Minggu, 11 Mei 2008

Cerpen: Teman?

TEMAN?
Cerpen: Hanafi Mohan



Apa maksudnya tersenyum seperti itu padaku? “Hei, apa maksudmu tersenyum seperti itu padaku?” Kuhampiri orang yang tersenyum dengan menyiratkan seribu tanda tanya itu. Ternyata orang itu adalah orang yang kukenal. Dia adalah temanku. Tapi, masihkah ia pantas aku sebut sebagai teman? Mungkin ia telah merasa menang dariku. Mungkin ia telah merasa berhasil mengalahkanku, sehingga aku hancur berderai seperti ini.

“Hei kawan, mampirlah ke sini! Kita ngobrol-ngobrol dulu. Sepertinya kita sudah lama sekali tak pernah bertemu, apalagi sekedar ngobrol.”

Ia mencoba berbasa-basi. Tapi, tak ada salahnya juga jika kuhampiri dia. Apa maksudnya? Toh selama ini dia bukan teman yang terlalu akrab denganku. Dan aku sebenarnya tidak terlalu mengenal sosoknya. Sehingga, seperti akhir-akhir ini, dia telah melakukan tindakan-tindakan yang tidak kusangka-sangka, yang itu di luar dugaanku selama ini.

Kujabat tangannya. Tapi..., seperti ada yang lain dari jabatan tangan kami itu. Serasa ada yang bergetar. Entah tangan siapakah sebenarnya yang bergetar itu. Serasa ada degupan jantung yang begitu kencangnya. Juga itu entah degupan jantung siapakah? Ada sesuatu yang tak menentu dari jabatan tangan itu.

“Kau sekarang di mana? Apa saja aktivitasmu?” tanyanya.

Oh, pertanyaan klasik seperti itu mudah sekali untuk dijawab. Atau memang tak perlu untuk dijawab, karena hanya basa-basi yang sudah terlanjur basi. Aku mungkin bisa mengajukan pertanyaan yang lebih menukik, lebih tajam, lebih menusuk, dan lebih pedas dari itu.

“Aku sekarang ada di mana-mana, di mana saja, asalkan aku bisa bernaung, beraktifitas, dan melakukan apa saja yang kuinginkan. Aku adalah burung yang selalu mencari udara yang bebas, tanpa mau dikurung dan dikerangkeng dalam keterkungkungan. Kegiatanku adalah mencari sesuatu yang berarti bagi diriku.”

Tergamam dia mendengar penjelasanku itu. Lalu aku bertanya, “Kau sendiri bagaimana sekarang? Apa saja aktifitasmu? Sudahkah kau dapatkan yang kau inginkan? Sudahkah kau temukan kebahagiaan?”

Dia lalu berkata, “Kau mungkin lebih beruntung dariku, kau mungkin lebih berbahagia dariku, kau ...”

“Hei, apa maksudmu berkata seperti itu? Bukankah sekarang keadaanmu lebih baik dariku? Kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan, yang tadinya aku yang menginginkan itu terlebih dahulu. Kau jangan berbalik-balik lidah seperti itu. Kau jangan berusaha menyenang-nyenangkan ’ku dengan berkata seperti itu. Basi’, tau!”

“Kau janganlah marah seperti itu kawanku. Sebenarnya apa maksud dari perkataanmu tadi?”

Heh..., dia berlagak bego’, setelah apa yang dilakukannya selama ini.

“Oh ..., jadi kau belum mengerti dengan apa yang kukatakan tadi? Mungkin kau hanya mengerti bagaimana mengalahkanku, bagaimana menghancurkanku. Sudahlah kawan, kau jangan berpura-pura seperti itu! Aku sudah tahu dengan sepak terjangmu akhir-akhir ini. Sesuatu yang tidak kusangka-sangka. Andaikan bukan kau yang melakukan itu semua, tapi orang lain. Tapi, semua itu kau yang melakukannya. Kau yang kuanggap selama ini sebagai teman, ternyata lebih jahat dan lebih licik dari musuhku sendiri.”

Dia masih tergamam seperti orang bego’. Atau sedang pura-pura bego’, atau memang benar-benar bego’? Ingin sekali aku melakukan sesuatu. Aku ludah mukanya itu, atau aku tonjok sekencang-kencangnya hingga lebam-biru lah mukanya yang seperti orang bodoh itu. Beraninya bersembunyi di balik wajah yang lugu itu. Tapi di balik keluguan itu, ternyata lebih buas dari srigala, yang siap menerkam siapa saja, bahkan teman sekali pun.

“Kawan! Tapi entahlah, masihkah pantas aku menganggapmu sebagai kawan. Sudahkah kau mengerti dengan perkataan-perkataanku tadi?”

“Terus terang, aku tak mengerti dengan segala perkataanmu tadi.”

“Atau perlu kulakukan sesuatu agar kau mengerti?”

“Iya, lakukanlah!”

Aku berpikir sebentar, apa yang harus kulakukan untuk membuat orang bego’ dan lugu, sekaligus jahat, licik, dan buas ini, menjadi mengerti. Biar yang kulakukan ini setimpal dengan apa yang telah diperbuatnya selama ini.

“Kawan! Kau mau yang lembut atau yang keras?”

“Terserah kau lah. Tapi tolong kau jelaskan dahulu beda keduanya!”

Ih, dasar orang bego’. Begitu saja tak mengerti. Masa’ harus kujelaskan lagi.

“Kalau yang lembut, kau pasti akan lama sekali mengertinya. Bahkan sampai kiamat pun dunia ini, kau tak akan pernah mengerti. Tapi kalau yang keras, sekarang pun kau akan langsung mengerti. Ayo, pilih yang mana kawanku?”

“Mana baiknyalah menurutmu. Lakukan saja!”

Kutarik nafas dalam-dalam, kemudian ... buk ..., tinjuku melayang ke mukanya yang culun itu.

“Aduh ..., apa maksudmu ini kawan?” sambil ia meringis dan memegangi mukanya yang sudah lebam-biru itu.

Kemudian sepertinya ia mau membalas tinjuanku itu. Aku pun segera meregang kedua tangannya. “Sabar kawanku! Itulah maksudku cara yang paling cepat itu.” Kemudian ia kembali tenang lagi, namun masih menyiratkan kebingungan dengan apa yang telah kulakukan. Aku pun menulis sesuatu di kertas. Setelah itu kusodorkan kertas itu ke depan mukanya, biar terbelalak matanya membaca tulisan di kertas itu. “Kau tahu kan ini?” sambil terus kusodorkan kertas itu ke depan mukanya.

“Iya, aku tahu itu. Tapi, aku masih bingung. Apa maksud semua ini?”

“Seperti yang telah kukatakan sedari tadi, bahwa aku juga menginginkan apa yang telah kutuliskan itu. Bahkan aku duluan yang menemukannya. Jauh hari sebelum dirimu. Kau, bahkan seluruh dunia ini tahu akan hal itu. Tapi kau, dengan tampangmu yang lugu dan tak berdosa itu kemudian menyerobotnya, merampasnya dariku.”

“Tapi mengapa baru sekarang kau katakan dan ceritakan?”

“Baru sekarang katamu! Dasar, musang berbulu domba kau ini. Kau tak ubahnya seperti srigala, bahkan lebih buas dari srigala”

“Lantas apa yang harus kulakukan sekarang teman?”

“Terserahlah apa yang akan kau lakukan. Karena kau memiliki segalanya. Dengan itu kau bisa bertindak seenak perutmu.”

“Tapi tidak bisa seperti ini kawan. Semua ini harus kita selesaikan!”

“Apa lagi yang harus diselesaikan? Semuanya sudah jelas. Dan ..., kau puas kan dengan hal itu, akan apa yang telah kau dapatkan kini? Atau ..., kau mau membalas tinjuanku tadi? Nih mukaku,” kusodorkan mukaku ke depan matanya.

“Atau bagian mana saja, hingga kau puas. Sampai diriku hancur dan tercabik-cabik pun tak apa-apa.”

Ia tetap saja tak bergeming.

“Bukan seperti itu kawan! Ada hal-hal yang harus kau ketahui dan kujelaskan padamu.”

“Apa lagi yang harus diketahui? Apa lagi yang harus dijelaskan? Semuanya sudah terang-benderang seperti ini. Atau ..., apakah kau mau dan sudi melepaskan yang telah kau rampas dariku itu?”

“Bukan itu maksudku kawan, tapi ...”

Datanglah seorang perempuan muda mendekati kami, lebih tepatnya lagi mendekati temanku itu. Suasana berubah menjadi tegang. Tapi ..., aku tak mau larut terlalu lama dengan ketegangan itu.

“Teman, kalau begitu aku pergi dulu.”

Kemudian aku pun segera beranjak dari kedua orang itu.

Tapi ..., langkahku seakan menjadi berat, kemudian menjadi terhenti. Ada tangan lembut yang memegang tanganku. Aku pun berbalik. Ternyata perempuan muda itu yang memegang tanganku. Aku tak kuasa dengan pegangan selembut itu. Kulihat titik-titik air mata mengalir lambat dari sudut mata perempuan muda itu. Mengapa titik-titik air mata itu lagi yang harus kulihat? Oh Tuhanku, mengapa begitu beratkah cobaan yang Kau timpakan kepadaku?

Akhirnya, aku kuatkan juga tekad untuk beranjak dari tempat itu. Pantang bagiku untuk menjilat ludah yang telah kukeluarkan.

Lambat laun, pegangan tangan perempuan muda itu pun lepas dari tanganku, seiring tekadku yang semakin kuat untuk beranjak dari situ.

“Tunggulah sebentar kawan!” pinta temanku itu.

“Sudahlah kawan, semuanya sudah jelas. Kecuali kalau kau mau menerima tawaranku tadi. Tapi itu pasti akan berat kau lakukan. Kalau begitu aku permisi dulu kawan.” Aku pun segera berlalu dari tempat itu.

“Kawan..., janganlah kau pergi!” teriak temanku. Tapi tetap tak kupedulikan. Tak ada lagi yang bisa menghalangi langkahku. Tidak siapa pun, dia temanku itu, dia perempuan muda yang bersama temanku itu, atau siapa pun yang akan melakukan itu terhadapku. Karena, aku akan terus berjalan menyusuri jalan dan liku-liku kehidupan ini. Karena hingga kini dunia belum berhenti. [-,-]

Ciputat, 10-11 Juni 2006

2 ulasan:

  1. Pokoknya gini. Saya bangga dengan masukan Samoeyan. Untuk itulah diposting, untuk disempurnakan. Dan, itu akan disampaikan pada editor. Kita biarkan editor 'bekerja' he he ... kalau diborong semua ntar mereka kerja apa.

    Mas ... baru belajar mulis novel he he . Pokoknya tulis, baru ntar diperbaiki. Sampai Sabtu acara padat banget, mungkin minggu mulai lagi.

    Gaya saya, tulis saja. Begitulah. Target jadi naskah, baru ntar disiangi.

    Sekali lagi makasih. Salam sobatmu.

    BalasHapus
  2. senang sekali atas kunjungan Abang ke blog saya.

    Wah, Abang yg baru belajar nulis novel saja sudah sebagus itu novelnya. Salut.

    saya jadi termotivasi utk segera menyelesaikan Novel saya dan hal2 lainnya yg hingga kini belum selesai.

    Ditunggu Bang lanjutan Novelnya.

    Salam persahabatan.

    BalasHapus