu berasal-mula berdirinya Negeri/Kesultanan kami. Negeri kami pun berjodoh dengan garis edar matahari yang dari garis lintangnya itu membelah bumi menjadi dua bagian: utara dan selatan. Jadi negeri kami adalah negeri yang berada tepat di dua belahan dunia, yaitu berada di belahan bumi utara sekaligus berada di belahan bumi selatan.
Di dalam Negeri Pontianak, tak jauh dari kawasan Istana Qadriyah (Istana Kesultanan Pontianak), terdapat suatu Kampong yang didirikan oleh seorang Panglime Kesultanan Pontianak di masa Sultan Syarif ‘Abdurrahman Al-Qadrie ibnu Al-Habib Husain Al-Qadrie Jamalullail Tuan Besar Negeri Mempawah. Panglime yang dimaksud bernama Panglime ‘Abdul Ghani (yang bergelar Tok Kaye Mude Pahlawan dan juga Tok Kaye Setie Lile Pahlawan). Panglime ‘Abdul Ghani ini berasal dari Negeri/Kerajaan Siak Seri Inderapura yang kemudian bermastautin di Negeri Pontianak dan mengabdi di Kesultanan Pontianak. Oleh pihak Kesultanan, Sang Panglime dihadiahi untuk membuka suatu kawasan pemukiman yang tak terlalu jauh dari kawasan Istana. Pemukiman itu kini dikenal sebagai Kampong Tambelan – Kelurahan Tambelan Sampit (di dalam Kelurahan Tambelan Sampit terdiri dari tiga kampong, yaitu: Kampong Tambelan, Kampong Sampit/Sampét, dan Kampong Luar).
Pada awal-mulanya Kampong Tambelan bernama Kampong Timbalan Raje. Maksudnya yaitu suatu kampong yang dipimpin oleh seorang Timbalan/Wakil Sultan (di dalam Bahasa Melayu, “timbalan” itu bermakna “wakil”). Wakil yang dimaksud mungkin bukanlah wakil yang sebenar-benarnya wakil, melainkan mungkin perumpamaan bahwa Sang Panglime sangatlah dekat dengan Sang Sultan, mungkin semacam orang kepercayaan sultan (tangan kanan sultan). Di belakang hari, hinggalah kini, Kampong Timbalan Raje lebih dikenal oleh masyarakat Pontianak dengan nama Kampong Tambelan. Nama Panglime ‘Abdul Ghani sendiri sebagai perintis Kampong Timbalan Raje (Kampong Tambelan) hingga kini diabadikan sebagai nama salah satu jalan di Kampong Tambelan, yaitu Jalan Panglima Abdul Rani/Jalan Panglima A. Rani (penulisan yang betul sesuai dengan dialek/logat Bahasa Melayu Pontianak dan juga sesuai dengan Bahasa Arab semestinya yaitu “Panglime ‘Abdul Ghani”).
Kampong Timbalan Raje (Kampong Tambelan) kemudian berkembang menjadi suatu kawasan berkebudayaan Melayu yang begitu kental dan khas di dalam Negeri Pontianak – Borneo Barat. Boleh dikatakan bahwa Kampong Timbalan Raje merupakan salah satu kampong terpenting sebagai pembentuk kultur Melayu Pontianak. Dan itu hingga kini bisa dilihat di dalam kehidupan masyarakatnya, baik itu dalam hal-ehwal Bahasa Melayu Pontianak, seni tradisinya, budayanya, kultur keagamaannya/keislamannya, dan sebagainya berkenaan dengan Adat Resam Budaya Melayu Negeri Pontianak. Masyarakat Melayu Kampong Timbalan Raje sendiri merupakan perpaduan dan pembauran berbagai macam keturunan Puak Melayu Borneo dan kepulauan di sekitarnya, Puak Melayu Sumatera dan kepulauan di sekitarnya, Puak Melayu Semenanjong Tanah Melayu dan kepulauan beserta kawasan di sekitarnya, dan mungkin masih banyak lagi perpaduan dan pembauran keturunan yang dimaksud itu.
Teringat dengan Kampong Timbalan Raje, maka teringat pula dengan seorang tetua di kampong ini yang masih berdarah keturunan dari perintis kampong ini yang telah dijelaskan di atas (masih berdarah keturunan dari Panglime ‘Abdul Ghani). Allahyarham Al-Mukarram Al-Ustadz H.M. Kasim Mohan (Haji Muhammad Qasim ibnu Haji Muhammad Buraa'i ibnu Haji 'Adnan ibnu Haji Ahmad), beliaulah guru kami yang akan selalu kami kenang sepanjang hayat. Beliau berintuisi seni yang begitu tinggi, serta berkepedulian yang begitu besar dalam menjaga eksistensi seni budaya Melayu Pontianak. Beliau adalah seorang 'ulama, mantan Kepala' Kampong (Penggawe), pejuang (veteran perang), serta juga seniman dan budayawan. Melalui tangan dinginnya, kami dididik dalam kemuliaan akhlaq Islam dan keluhuran adat resam budaya Melayu. (Sejauh yang penulis ketahui, para leluhur Al-Ustadz H.M. Kasim Mohan antara lain ada yang berasal dari Negeri Minangkabau/kini Sumatera Barat, Negeri Siak Seri Inderapura/kini Riau Daratan/Provinsi Riau, Negeri Sambas-Borneo Barat, Kandangan-Negeri Banjar-Borneo Selatan, dan ada juga yang berasal dari Negeri Cina).
Beliau mengajarkan kami lantunan Syair, Pantun, Nazam, Burdah, Ghazal, dan Zikir Hadrah. Selain itu, keanggunan tarian Redat Hadrah yang dipadu-padankan dengan gerak tari Zapin/Jepin/Jepén dan gerak tari Serampang Dua Belas, serta jurus-jurus Silat Melayu yang rancak dan bersemangat juga diajarkannya kepada kami.
Dari didikan Beliau yang tak kenal lelah dan tak kenal henti sepanjang hayatnya, sehingga jadilah kami Budak-Budak Melayu yang begitu mencintai seni budaya Melayu; dari seni musik, tari, sastera, hingga silat. Selain sebagai guru seni, beliau juga adalah guru agama yang mencerahkan kami. Ilmu Tarikhul Islam, Khat Arab Melayu, dan juga ‘Ulumul Hadits adalah ilmu yang diajarkannya kepada kami di Madrasah Diniyah Awwaliyah Haruniyah – Negeri Pontianak - Borneo Barat. Selain sebagai guruku, beliau juga merupakan Pak Mudeku (pamanku), abang tertua dari Almarhum Ayahku. Kami biasa memanggilnya Yah Long Kasém/Qasim ("Long" atau "Along" adalah panggilan untuk anak tertua/sulung. "Yah" adalah singkatan dari kata "ayah". Bagi kami, paman-paman kami juga adalah seperti ayah kandung kami sendiri).
Beliau merupakan seorang autodidak yang mengagumkan, sekaligus juga seorang multitalenta yang berdedikasi tinggi. Ia menguasai berbagai alat musik seperti: gitar, bas tongkang (bas klasik), biola, akordion, halmanian (harmonium), serta beberapa instrumen perkusi seperti tar (rebana) dan gendang Melayu. Suaranya juga begitu merdu ketika bernyanyi dan bersyair Melayu, qasidah dan syair hadrah, burdah, barzanji, dan qira’ah Al-Qur’an.
Semenjak kecil, kami sudah ditanamkan kesadaran yang begitu rupa untuk menjaga, melestarikan, dan mengembangkan budaya kami. Keluarga besar kami adalah sedikit dari keluarga yang memiliki kesadaran tinggi untuk hal ini. Orang yang berada di garda terdepan dalam hal ini tiada lain dan tiada bukan adalah Yah Long. Pak Mudeku yang pernah beberapa periode menjabat sebagai Penggawe Kampong kami ini, di masa mudanya adalah seorang perantau, pernah menjejaki Pulau Jawa, Negeri Banjar (Borneo Selatan), bahkan hingga ke Negeri Siam (kini Thailand). Pak Mudeku yang tertua inilah yang mendidik kami Budak-Budak Melayu Negeri Pontianak ini untuk selalu menjaga marwah bangsa kami (Bangsa Melayu). Sedari kecil kami selalu dididiknya untuk hal ini. Kami melalui ketelatenan Yah Long sudah menjadi Duta Budaya Melayu sejak usia belia.
Yah Long Kasém akan selalu diingat oleh orang-orang di kampongku sebagai seorang pelestari dan penggiat seni budaya Negeri dan Bangsa kami. Di tengah derasnya hantaman budaya asing yang menyerbu menggilas setiap sendi kehidupan anak bangsa, Yah Long menjadi pahlawan bagi kami, sosok yang berdiri pada garda terdepan dalam hal menghalau serbuan demi serbuan budaya asing.
Bagi kami, Beliau adalah orang tua yang senantiasa membimbing kami untuk tegak berdiri menjaga marwah Bangsa Melayu. Beliau adalah guru kami yang selalu mendidik kami dengan ketinggian budi pekerti, dengan keindahan seni budaya Melayu yang mempesona.
Sosoknya mungkin takkan pernah tergantikan di hati kami. Dari tangan dinginnyalah kami kemudian menjadi Putera-Puteri Bangsa Melayu yang 'kan selalu bangga dengan seni budaya Negeri dan Bangsa kami. Melalui dirinyalah, kami merasa beruntung dan bahagia telah dilahirkan sebagai anak-anak orang Melayu, budak-budak yang dibesarkan dalam lingkungan Budaya Melayu yang begitu kental.
Beliau yang mengagumkan itu bisa memainkan berbagai alat musik dengan kedua tangannya secara berganti-gantian. Kalau sedang memainkan Tar misalkan, letih tangan sebelah kanan "menampar-nampar" kulit permukaan Tar itu, maka beliau masih bisa mengandalkan telapak tangan kirinya untuk memukul-mukul instrumen perkusi yang bunyinya membahana itu, perkusi yang bisa menggeletarkan semesta rasa, perkusi yang jika didengar bisa menimbulkan gairah dan semangat begitu rupa, perkusi yang selalu memunculkan kerinduan purba bagi Anak Melayu yang pernah mendengarkannya.
Yah Long yang Ahli dan Pendekar Silat itu memiliki gerak refleks yang tak diduga-duga. Kalau Beliau sedang tidur, maka jangan coba-coba membangunkannya secara langsung dengan cara menyentuhnya, karena dipastikan orang yang membangunkannya itu akan terpental kena pukulan refleksnya. Lalu bagaimana pula kalau mau membangunkannya? Ya sudah, daripada terkena dampak dari gerak refleksnya itu, maka kalau mau membangunkannya cukuplah dilemparkan entah barang apa ke tubuhnya yang sedang terlelap itu (disarankan barang yang ringan).
Sang Penggawe yang bersuara indah dan lantang ini, yang oktaf suaranya berada di atas rata-rata awam, yang jika berteriak maka kecutlah hati yang mendengarnya, kalau kebetulan Beliau sedang mendengarkan musik (entah musik apapun itu, dari Musik Melayu sampaikan Musik Rock), maka bergerak-geraklah ujung telapak kakinya mengikuti irama dan tempo musik yang didengarnya itu (istilah Orang Melayu Negeri Pontianak-nya yaitu "ngemat").
Masih lekat di semesta ingatan akan irama Ayat-Ayat Suci yang dibacanya setiap kali beliau menjadi imam sembahyang berjama’ah yang aku merupakan salah seorang ma’mumnya. Sebagaimana murid terhadap gurunya, biasanya sesuatu yang sangat khas dari sang guru tentu ‘kan selalu diingat oleh si murid. Setiap kali menjadi imam sembahyang berjama’ah, selalu irama baca Al-Qur’an ala pak mude nan guruku yang Penggawe itu yang kubawakan.
Dia, Penggawe yang dihormati oleh kawan, serta disegani oleh lawan. Penggawe yang sentiasa menyayangi dan menaungi para pemuda, menyayangi dan menaunginya dengan pemahaman akan kegemilangan Budaya Melayu serta kemuliaan akhlaq Islam.
Aku memang tak terlalu dekat dengan beliau. Tapi sungguh begitu banyak moment-moment berharga bersamanya, selayaknya seorang anak kemanak terhadap pak mudenya, selayaknya seorang murid terhadap gurunya. Beliau membesarkan jiwa-jiwa yang tadinya kecil menjadi kokoh dan tegar, melatih ketakutan yang tersembunyi menjadi keberanian untuk maju ke hadapan.
Kami takkan pernah menyia-nyiakan apa-apa yang telah diperjuangkannya. Memori kolektif kami akan Beliau itu niscaya 'kan menjadi kekuatan hati pada masing-masing diri kami untuk membangun Tanah Kelahiran kami--Tanah Tumpah Darah kami--Negeri Para Leluhur kami, sehingga menjadi lebih baik lagi kini dan ke masa mendatang. [Aan]
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Hanafi Mohan
Tanah Betawi, Januari – Februari 2013
(penyuntingan akhir pada Senin, 25 Februari 2013)
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Sumber Foto: Dokumentasi Oka Vest
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Cukup banyak ilmu yg dituronkan kpd anak cucunye, namun maseh terase kurang isi dade ni utk diterapkan dan tak sebanding dgn isi dade Allahyarham Aki (kakek), "Haji Kasim Mohan bin Muhammad Bura'i" amalan yg kau turonkan Tak lekang karene hujan tak layu karene panas di dalam dada dan benak kami. Alfatihaa...
BalasHapus