Di hari-hari terakhir musim dingin, sebelum musim dingin terakhir
Tinggallah cerita satu sama lain
Cerita yang tak tahu bermulanya, dan tiba-tiba berakhir
Ketika ingin menghabiskan waktu yang indah bersama hadirnya fajar pagi
Gelisah terseok-seok di kaki langit
Sepanjang hari hingga menemui semburat senja merah jingga
Lama terpaku hingga memendar beribu-ribu warna
Syahdu terasa walau sejenak bersamanya
Apakah aku harus pergi tanggalkan semua kesyahduan itu?
Pada musim dingin terakhir, orang-orang lari menyembunyikan diri
Entah mengapa, aku masih di sini dan terus sendiri
Ketika sedang berjalan dan bersembunyi sendiri dengan cepat ke dalam hatinya
Hangat membelai lembut enggan ‘tuk pergi
Dan sampai terjatuh sujud bersimpuh di suatu malam di gerbang kalbunya
Munajatkan dalam tiap tarikan napasku
Tafakur hamba mengharapkan hadirnya keajaiban dari Sang Pemilik Kehidupan
Di tiap ruas jariku ada namamu
Umpama kaki langit dan lautan yang tak bersempadan
Berhias teja menyelimuti rasa
Tiba-tiba mendung berarak dihembus pawana
Terus memekat dan enggan ‘tuk menepi
Dan tiba-tiba mengapa hidup setelah berjanji
Tak ter’azam bak pawana di musim semi
Dan membuat kita hidup sepenggalan jalan, kemudian kembali dan membunuh kita
Bak ratusan pedang menusuk raga ini
Kita mendengar, dan sejak itu kehidupan sehari-hari bagaikan tak bernyawa
Kita pun tahu, tapi mata tetap terpejam
Takkan leka untaian zikir laut kepada langit, walau dihantam badai prahara
Bergetar lirih di sudut bibir
Laut pun meruap ke langit ditempa mentari yang panas meradang
Memupuk gumpalan hitam kelam hendak meringis
Bergemuruh halilintar sahut menyahut bersama meluncurnya panah kilat sambar menyambar
Di sepanjang jalan, banyak orang yang akan kembali pulang
Meski melalui jalan yang tak sama dengan pergi
Walaupun kaki melangkah jauh memutar melintasi jalan setapak demi setapak
Tujuan yang satu tetaplah hingga di persimpangan
Mengedar pandangan, lalu mengabur gelap cahaya penerang mata
‘Ku raih penopang, diri rasa goyah
Limbung tertatih-tatih memerangkaki gurun tak bernama
Sejauh mata memandang, hanya fatamorgana
Berpinar pancarona menyilap mata ketika mentari bakar dahaga
Masih di gersangnya gurun yang ‘ku tak tahu namanya
Di musim dingin terakhir, menggigil jasad, meronta sukma
Apakah ini akhir dari kehidupan?
Musim panas berkepanjangan menanti di hadapan
Tak ada tempat berteduhku, kering gersang
Berjalan memandang sekeliling, bertanya setiap hari
Jawaban tiada menerangi hati
Semestinya terus berjalan menuju cahaya benderang di sana
Menepati janji yang telah ter’azam di sanubari
Yang tak lekang diterjang panas berkepanjangan
Memegang teguh amanah yang telah dititipkan
Menyongsong takdir yang telah tertulis indah di Lauhul Mahfuzh. [~]
#*#*#
Puisi oleh: Hanafi Mohan & Syach Ranie
Editor: Hanafi Mohan
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Puisi ini berasal dari: Twitter @hanafimohan dan Twitter @syachranie_ dengan HashTag: #AkhirMusimDingin, #AkhirMusimDingin2, #AkhirMusimDingin3, dan #AkhirMusimDingin4. Sebelumnya telah dimuat secara terpisah dengan judul: [Puisi Twit] #AkhirMusimDingin, [Puisi Twit] #AkhirMusimDingin2, [Puisi Twit] #AkhirMusimDingin3, dan [Puisi Twit] #AkhirMusimDingin4
Puisi ini dimuat kembali secara lengkap di: http://www.hanafimohan.com/
Sumber gambar: http://loveearthalways.com/
***Catatan: Puisi ini awalnya terinspirasi dari lagu berjudul "Awakher Al Shita"/"Awakhir Al-Syita" yang dipopulerkan oleh Elissar Zakaria Khoury (lebih dikenal dengan nama "Elissa") yang merupakan penyanyi perempuan dari Lebanon. Lagu "Awakher Al Shita"/"Awakhir Al-Syita" (yang bermakna "The End of Winter"/"Akhir Musim Dingin") merupakan salah satu lagu yang terdapat di dalam Album "Ayami Beek"/"Ayyami Biik" yang dirilis pada 18 Desember 2007. Lagu yang ditulis oleh Nader Abdullah ini dinyanyikan di dalam Bahasa Arab Dialek Mesir. Komposer dari lagu yang berdurasi 4 menit 33 detik ini adalah Tamer Ali, Arranger-nya yaitu Tamim, dan Mix Engineer-nya yaitu Edward Meunier.
ceritanya bagus mas
BalasHapus