Jumat, 20 September 2019

Berharap Kepada Patung Tak Bernyawa


[Catatan ini ditulis sekira 4 (empat) tahun lepas, pada Dzulhijjah 1436 Hijriyyah/Oktober 2015 Miladiyyah.]

Bencana Kabut Asap yang selama 18 tahun ini berterus-terusan melanda Borneo dan Sumatera adalah fenomena yang tak dapat didiam-diamkan lagi oleh masyarakat di kedua kawasan tersebut. Berharap kepada otoritas penguasa negara untuk mengatasi Bencana Kabut Asap ini sama saja bagai berharap kepada patung tak bernyawa. Hukum sememangnya tak bergigi di negara gagal ini.


Mengapa otoritas penguasa negara sudah tak dapat mengatasi Bencana Kabut Asap yang seakan-akan sudah menjadi musim tersendiri di Borneo dan Sumatera tersebut? Tiada lain tiada bukan, tersebab Bencana Kabut Asap itu sendiri terjadi karena perselingkuhan jahat Korporasi Perkebunan Kelapa Sawit dengan Otoritas Penguasa Negara ini. Bagaimana mungkin si pelaku kejahatannya itu dapat mengatasi kejahatannya sendiri, kecuali mereka semakin menjadi-jadi saja dengan perangai buruknya itu.

Masyarakat di kedua kawasan yang mengalami Bencana Kabut Asap ini (Borneo dan Sumatera) harus bersuara lebih tegas dan lebih lantang lagi berkenaan dengan bencana yang dihadapinya. Segala macam petisi ini itu sudah tak ada gunanya lagi di zaman yang lintang pukang serba tak menentu ini. Karena Bencana Kabut Asap ini, masyarakat Borneo dan Sumatera tak mendapatkan haq 'azazinya. Haq 'azazi masyarakat Borneo dan Sumatera telah dirampas oleh si pelaku kejahatan penyebab Bencana Kabut Asap itu (yaitu Korporasi Perkebunan Kelapa Sawit dan Otoritas Penguasa Negara).

Tak seperti banjir, gunung meletus, tsunami, angin taufan, gempa bumi, dan semacamnya yang merupakan bencana alam, maka Bencana Kabut Asap bukanlah bencana alam. Kabut Asap terjadi karena kerakusan alias ketamakan manusia-manusia yang tak bertanggungjawab yang tangannya bergelimangan dosa serta akal fikirannya diliputi nafsu jahat. Dalam beberapa sisi, kiranya Bencana Kabut Asap dapatlah disamakan kedudukannya dengan Bencana Perang. Dampak dari Bencana Kabut Asap adalah akibat logis dari kejahatan kemanusiaan, sama halnya dengan dampak yang ditimbulkan oleh peperangan. Jika Bencana Perang merupakan kejahatan kemanusiaan, maka sama halnya dengan Bencana Kabut Asap yang juga merupakan kejahatan kemanusiaan yang tak dapat diampunkan.

Kaki tangan Otoritas Penguasa Negara ini ada yang menyatakan bahwa Bencana Kabut Asap belum dapat dikategorikan sebagai Bencana Nasional karena dampak yang ditimbulkannya masihlah begitu kecil. Sungguh pernyataan-pernyataan seperti itu bagai pernyataan orang yang sedang mabuk. Orang-orang semacam itu tak lebih hanyalah orang-orang yang tak tau kenyataan sebenarnya, tapi mulut lucahnya itu semau-maunya saja berucap.

Entah sudah berapa banyak kerugian materil dan immateril yang ditanggung oleh negeri-negeri di Borneo dan Sumatera karena Bencana Kabut Asap ini, sudah tak terkira tentunya. Angka 18 Tahun terjadinya Bencana Kabut Asap ini bukanlah angka yang main-main. Ada pembiaran, ada kesengajaan, ada kepandiran, ada penindasan, yang semuanya berkelindan menjadi satu, dikomandani oleh Otoritas Penguasa Negara ini, demi mengeruk merampok menjajah negeri-negeri di Borneo dan Sumatera. Eksploitasi tak berkesudahan ini akan berterus-terusan terjadi jika tak ada keinginan kuat dari masyarakat Borneo dan Sumatera untuk melepaskan diri dari kekangan negara rakus ini, dari penguasaan negara gagal ini.

Kebisuan dan keterdiaman kita akan penjajahan ke atas negeri-negeri kita yang terang-terang terjadi di depan mata kita ini tentu itu merupakan pengkhianatan terhadap perjuangan para tetua kita. Para datok nenek moyang kita mungkin kini tersedu sedan mengetahui negerinya dibuat jadi seperti sekarang ini.

Masihkah mau berharap kepada patung tak bernyawa? Tentu tidak. Harapan yang kita gantungkan kepada Otoritas Penguasa Negara ini bagai kita memberikan batang leher kita untuk ditebas dipancung.

Telah begitu lantang nampak di hadapan mata kita penghancuran demi penghancuran terjadi terus menerus terhadap negeri kampong halaman kita, dan kita masih saja terus menerus terdiam membisu memandangnya. Tidak, bukan seperti ini adanya cita-cita para pemangku negeri-negeri kita dahulu akan masa depan negerinya ini. Bukan seperti ini pula yang diidam-idamkan datok nenek moyang kita dahulu akan negeri-negeri yang tadinya berdaulat ini.

Begitu banyak hutang jasa dan pengorbanan para pendahulu negeri-negeri kita yang harus kita bayar kini demi mewujudkan negeri-negeri kita yang berdaulat, bermarwah, bermartabat, dan tentu saja aman nan makmur. Dan kita yakin seyakin-yakinnya, tamaddun negeri-negeri kita akan kembali menjulang gilang gemilang, jika kita mau berusaha sedaya upayanya bahu membahu mengubah keadaan negeri-negeri kita menjadi lebih baik lagi kini hingga ke masa hadapan.

Hanya kepada Allah kiranya tempat kita menggantungkan segala asa. Pada-Nya segenap do'a kita panjatkan. Semoga sentiasa terlimpah ketabahan dan kesabaran dalam menempuh semesta cabaran ini. Yaa dzaa al-jalaali wa al-ikraam. #*#




Hanafi Mohan, Tanah Betawi, Pertengahan hampir Penghujung Dzulhijjah 1436 Hijriyyah, bersamaan dengan Awal Oktober 2015 Miladiyyah

Sumber foto ilustrasi: Video Pontianak Melawan Asap


0 ulasan:

Posting Komentar