Selasa, 17 Februari 2009

Menjadi Ummatan Wasathan

Jika kita memperhatikan berbagai macam pertandingan, selalu ada yang disebut wasit. Sering orang tidak sadar, bahwa kata “wasit” itu berasal dari Bahasa Arab, yaitu dari kata “wasatha-yasithu-wasathan“, yang artinya adalah orang yang ada di tengah-tengah. Wasit ini tidak memihak, tetapi ia memberikan keputusan secara adil.

Berkaitan dengan keadaan kini, telah berkembang berbagai macam pemahaman agama. Salah satunya adalah yang dikenal dengan “trans-nasionalisme”, yaitu paham-paham keagamaan dari luar. Akhir-akhir ini, paham-paham tersebut sering mengusik kita.

Bagaimanakah sikap kita menghadapi hal ini? Kita harus menjadi ummatan wasathan, yaitu umat yang ada di tengah-tengah. Maksudnya, kita menjadi umat yang tidak ekstrim. Ekstrim ini terbagi dua: Pertama, kelompok fundamentalis sempit. Kedua, kelompok liberalis.

Mengapa kita menjadi Ummatan Wasathan? Mengenai hal ini, di dalam Alquran disebutkan:

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (Q.S. Al-Baqarah: 143)

Pengembangan kata “wasathan” menjadi “tawassatha“, seperti “tawassathal makaana awil qawma” yang berarti berada di tengah-tengah suatu tempat ataupun suatu kaum (masyarakat).

Selanjutnya, istilah “Ummatan Wasathan” juga berarti umat pertengahan, umat yang moderat, dan teladan, yaitu umat Islam yang tidak memihak aliran ataupun golongan-golongan tertentu yang bersifat ekstrim. Yang satu adalah kubu yang memberat-beratkan agama. Menurut mereka semuanya bid’ah. Sedangkan kubu yang satunya lagi suka meringan-ringankan agama. Menurut mereka, semuanya boleh. Dalam hal ini, kita tidak memihak kedua-duanya, kita berada di tengah-tengah.

Karena itulah, ciri umat ini adalah berpikir secara holistis (menyeluruh). Tidak hanya mengambil satu ayat, melainkan setiap ayat dikaitkan dengan ayat lain. Tidak hanya itu, juga dikaitkan dengan hadis, serta pandangan-pandangan para sahabat Rasulullah. Selain itu, kita juga harus bersikap tawazzun (seimbang), karena segala sesuatu yang seimbang itu baik. Selain itu, kita harus bersikap i’tidal (lurus).

Ada kelompok (aliran) yang ekstrim, yang mereka ini selalu memilih dan memilah ayat-ayat Alquran ataupun Hadis hanya yang sesuai dengan doktrin yang dikembangkan di dalam aliran tersebut. Kelompok yang ekstrim ini misalkan adalah Aliran Khawarij dan Murji’ah. Aliran Khawarij mengambil teks Alquran dan Hadis yang nadanya keras dan sempit. Sebaliknya, aliran Murji’ah hanya mengambil ayat-ayat Alquran dan Hadis yang bernada ringan dan amat mudah.

Kajian mengenai Ummatan Wasathan ini dianggap relevan pada masa kini, karena dalam perkembangan kini banyak pandangan-pandangan keagamaan yang berkembang di masyarakat yang mengarah pada sikap ekstrim, baik yang menuju pada fundamentalisme sempit dan kaku, maupun yang menuju pada pemahaman yang terlampau liberal dan kebablasan. Kedua-duanya kita tolak.

Sebagaimana kita ketahui, akhir-akhir ini terdapat dua kelompok ekstrim ini. Kedua kelompok ini terus menyerbu pemahaman agama mayoritas kaum muslimin, terutama merambah pada generasi muda yang sangat cekat dan minim pemahaman agamanya. Kelompok-kelompok ini terus mengusik kita. Mereka terus mengembangkan paham keagamaannya melalui kecanggihan teknologi yang terus berkembang dari masa ke masa.

Contoh sederhana tentang pemahaman yang ekstrim dari kelompok tersebut, misalkan dalam memahami sabda Rasulullah berikut ini:

Hadis pertama

Sesungguhnya yang pertama kali dihisab bagi seorang hamba adalah salat. Maka apabila salatnya baik, sungguh dia telah beruntung dan selamat. Dan apabila salatnya rusak, sungguh dia telah celaka. (H.R. Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Hadis kedua

Sesungguhnya perbedaan antara seorang pria mukmin dan kafir adalah meninggalkan salat. (H.R. Muslim)

Hadis ketiga

Perjanjian yang mengikat antara kami dan mereka adalah salat. Maka barangsiapa yang meninggalkannya, maka sungguh dia telah menjadi kafir. (H.R. Tirmidzi)

Oleh kelompok fundamentalis, hadis ini dipahami secara tekstual. Menurut mereka, bahwa orang yang meninggalkan salat berarti telah menjadi kafir. Dengan demikian, berarti orang-orang yang meninggalkan salat itu boleh diperangi.

Berbeda dengan kelompok fundamentalis, maka kelompok liberalis mengemukakan hadis-hadis berikut ini:

Hadis pertama

Tidak ada seorang hamba pun yang sudah mengucapkan laa ilaaha illallah kemudian ia wafat kecuali orang tersebut masuk surga. (H.R. Bukhari dan Muslim/Muttafaq Alaih)

Berkaitan dengan hadis ini, ketika itu Rasulullah ditanya oleh para sahabat, “Ya Rasulullah, apakah ia akan tetap masuk surga walaupun telah berbuat zina ataupun mencuri?”

Rasulullah menjawab, “Ya, meskipun ia berzina dan mencuri.”

Kemudian ditanya lagi oleh para sahabat dengan pertanyaan yang sama, lalu dijawab Rasulullah dengan jawaban yang sama pula, bahkan terulang hingga tiga kali.

Hadis kedua

Tak ada satu orang pun yang bersaksi bahwa sesungguhnya tiada tuhan selain Allah dan Muhammad rasul Allah yang ucapan itu betul-betul keluar dari kalbunya yang suci kecuali Allah mengharamkan orang tersebut masuk neraka. (H.R. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini disampaikan Rasulullah ketika mengadakan perjalanan ke luar kota bersama Mu’adz bin Jabal. Lalu dengan penuh semangat Mu’adz mengatakan kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, apakah boleh berita ini aku sampaikan kepada semua orang, supaya mereka berbahagia?”

Rasulullah pun mengatakan, “Kalau begitu Mu’adz, nanti orang akan meremehkan agama.”

Maka sejak itu Mu’adz tidak berani menyampaikan hadis ini, sampai ia memasuki usia tua. Ketika rambutnya sudah memutih beruban, tulangnya sudah rapuh, pandangan matanya sudah agak kabur, dia khawatir kalau dia termasuk orang yang menyembunyikan hadis. Karena itulah, ia menyampaikan hadis ini kepada orang-orang yang bisa memegang amanah.

Hadis ini terdapat di dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim, Riyadush Shalihin, dan juga Al-Lu’lu’ Al-Marjan.

Hadis ketiga

Maka sesungguhnya Allah telah mengharamkan masuk neraka bagi seorang yang mengucapkan laa ilaaha illallah yang semata-mata mengharapkan ridha Allah. (H.R. Bukhari)

Hadis-hadis di atas dipahami oleh kelompok liberalis dengan pemahaman tekstual juga (sama halnya dengan kelompok fundamentalis yang memahami hadis secara tekstual).

Dengan demikian, kelompok liberalis memahami, bahwa yang paling penting adalah ucapan kalimah syahadah “asyhadu an laa ilaaha illallah wa asyhadu anna muhammadarrasulullah“. Apabila seseorang telah mengikrarkan kalimat tersebut benar-benar dari kalbunya yang suci, maka ia telah menjadi seorang muslim, terlepas dari azab neraka, dan masuk surga. Mengenai dosa-dosa yang pernah dikerjakannya, maka hal itu adalah urusan pribadinya dengan Allah.

Pemahaman yang kita kembangkan kini adalah memahami hadis-hadis yang diungkapkan tadi secara holistik (menyeluruh), tawazzun (seimbang), i’tidal (lurus), serta tidak memihak. Sehingga pemahamannya bersifat integral dan komprehensif, serta tidak parsial (sebagian-sebagian).

Hadis-hadis yang diungkapkan oleh kelompok pertama adalah untuk menegaskan betapa pentingnya ibadah salat. Karena itulah, salat tidak boleh ditinggalkan. Bukan untuk menghukumi orang yang meninggalkan salat sebagai orang kafir, musyrik, ataupun murtad, melainkan menekankan bahwa salat adalah kewajiban yang tak boleh ditinggalkan. Kafir dalam pemahaman ini adalah berarti mengingkari sebagian perintah Allah. Walaupun ia berbuat maksiat, namun selama ia tidak bersikap menentang perintah Allah, maka ia tetap menjadi seorang muslim.

Beda halnya antara orang yang tidak salat karena malas dengan orang yang tidak salat karena menentang perintah salat tersebut. Kalau ia menentang perintah salat, maka bisa digolongkan sebagai orang yang murtad. Tapi kalau ia tidak salat karena malas, maka merupakan hal yang berbeda. Yang seperti ini disebut sebagai mu’min ‘ashi (mukmin yang berbuat maksiat). Ia tetap muslim, bukan kafir. Tidak halal darahnya, karena ia sudah mengucapkan kalimah syahadah.

Di dalam Alquran, terdapat beberapa pemahaman berkenaan dengan istilah “kafir“, yaitu:

Pertama, kafirun bi wujudillah (kafir terhadap wujud Allah), atau biasa disebut atheis, yaitu mengingkari adanya Tuhan. Jenis ini jelas-jelas merupakan kafir.

Kedua, kafirun bi wahdaniyatillah (mengingkari terhadap keesaan Allah). Ini disebut sebagai musyrik. Seperti halnya yang pertama, maka ini juga jelas-jelas kafir.

Ketiga, kafirun bi risalati Muhammadin (mengingkari terhadap risalah Nabi Muhammad). Hal ini seperti orang Yahudi. Syahadat mereka meyakini Allah itu esa, tetapi mereka tidak menerima ajaran Nabi Muhammad. Ini disebut juga sebagai kafir ahlul kitab, yaitu Yahudi dan Nasrani.

Keempat, kafirun bi an’umillahi (mengingkari nikmat Allah). Yang termasuk ke dalam golongan ini mungkin bisa jadi kita.

Firman Allah:

Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk) nya mengingkari ni`mat-ni`mat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat. (Q.S. An-Nahl: 112)

Jadi, kafir yang dimaksud adalah kafir terhadap nikmat Allah. Meskipun secara tekstualnya disebut sebagai “kafara“, tetapi bukan berarti mereka itu murtad. Dan bukan pula mereka itu orang kafir yang berbeda akidah dengan kita, melainkan mereka itu muslim juga, tetapi mereka mengingkari nikmat Allah. Karena itulah, kita biasanya berdoa, seperti yang termaktub di Alquran:

maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdo`a: “Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri ni`mat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh“. (Q.S. An-Naml: 19)

Hadis-hadis yamg disampaikan oleh kelompok kedua, dipahami bahwa ikrar kalimah syahadah itu tidak cukup dengan mengikrarkan saja, tetapi harus dibuktikan dengan amal perbuatan dan ketaatan yang sungguh-sungguh pada Allah. Seperti yang disebutkan pada hadis itu, “sidqan min qalbihi” (betul-betul diungkapkan dari kalbunya yang suci).

Maksudnya, bahwa syahadat itu betul-betul berpengaruh dalam prilakunya. Artinya, bahwa orang tersebut sudah menjadi seorang muslim. Apakah muslim itu? Yaitu taat, tunduk, dan patuh kepada Allah. Dengan demikian, orang tersebut pasti melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya.

Beginilah seharusnya pemahaman terhadap hadis tersebut. Kalau dia syahadat, tapi tidak salat, maka berarti syahadatnya tidak betul dan juga bohong. Syahadatnya tidak “sidqan min qalbihi“, namun hanya lip service. Kalau syahadatnya betul, pasti dia melaksanakan salat, karena syahadat merupakan pernyataan untuk tunduk dan patuh pada Allah yang konsekuensi logisnya harus mentaati perintah Allah, dan salah satu perintah Allah adalah salat. Demikian juga dengan perintah Allah yang lainnya, yaitu puasa, zakat, dan haji.

Kalimat “sidqan min qalbihi” yang disebutkan pada hadis di atas menunjukkan bahwa setiap orang yang telah mengikrarkan kalimah syahadah berarti ia telah tunduk, taat, patuh, dan menyerahkan diri kepada Allah. Karena itulah, ia akan melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya secara konsekuen, termasuk yang ditegaskan pada Rukun Islam, dan juga kewajiban-kewajiban lainnya. Dengan pemahaman tersebut, maka dikembangkanlah pemahaman yang berciri tawassuth (pertengahan), tawazzun (seimbang), i’tidal (lurus), integral dan komprehensif menyeluruh.

Untuk melacak lebih jauh akar sejarah dari perselisihan dan pertentangan dua kelompok ini, akan lebih jelas jika kita mengikuti kembali sejarah timbulnya aliran-aliran dalam Islam.

Dari berbagai kenyataan ini, maka kita kembali harus mengembangkan pemahaman yang lurus. Bagaimanakah agar kita bisa mengidentifikasi ciri-ciri mereka (dua ekstrim tersebut)? Kita bisa mengidentifikasi dua ekstrim ini dari tiga macam:

Pertama, pengajian-pengajian mereka eksklusif (tertutup), dan juga sembunyi-sembunyi. Kalau anak-anak kita sudah masuk ke dalam kelompok yang tertutup seperti ini, maka berhati-hatilah. Mengapa dilakukan secara sembunyi-sembunyi? Karena di dalamnya ada proses pendoktrinan.

Kedua, apabila ada guru yang mendoktrinkan tidak boleh belajar kepada orang lain. Justru kalau guru yang benar, maka mereka akan menyuruh untuk belajar kepada guru yang lain sebagai perbandingan.

Ketiga, memilih-milih ayat Alquran dan Hadis yang sesuai dengan doktrin yang dikembangkan di dalam aliran tersebut.

Untuk menghadapi kelompok-kelompok ini, maka belajarlah agama pada ahlinya. Dengan begitu, insya Allah kita akan menjadi Ummatan Wasathan. Dalam hal pemahaman terhadap ayat-ayat Alquran dan juga Hadis, kita harus mengikuti petunjuk-petunjuk tafsir Alquran. Semoga kita selalu mendapatkan bimbingan dari Allah untuk menjadi Ummatan Wasathan. []

Disarikan dari Ceramah Ahad yang disampaikan oleh Dr. KH. Zacky Mubarak, M.A. pada tanggal 18 Januari 2009 di Masjid Agung Sunda Kelapa-Jakarta. Transkriptor: Hanafi Mohan.

Sumber:
http://thenafi.wordpress.com/2009/01/29/menjadi-ummatan-wasathan/

0 ulasan:

Posting Komentar