Kamis, 01 Maret 2012

#Kampong


Di masa Kesultanan Pontianak masih berdaulat, Kampong adalah satuan kepemerintahan yang langsung berada di bawah naungan Kesultanan. Tiap-tiap Kampong dipimpin oleh seorang Panglime, Tok Kaye, Punggawe/Penggawe, ataupun Kepala’ Kampong (untuk Kampong pemukiman Melayu). Sedangkan Kampong pemukiman Cina (Tionghoa) dipimpin oleh seorang Kapitan.

Belakangan hari ketika Negeri Pontianak dan Negeri-Negeri lainnya di Borneo Barat digabungkan secara paksa ke dalam wilayah negara baru yang bernama “Indonesia”, maka dengan secara dipaksa juga sistem dan struktur pemerintahan yang tadinya berlaku di Negeri-Negeri Berdaulat yang ada di Borneo Barat dihapuskan (dan atau dimatikan), kemudian diganti dan diseragamkan dengan sistem dan struktur pemerintahan yang diimpor dari Pusat Kekuasaan Negara “Indonesia”. Sehingga struktur “Kampong ” kemudian digantikan dengan sistem/struktur “desa” dan “kelurahan”.

Jadi, Kampong adalah struktur pemerintahan yang genuine (sejati) yang pernah ada dan pernah berlaku di Negeri-Negeri Berdaulat yang ada di Borneo Barat. Tapi anehnya, kata “kampong” kemudian menjadi suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkan/menggambarkan sesuatu yang terbelakang/ketinggalan zaman/tidak modern.

Tentunya kita tak setuju dan sangat keberatan kalau istilah “kampong” (yang kemudian menurunkan kata baru yaitu “kampungan”) dikonotasikan untuk mengasosiasikan sesuatu yang “terbelakang” alias “kolot”. Semestinya kata “kampungan” (bukan "kampong"/"kampung") ini dihapuskan dari perbendaharaan kosakata kita. Penggunaan kata-kata tersebut (dengan konotasi negatif seperti itu) menurut saya merupakan suatu penistaan dan juga merendahkan peradaban suatu Bangsa dan suatu Negeri. Sesuatu yang tak baik itu tak selayaknya diteruskan, pun tak pantas pula diamini.

Kalau kampong/kampung itu dikatakan sebagai suatu tempat yang terbelakang (yang tidak maju, tidak modern, alias kolot), lantas tempat yang maju (yang tidak terbelakang) itu yang seperti apa? Apa pula standard yang digunakan untuk menilai maju atau tidak majunya peradaban suatu tempat seperti yang dimaksud itu? Standard seperti apa pula yang digunakan untuk menilai peradaban suatu tempat itu terbelakang atau tidak terbelakang? Pada Novel “Bumi Manusia”, Pramoedya Ananta Toer mengingatkan: "Bersikap adillah sejak dalam pikiran!” [~ Hans ~]


- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Hanafi Mohan
Tanah Betawi, Sabtu, 25 Februari 2012
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -


Tulisan ini sebelumnya merupakan Tweet pada Twitter @hanafimohan dengan HashTag: #Kampong.

Sumber Foto:
- http://www.panoramio.com/
- http://static.panoramio.com/


Catatan:

Foto tersebut di atas adalah Perkampongan-Perkampongan di sekitar kawasan Istana Qadriyah Kesultanan Pontianak (dipandang dari arah Sungai Kapuas). Di Foto tersebut nampak Masjid Jami' Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadri (Masjid Jami' Kesultanan Pontianak) dipandang dari arah Jembatan Kapuas (Jembatan Kapuas-I). Coba perhatikan pada foto tersebut, ada nampak pegunungan/perbukitan di hilir Sungai Kapuas/hilir Negeri Pontianak.


Tulisan ini dimuat di: http://www.hanafimohan.com/

10 ulasan:

  1. Kalau struktur kampung sudah berubah dan bertukar menjadi desa atau keluruhan di Kalbar bagaimana dengan pimpinan kampung? Masih ada lagikah penghulu atau ketua kampung.

    BalasHapus
  2. @Bang Hero Melayu, Karena sudah bertukar menjadi "desa" dan "kelurahan", maka pimpinannya disebut "Kepala Desa" dan "Lurah" atau "Pak Lurah", dan itu berlaku di semua tempat di Negara Indonesia. Tapi kami di Pontianak kadang masih sering memanggil pimpinan Kampong kami dengan sebutan Kepala' Kampong atau Penggawe.

    "Desa" dan "Kelurahan" adalah sistem/struktur pemukiman di Jawa. Sistem ini dipaksakan berlaku di seluruh Indonesia, padahal setiap Negeri mempunyai sistem pemukiman dan pemerintahan yang khas semenjak masa Kesultanan.

    BalasHapus
  3. Pahamlah kite, semuenye nak disamekan dengan Tata Care di Jawe, manelah kenak, Budaye Melayu jaoh lebeh tepat untok orang Melayu, jangan nak dipaksekan untok di Jawekan. Feodal itu ade di Jawe, nak ketemu Raje atau Tuan dengan mengesot, ini tadak ade di tanah Melayu.Jadi yang Kampong dan Kampongan itu bukan di tempat kite, tapi nun jaoh disane.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Keberagaman itu adelah Sunnatullah. Menghapuskan keberagaman itu dengan melakukan upaye-upaye penyeragaman (dengan bebagai macam carenye itu) tentunye merupekan tindakan melawan sunatullah itu sendiri'.

      Hapus
  4. Hanafi Mohan
    Kalau di Malaysia Penggawa wujud hanya di Kelantan sahaja. Mantap

    BalasHapus
  5. Mantap Boy, kawan akan sambut catatan ini dengan balasan catatan juge, lagi mencari data hehehe.. lanjooot mantap

    BalasHapus
  6. Kalau di Kuching, kampung tidak semestinya mundur. di sini Ketua Kampong dah jadi Ketua Kaum tapi orang kampong masih panggil ketua kampong sebagai 'tekampong'. Bagi setiap 3 kampong ada seorang Penghulu.

    BalasHapus
  7. ingin sekali wisata ke kalimantan, trims infonya mas

    BalasHapus