Suatu cerita tak ubahnya suatu bangunan. Jika kita mengkonstruksinya dengan begitu cermat, maka akan kokohlah dia. Tapi kalau kita mengkonstruksinya serampangan, maka dia akan menjadi begitu goyah.
Unsur terpenting suatu cerita adalah tokoh. Setelah itu diikutilah oleh unsur lainnya, seperti plot (alur), latar, narasi, sudut pandang (narator), ilustrasi, dialog, dan beberapa yang lainnya. Unsur-unsur inilah yang sedang kususun kini. Cerita yang tadinya aku rasa sudah rampung, ternyata masih ada saja kekurangan di sana-sini. Menulis fiksi memang berbeda dengan menulis non fiksi.
Pengalamanku pertama kali menulis adalah menulis non fiksi. Kemudian aku tertarik juga untuk menulis puisi yang waktu itu salah satunya karena tuntutan untuk menulis lirik lagu di band yang kugawangi. Belakangan setelah itu kembali lagi aku tertarik menulis non fiksi. Tapi kemudian aku merasakan bahwa bahasa tulisku di non fiksi ini agak kurang mengalir. Mungkin karena terbiasa menulis Diary, maka bahasa tulisku di non fiksi agak begitu bernuansa. Menulis non fiksi pun sebenarnya karena aku ada tuntutan suatu pekerjaan dan tugas-tugas kuliah. Waktu itu aku belum tahu sama sekali bagaimana menulis fiksi. Bagiku ketika itu, menulis fiksi tidaklah semudah menulis non fiksi.
Karena memang terbiasa menulis Diary, maka sebenarnya aku sudah memiliki tonggak-tonggak awal untuk memasuki penulisan fiksi. Suatu ketika, yaitu saat aku berada pada titik nadir, kembali aku membuka lembaran-lembaran kehidupanku. Pintu masuk kepenulisan fiksiku yaitu ketika aku membaca selembar surat yang pernah diberikan oleh seorang teman perempuanku. Dari sinilah kemudian aku mulai tertarik menulis fiksi. Proses ketertarikan ini mengalir begitu saja sebagaimana halnya aku kemudian begitu lancar dan mengalirnya menulis jenis karya sastra yang satu ini.
Terus-terang, aku tak menyangka, ternyata bisa juga aku menulis fiksi, sesuatu yang sebelum-sebelumnya tak pernah kuduga. Hal ini hanya karena kebetulan aku membaca surat tersebut.
Kepenulisan fiksi ini terus mengalir bagaikan tak terbendung lagi. Ketika itu, aku ingin selalu mengabadikan setiap momen kehidupanku yang itu kurasa layak dan menarik untuk menjadi karya fiksi. Setiap peristiwa yang kulihat, kudengar, dan kurasakan ingin selalu kuabadikan ke dalam karya yang satu ini. Hingga kemudian kepenulisan fiksiku menjadi kukuh menurutku ketika salah satu cerpenku dimuat di majalah dua bulanan bernama Majalah Majemuk.
Hingga kini sudah ada 18 buah karya fiksiku berupa Cerita Pendek (Cerpen). Ketika berkenalan dengan dunia Blogging, maka cerpen-cerpenku ini tak luput aku publish di blog. Di blog-ku ini hanya 14 cerpen yang kurasa layak untuk dipublish, sedangkan 4 cerpen sisanya menuruku belumlah layak. Cerpen yang belum dipublish itu memang rata-rata agak panjang dibandingkan yang sudah dipublish. Tapi sebenarnya bukanlah karena panjangnya 4 cerpen tersebut yang menjadi alasan hingga belum layak dipublish, melainkan pertimbangannya adalah pada sisi cerita.
Keempat cerpen tersebut kutulis dengan melibatkan emosionalku yang begitu tinggi, seakan-akan akulah pelaku utama dari cerita-cerita tersebut. Tapi entahlah, ini juga yang kemudian menjadikan cerita-ceritanya menjadi begitu picis menurutku. Mungkin ini jugalah yang harus dihindari oleh seorang penulis fiksi. Pelibatan emosi pada tataran tertentu memang akan menjadikan cerita begitu hidup. Tetapi pada sisi lainnya, jika pelibatan emosi tersebut serampangan, maka cerita yang kita tulis itu akan menjadi tidak realistis.
Berkaitan dengan pelibatan emosi ini, maka penulis fiksi harus bisa bersikap seperti seorang aktor. Janganlah menuliskan perilaku seorang tokoh ketika marah sama halnya dengan perilaku kita ketika marah. Ingatlah, bahwa si tokoh cerita yang kita tulis itu bukanlah diri kita. Untuk melibatkan emosi ini, jiwailah karakter setiap tokoh. Misalnya, bayangkanlah seorang penjahat ketika marah, atau tingkah seorang perempuan tertutup dan pemalu ketika jatuh cinta.
Terlalu beragam sebenarnya faktor yang mempengaruhi konstruksi suatu cerita. Ketika menulis fiksi, barulah kita merasakan bahwa faktor tersebut sangat mempengaruhi.
Setelah bisa menulis fiksi, kemudian aku juga kembali tertarik untuk menulis non fiksi. Ini juga tak lain karena aku memiliki beberapa blog, sehingga blog-blog tersebut secara berkala mesti diupdate. Tentunya tidak semua yang dipublish di blog-blogku itu adalah tulisan non fiksi. Hal ini juga karena tulisan non fiksi menurutku proses penulisannya bisa lebih cepat dibandingkan tulisan fiksi. Maka kemudian aku pun kembali menulis non fiksi.
Karena sudah terbiasa menulis fiksi, maka tulisan non fiksiku akhir-akhir ini gayanya sudah agak bernuansa dan bahasanya lebih mengalir. Ini penilaian menurutku, setidaknya ketika menulisnya aku bisa lebih mengalir dibandingkan sebelum-sebelumnya. Entah menurut pembaca.
Tapi apakah karena akhir-akhir ini lebih sering menulis non fiksi, maka ketika aku mencoba lagi menulis fiksi, kata-katanya menjadi agak tersendat. Kalaupun tidak, bahasa tulisan fiksiku kini menjadi mirip tulisan non fiksi. Mungkin bagiku ini ada baiknya juga, agar gaya tulisan fiksiku menjadi lebih bernuansa.
Untuk lebih meningkatkan lagi kemampuan penulisan fiksi, akhir-akhir aku juga coba menyusun semacam novel. Entah nanti bentuknya seperti apa, yang penting aku tulis saja dahulu. Terlalu banyak kiranya novel yang sudah kubaca, sehingga gaya novel pertamaku ini mungkin juga akan terpengaruh gaya dari bermacam novel yang telah kubaca itu. Antara lain sebut saja gayanya Orhan Pamuk pada Novel Namaku Merah Kirmizi dan The White Castle, Pramudya Ananta Toer pada Novel Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, dan Rumah Kaca, Nukila Amal pada Novel Cala Ibi, J.M. Coetzee pada Novel Aib (Disgrace), Ernest Hemingway pada Novel Pertempuran Penghabisan (A Farewell to Arms), Iwan Simatupang pada Novel Ziarah, Herman Hesse pada Novel Siddhartha, Dan Brown pada Novel The Da Vinci Code, George Orwell pada Novel Animal Farm, C. Rajagopalachari pada Novel Ramayana, Huang Ying pada cerita silat Pendekar Ulat Sutera, dan Paulo Coelho pada Novel The Illustrated Alchemist (Sang Alkemis). Selain itu, gaya kepenulisan Habiburrahman El-Shirazy pada Novel Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih, serta Andrea Hirata pada Novel Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor juga cukup menggodaku.
Wah, begitu banyaknya gaya kepenulisan tersebut. Mungkin novelku nanti kecenderungannya adalah campuran gayanya Pramoedya Ananta Toer dengan perspektif sejarahnya, Orhan Pamuk pada naratornya yang berganti-ganti juga perspektif sejarahnya, dan Andrea Hirata dengan perspektif pendidikannya, juga gaya memoarnya. Selebihnya, pada kadar dan konteks tertentu, gaya-gaya kepenulisan lainnya juga akan mempengaruhi.
Rencananya, novelku ini akan kupublish di blog. Karena itulah, gayanya juga kusesuaikan dengan gaya tulisan blog, termasuk juga panjang pendeknya. Pilihan untuk mempublish dahulu di blog adalah semacam mengetes kail dan agar aku selalu tertantang untung menyelesaikannya, karena otomatis aku harus selalu mengupdate dan menambah cerita dari hari ke hari.
Rencananya juga, karena dipublish di blog, maka tiap-tiap bagian cerita pun hanyalah berupa cerita-cerita yang pendek. Untuk pertama ini, maka aku targetkan satu bagian cerita mungkin berkisar 3 hingga 5 halaman kuarto, mungkin juga ada yang lebih pendek dari itu, dan mungkin juga ada yang lebih panjang dari itu. Tergantung nanti perkembangan cerita. Dengan cara seperti ini, aku mengharapkan hadir semacam gaya baru dan efek tersendiri dari jalinan ceritanya.
Kini aku sedang dalam proses penulisan karya yang satu ini. Aku melakukan pembacaan ulang terhadap bagian-bagian yang sudah ditulis. Menambahkan dan menyunting. Menambahkan bagian yang baru. Menggabungkan bagian-bagian yang menurutku bisa digabungkan. Memisahkan suatu bagian, kemudian menggabungkannya ke bagian yang lain, ataupun dijadikan bagian yang baru.
Targetku, setidaknya 10 bagian awal sudah harus beres dan rapi dahulu sehingga tak ada lagi penambahan ataupun pengurangan pada 10 bagian tersebut. Kalau 10 bagian awal ini sudah rapi, barulah aku bermaksud untuk mempublishnya di blog.
Dalam proses ini setidaknya aku berharap cerita akan terus berkembang, tokoh semakin bertambah, karakter tokoh pun semakin mendalam. Di tengah kebuntuan ide dan kata-kata, kadang aku mencoba memanggil lagi ingatan-ingatan yang terpendam di pikiranku. Kadang pikiranku bernostalgia dan mengembara jauh ke masa-masa lalu, ke tempat-tempat yang jauh dari tempatku kini sedang menulis.
Semoga karya ini segera selesai. Mohon doanya. [Hanafi Mohan]
Ciputat, 6-7 Maret 2009
Jumat, 13 Maret 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
apa yang saya cari, terima kasih
BalasHapus