Era 80-an adalah masa-masa yang begitu indah menurutku, juga merupakan saat-saat terpenting dalam hidupku. Pada tahun 1981 aku dilahirkan, pada sekitar 1980-1981 Jembatan Kapuas yang merupakan hadiah dari Jepang itu didirikan, dan pada tahun 1988 ketika aku berumur 7 tahun, aku mulai merasakan bangku sekolah. Ya …, pada tahun ini aku mulai masuk SD yang ada di kampongku, tanpa melalui bersekolah TK terlebih dahulu, dan kemudian pada tahun 1989 aku juga sambil bersekolah agama (madrasah) pada siang hingga sore harinya di madrasah yang dikelola oleh pak mudeku (pamanku, adik dari ayahku).
Pada masa-masa ini, masyarakat Indonesia masih hidup dalam kebersahajaan, tekanan kehidupan belum terlalu berat seperti sekarang ini, dan perekonomian-pun masih begitu stabilnya. Hal ini ditandai oleh harga kebutuhan pokok yang masih begitu murahnya ketika itu. Bayangkan, uang Rp. 25 masih begitu berartinya ketika itu. Bandingkan dengan keadaan sekarang, jangankan Rp. 25, Rp. 10.000 pun seakan-akan sudah tak berarti lagi.
Sungguh masa-masa yang bersahaja memang. Ketika itu, siaran televisi di Indonesia baru TVRI satu-satunya. Diakui atau tidak, era 80-an akan selalu dikenang oleh orang-orang yang pernah hidup di masa itu.
***
Aku terlahir dengan cacat bawaan, yang jika dibiarkan, maka cacat tersebut takkan pernah sembuh hingga saat ini. Untungnya aku memiliki seorang ibu yang sangat telaten merawatku, sehingga cacat tersebut kemudian lambat-laun menjadi sembuh.
Ketika masa kecilku, karena saudaraku begitu banyak, apalagi ketika ibuku melahirkan adikku, maka aku kemudian dirawat oleh mak mude (bibi)ku yang tinggal satu rumah dengan kami. Mak mude kami ini biasa kami panggil "Encek". Orang-orang di kampongku mengenalnya dengan nama Cik Zaidah (dalam Bahasa Melayu Pontianak, "Cik" ataupun "Encek" adalah panggilan untuk orang yang terkecil tubuhnya di antara saudara-saudaranya. Kata asalanya adalah Keci' atau Kecil. Cik/Cek/Encek kadang juga digunakan sebagai panggilan terhadap orang yang dihormati).
Nama lengkap mak mudeku ini adalah Zaidah binti Muhammad Buraa'i. Suaminya biasa kami panggil Wak Ujang. Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Umar. Wak Ujang adalah orang Pontianak keturunan Suku Bugis yang sudah lama menetap di Pontianak dan sekitarnya. Panggilan "Wak" adalah panggilan khas untuk orang keturunan Bugis yang seumuran dengan ayah kita. Sepengetahuanku, arti dari "Wak" adalah "Bapak". Pontianak dan beberapa kota di Kalimantan memang sejak dahulu hingga kini dikenal sebagai tempat bermukimnya para perantau Suku Bugis dari Sulawesi Selatan.
Ia adalah kakak dari ayahku. Ia dikenal sebagai dukun beranak, dukun urut, dan juga pembuat obat-obat tradisional Melayu berupa jamu, rebusan, dan sejenisnya. Ia adalah tabib yang kapabel ketika itu. Ia adalah perempuan terkreatif di masanya yang memiliki banyak bakat. Ia memiliki intuisi seni yang begitu tinggi, sehingga alat musik seperti biola, akordion, dan harmonium pun bisa dimainkannya. Suaranya begitu merdu bila bersenandung Melayu dan membaca Al-Qur’an. Ia adalah autodidak sejati. Ia adalah seorang multitalenta.
Bibiku yang hanya memiliki satu anak ini begitu sangat mengasihi kami adik beradik. Boleh dikatakan, bahwa kakak dan abang-abangku juga pernah diasuh oleh bibiku ini. Yang terakhir kemudian adalah aku, yang bukan hanya diasuh, tapi aku adalah anak angkat dari bibiku ini.
Tahun 1988 bukan hanya menjadi tahun yang selalu kukenang karena untuk pertama kalinya aku bersekolah di SD, tapi di tahun ini aku yang masih kecil juga telah ditinggal mati oleh bibi yang sangat menyayangiku ini. Betapa tidak, masa kecilku adalah dalam naungan kasih sayangnya. Ia sudah kuanggap sebagai ibu kandungku sendiri. Bahkan tadinya yang kutahu, bahwa dialah ibu yang telah melahirkanku. Aku belum sempat membalas kasih sayangnya itu. Akulah di antara saudara-saudaraku yang pernah dibawanya pelesir hingga ke Ketapang, sebuah kota yang berada di Selatan Kalimantan Barat, yang jika ditempuh dengan kapal penumpang, mungkin kira-kira memakan waktu kurang lebih 12 jam (kini mungkin bisa lebih cepat karena ada kapal cepat dan mungkin juga ada pesawat terbang perintis yang membawa penumpang dalam jumlah yang tak terlalu banyak ke sana).
***
Encek adalah saudara perempuan satu-satunya di antara adik-beradik ayahku. Ia adalah seorang perempuan yang kharismatik di masanya, disegani oleh orang-orang yang sebaya dengannya, dihormati oleh orang-orang yang lebih muda darinya, dan dihargai oleh orang-orang yang lebih tua darinya. Itulah bibiku, figur yang takkan pernah tergantikan di dalam keluarga besarku.
Kiranya, takkan pernah kering bibir ini membicarakan Encek. Beliau yang penyayang, pintar, dan tegas. Hingga kapanpun, Encek akan selalu dikenang di dalam keluarga besarku, bahkan orang kampong ku pun juga akan selalu mengenang dan terkesan dengannya. Encek telah memberikan arti bagi hidup masa kecilku. Beliau yang telah menanamkan akhlak mulia bagi kami keponakannya. Beliau yang telah mendidik kami dalam adat resam budaya Melayu. Beliau juga yang telah mengajarkan kami arti dari tanggung jawab.
Beliau yang telah mendidik kami dengan kedisiplinan. Ia selalu menganjurkan kami untuk bekerja keras. Encek yang menyadarkan kami untuk selalu menjaga marwah Bangsa Melayu. Selain itu, beliau juga yang telah mencurahkan kasih sayangnya yang melimpah kepada kami keponakannya, seperti halnya kasih sayangnya kepada anak kandungnya sendiri.
***
Malam itu, ketika menghembuskan nafas terakhirnya, setelah sebelumnya beliau didera oleh penyakit kuning, suatu penyakit yang kiranya begitu sulit untuk disembuhkan, saat itulah aku mengerti arti kehilangan. Saat itulah aku mengerti arti dari kasih sayang. Di saat itu juga aku mengetahui apa itu kesedihan.
Ketika itu, air mataku bercucuran dengan sendirinya. Air mata tersebut kadang hadir lagi ketika aku mengalami kesedihan yang serupa, air mata yang keluar tanpa pernah diperintah, air mata yang keluar dengan tiba-tiba. Ketika aku terjaga dari tidur, ketika membaca Al-Qur’an, ketika aku berada pada suatu titik nadir, ketika beban kehidupan ini begitu berat untuk kupikul, lagi-lagi air mata itu yang tanpa pernah kuperintah, keluar dengan sendirinya: menitik, meleleh, mengucur, mengalir dengan deras, tanpa pernah bisa ditahan.
Inilah puzzle masa kecilku, yang di waktu-waktu setelah itu, kadang menemukan pasangannya yang cocok, sehingga terjadi kembalilah fenomena yang hampir sama. Inilah puzzle masa kecilku, yang di masa-masa yang akan datang akan selalu kuingat, akan menjadi kekuatan tersendiri bagi diri yang rapuh dan fana ini. #*#
[Hanafi Mohan – Ciputat, medio April 2008]
Cerita sebelumnya
Kembali ke Daftar Isi
Sumber Gambar: http://www.pelauts.com/
Jumat, 20 Maret 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 ulasan:
Posting Komentar