Senin, 12 Mei 2014

Menulis dalam Bahasa Melayu


"Saudara bangsa apa?" Jika ada yang bertanya macam itu kepada saya, maka dengan tegas akan saya jawab, tanpa sedikitpun keraguan dan tanpa menyisakan sejengkalpun ruang kosong kebimbangan, bahwa "Saya Bangsa Melayu."

Tersebab saya ini Bangsa Melayu, yang lahir dan besar di Negeri Pontianak, di Borneo Barat adanya, Pulau Borneo yang berada di gugusan Kepulauan Melayu, maka sudah sepatutnya jika menulis saya lebih mengedepankan berbahasa Melayu. Iya, saya selalu menulis di dalam Bahasa Melayu, karena itulah bahasa ibunda saya, bahasa kaum saya, bahasa bangsa saya. Hanya dengan Bahasa Melayu saya bisa menyampaikan pikiran-pikiran yang mawjud di kepala. Ketika menulis pun saya lebih mengutamakan menggali kata-kata yang ada di khazanah Bahasa Melayu sendiri, tulisan dalam bentuk apapun itu. Sesekali saya sempatkan pula menulis dalam Bahasa Melayu Loghat Pontianak misalkan, yang dari situlah salah satu sumber penggalian kata-kata di dalam khazanah Bahasa Melayu seperti yang termaksud.

Bukan hanya dari segi kata-kata, penggalian khazanah Bahasa Melayu juga saya lakukan dalam hal gaya bahasa, yang dari gaya bahasa itulah sebagai salah satu pembeda antara penutur Bahasa Melayu dengan yang selainnya. Jiwa Bahasa Melayu tiada lain tiada bukan berada di masyarakat penuturnya itu sendiri. Kedegilan berbahasa Melayu yang dilakukan oleh yang selain penutur Bahasa Melayu sudah seharusnya ditumpas punah ranahkan. Begitu juga halnya dengan pengelabuan jati diri Bahasa Melayu sudah sepatutnya pula dibidas, hingga benderanglah adanya mana emas mana tembaga, yang mana berlian intan permata yang mana pula batu biasa.

Menulis dalam Bahasa Melayu adalah sebagian dari jiwa saya. Sepenggal kehidupan ini kiranya telah larut di dalamnya. Di tengah-tengah masyarakatnya yang egaliter saya lahir dan dibesarkan. Segala macam tunjuk ajar, nasihat, sastera, begitu pula adat resam budaya telah serap dan resap dalam diri ini semenjak belia. Tantangan terberat saya adalah ketika mau tak mau harus berpisah dari masyarakatnya yang bertamaddun itu. Berpisah untuk sementara waktu, walaupun diri ini tak pernah tau bila lagi masa ‘kan perjumpakan hamba yang fana ini dengan negeri kelahirannya.

Delapan belas tahun, itulah angka usia terakhir saya menimba berbagai pengalaman hidup yang begitu berharga di negeri serta di tengah-tengah masyarakatnya. Setelahnya, ruang dan waktu berbicara lain. Empat belas tahun lamanya hingga kini, ruang dan waktu memisahkan. Tapi sungguhpun begitu, delapan belas tahun sejak lahir hingga remaja, itulah masa-masa yang menentukan bagi saya, masa-masa yang begitu berharga, yang segala macam hal ihwal di dalamnya takkan dengan mudahnya hilang dan menyusut dari semesta minda dan jiwa. Delapan belas tahun itulah yang telah memberikan pengajaran dan membentuk jati diri ini sebagai Budak Melayu dari Negeri Pontianak adanya. Dan jati diri itu kiranya takkan pernah luntur sedikitpun dari kedirian ini.

Alur kehidupan yang sedemikian rupa secara alamiah telah membentuk pemahaman kebahasaan Melayu saya. Hingga pada usia delapan belas tahun itulah saya berterus-terusan bercakap-cakap dalam Bahasa Melayu Pontianak. Untuk selanjutnya Bahasa Melayu Pontianak terkunci di lisan saya, dan tersimpan rapi dalam kamus kebahasaan saya, sehingga tetap terjaga keasliannya. Interaksi dengan berbagai macam ragam puak dan kaum di Tanah Betawi telah cukup membantu saya dalam hal memilah-milah serta mengetahui yang mana-mana dari kata-kata dan tata bahasa dalam percakapan keseharian itu yang masih merupakan asli Bahasa Melayu. Dengan demikian pula (karena mengetahui yang mana yang asli Bahasa Melayu dan yang mana yang bukan asli Bahasa Melayu), makanya lisan dan semesta Bahasa Melayu saya tetap terjaga keasliannya dari pengaruh-pengaruh luar Bahasa Melayu.

Beberapa tahun silam, bahasa tulisan saya pernah agak terpengaruh oleh bahasa-bahasa dan tata bahasa yang tidak asli Bahasa Melayu (walaupun lisan Bahasa Melayu Pontianak saya tetap terjaga keasliannya). Belakangan setelah menapaki jalan yang berpusing-pusing, setelah terkelupasnya lapisan-lapisan identitas semu, sehingga benderanglah cahaya identitas sejati, maka sedikit demi sedikit susunan bahasa tulisan saya mengalami perbaikan dan perubahan menuju kesejatian Bahasa Melayu. Kalau lisan Melayu Pontianak saya jangan ditanyakan lagi, sudah pasti semakin mengental keasliannya. Dan memang dari Bahasa Melayu Pontianak lah yang merupakan salah satu sumber penggalian kemurnian Bahasa Melayu yang selama ini telah saya lakukan.

Diakui atau tidak, Bahasa Melayu yang merupakan bahasa perhubungan dan bahasa persatuan di Kepulauan Melayu ini semakin hari semakin tercelaru oleh tindakan-tindakan barbar sebagian penggunanya yang bukan penutur asli Bahasa Melayu. Celakanya tindakan barbar tersebut juga diikuti oleh sebagian penutur asli Bahasa Melayu. Lebih celakanya lagi para penutur asli Bahasa Melayu seakan-akan menjadi asing dengan bahasa puaknya ini. Tersebab itu pula, penggalian dan pendedahan kesejatian Bahasa Melayu patut berterus-terusan dilaungkan. Kita tentunya tak ingin generasi Melayu kini dan akan datang semakin terjauhkan dari kesejatian bahasa ibundanya ini. Tugas ini terbebankan di masing-masing pundak kita yang mengaku sebagai Budak Melayu. Menjadi dosa kita generasi kini jika mendiamkan saja tindakan perusakan terhadap bahasa kaum kita ini. Para perusak Bahasa Melayu tersebut tentu akan berterus-terusan pula melakukan tindakan barbar dimaksud, karena sememangnya mereka tak punya tanggungjawab moral dalam hal menjaga kesejatian bahasa bangsa kita ini, bahasanya Bangsa Melayu adanya.

Jihad dalam ihwal menjaga kesejatian Bahasa Melayu ini adalah tugas masing-masing kita Budak Melayu. Dan saya Budak Melayu yang hingga kini masihlah kental jati diri Bangsa Melayu di diri dan kedirian ini akan berterus-terusan menulis dalam Bahasa Melayu. Tiada lain tiada bukan, karena saya terlalu cinta kepada bangsa saya ini (Bangsa Melayu), termasuk juga terhadap bahasa bangsa ini (Bahasa Melayu).

Mari bersama-sama kita membiasakan diri menulis dalam Bahasa Melayu, yaitu menulis dalam Bahasa Melayu yang sejati. Salam takzim. Tabék. [HM]


* * * Catatan ini ditulis di dalam Bahasa Melayu

~ Tanah Betawi, Awal April hingga Pertengahan Mei 2014 ~


Sumber gambar ilustrasi: Laman Web "British Library"

Tulisan ini dimuat di Laman Blog "Arus Deras"


1 ulasan:

  1. karena era globalisasi, bahasa melayu tak luput juga mendapat pengaruh dari bahasa lain, baik bahasa daerah ataupun bahasa asing

    BalasHapus