Pada suatu malam di sebuah taman, duduklah dua orang pria. Yang satunya seorang mahasiswa, sedangkan yang seorang lagi adalah tukang kebun taman itu.
Si Mahasiswa bertanya kepada tukang kebun itu, “Bang, manakah yang lebih besar, bintang ataukah bulan yang sedang kita lihat di langit kini?”
“Ya jelas bulan lah yang lebih besar dari bintang,” jawab Si Tukang Kebun dengan lugas.
“Abang salah. Yang besar itu bintang.”
Mendengar jawaban itu, Si Tukang Kebun berkata lagi dengan agak kesal, “Adik ini bagaimana sih? Udah gila kali ya? Udah jelas kok bulan yang lebih besar.”
Kemudian, dua orang itu saling mempertahankan pendapat. Suatu ketika di tengah perdebatan, Si Mahasiswa menantang Si Tukang Kebun untuk menanyai orang-orang yang sedang berada di taman. Jika pendapatnya lebih banyak didukung orang-orang tersebut, maka dialah yang menang. Taruhannya, yang kalah membayar uang seratus ribu rupiah kepada yang menang. Tantangan itu tak mengendurkan Si Tukang Kebun, malahan ia semakin bersemangat untuk memenuhinya.
Singkat cerita, lalu orang-orang yang ada di taman ketika itu mereka tanyai. Ada orang-orang yang sedang menyendiri, ada kumpulan orang yang sedang bercengkerama, serta banyak lagi yang lainnya.
Hasilnya, mayoritas orang-orang mendukung pendapat Si Tukang Kebun. Betapa senangnya Si Tukang Kebun, karena telah memenangkan pertaruhan itu dan mendapatkan seratus ribu rupiah dari Si Mahasiswa. Sedangkan Si Mahasiswa masih menyimpan kekesalan atas kekalahannya. Namun karena ia tipe orang yang menepati janji, ia pun mengaku kalah.
* * *
Si Mahasiswa kini sudah berada di rumahnya. Semalaman ia terus dibayangi kegelisahan. Gelisah karena ilmu yang ia pelajari selama ini tak ada gunanya di hadapan seorang tukang kebun. Menurut prasangkanya, bahwa mungkin saja orang-orang yang mendukung pendapat Si Tukang Kebun itu tak lain merupakan konco-konconya. Atau mungkin ini…, atau mungkin itu…, dan masih banyak lagi prasangka-prasangka lainnya. Hal ini di satu sisi menggembirakannya. Karena menurut prasangkanya itu, Si Tukang Kebun tak lebih hanyalah seorang bodoh yang pendapatnya didukung oleh orang-orang bodoh lainnya yang bersekongkol dengannya.
Namun, masih juga tersisa setumpuk kegelisahan di hati dan pikirannya. Jika memang Si Tukang Kebun dan orang-orang yang sependapat dengannya itu adalah orang-orang bodoh, sungguh betapa hina dirinya yang berpendidikan. Kebenaran yang ia usung yang didukung oleh ilmu pengetahuan kalah di hadapan orang-orang bodoh yang mengusung kesalahan. Atau mungkin sebaliknya, akulah orang yang bodoh, sedangkan mereka adalah orang-orang yang pintar, karena sudah bisa mengalahkanku. Atau merekalah pengusung kebenaran itu, karena mereka sudah bisa mengalahkan kesalahan yang aku usung.
Berputar-putar terus pikirannya semalaman. Hati dan pikirannya memang betul-betul menjadi tidak tenang. Kemudian ia teringat akan suatu perkataan yang ia agak lupa pernah dikatakan oleh siapa. Begini perkataan itu, “Kejahatan yang terorganisir bisa mengalahkan kebaikan yang tak terorganisir.” Kemudian ada lagi perkataan lain yang hampir serupa, yaitu, “Kesalahan yang diucapkan oleh seribu orang akhirnya akan menjadi kebenaran.”
Apakah ini yang terjadi pada diriku? benaknya. Kalau memang seperti itu keadaannya, maka aku memiliki kewajiban untuk menegakkan kebaikan dan kebenaran itu, yaitu kebaikan dan kebenaranku yang telah dikalahkan oleh kejahatan dan kesalahan Si Tukang Kebun dan orang-orang yang sependapat dengannya di taman. Yang kekalahan itu tak lebih hanya karena kebaikan dan kebenaranku tak terorganisir, sedangkan kejahatan dan kesalahan mereka terorganisir. Berarti kini aku harus segera mengorganisir kebaikan dan kebenaranku, sehingga bisa mengalahkan kejahatan dan kesalahan mereka.
Tapi bagaimana caranya? benak Si Mahasiswa. Lagi-lagi ia dihadapkan pada suatu permasalahan baru. Apakah ia harus mencontoh para laskar berjubah putih, berpeci putih, dan berjenggot panjang itu yang sering ia lihat di televisi akhir-akhir ini, yaitu para laskar yang selalu mengusung semboyan “Menegakkan kebenaran dan menghancurkan kebatilan,” yang mereka-mereka itu menyerang dan menghancurkan secara brutal dan tanpa prikemanusiaan terhadap siapa saja yang mereka anggap telah melakukan kebatilan. Apakah seperti itu caranya mengorganisir dan memenangkan kebenaranku? Hingga di sini, pikirannya terus berkecamuk.
Kemudian, karena sudah larut malam, pikirannya yang berkecamuk itu berhenti dengan sendirinya. Bukan karena kecamuk pikirannya itu memang ingin berhenti, tapi hanya karena matanya yang memang tak dapat diajak kompromi.
Lalu ia pun terlelap. Terlelap dari kecamuk pikirannya.
* * *
Paginya ia terbangun. Agak sedikit tenang memang. Namun, semakin ia berusaha untuk tenang, semakin tidak tenanglah hati dan pikirannya. Taman, Tukang Kebun, Orang-orang di taman, Bulan dan Bintang, Malam, Laskar berbaju putih, dan entah apalagi yang kini mulai merasuk ke pikirannya. Semuanya kembali terkonstruksi membentuk suatu permasalahan, bahkan menimbulkan suatu permasalahan dan pertanyaan baru. Ini tak lain karena matanya kembali terbuka di pagi ini. Andaikan di pagi ini matanya tak terbuka, mungkin hal-hal tersebut tak akan muncul lagi.
Dilihatnya buku-buku yang tertata rapi di rak. Ah, buku …. Masihkah kau berguna untuk menyelesaikan masalah yang kini kuhadapi? benak si Mahasiswa. Sedangkan isimu sudah kubaca semua. Tapi apa? Aku tetap saja kalah di hadapan Si Tukang Kebun.
Buku-buku itu ditatapnya. Benda yang tak dapat bergerak itu seakan-akan kini menariknya untuk mendekat. Ia seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, mengikuti saja tarikan buku-buku itu. Ia semakin mendekat. Dibacanya satu persatu judul-judul buku yang cukup banyak itu. Diambilnya satu buku ilmu alam. Cukup tebal bukunya. Dibukanya, kemudian dibacanya. Pikirnya, mungkin ia akan mendapatkan jawaban dari permasalahan yang sedang dihadapinya.
Ia memang penggila buku, sehingga ia memiliki metode tersendiri untuk membaca buku dengan cepat. Apalagi buku itu memang sudah pernah dibacanya. Setelah cukup teliti, akhirnya ia berkesimpulan, bahwa di buku itu ia tak mendapatkan jawaban yang memuaskan.
Beralih lagi ia ke rak buku. Kembali dilihatnya jejeran buku itu. Mungkin ada yang relevan dengan permasalahan yang sedang ia hadapi, pikirnya. Tertumbuk matanya pada satu buku yang agak tebal. Diambilnya segera buku itu, kemudian dibacanya dengan khidmat.
“Ah…, ternyata sama saja,” tiba-tiba ia berkata setelah dengan seksama membaca buku itu.
* * *
Kini, sudah hampir semua buku ia baca. Dan permasalahan yang ia hadapi tetap tak terjawab. Bayang-bayang keputus-asaan pun kemudian menyelusupi dirinya.
Oh…, haruskah aku menyerah? kembali benaknya berkata.
Karena ia adalah sosok yang tak mudah menyerah, maka keputus-asaan itu hanya beberapa saat membayangi, kemudian semangatnya muncul lagi. Semangat itulah yang mendorongnya untuk kembali ke rak buku. Dilihatnya buku-buku yang tersisa, dicarinya yang relevan. Jika kira-kira relevan, maka buku itu dibacanya dengan teliti. Beberapa kali ia melakukan hal yang sama, namun tetap saja tak menemukan jawaban.
Hingga di suatu saat kemudian, matanya tertumbuk pada buku yang tak terlalu tebal, dan agak usang. Seakan-akan ia baru pertama kali melihat buku itu. Sepertinya ia sudah agak lupa, apakah memang pernah membaca buku tersebut atau tidak? Pikirnya, kalaupun ia pernah membacanya, tak lain hanya iseng, atau tak terlalu serius untuk mengetahui isinya. Kini, ia menjadi tertarik untuk membaca buku tersebut. Tak menunggu lama, diambilnyalah buku tersebut, kemudian dibacanya dengan seksama.
Di tengah-tengah membaca buku tersebut, mulutnya mengeluarkan senyuman. Selain mulutnya tersenyum, wajahnya pun terlihat cerah, secerah matahari yang menyinari bumi. Terbaca olehnya di buku itu, bahwa metode mengetahui kebenaran itu ada tiga: Pertama, melalui inderawi. Kedua, melalui akal. Dan ketiga, yaitu melalui hati. Titik. [-,-]
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Hanafi Mohan
Ciputat, Januari – Februari 2008
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Sumber Gambar: http://ghurabaa786.blogspot.com/
0 ulasan:
Posting Komentar