Jumat, 06 Januari 2012

Kembali Mendedahkan Bahasa Kita


Perjumpaan berbagai macam arus budaya yang kemudian berpusar pada dinamika masyarakat yang ada di dalamnya mau tak mau suka tak suka merupakan suatu keniscayaan. Pusaran budaya tersebut lebih dahsyatnya kemudian menjelma riak gelombang yang lambat laun mewujud ombak nan besar yang menghantam-hantam budaya di sekitarnya yang tak lain merupakan budaya pembentuknya. Ada beberapa kemungkinan yang bakal terjadi: budaya yang dihantam dilibas itu tetap berdiri namun terhuyung-huyung, budaya yang dihantam itu hancur berkeping-keping, budaya yang dihantam itu lebur ke dalam gelombang besar. Atau mungkin juga menjadi seperti pasir yang dihantam gelombang, yang terhempas ke tepian, yang butiran-butirannya bertabur-biaran terserak dilamun ombak nan garang, kemudian di suatu masa butiran-butiran pasir yang tercerai-berai itu berkumpul kembali ke tepian menjadi pantai nan indah selaksa pesona.

Budaya (termasuk juga bahasa) adalah hasil kreatif dari bangsa pemiliknya. Persentuhan dan saling pengaruh mempengaruhi dengan budaya lainnya tentu tak dapat pula dipungkiri. Semakin terbuka suatu bangsa, maka semakin kompleks lah persentuhan budaya yang terjadi di dalam masyarakatnya. Budaya (termasuk juga bahasa) akan bertahan di masyarakat pemiliknya, tinggal kemudian keberlangsungannya sebagai budaya dan bahasa kaum apakah akan tetap tegak berdiri di tengah hantaman badai besar yang bertopengkan nasionalisme dan modernisme.

Berdasarkan penelitian-penelitian ter-muta-akhir, ternyata kini tak sedikit bahasa-bahasa kaum di Kepulauan Melayu ini yang terancam punah karena semakin kuatnya cengkeraman Bahasa Nasional, cengkeraman yang mendominasi dan memangsa bahasa ibu-nya sendiri. Bahkan ada juga beberapa kasus kekerasan oleh tentara nasional terhadap orang perorangan di negara ini karena orang tersebut tidak fasih berbahasa nasional. Ironis memang terjadi di tengah-tengah negara yang katanya berfalsafahkan “Pancasila” yang bersemboyankan “Bhinneka Tunggal Ika” ini.

Sudah jamak diketahui bahwa Bahasa Melayu merupakan lingua franca di Kepulauan Melayu ini, bahasa yang kemudian diklaim sebagai Bahasa Indonesia (bahasa persatuan, bahasa nasional di republik ini). Bahasa Nasional tersebut kini semakin hari semakin jauh meninggalkan kaidah dan kearifan Bahasa Melayu. Karena apa? Mungkin salah satu sebabnya karena Bahasa Nasional tersebut sudah melupakan identitas sejatinya, bahkan telah dengan serampangan mengubah-ubah nama yang sejati dari bahasa tersebut (dengan serampangan diubah menjadi bernama “Bahasa Indonesia”, padahal sejatinya bernama “Bahasa Melayu”, itulah salah satu upaya melupakan dan menenggelamkan identitas aslinya). Untungnya penutur asli Bahasa Melayu hingga kini masih bertahan (di negerinya masing-masing ataupun di negeri rantau) dengan berbagai macam ragam dialeknya.

Sungguh pun begitu, di masing-masing negeri Melayu juga tak luput dari kekhawatiran akan keberlangsungan Bahasa Melayu-nya di tiap-tiap negerinya. Apa pasal? Tentu begitu banyak pula penyebabnya: media massa, tren (mode), pergaulan, bahkan juga sistem pendidikan, yang kesemuanya itu dibayang-bayangi oleh Puaka Globalisasi, ditakut-takuti oleh Hantu Modernisasi, dihembus-hembusi oleh Angin Surga Nasionalisme. Mungkin tak sedikit kini orang-orang Melayu yang sudah malu berbahasa Melayu, apalagi berbahasa Melayu dialek negeri-nya. Bagi para puteranya yang sadar akan kenyataan ini, sudah semestinya bergandengan tangan seiring sejalan menghalau anasir-anasir gelap berwujud monster itu, raksasa-raksasa buas nan beringas yang akan menginjak-injak dan memusnahkan bahasa ibunya, bahasa tanah tumpah darahnya, yang dengan keagungan bahasa ibunya itulah dirinya tumbuh dan dibesarkan menjadi putera-puteri Ibu Pertiwi.

Upaya terkecil yang mungkin bisa dilakukan kini adalah kembali mendedahkan bahasa kita, bahasa ibu kita, bahasa nan agung yang hingga kini masihlah menjadi lingua franca di Kepulauan Melayu ini. Salah satu media yang cukup efektif untuk mendedahkannya yakni melalui media tulisan, apalagi kini setiap orang bisa menjadi “penulis”, tak pandang dia penulis termasyhur ataupun orang awam. Dunia yang bagai Desa Buana (Global Village / Desa Global) ini marilah dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk mendedahkan bahasa kita, mendedahkan "Bahasa Ibu" kita. [~]


- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Hanafi Mohan
Tanah Betawi, Senin - 8 Shafar 1433 Hijriyah /
2 Januari 2012 Miladiyah

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -


* Ditulis di tengah-tengah kerinduan yang membuncah-buncah kepadamu, Borneo Tercinta. Dikaulah Borneo. *



# Tulisan ini sebelumnya merupakan Komentar pada Note FB Hanafi Mohan yang kemudian dijadikan sebagai Update Status FB Hanafi Mohan.


Sumber Gambar:
- http://knotwisez.blogspot.com/
- http://melayuonline.com/


Tulisan ini dimuat kembali di Laman "Arus Deras" >> http://www.hanafimohan.com/ dengan penyuntingan yang agak longgar tanpa mengurangi isi dan maksud tulisan.


2 ulasan:

  1. Kame' bangga sama Hanafi Mohan

    BalasHapus
  2. Kembalikan Bahasa Indonesia kepada asalnya Bahasa Melayu. Kami tidak mau Bahasa Melayu diubah menjadi Bahasa Indonesia

    BalasHapus