Sungai Kapuas adalah arena yang tak ada habis-habisnya untuk kami eksplorasi. Ia adalah sumber inspirasi yang kaya. Darinya, kami terpicu untuk selalu berinovasi. Kami bersahabat dengannya, karena itulah kami pun tak ada rasa takut untuk berenang dan menyeberangi sungai yang lumayan lebar ini.
Kekayaan yang ada di sungai ini juga begitu banyaknya. Ikan dengan mudah didapatkan dari dalamnya. Kayu-kayu yang hanyut di atasnya bisa dimanfaatkan sebagai kayu bakar. Jangan ditanya lagi airnya yang memang sehari-hari dimanfaatkan oleh warga pesisir sungai untuk mandi dan mencuci. Sedangkan untuk minum dan memasak, warga pesisir sungai memang tidak mengkonsumsi air Kapuas, melainkan air hujan.
Selain itu, sungai-sungai di Kalimantan juga merupakan jalur transportasi terpenting di pulau ini. Kapal dan motor air dari yang kecil hingga yang besar setiap hari lalu-lalang di atasnya. Belum lagi sampan dan sarana penyeberangan yang juga meramaikan Sungai Kapuas.
* * *
Kami para anak tepian sungai memang dari kecil sudah terlatih untuk menjadi orang-orang yang berani. Jika ada motor air yang jalannya lambat, maka itu adalah sasaran empuk untuk digandeng. Kami akan berebutan merenanginya. Ketika si sasaran sudah didapatkan, maka ada kepuasan yang entah seperti apa. Sementara motor air berjalan, maka kamipun menggandengnya di samping. Kami baru akan melepaskannya jika motor air sudah berjalan agak menjauh dari kampong kami. Ataupun kami baru melepaskannya jika si pemilik motor air itu memarahi kami.
Begitu juga kalau ada rakit kayu yang sedang lewat, maka kami pun berebutan merenanginya. Ketika sampai di sasaran, kami pun menaiki rakit tersebut dan bermain-main di atasnya.
Yang paling berbahaya adalah permainan berikut ini. Ide permainan berbahaya ini bermula dari Izwar. Siang itu kami sedang asyiknya mandi sambil menunggu kalau ada motor air ataupun rakit yang lewat. Tapi sasaran yang ditunggu itu tak kunjung jua yang lewat. Bosan juga kami dengan keadaan tersebut. Kulihat Izwar menatap ke arah Jembatan Kapuas yang letaknya memang tak jauh dari tempat tinggal kami. Sementara Witri sedang mengumpulkan kayu yang hanyut untuk dijadikan sebagai kayu bakar. Deni sedang mengeringkan badannya menggunakan handuk. Aku sendiri masih berendam di dalam air.
"Kawan-kawan, berapakah tingginya jembatan yang ada di depan kita ini?" tiba-tiba Izwar berkata.
Mulanya tak ada yang menghiraukan pertanyaan Izwar. Tapi ketika ia mengungkapkan lagi pertanyaan yang sama, barulah aku, Deni, dan Witri sadar akan yang ditanyakan Izwar.
"Tak kalian dengarkankah pertanyaanku?"
Aku, Witri, dan Deni saling berpandangan, kemudian kami pun melihat ke arah Izwar.
"Tahukah kalian, berapa tingginya jembatan itu?" sambil Izwar menunjuk ke arah Jembatan Kapuas.
Aku, Deni, dan Witri sama-sama menggeleng sebagai tanda tak tahu jawabannya.
"Kalau begitu, mari kita ukur!" Izwar langsung naik dari tangga menuju ke gertak (jalan dari kayu yang merupakan ciri khas jalan di pesisir sungai). Sementara kami bertiga masih bingung dengan tingkah Izwar. Kami saling bertanya, apa sebenarnya yang mau dilakukan teman kami yang satu ini.
Izwar dengan semangatnya berjalan ke arah jembatan. Sebagai bukti solidaritas, kami pun mengikutinya dari belakang. Entah apa yang akan dilakukan Izwar, kami masih tak mengerti.
Ternyata Izwar tak berhenti di bawah jembatan, melainkan berjalan menuju ke darat. Kami terus mengikutinya. Lapangan Jombo telah dilewatinya, berarti Izwar akan lebih ke arah darat lagi. Beberapa saat kemudian, Izwar naik ke jembatan melalui jalan menanjak yang menghubungkannya. Kini, ia berjalan semakin cepat, hampir setengah berlari. Karena memang jalannya menanjak, maka yang terbaik adalah dengan bergerak lebih cepat.
Kami juga sudah naik dengan agak terengah-engah. Entah dengan Izwar. Tapi sepertinya nafasnya bagaikan nafas ikan baong (sejenis ikan lele). Mungkin ini karena motivasinya yang cukup tinggi terhadap apa yang akan dilakukannya yang kami belum tahu apakah itu.
Izwar kini sedang melewati jalan di samping jembatan yang memang biasa digunakan oleh pejalan kaki dan pengendara sepeda untuk menyeberangi sungai melewati jembatan. Jalan di samping jembatan ketika itu agak lengang, sehingga Izwar dengan lancar berjalan di atasnya. Semakin lama, geraknya semakin cepat. Ia kemudian tak lagi berjalan, melainkan berlari. Beberapa menit kemudian, ia berhenti.
Entah apa yang akan dilakukan Izwar di tengah-tengah jembatan ini. Kami terengah-engah ketika menghampirinya, sedangkan Izwar tersenyum puas, "Inilah yang kumaksudkan," katanya kepada kami.
Kami bertiga masih tak mengerti maksud Izwar, mungkin karena napas kami yang terengah-engah.
"Kalian lihatlah ke bawah!"
Kami pun bersama-sama melihat ke bawah.
"Apakah yang kalian rasakan?"
Ada yang mengatakan tinggi, ada yang mengatakan ngeri, dan ada juga yang mengatakan tak merasakan apa-apa. Sementara Izwar tersenyum-senyum dengan jawaban kami.
"Apa maksud kau ini, kawan?" Witri meminta jawaban dari Izwar.
"Begini, jika kalian berani, marilah kita terjun dari atas sini!"
Kami bertiga cukup terkejut dengan apa yang dikatakan Izwar. "Sudah gilakah kau, kawan?" ujar Deni dengan agak marah.
"Itu semua tergantung kalian. Tapi yang pasti, aku akan terjun."
Kami bertiga sama-sama melarang Izwar. Salah satu dari kami menyela, "Tak ingatkah kau seminggu yang lalu ada yang mati bunuh diri?"
"Ya, aku tahu itu. Tapi, aku hanya ingin mempraktekkan cara-cara yang sebenarnya sering kita lakukan agar bisa selamat dalam aksi ini," ujar Izwar kepada kami.
"Bagaimanakah caranya itu?" tanyaku kepada Izwar.
Kawan kami ini pun menjelaskan mengenai cara yang dimaksudkannya itu. Dia cukup bersemangat mempresentasikan kepada kami.
"Mengerti kan?"
Deni menyela, "Tapi ini kan lebih tinggi dibandingkan dengan yang biasa kita lakukan?"
"Lebih tinggi, bukan berarti kita tak bisa melakukannya. Bukankah yang pernah kita lakukan itu sebelumnya kita anggap lebih tinggi dari yang biasanya? Tapi kemudian ternyata kita bisa melakukannya," perjelas Izwar mengenai rencananya tersebut.
"Begini saja, kita melakukannya bersama-sama. Kita terjun bersama-sama," ajak Izwar kepada kami.
Witri memandang kepadaku dengan pandangan sejuta tanya. Deni juga begitu, memandang kepada Witri dengan pandangan kebingungan. Aku memandang Izwar, dan Izwar memandang kami bertiga dengan pandangan mengajak keberanian kami.
"Siap kan kalian?" kembali Izwar meminta kepastian kami. Tak tahu apa yang ada di benak Deni dan Witri. Kulihat wajah Deni pucat-pasi. Sementara Witri sepertinya tak ada kegentaran di wajahnya. Sedangkan Izwar, jangan ditanya lagi. Sepertinya ia sudah bersiap untuk beraksi. Aku sendiri sebenarnya deg-degan, tapi coba kusembunyikan rasa itu. Entah ketiga temanku tahu atau tidak akan perasaanku itu. Tapi kalau mereka melihat lututku yang bergetar, mungkin mereka bisa mengetahui bahwa aku sebenarnya sedang berada pada puncak ketakutan.
Izwar mendekatiku. Ia menggenggam tanganku, mungkin mencoba menguatkan hatiku. Deni dan Witri kemudian mendekati kami berdua. Kami berempat kemudian saling berpegangan tangan.
"Sungai adalah sahabat kita. Karena itu, ia takkan pernah menelan kita," begitulah perkataan terakhir dari Izwar sebelum kami sama-sama terjun dari atas jembatan.
Kulihat ke bawah, kadang muncul rasa ngeri. Tapi teringat perkataan Izwar, bahwa sungai adalah sahabat kami, maka rasa ngeri itu pun sirna seketika. Melalui komando Izwar, kami pun terjun bersama-sama.
* * *
Aksi ini berhasil kami lakukan. Kulihat kepuasan di wajah Izwar ketika kami sudah berada lagi di tangga tepi sungai. Ketika terjun dari atas jembatan yang lumayan tinggi itu, kami memiliki trik tersendiri agar tidak tenggelam terlalu dalam. Tidak seperti orang yang bunuh diri yang terjun memang benar-benar memasrahkan diri setulus-tulusnya untuk mati, maka yang kami lakukan adalah kebalikannya. Dengan terjun itu kami ingin mengetes dan membuktikan keberanian, ada motivasi untuk selalu hidup, dan jika berhasil maka seakan-akan menambah nyawa kami. Bagi kami, permainan-permainan tersebut begitu membahagiakan, walaupun kadang membahayakan nyawa.
Deni tiba-tiba berkata, "War, sudah terjawablah pertanyaan kau tadi. Jembatan itu memang tinggi," sambil ia terengah-engah seperti kehabisan napas. Sementara aku, Izwar, dan Witri memandang Deni dengan penuh tanya. #*#
[Hanafi Mohan – Ciputat, awal Maret 2009]
Cerita sebelumnya
Kembali ke Daftar Isi
Sumber Foto/Gambar: http://tamasyatour.blogspot.com/ dan http://formulaphotography.wordpress.com/
0 ulasan:
Posting Komentar