Senin, 17 Agustus 2015

Penjajahan yang Dirayakan


Banyak negeri di kepulauan yang terlampau luas ini merayakan sesuatu yang tak sepatutnya dirayakan. Apakah gerangan itu? Negeri-negeri yang hingga kini masih dijajah itu rutin bertahun-tahun merayakan penjajahan atas negerinya. Dan inilah keberhasilan pusat kekuasaan merekayasa pikiran setiap manusia di berbagai negeri yang dijajahnya itu. Sehingga setiap manusia di berbagai negeri tersebut selama berpuluh-puluh tahun hinggalah kini tak sadar yang ternyata mereka sebetul-betulnya sedang dijajah. Dan malahan manusia-manusia yang dijajah itu ikut bergembira ria merayakan peringatan penjajahan atas negerinya.

Bagaimanalah mungkin negeri yang sedang dijajah kemudian merayakan keterjajahannya?

Jikalau mata air sejarah telah tercemar, peradaban negeri pun perlahan-lahan tenggelam. Si pemenang yang telah menjelma pusat kekuasaan itu dengan semau-mau hatinya, dengan tangan besinya, dengan nafsu penjajahannya akan berterus-terusan mencemari mata air sejarah negeri-negeri yang dicengkeramnya.

Negeri yang sedang dijajah akan sentiasa dibuat menjadi miskin dan terbelakang oleh pusat kekuasaan yang menjajahnya itu. Pusat kekuasaan penjajah itu hanya mementingkan keberlangsungan penjajahannya, sedangkan manusia-manusia di berbagai negeri yang dijajahnya itu tak lebih dianggap deretan angka-angka saja. Atau boleh jadi manusia-manusia yang dijajahnya itu dianggapnya betul-betul tidak ada. Adagium si pusat kekuasaan negara penjajah itu kiranya berbunyi seperti ini: “Kami tidak perlu orangnya. Yang kami perlu tanahnya.”

Manusia-manusia di segenap negeri yang dijajah itu dibuat seolah-olah mereka sudah merdeka dan maju. Namun kenyataannya, jauh panggang daripada api. Mereka dibuat seakan-akan bagian terpenting sebagai subyek di negara penjajah itu. Namun apalah daya, sejatinya mereka tak ubahnya obyek eksploitasi, lebih buruk lagi pelengkap penderita sahaja.

Pendidikan yang diberikan oleh pusat kekuasaan negara penjajah itu tak luput pula dijejali dengan agenda dan propaganda si penjajah. Tujuan pendidikan yang sejatinya untuk memanusiakan manusia, namun yang terjadi bertolak belakang. Manusia-manusia terjajah itu sedemikian rupa diproses seakan-akan untuk menjadi “cerdas”, padahal nyatanya mereka sedang digembalakan menuju jurang kebodohan. Mereka tak ubahnya macam sedang dibentuk menjadi robot-robot yang bernyawa, yang dengan mudahnya dapat dikendalikan.

Begitulah nasib negeri-negeri yang terjajah. Sedemikianlah nyatanya manusia-manusia di negeri-negeri yang dijajah oleh pusat kekuasaan negara penjajah dimaksud. Sepatutnya manusia-manusia di negeri-negeri yang sedang dijajah itu jujur mengakui bahwa sebetulnya mereka serta negeri mereka sedang dijajah. Lapisan kesadaran mereka selama ini diselubungi oleh kabut gelap nasionalisme semu yang berterus-terusan disuntikkan oleh pusat kekuasaan negara penjajah. Dan selubung gelap yang menyelimuti lapisan kesadarannya itu niscaya dapat disibak sehingga menjadi lebih benderang lagi jika mereka mau menyelami jati dirinya sebagai manusia, begitupun jati diri bangsa dan negeri kampong halamannya. [~]



Hanafi Mohan
Tanah Betawi, Isnin, tarikh 2-3 Dzulqa’idah 1436 Hijriyyah,
bertepatan dengan tarikh 17 Agustus 2015 Miladiyyah



** Sumber gambar ilustrasi: Laman Website anneahira.com



2 ulasan: