Sabtu, 07 Februari 2009

Lahirnya Ilmu-ilmu Klasik Islam

Mengapa Islam sekarang ini menjadi “Islam fiqih”, memang ada sejarahnya sendiri. Ciri umat Islam klasik ialah dari segi lahiriah—kesuksesan dalam politik. Begitu Rasulullah wafat, seluruh Jazirah Arabia sudah menyatakan tunduk kepada Madinah. Hal ini kemudian diteruskan oleh para sahabat, sehingga terjadi ekspansi militer dan politik. Dalam tempo seratus tahun kekuasaan Islam telah terbentang dari lautan Atlantik sampai tembok Cina. Sungguh kondisi yang luar biasa, sebab dalam sejarahnya, orang-orang Arab tidak pernah mengenal sistem pemerintahan. Karena itu, ketika ibu kotanya masih berada di Damaskus, mereka secara adminis¬tratif bersandar kepada warisan Bizantium, dan setelah pindah ke Baghdad bersandar kepada warisan Persi.

Itu masalah administrasi pemerintahan. Tetapi dalam masalah hukum, orang Islam waktu itu tidak bisa meminjam dari hukum Yunani, misalnya, atau hukum Persi. Kenapa, karena konsepnya berbeda, sehingga muncul dorong¬an untuk menggali aspek-aspek hukum dari Islam. Itulah sebabnya ilmu Islam yang muncul pertama kali adalah hukum, dan hal ini terjadi karena kebutuhan yang mendesak. Itulah yang sekarang disebut syariat dan kemudian secara arbitrer disebut fiqih. Jadi syariat sebetulnya adalah penamaan kepada bagian khusus dari Islam akibat sejarah. Padahal menurut Al-Quran sendiri yang disebut syariat ialah seluruh agama.

Setelah fiqih muncul dengan wataknya yang berorientasi atau memperhatikan hal-hal lahiriah, maka muncul reaksi, yaitu gerakan tasawuf. Kemudian ada tendensi untuk menangani aspek pemikiran dalam Islam, sehingga muncul pula ilmu kalâm atau logika. Ada satu lagi cabang dari ilmu Islam tradisional selain fiqih, tasawuf, dan kalam, yaitu falsafah. Falsafah sangat banyak menggunakan unsur-unsur luar terutama Yunani yang kemudian “diislamkan”. Atas dasar itu, kita mewarisi paham bahwa seolah-olah ilmu pengetahuan Islam itu empat: fiqih, kalam, tasawuf, dan falsafah.

Dalam perguruan tinggi Islam, fakultas yang mengurusi fiqih ialah Fakultas Syariah, dan yang meng¬urusi kalâm ialah Fakultas Ushulud¬din. Tetapi karena umat Islam sudah melupakan falsafah, maka falsafah tidak menjadi fakultas sendiri, melainkan dimasukkan dalam Fakultas Ushuluddin, yang sebetulnya sejak semula dirancang terutama untuk mempelajari kalâm. Kalâm artinya logika, maksudnya teologi logis (logical theology). Tetapi kalâm sebetulnya tidak semata-mata teologi, dalam arti teologinya orang Kristen yang dogmatis. Hanya orang-orang Jesuit yang mencoba mengubah teologi menjadi falsafah, lalu menghasilkan Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara. Tetapi pada dasarnya orang Kristen itu dogmatis, “take it or leave it”; ambil atau tinggalkan. Tidak ada pilihan lagi. Dalam Islam tidak demikian. Semuanya dibahas secara logika, karena itu ilmunya disebut kalâm. Maka kalâm dalam terjemahan Inggrisnya bermacam-macam, kadang diterjemahkan logical theology (teologi logis), rational theology (teologi rasional), philo¬sophical theology (teologi falsafah), dan natural theology (teologi alamiah—artinya suatu paham ketuhanan yang didekati melalui proses-proses alamiah, bukan dari doktrin).

Itu suatu fase yang sangat menarik dalam sejarah pemikiran Islam. Melalui proses itu, ilmu kalâm dianggap sebagai salah satu kontribusi yang paling berharga dari dunia Islam kepada pemikiran umat manusia. Orang Yahudi dan Kristen sekarang ini sebetulnya sudah sangat banyak dipengaruhi oleh Islam, terutama dari segi pemikiran teologis. Dua aliran yang sangat berpengaruh dalam Islam, yaitu intuisisme dan rasionalisme yang diwakili oleh al-Ghazali dan Ibn Rusyd, juga mempengaruhi dunia Kristen dalam representasi Bona Ventura di satu sisi (al-Ghazali) dan Thomas Aquinas di sisi lain (Ibn Rusyd). Filosof besar Yahudi, Musa ibn Maimun, juga tidak lain adalah duplikat al-Ghazali dalam berhadapan dengan kelompok-kelompok yang lebih dipengaruhi oleh Ibn Rusyd.

Meskipun ilmu kalâm itu sangat penting, namun sesungguhnya hanya ia satu sisi saja dari Al-Quran. Sekarang ini orang mulai menyadari bahwa banyak kemungkinan pendekatan kepada Al-Quran yang berbeda dengan yang sering dilakukan secara tradisional oleh umat Islam dalam sejarahnya. Tegasnya, mulai ada pendekatan multi disipliner terhadap Al-Quran. Sebab kalau diinventarisasi kandungan Al-Quran, maka akan terlihat bahwa aspek fiqihnya sebenarnya sedikit sekali. Hal-hal yang berkenaan dengan Tuhan yang harus dipahami secara rasional justru jauh lebih banyak. Aspek-aspek spiritualitas seperti yang digarap oleh para sufi ternyata juga lebih banyak dari fiqih. Begitu juga dengan aspek-aspek yang mengandung unsur falsafah menyangkut pendekatan-pendekatan kosmologis kepada kenyataan, alam raya, dan sebagainya, semua itu jauh lebih banyak. Namun, itu belum banyak digali atau dibicara¬kan sehingga tidak menjadi ke¬sadaran orang Islam.

Begitu juga dengan masalah kemanusiaan yang mendapatkan porsi cukup banyak di dalam Al-Quran. Misalnya adalah firman Allah yang berbunyi, Kami telah memberi kehormatan kepada anak-anak Adam; Kami lengkapi mereka dengan sarana angkutan di darat dan di laut (Q. 17: 70). Dengan sendirinya implikasi ayat ini adalah keharusan untuk saling menghormati antara sesama manusia. []


Sumber: Budhy Munawar-Rachman (editor), Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Sketsa Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban, Yayasan Pesantren Indonesia Al-Zaytun, 2008

2 ulasan:

  1. Salam kenal Mas dari Banjarmasin. Kunjungi blog saya di www.taufik79.wordpress.com

    BalasHapus
  2. salam kenal juga dari anak Pontianak-Kalimantan Barat.

    Semoga Khazanah Pemikiran Cak Nur (Allahyarham Nurcholish Madjid) ini bisa menjadi bacaan yg mencerahkan bagi kita bersama.

    BalasHapus