Akhir-akhir ini, pekerjaan rutin menuntutku untuk selalu menulis. Karena pekerjaanku rutinku itu sendiri adalah menulis. Yang lebih sering akhir-akhir ini adalah mentranskripsi kajian agama Islam. Kajian yang dimaksud adalah kajian agama Islam yang rutin dilaksanakan di Masjid Agung Sunda Kelapa-Jakarta.
Gampang-gampang sulit pekerjaan yang satu ini, karena kita harus bisa mengalih bahasakan dari bahasa lisan ke bahasa tulis, apalagi apalagi bahasa lisan yang diucapkan oleh para pemateri juga beragam: dari ragam logat daerahnya, ragam cara penyampaiannya, belum lagi kalau ada pemateri yang menyampaikan materinya itu loncat-loncat dari bahasan satu ke bahasan lainnya, bahasan sebelumnya tidak nyambung dengan bahasan selanjutnya, lafalnya juga kadang tidak jelas, apalagi lafal Bahasa Asingnya (Arab dan Inggris, tapi lebih seringnya Arab).
Selain itu, aku juga harus menguasai terminologi Ilmu Keislaman dan juga terminologi keilmuan lainnya. Hal ini tak lain untuk memudahkan proses penulisan, karena sedikit banyak aku harus mengerti isi materi yang sedang disampaikan. Karena itulah, aku juga harus memiliki wawasan Ilmu Keislaman, dan juga ilmu-ilmu lainnya sebagai penunjang.
Karena ditulis bukan secara khusus untuk kalangan akademik, maka tulisan-tulisan tersebut harus ditulis dengan Bahasa Ilmiah Populer. Sebisa mungkin bahasanya diusahakan mudah untuk dimengerti oleh berbagai-macam kalangan. Bahasanya tak boleh terlampau berat, walaupun materinya itu sebenarnya berat. Hal ini ibarat Jibril yang menjadi perantara penyampai wahyu kepada Nabi. Dan Ibarat Nabi yang menyampaikan wahyu kepada umatnya.
Pada satu sisi, aku merasa mendapatkan keuntungan menulis transkripsi ini (selain keuntungan materi). Aku mendapatkan wawasan-wawasan baru mengenai Ilmu Keislaman, karena mau tak mau ketika mentranskripsi itu aku harus mendengar materi kajian tersebut seluruhnya dan secara utuh, bahkan berulang-ulang, bagaikan aku berhadapan langsung dengan pematerinya (aku mentranskripsinya dari rekaman kaset, bukanlah langsung mengikuti kajiannya). Selain itu, kemampuan menulisku juga semakin bertambah.
Aku ingat, bahwa setahun lalu aku pernah berkeinginan untuk mengikuti kajian Islam secara rutin di masjid kampusku. Tapi akhir-akhir ini karena rutinitas pekerjaan mentranskripsi kajian keislaman, aku akhirnya mendapatkan beberapa hal sekaligus. Aku tak harus susah-susah harus ke Masjid Kampusku untuk mengikuti kajian Keislaman, apalagi jaraknya lumayan jika ditempuh dengan berjalan kaki (kurang lebih 10-15 menit). Di dalam kamar pun kini aku bisa mengikuti secara serius, bahkan bisa berulang-ulang kajian-kajian keislaman dari Masjid Agung Sunda Kelapa, apalagi yang menyampaikan kajian juga tak kalah menariknya dengan kajian di masjid kampusku, rata-rata yang menyampaikannya adalah para master, doktor, guru besar, ulama, dan para pakar di bidang ilmu-ilmu keislaman (bukan hanya sekedar da'i kondang seperti yang sering muncul di televisi).
Para ahli ilmu keislaman yang menjadi pemateri kajian ini pun merupakan lulusan perguruan-perguruan tinggi ternama di Indonesia (rata-rata S1 nya di perguruan tinggi agama Islam dan S2 ataupun S3 nya ada yang di Indonesia, ataupun ada yang di luar negeri seperti Amerika Serikat dan Timur Tengah). Profesi mereka pun bermacam ragam, ada yang dosen bahkan guru besar, pejabat Departemen Agama, Pengasuh Pesantren, sebagian jika kucermati adalah dosen dan guru besar di kampusku (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).
Aku ingat juga, bahwa ketika pertama kali ke Jakarta, ketika aku bertekad untuk menuntut ilmu, maka mendalami Ilmu Keislaman juga menjadi salah satu target keberadaanku di Jakarta, walaupun kemudian ketika kuliah aku memilih jurusan eksakta, yaitu Teknik Informatika, karena memang latar belakang pendidikan menengahku adalah eksakta, yaitu SMK Teknologi (STM) jurusan Elektronika Komunikasi. Untungnya kampus tempatku kuliah adalah kampus Islam (UIN, ketika itu masih IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta), sehingga sedikit banyak wawasan keislaman masih bisa kuserap, walaupun dengan jalan yang agak berliku dan beragam.
Menulis bagiku adalah panggilan jiwa. Aku merasa mendapatkan tempat melalui dunia yang satu ini, walaupun memang ke depannya hidup ini terus berspekulasi. Tapi harus tetap kuakui, karena menulislah hingga kini aku masih bisa bertahan di Jakarta. Karena menulislah, wawasanku mengenai berbagai macam hal semakin bertambah. Karena menulis, aku merasa hidup ini ada artinya. Karena menulis, hidupku semakin berarti. [Hanafi Mohan]
*** Ciputat, Rabu 11 Maret 2009 / 19.05-19.58 WIB
Jumat, 13 Maret 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 ulasan:
Posting Komentar