Eee … sampan laju, sampan laju daghi ile’ sampai ke ulu
Sungai Kapuas, sunggoh panjang daghi dulo’ membelah kote
Eee... tak disangke, tak disangke dulo’ utan menjadi kote
Ghamai pendudoknye, Pontianak name kotenye
Dua bait awal lagu daerah Pontianak yang berjudul “Ae’ Kapuas” ini menggambarkan Kota Pontianak yang begitu lekat dengan Sungai Kapuas yang merupakan sungai terpanjang di Indonesia. Pontianak adalah kota yang wilayahnya dipisahkan oleh Sungai Kapuas Besar, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Landak yang tak lain adalah anak sungai dari Sungai Kapuas. Sungai Kapuas Besar memisahkan Pontianak Barat dengan Pontianak Utara. Untuk menuju ke Pontianak Utara dari Pontianak Barat (atau sebaliknya) bisa secara langsung menggunakan feri penyeberangan sungai. Sungai Kapuas Kecil memisahkan Pontianak Selatan dengan Pontianak Timur dengan penghubungnya berupa jembatan yang dikenal dengan sebutan Jembatan Kapuas. Sungai Landak memisahkan Pontianak Utara dengan Pontianak Timur dengan penghubungnya berupa jembatan yang dikenal dengan sebutan Jembatan Landak. Sedangkan Pontianak Selatan menyatu satu daratan dengan Pontianak Barat. Pemisah kedua wilayah tersebut hanyalah sebuah parit yang disebut Parit Besar.
Dalam Bahasa Melayu, Pontianak artinya hantu kuntilanak. Penamaan ini sesuai dengan sejarah ketika berdirinya kota pesisir sungai ini dua abad yang silam. Konon ketika itu, pendiri kota ini yaitu Syarif Abdurrahman Al-Qadri, bersama-sama dengan rombongannya yang melakukan perjalanan dari Mempawah untuk mencari daerah baru yang akan dijadikan kerajaan sampai di wilayah utara Pontianak yang kemudian dikenal sebagai kawasan Batulayang. Ketika sampai di wilayah Batulayang inilah, rombongan Syarif Abdurrahman Al-Qadri yang melakukan perjalanan dengan menggunakan kapal tiba-tiba mendapat gangguan dari makhluk halus sejenis hantu kuntilanak. Berdasarkan petunjuk yang didapat, Syarif Abdurrahman Al-Qadri kemudian memerintahkan kepada rombongannya untuk bermalam di tempat itu, karena daerah yang akan dituju sudah semakin dekat. Berdasarkan petunjuk yang didapat juga, Syarif Abdurrahman memerintahkan kepada rombongannya untuk menembakkan meriam, yang selain untuk mengusir gangguan hantu kuntilanak, juga untuk menjadikan penanda jatuhnya peluru meriam itu sebagai tempat yang akan mereka bangun sebagai wilayah kesultanan.
Simpang tiga pertemuan Sungai Kapuas Besar, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Landak adalah tempat jatuhnya peluru meriam yang ditembakkan oleh rombongan Syarif Abdurrahman. Kawasan Simpang Tiga itu kemudian dikenal dengan nama Kampung Beting yang termasuk di dalam wilayah Kelurahan Dalam Bugis. Di kawasan inilah untuk pertama kalinya didirikan bangunan berupa masjid di Kota Pontianak yang ketika itu masih hutan belantara. Masjid yang merupakan bangunan pertama di Kota Pontianak itu kemudian dikenal dengan sebutan Masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurrahman. Tak jauh dari Masjid Jami’ Kesultanan Pontianak itu kemudian didirikan Istana Qadriah Kesultanan Pontianak. Hingga kini, kedua bangunan bersejarah di Kota Pontianak itu masih tetap kokoh berdiri.
Pontianak memang dikenal sebagai Kota Air. Dengan Sungai Kapuas dan Sungai Landak sebagai sungai yang membelah kota serta puluhan parit (kanal) yang bermuara ke kedua sungai tersebut. Sekilas seperti Kota Venezia di Italia, atau Kota Amsterdam di Belanda. Sungai dan Parit menjadi salah satu jalur transportasi terpenting di Kota Khatulistiwa ini. Dari sampan kayu yang berukuran kecil hingga kapal-kapal berukuran besar bisa melalui Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Dan ada lagi satu alat transportasi angkutan barang yang cukup unik, yaitu Bandong. Merupakan kapal kayu yang berbentuk seperti rumah, yang bisa memuat dan mengangkut barang dalam jumlah yang cukup besar. Bandong ini biasanya dipergunakan untuk mengangkut barang melalui sungai ke daerah-daerah yang berada di hulu Sungai Kapuas dan Sungai Landak, dan daerah pedalaman lainnya di Kalimantan Barat. Kapal, motor air, dan bandong, baik yang berlabuh di pinggir sungai maupun yang sedang berjalan menyusuri sungai akan sering kita temui jika kita sedang berada di pinggiran sungai, dan tentunya akan menjadi pemandangan yang begitu menarik Belum lagi sampan dan speed boat yang lalu-lalang membawa penumpang menyeberangi sungai. Juga kehidupan masyarakat pesisir sungai yang tak kalah menariknya. Semua hal itu menjadikan keunikan tersendiri bagi Kota Pontianak. Namun sayang, semua keunikan itu belum digarap dan dikelola dengan baik oleh pemerintahan daerah setempat dan pihak-pihak lain yang terkait sehingga bisa menjadi wisata air yang akan menarik para wisatawan berkunjung ke Kota Khatulistiwa ini.
Pontianak adalah kesultanan terakhir yang didirikan di Provinsi Kalimantan Barat di masa lalu. Pontianak didirikan oleh Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadri yang sekaligus menjadi Sultan pertama di Kesultanan Pontianak ketika itu. Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadri adalah putera seorang ulama terkenal di Kalimantan Barat yang bernama Habib Husain. Habib Husain ini berasal dari Negeri Hadralmaut-Yaman Selatan. Berdasarkan silsilahnya, Habib Husain ini merupakan keturunan Nabi Muhammad. Ketika di Kalimantan Barat, Habib Husain sempat menjadi ulama yang menyebarkan ilmu keislamannya di Kesultanan Matan dan Kesultanan Mempawah. Syarif Abdurrahman sendiri adalah putera dari perkawinannya dengan perempuan di Kesultanan Matan.
Beberapa kesultanan lainnya yang lebih dahulu didirikan di Kalimantan Barat di antaranya adalah: Kesultanan Tangjungpura, Kesultanan Matan, dan Kesultanan Sukadana di Kabupaten Ketapang (kini dimekarkan menjadi Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kayong Utara), Kesultanan Sambas di Kabupaten Sambas, Kesultanan Mempawah dan Kesultanan Kubu di Kabupaten Pontianak, Kesultanan Landak di Kabupaten Landak, Kesultanan Sintang di Kabupaten Sintang, dan Kesultanan Sanggau di Kabupaten Sanggau. Walaupun didirikan paling akhir, namun karena letaknya yang strategis pada jalur perdagangan telah menjadikan Pontianak sebagai kota pelabuhan sekaligus sentra perdagangan dan sentra pemerintahan di Provinsi Kalimantan Barat.
Penduduknya yang heterogen telah menjadikan Pontianak sebagai kota yang kosmopolitan. Penduduk Pontianak rata-rata adalah penduduk pendatang, karena tadinya Pontianak hanyalah hutan belantara. Setelah berdirinya Kesultanan Pontianak, maka berdatanganlah orang-orang dari luar Kota Pontianak. Nama-nama kampung dan tempat yang ada di Pontianak menggambarkan asal daerah penduduk yang ada di tempat itu. Misalkan: Kampung Banjar Serasan menunjukkan bahwa penduduk yang ada di tempat itu berasal dari Banjarmasin dan Pulau Serasan. Kampung Bangka Belitung menunjukkan bahwa penduduk yang ada di tempat itu berasal dari Kepulauan Bangka Belitung. Kampung Tambelan Sampit menunjukkan penduduk yang ada di tempat itu berasal dari Pulau Tambelan di Kepulauan Riau dan Sampit di Kalimantan Tengah. Kampung Saigon menunjukkan penduduk yang ada di tempat itu berasal dari Saigon-Vietnam. Kampung Kamboja menunjukkan penduduknya berasal dari Negeri Kamboja. Dan beberapa kampung lainnya seperti Kampung Kuantan, Kampung Arab, Kampung Jawa, Kampung Bali, Siantan, dan Kampung Dalam Bugis. Beberapa nama tempat tersebut memang diakui berdasarkan kaitan daerah asal penduduk yang ada di kawasan tersebut. Namun apa yang telah saya tuliskan tersebut mungkin juga agak kurang valid, sehingga patut dilakukan penelitian yang lebih mendalam mengenai asal daerah penduduk yang ada di kawasan-kawasan tersebut. Seperti penamaan beberapa kawasan mungkin saja bukan karena penduduk yang ada di kawasan tersebut berasal dari daerah yang kemudian dijadikan sebagai nama kawasan tersebut, karena mungkin saja ada hubungan lain, misalkan hubungan perdagangan di masa lalu di mana penduduk yang ada di tempat itu pernah berdagang atau berlayar ke suatu tempat, sehingga mereka menamakan kawasan tempat tinggal mereka berdasarkan tempat yang pernah mereka singgahi ketika melakukan pelayaran atau perdagangan tersebut. Atau mungkin juga ada hal-hal lainnya, sehingga terciptalah nama tersebut. Apa yang telah saya tuliskan di atas tak lebih hanyalah ingin menunjukkan heterogenitas Kota Pontianak. Penelitian yang mendalam lagi mengenai hal ini saya rasa begitu pentingnya.
Selain dikenal sebagai kota yang dibelah oleh sungai, Pontianak juga dikenal sebagai kota yang pas dilalui oleh garis khatulistiwa (equator) nol derajat. Sehingga Pontianak dijuluki sebagai Kota Khatulistiwa. Karena itu, cuaca di kota ini cukup panas dengan sinar mataharinya yang terik menyengat. Tempat berdirinya Tugu Khatulistiwa sebagai penanda ciri khas dan keunikan Kota Pontianak berada di wilayah Siantan Kecamatan Pontianak Utara. Di kawasan Tugu Khatulistiwa ini setiap tahunnya pada saat terjadinya peristiwa kulminasi matahari selalu rutin diadakan event budaya daerah, yaitu Festival Budaya Bumi Khatulistiwa
Mayoritas penduduk Kota Pontianak adalah Melayu dan Tionghoa. Karena merupakan kota pelabuhan, beberapa suku lainnya juga cukup banyak mendiami kota ini. Sedangkan Suku Dayak sebagai salah satu suku asli selain Melayu lebih banyak mendiami daerah-daerah hulu sungai dan pedalaman di Kalimantan Barat. Tapi kini juga tak dapat dipungkiri, bahwa Suku Dayak juga sudah cukup banyak mendiami daerah perkotaan seperti Pontianak.
Secara umum, bahasa pergaulan sehari-hari di Pontianak adalah Bahasa Melayu, yang juga dipergunakan secara luas di seluruh Kalimantan Barat. Hal ini membedakan Kalimantan Barat dengan tiga provinsi lainnya di Pulau Kalimantan, yaitu Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Di tiga provinsi tersebut, bahasa pergaulannya adalah Bahasa Banjar. Walaupun Bahasa Banjar masih termasuk rumpun Bahasa Melayu, namun tak dapat dipungkiri juga, bahwa terdapat perbedaan mendasar antara Bahasa Melayu dengan Bahasa Banjar.
Secara geografis, Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi yang berbatasan darat secara langsung dengan Malaysia Timur (Kalimantan Bagian Utara). Hal ini telah menjadikan Pontianak sebagai ibu kota Kalimantan Barat memiliki peranan strategis dalam hubungan antara dua negara serumpun (Indonesia dan Malaysia). Selain dengan Malaysia, Kalimantan Barat juga berhubungan erat dengan Negara Brunei Darussalam yang juga berada di Kalimantan Bagian Utara. Apalagi di masa lalu, beberapa kesultanan di Kalimantan Barat memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat dengan Kesultanan Brunei Darussalam.
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, bahwa bagi yang sudah pernah berkunjung ke Kota Pontianak dan kemudian meminum air Sungai Kapuas, maka orang tersebut akan begitu sulit sekali untuk melupakan kota sungai yang begitu unik ini.
Berikut ini adalah bait terakhir dari lagu “Ae’ Kapuas” yang menggambarkan hal tersebut:
Sungai Kapuas punye ceghite, bile kite minom ae’nye
Walaupon pegi jaoh ke mane, sungguh susah nak ngelupa’kannye
Eee… Kapuas, eee … Kapuas [-,-]
0 ulasan:
Posting Komentar