Ketika kelas dua SD, aku disekolahkan ayahku pada dua tempat sekaligus. Sekolah pertama adalah SD yang ada di kampongku. Sedangkan sekolah kedua adalah Madrasah yang dikelola oleh pak mudeku (pamanku/adik ayahku). Nama madrasah ini diambil dari nama datok/kakekku sebelah emak/ibuku (ayah dari emakku), yang tak lain juga merupakan pak mude (paman) dari ayahku. Diabadikannya nama datokku sebagai nama madrasah tersebut tak lain karena datokku adalah 'ulama pada masanya.
Entah mungkin karena ekonomi keluargaku yang pas-pasan atau mungkin karena aku adalah cucu dari orang yang diabadikan namanya sebagai nama madrasah yang dikelola oleh pak mudeku itu, sehingga kemudian aku bebas dari biaya untuk bersekolah di madrasah tersebut. Sungguh suatu berkah yang hingga kini takkan pernah kulupakan.
Di antara teman-teman masa kecilku, ternyata hanya aku yang ketika itu bersekolah di madrasah. Ketika teman-temanku asyik bermain sepulang bersekolah SD, maka tentunya berbeda dengan aku. Mungkin hanya sedikit waktuku untuk bermain sepulang sekolah SD. Kalau pulang dari SD sekitar pukul 12 siang, maka pukul 2 siangnya aku harus melanjutkan bersekolah di madrasah hingga selesai sore harinya sekitar pukul 5 sore.
Jika sekolah SD selama 6 hari (Senin hingga Sabtu), maka bersekolah di madrasah hanyalah 4 hari dalam seminggu (Senin hingga Kamis). Pelajaran yang kuterima di madrasah tentunya berbeda dengan pelajaran yang kuterima di SD. Yang pasti, di madrasah kami lebih banyak belajar mengenai agama Islam.
Pada usia-usia seperti ini, kami para santri madrasah sudah disuguhi pelajaran Bahasa Arab dan Bahasa Inggris yang tidak kami dapatkan di SD. Juga disuguhi ilmu gramatikal Bahasa Arab, yaitu Nahwu Sharaf, yang menurutku ketika itu, bahwa ilmu yang satu ini sangat rumit. Yang mengajar ilmu Nahwu Sharaf ini adalah Kepala Madrasah sendiri, namanya Muhammad Shaleh, yang biasa kami panggil Tok Abu. Orangnya sudah cukup tua, mungkin hampir seumuran dengan almarhum kakekku yang namanya diabadikan sebagai nama madrasah. Tok Abu adalah teman sejawat kakekku, ia juga adalah guru dari ayah dan pamanku. Jadi seharusnya aku memanggilnya dengan sebutan Tok Guru ataupun Tok Ustadz, bukanlah Pak Guru ataupun Pak Ustadz. ("Tok"/"Datok" artinya adalah kakek).
Di madrasah, kami para santri cilik juga mempelajari ilmu Tajwid, yaitu ilmu untuk membaca Alquran. Ilmu yang satu ini diajar oleh pamanku sendiri yang juga sekaligus merupakan Ketua Yayasan yang menaungi madrasah. Pamanku yang merupakan pengelola madrasah ini tak lain merupakan adik ayahku. Kami para anak-kemanaknya (keponakannya) memanggilnya Pak Andak. Selain itu, kami juga mempelajari Ilmu Tarikhul Islam, yaitu ilmu mengenai Sejarah Peradaban Islam. Ilmu yang satu ini diajar oleh pamanku yang merupakan saudara tertua dari ayahku. Kami para keponakannya memanggilnya Yah Long.
Untuk pelajaran-pelajaran yang lain, maka guru-guru (ustadz dan ustadzah) nya adalah orang-orang yang lebih muda. Di antaranya memang kebanyakan adalah kerabatku sendiri.
Dengan segala kesabaran dan segenap kekhidmatan, para ustadz dan ustadzah di madrasah ini selalu mendidik dan membimbing kami para anak-anak Melayu ini dalam naungan akidah dan akhlaq Islam. Mengapa kukatakan bahwa mereka mendidik kami para santri cilik ini dengan kesabaran dan kekhidmatan? Ini tak lain karena anak-anak Melayu yang bersekolah di madrasah ini datang dari keluarga dengan berbagai latar belakang yang beragam. Sebagian kecil datang dari keluarga yang lumayan mapan, sedangkan sisanya datang dari keluarga menengah ke bawah. Kami yang datang dari berbagai macam latar belakang ini kebanyakannya adalah anak-anak yang "nakal", yaitu anak-anak yang disekolahkan orang tuanya di madrasah agar "kenakalannya" menjadi berkurang.
Satu pelajaran yang kudapatkan di sini, bahwa sekolah agama Islam oleh kebanyakan umat Islam sendiri tak lain dijadikan sebagai tempat untuk mendidik anak-anak nakal yang tak sanggup lagi dididik oleh orang tuanya. Para orang tua yang menyekolahkan anaknya di madrasah karena mereka sudah tak sanggup lagi mendidik anak-anaknya itu di rumah. Memang tidak semuanya seperti itu, mungkin hanya sebagian kecil masyarakat Islam yang berpandangan seperti itu.
Misalkan, ada saja orang tua yang memasukkan anaknya ke pesantren bukan karena memang anaknya itu memiliki kecenderungan dan ketertarikan untuk mempelajari dan mendalami Ilmu Keislaman, melainkan tak lebih karena anaknya itu nakal yang orang tuanya tak sanggup lagi mendidik anaknya itu di rumah. Tidak salah memang. Tapi tentunya kita juga menginginkan, bahwa anak-anak yang bersekolah di pesantren adalah memang anak-anak yang tertarik untuk mempelajari dan memperdalami Ilmu Keislaman, bukan hanya sekedar anak itu adalah anak nakal yang tak sanggup lagi dididik oleh orang tuanya di rumah.
* * *
Para temanku yang tak bersekolah di madrasah, tentunya keseharian mereka lebih ceria lagi dariku. Itulah yang ada di benakku ketika itu. Mereka memiliki waktu bermain yang lebih banyak, juga kebebasan yang lebih banyak. Masa kecil mereka tak harus terlalu banyak memporsir pikiran, juga mereka tak harus memikirkan segala sesuatu yang lebih dari apa yang mereka inginkan.
Sekembali dari madrasah pada pukul 5 sore, tubuh kecilku tentunya sudah begitu letih, sehingga sedikit sekali ada kesempatan untuk bermain. Tapi aku cukup diuntungkan, bahwa madrasah tak jauh dari rumahku yang berada di pesisir Sungai Kapuas. Paling hanya beberapa menit jaraknya. Kalau SD berjarak kira-kira 10 menit dari rumahku ke arah darat.
Kira-kira hampir setengah enam sore, aku sudah harus mandi dan mempersiapkan diri menuju ke surau yang juga tak jauh dari rumahku. Aktivitas ke surau adalah satu dari sekian banyak aktivitas yang aku senangi. Kami anak-anak Melayu ini akan berebutan menunjukkan kebolehan suara kami melalui mikrofon yang ada di surau. Tentunya bukan bernyanyi, melainkan mengumandangkan "bang" (azan). Di antara beberapa orang anak Melayu itu, aku salah satunya yang biasanya kebagian untuk mengumandangkan panggilan sembahyang itu. Ini tak lain karena suaraku lumayan bagus, apalagi aku adalah santri madrasah yang ejaan bahasa Arabnya agak lebih baik dibandingkan yang lain.
Sembahyang Maghrib berjamaah di surau adalah sembahyang yang cukup banyak peminatnya di lingkunganku ketika itu. Sebaliknya, sembahyang Isya' tak terlalu banyak peminatnya, paling-paling hanya beberapa gelintir, itupun biasanya hanya orang-orang yang sudah cukup berumur. Entah mengapa, mungkin karena Sembahyang Isya' itu rakaatnya lebih banyak dibandingkan sembahyang Maghrib.
Kalau di siang hari, orang-orang di sekitar rumahku jarang yang sembahyang di surau, karena surau digunakan oleh siswa-siswi SMP yang berada di bawah naungan yayasan pesantren yang dikelola oleh pak mudeku untuk sembahyang Zhuhur. Sedangkan pada sore harinya, surau digunakan oleh santri-santri madrasah untuk sembahyang Ashar.
Pada masa kecilku, tak terlalu banyak hiburan yang bisa kami nikmati, paling-paling di malam hari hanya menonton televisi di rumah tetangga yang sudah punya alat elektronik yang satu ini. Biasanya kami menonton televisi di rumah Deni, Maklum, karena di antara kami, keluarganyalah yang cukup berada. Karena yang punya televisi hanya keluarga Deni, maka kalau lagi waktunya menonton televisi, maka penuhlah rumah Deni oleh orang-orang di sekitar rumahku. Sedangkan bagi kami anak-anak, biasanya tak terlalu peduli untuk menonton televisi, karena kami lebih asyik dengan permainan kami di luar rumah, di atas gertak (jalan kayu di atas sungai). Orang tua-orang tua kami ketika itu biasanya tak terlalu membatasi waktu kami. Pada waktu malam, kami biasanya baru usai bermain kira-kira pukul sembilan ataupun sepuluh malam. Kalau lagi bulan terang, biasanya kami bisa lebih lama lagi bermain.
* * *
Di SD, kami belum mendapatkan pelajaran Bahasa Inggris, karena pelajaran ini baru didapatkan ketika SMP. Maka di madrasah kami telah dahulu mendapatkan pelajaran ini.
Yang mengajar Bahasa Inggris adalah Pak Taufik Ibrahim. Spesialiasi sebenarnya bukanlah Bahasa Inggris, tetapi ia adalah lulusan Jurusan Teknik Mesin. Pengalamannya bekerja di kapal, sehingga menjadikannya bisa berbahasa Inggris, dan dia juga pernah menjadi santri Pesantren Gontor, namun tidak sampai selesai. Dan memang untuk menguasai ilmu mesin juga harus bisa berbahasa Inggris.
Pak Taufik adalah guru yang sangat kreatif. Padahal ia bukanlah lulusan sekolah guru dan sejenisnya. Tapi metode yang ia gunakan untuk membuat kami keluar dari kebutaan terhadap bahasa Internasional yang satu ini patut diacungi jempol. Belajar tidak hanya di dalam kelas, tapi tak jarang juga keluar kelas. Pernah juga ia membawakan seorang native speaker untuk berbicara dengan kami. Ya, seorang turis, kami waktu itu menyebutnya "orang barat". Bagiku ketika itu adalah pertama kalinya melihat tampang orang barat yang hanya pernah aku lihat di televisi. Orangnya tinggi, mungkin bagi kami seperti raksasa.
Gemparlah kampongku ketika itu dikunjungi orang Barat. Bagaikan orang Barat itu seperti makhluk asing yang datang dari luar angkasa, yang belakangan aku ketahui dari film-film bahwa orang barat biasa menyebut makhluk luar angkasa dengan sebutan "alien", yang belakangan juga ketika kuliah baru kuketahui arti sebenarnya dari "alien", yaitu asing atau orang asing, bukanlah makhluk luar angkasa. #*#
[Hanafi Mohan – Ciputat, medio Juni 2008]
Cerita sebelumnya
Kembali ke Daftar Isi
Sumber Gambar: http://www.telegraph.co.uk/ dan Fans Page "Alien Snowboards".
0 ulasan:
Posting Komentar