Rabu, 04 Februari 2009

Falsafah Ilmu dalam Islam

Falsafah ilmu atau epistemilogi dalam Islam dapat dimulai pemba¬hasannya secara mudah dari pen¬dekatan kebahasaan. Perkataan Indonesia “ilmu” berasal dari per¬kataan Arab “‘ilm” yang satu akar kata dengan ‘alam (bendera atau lambang), ‘alâmah (alamat atau pertanda), dan ‘âlam (jagad raya, universe). Ketiga perkataan ini (‘alam, ‘alâmah dan ‘âlam) mewakili kenyataan atau gejala yang harus “diketahui” atau “di-ma‘lûm-i,” yakni, menjadi obyek pengetahuan atau ‘ilm, karena di balik kenyataan atau gejala itu ada sesuatu yang ber¬guna bagi manusia. Dan dari ketiga obyek itu, jagad raya atau ‘âlam ada¬lah yang hakiki, sementera bendera dan alamat hanya mengan¬dung makna alegoris saja.

Jagad raya mempunyai makna hakiki bagi manusia tidak hanya karena ukurannya yang besar, tetapi lebih penting lagi karena nilainya sebagai sesuatu yang diciptakan untuk menopang kebahagiaan hidup manusia. Dan jagad raya disebut ‘âlam karena fungsinya sebagai pertanda kebesaran Sang Maha Pencipta, yang merupakan penyingkap sebagian dari rahasia-Nya. Sebuah hadis Qudsî menyebutkan bahwa Allah adalah rahasia yang tersimpan rapat, namun Dia berkehendak untuk diketahui, maka Dia ciptakanlah jagad raya. Jadi jagad raya disebut ‘âlam karena ia adalah manifestasi Tuhan. Maka Tuhan adalah sumber pengetahuan manusia melalui wahyu lewat para Rasul dan Nabi yang harus diterima (dengan iman) dan dipelajari. Dia juga sumber pengetahuan manusia melalui jagad raya dan gejala-gejala¬nya yang harus diterima, diamati dan dipelajari. Sangat erat kaitan¬nya dengan pandangan ini, secara a priori Tuhan menciptakan manusia sebagai sebaik-baik makhluk-Nya, dan, dengan begitu, secara logis jagad raya pun diciptakan dengan tingkat yang lebih rendah daripada manusia (konsep taskhîr). Inilah yang dapat kita pahami dari firman Allah:

Dan Dia (Allah) menun¬dukkan (sakhkhara) untuk kamu (manusia) segala sesuatu yang ada di seluruh langit dan segala sesuatu yang ada di bumi semuanya, berasal dari Dia. Dalam hal itu sungguh terdapat ayat-ayat (sumber-sumber pengetahuan) bagi kaum yang berpikir (Q., 45: 13).

Firman itu, di samping berbagai firman lain yang bertema serupa, dapat dipahami lebih baik lagi jika dikaitkan dengan firman:

Sesungguhnya dalam penciptaan seluruh langit dan bumi, dan dalam perbedaan malam dan siang, terdapat ayat-ayat bagi mereka yang berpikiran mendalam. Yaitu mereka yang senantiasa ingat kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk dan terbaring di atas punggung-pung¬gung mereka, serta berpikir sungguh-sungguh tentang kejadian seluruh langit dan bumi. (Mereka la¬lu menyimpulkan): “Wahai Tu¬han kami, tidaklah Engkau cip¬takan ini semua dengan sia-sia. Maha Suci Engkau! Karena itu, hindarkanlah kami dari siksa neraka” (Q., 3: 191).

Jadi jelas bahwa karakteristik orang yang berpikiran mendalam ialah adanya orientasi hidup yang senantiasa tertuju kepada Tuhan (selalu ingat Tuhan kapan saja) dan berpikir sungguh-sungguh tentang jagad raya. Memahami jagad raya akan memberi manusia kemam¬puan untuk memanfaatkan gejala-gejala alam sehingga terpenuhi desain Sang Maha Pencipta bahwa alam memang diciptakan untuk kepentingan manusia sebagai rahmat-Nya. Lebih dari itu, memahami alam raya akan menghantarkan manusia kepada peningkatan pengalaman keruhanian yang lebih tinggi, yaitu keinsafan bahwa dalam alam raya terdapat kebenaran (Haqq), bukan kepalsuan (bâthil). Dan hanya dengan persepsi optimis-positif kepada alam raya sebagai benar, bukan palsu, akan dapat dihindarkan kesengsaraan hidup, dan diperoleh kebahagiaan. Ini adalah juga merupakan suatu tafsir atas keterangan dalam Kitab Suci bahwa Allah mengajari Adam “nama-nama sekaliannya” sebagai segi keluhuran Adam atas para malaikat dan bekalnya untuk menjadi Khalifah. Maka tidak heran bahwa dalam Kitab Suci terdapat penegasan bahwa di antara umat manusia ini yang benar-benar mampu menghayati secara mendalam akan kehadiran Allah dalam hidup (bertakwa) ialah orang-orang yang berilmu-pengetahuan atau para sarjana (al ‘ulamâ’), yang ciri utamanya ialah keberhasilan memahami akan alam sekitarnya.

Tidakkah kau perhatikan bahwa Allah menurunkan air dari langit, kemudian dengan air itu Kami (Allah) tumbuhkan berbagai buah-buahan yang bermacam-macam warnanya. Dan di pegunungan pun ada garis-garis putih dan merah dengan berbagai ragam corak warna, serta ada yang berwarna hitam kelam. Demikian pula halnya di kalangan umat manusia, binatang melata dan ternak, juga berbagai macam warnanya. Yang benar-benar takut kepada Allah, di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah mereka yang berpengetahuan (al ‘ulamâ’, para sarjana). Sesungguhnya Allah Maha Tinggi dan Maha Pengampun (Q., 35: 27).

Jadi ditegaskan bahwa dari kalangan umat manusia ini yang benar-benar takut kepada Allah, yakni, karena merasakan dan menginsafi benar kehadiran-Nya dalam berbagai gejala alam sekitarnya dan dalam hidupnya sendiri, ialah mereka yang paham akan gejala-gejala alam itu dan mengapresiasinya. Dan di situ nampak sekali apa maknanya bahwa jagad raya adalah manifestasi atau ‘âlam dari Allah Swt. Memahami alam dan mengapresiasi gejala-gejalanya merupakan sumber hikmah atau wisdom yang sangat berharga bagi hidup manusia. Karena itu alam dan gejala-gejala¬nya merupakan ayat-ayat Allah (sebagai âyât kawniyah, “ayat wujud nyata”), sama halnya bahwa Kitab Suci dan bagian-bagiannya, karena fungsinya sebagai sumber pelajaran, hikmah atau wisdom, juga meru¬pakan ayat-ayat Allah (sebagai âyât Qur’âniyah, “ayat wujud bacaan”). Secara epistemologis, antara kedua ayat itu (âyât kawniyah dan âyât Qur’âniyah), sama sekali tidak ada bedanya dalam nilai, karena, asal¬kan telah didasari oleh iman, pemahaman dan penghayatan akan kedua jenis ayat itu akan sama-sama meng¬hantarkan seseorang kepada tingkat kemanusiaan yang lebih tinggi, yaitu takwa kepada Allah dan keinsafan akan kehadiran-Nya. Dan jika pemahaman dan peng¬hayatan itu melahirkan tindakan praktis yang nyata melalui penga¬malan pengetahuan, maka kebaha¬giaan dan kelapangan hidup akan tercapai.

Dari paradigma di atas dapat diketahui dengan terang kaitan organik antara iman dan ilmu dalam Islam. Yaitu, bahwa ilmu tidak lain ialah hasil pelaksanaan perintah Tuhan untuk memperhatikan dan memahami alam raya ciptaan-Nya, sebagai manifestasi atau penyingkapan tabir akan rahasia-Nya. Garis argumen ini dibentangkan oleh Ibn Rusyd (Averroes), seorang failasuf Muslim yang karya-karyanya mempe¬ngaruhi dunia pemikiran Eropa dan mendorongnya ke zaman renaisans, dalam makalahnya yang amat penting, Fashl al Maqâl wa Taqrîr Mâ bayn al Hikmah wa al Syarî‘ah min al Ittishâl (Makalah Penentu tentang Pembuktian adanya Hubungan antara Hikmah [Falsafah] dan Syariat [Agama]). Ini berarti bahwa antara iman dan ilmu tidak terpisahkan, meskipun dapat dibedakan. Dikatakan tidak terpi¬sahkan, karena tidak saja iman men¬dorong adanya ilmu dan bahkan seharusnya menghasilkan ilmu, tapi juga karena ilmu itu harus dibimbing oleh iman dalam bentuk adanya pertimbangan moral dan etis bagi penggunaannya. Tetapi ilmu berbeda dari iman, sebab, sebagaimana dengan jelas diisyaratkan dalam firman Allah yang telah dikutip diatas, ilmu bersandar kepada observasi terhadap alam dan disusun melalui proses penalaran rasional atau berpikir (maka difirmankan bahwa jagad raya ini mengandung ayat-ayat hanya bagi orang yang berpikir, tidak bagi orang lain), sedangkan iman bersandar kepada sikap membe¬narkan atau mendukung kebenaran berita (naba’) yang dibawa oleh para pembawa berita atau mereka yang mendapat berita (nabîy) yang menyampaikan berita tersebut kepada umat manusia selaku utusan (rasûl) Allah. Memang benar dalam iman juga tersangkut penalaran rasional atau penggunaan akal, tetapi hal ini hanya menyangkut proses pertumbuhannya saja, sedangkan obyek iman itu sendiri, seperti kehidupan sesudah mati, misalnya, berada di luar jangkauan pengalaman empirik manusia sehingga tidak ada jalan untuk menerima adanya kehidupan sesudah mati itu kecuali melalui percaya kepada berita yang disampaikan para rasul.

Sumber: Budhy Munawar-Rachman (editor), Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Sketsa Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban, Yayasan Pesantren Indonesia Al-Zaytun, 2008

0 ulasan:

Posting Komentar