Selasa, 16 Desember 2008

Cak Nur; Cendekiawan yang Rendah Hati



Ketertarikan kita kepada seseorang kadang begitu anehnya. Tak jarang pula hal tersebut berawal dari ketidaksukaan kita kepada orang itu. Dan ketertarikan jenis inilah yang aku rasakan ketika mengenal Nurcholish Madjid (Cak Nur). Semenjak aku masih berada di Pontianak yaitu saat masih bersekolah di SMK Teknologi (dulunya STM) di kota kelahiranku tersebut, sosok yang satu ini memang sudah kukenal. Aku lupa persisnya ketika pertama kali mengenal Cak Nur. Mungkin bisa jadi dari koran-koran yang pernah kubaca, atau mungkin juga dari pemberitaan televisi. Apalagi di masa-masa hampir tumbangnya rezim Orde Baru, seingatku Cak Nur begitu seringnya muncul di media massa sebagai tokoh nasional yang sering mengeluarkan pendapat berkenaan dengan masa depan Indonesia yang sedang berada di ambang kehancuran ketika itu.

Aku sering bertanya-tanya pada diriku sendiri ketika itu, siapa Cak Nur ini sebenarnya? Begitu pentingkah dirinya, sehingga ia sering dimintai pendapat mengenai bangsa ini? Apalagi yang sering kudengar ketika itu, bahwa Cak Nur sering mengeluarkan pendapat yang kontroversial mengenai Islam, yang ini semakin menambah ketidaksukaanku kepada tokoh yang satu ini. Begitulah perkenalanku kepada Cak Nur, hingga di saat lain, ketika aku sudah berada di Jakarta untuk melanjutkan studiku, keadaan berkata lain. Tokoh yang tidak aku sukai ini lambat laun kemudian menyita perhatianku, hingga ia menjadi salah seorang tokoh nasional yang aku kagumi.

Kampus tempatku menuntut ilmu, yaitu UIN Jakarta (waktu itu masih bernama IAIN Jakarta), seakan-akan memberikanku ruang yang begitu luas untuk mengenal lebih jauh sosok yang satu ini. Setelah membaca beberapa buku yang ditulisnya, aku menjadi semakin mengenal Cak Nur. Pemikiran-pemikirannya memberikan pencerahan bagiku. Konsep-konsep Islam yang selama ini telah dikenal oleh Umat Islam, tapi melalui Cak Nur, konsep-konsep tersebut kembali diulas, seakan-akan aku kembali lagi dari awal mengenal Islam yang telah kuanut semenjak lahir.

Ulasan-ulasannya tersebut pada satu sisi begitu sederhana, tapi memberikan pemahaman yang baru bagiku. Cak Nur mendedahkannya dari sisi yang lain, yang mungkin selama ini tak terlalu menjadi perhatian dari para penceramah agama yang biasa aku dengar di masjid ketika Shalat Jum'at. Sebut saja misalkan konsep syari'ah, jihad, syirik, keadilan, dan konsep-konsep lainnya yang seakan-akan selama ini sudah kuketahui, karena aku adalah Umat Islam. Tapi setelah membaca berbagai pemikirannya, seakan-akan aku baru mengetahui ajaran agama yang kuanut ini. Pemikirannya juga memperlihatkan kepadaku sisi yang lain dari Islam, yaitu Islam sebagai agama yang damai dan rahmatan lil alamin.

Kekaguman kepada Cak Nur juga telah membawaku untuk beraktivitas di organisasi mahasiswa yang dahulunya pernah dipimpin oleh Cak Nur, yaitu HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Di organisasi ini semakin memberikanku ruang yang begitu luas untuk mendalami lebih jauh pemikiran-pemikiran Cak Nur. Apalagi belakangan setelah semakin intens bergelut di HMI, barulah kuketahui, bahwa beliau adalah perumus ideologi organisasi mahasiswa Islam ini. Begitu mengagumkan juga, karena ideologi tersebut dirumuskannya ketika ia masih pemuda sepertiku.

Suatu ketika, waktu itu adalah acara pengukuhan BEM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, aku mendapatkan kesempatan yang begitu berharga, karena dapat bertatapan langsung dengan tokoh yang kukagumi ini. Pada acara tersebut, Cak Nur diminta untuk berorasi mengenai kenegaraan dan kebangsaan. Ketika mendengar orasinya itu, aku semakin yakin, bahwa kekagumanku kepada tokoh yang satu ini tidaklah salah. Beliau begitu berbeda, begitu mempesona, dan penuh dengan kharisma. Orasinya begitu mendalam, sedalam pemahamannya terhadap kondisi bangsa ini. Dan satu yang selalu kuingat, yaitu suaranya begitu syahdu, lembut, dan penuh dengan kedamaian, berbeda dengan suara kebanyakan para penceramah agama yang menggelegar-gelegar dan menyambar-nyambar bagaikan guntur dan petir dari langit.

Suaranya yang tak terlalu nyaring dan juga tak terlampau pelan itu membawaku (dan mungkin juga hadirin yang hadir ketika itu) kepada pemahaman yang baru mengenai bangsa ini. Selain tulisan-tulisannya begitu enak dibaca, orasinya pun begitu nyaman didengar. Menurutku, beliau adalah seorang penulis yang bagus, sekaligus juga seorang orator ulung. Ini mungkin adalah pertemuanku untuk pertama dan terakhir kalinya dengan Cak Nur, karena setelah itu aku tak pernah lagi bertatapan langsung dengannya, paling-paling hanya melalui televisi yang pernah menayangkan ceramah-ceramah agama yang disampaikannya.

Menurutku, beliau adalah sosok yang begitu rendah hati dan tulus. Ia tidak lantas menggurui, walaupun ilmu dan pemahamannya begitu mendalam. Ungkapan-ungkapannya juga tidak cenderung untuk melecehkan orang atau aliran yang tak sepaham dengannya. Beliau juga tidak mengeluarkan kata-kata pedas ketika mengkritisi sesuatu yang tidak disetujuinya, cenderung tidak tendensius dan tidak pula menghakimi, melainkan ia selalu berkata santun. Kiranya jarang sekali ditemui seorang intelektual yang seperti beliau. Ia bukan hanya dihormati oleh kawan, juga disegani oleh orang-orang yang berseberangan pendapat dengannya. Hal ini mungkin karena kharisma intelektualnya juga sejalan dengan akhlaknya yang luhur, baik ketika menulis, berkata, bahkan ketika bertindak.

Pada suatu kesempatan saat aku menjadi Sekretaris Umum HMI Cabang Ciputat pada hari Senin 29 Agustus 2005, ketika itu adalah hari terakhir pelaksanaan RAKORNAS (Rapat Koordinasi Nasional) LKMI (Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam) yang dilaksanakan di Pontianak-Kalimantan Barat yang tak lain adalah kota kelahiranku. Delegasi dari HMI Cabang Ciputat adalah aku bersama dua orang kader HMI Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta. Hari terakhir RAKORNAS LKMI tersebut kami habiskan untuk jalan-jalan di Kota Pontianak, sekaligus aku juga mengenalkan Kota Pontianak kepada beberapa teman peserta RAKORNAS LKMI yang notabene bukan berasal dari Pontianak.

Ketika itu kami sedang berada di dalam mobil setelah beberapa teman membeli oleh-oleh untuk dibawa ke kota mereka masing-masing. Saat itu kira-kira pukul tiga sore, ponselku berbunyi, yang menandakan ada SMS yang masuk. Lalu tanpa menunggu lama, langsung kubaca SMS tersebut. Ternyata suatu berita yang begitu mengejutkan bagiku dari seorang teman seperjuanganku di HMI KOMFASTEK (Komisariat Fakultas Sains & Teknologi dan Ekonomi). Berita tersebut tak hanya mengejutkanku, tetapi juga mengejutkan teman-teman HMI lainnya yang ketika itu semobil denganku. Cak Nur telah berpulang ke rahmatullah, begitulah isi dari SMS tersebut.

Aku bukan hanya terkejut, tapi juga kehilangan seorang tokoh panutan. Seorang yang setiap curahan pemikirannya adalah oase bagi kehidupanku. Pemikirannya yang oleh sebagian orang begitu kontroversial, tetapi bagiku telah memberikan pencerahan yang begitu berharga. Setiap untaian pemikirannya adalah untaian penunjuk jalan bagi bangsa yang berada di ambang kehancuran ini. Ia adalah pemikir yang memiliki moralitas yang begitu tinggi. Selain sebagai pembaharu Islam, ia juga adalah seorang negarawan yang begitu mencintai negerinya. Dan pesona dirinya yang tak pernah kulupakan, bahwa ia adalah sosok yang rendah hati dan tulus.

Melalui tulisannya, Cak Nur tak jarang mengingatkan untuk tidak mengkultuskan seseorang. Semoga juga kekagumanku kepadanya tidak terjerumus kepada pengkultusan yang sering ia wanti-wanti untuk dihindari itu. Dan memang selayaknya kita menghargai Cak Nur karena nilai-nilai kemanusiaannya yang begitu tinggi. Cak Nur hanya manusia biasa, penghargaan kepadanya tak lebih karena ia telah memberikan kontribusi yang begitu besar kepada umat dan bangsa ini. Sumbangsih positif dari pemikirannya juga sudah sepatutnya untuk diapresiasi dengan baik. Terlepas dari itu, pemikirannya juga tak menutup kemungkinan untuk dikritisi. Dan aku yakin, begitu pulalah yang diinginkan oleh Cak Nur, bahwa generasi kini jangan hanya membeo kepada pemikiran yang telah ia lontarkan.

Cak Nur telah mengukir sejarahnya yang indah dan menawan di atas lontar kehidupan dengan tinta emas yang berkilauan. Generasi kini tentunya harus melakukan pencapaian-pencapaian yang lebih dari itu. Bukan hanya sekedar membeo, tapi melakukan apresiasi kreatif dan kritis terhadap khazanah intelektual yang telah dipersembahkannya. Sehingga dari apresiasi tersebut akan memunculkan inovasi terbaru yang lebih berarti untuk kehidupan umat dan bangsa ini di masa kini dan akan datang. Jika Cak Nur adalah pendaki yang telah mencapai puncaknya, maka kita tentunya tak ingin hanya menatap Cak Nur dari kejauhan sembari mengelu-elukan kebesarannya. Lebih tragis lagi jika Cak Nur kemudian diberhalakan, serta pemikirannya didewa-dewakan. Hingga kemudian generasi penerusnya tak lebih hanyalah menjadi generasi yang tenggelam dalam kejumudan. [Hanafi Mohan / Ciputat, Mei 2008]



Sumber Foto:

- http://fadlanous.blogspot.com/

- http://lintang2010.wordpress.com/

- http://syafiqjawad.wordpress.com/

0 ulasan:

Posting Komentar