Semangat obskurantisme atau kemasabodohan intelektual akibat berbagai faktor ekstern dalam proses-proses dan struktur-struktur politik dalam sejarah perkembangan Islam sedemikian mencekam, sehingga mewarnai sikap intelektual sebagian besar kaum Muslim. Dalam pandangan mereka, ilmu pengetahuan telah “habis”, dan yang tersisa ialah mencerna apa saja yang diwariskan dari generasi sebelumnya. Stagnasi ini tidak dirasakan oleh kaum Muslim, seolah-olah segala sesuatu terjadi secara wajar saja, sam¬pai akhirnya mereka terhentak dan kalah oleh bangkitnya bangsa-bang¬sa yang selama ini mereka remehkan, yaitu bangsa-bangsa Eropa Barat, atau lebih persisnya, Barat Laut, bangsa-bangsa pelopor umat ma¬nu¬sia untuk memasuki Zaman Mo¬dern.
Banyak ahli yang mengatakan, semua ini diawali karena umat Islam terkena penyakit “puas diri”, akibat dominasi mereka atas kehidupan di muka bumi selama berabad-abad (dalam perhitungan konservatif setidaknya selama delapan abad, yang berarti empat kali lebih panjang daripada masa domi¬nasi Eropa Barat yang sudah berlangsung selama dua abad ini). Ketika mereka dikejutkan oleh datangnya tentara Prancis ke Mesir di bawah Napoleon yang dengan amat mudah mengalahkan mereka itu, keadaan sudah sangat terlambat, sehingga dorongan ke arah kebangkitan kembali yang muncul sejak itu sampai sekarang belum mencapai tujuan yang dimaksud.
Tetapi tentu saja umat Islam masih tetap mempunyai kesempatan yang baik. Berbagai gejala masa-masa terakhir ini, yang biasanya diletakkan dalam bracket “kebangkitan Islam”, dapat diacu sebagai petunjuk adanya masa depan yang baik, setidaknya lebih baik daripada sekarang, apalagi dari¬pada masa obskurantisme se¬perti di atas. Sebuah adagium mung¬kin relevan dengan masalah ini yaitu yang berbunyi: “Tidak akan menjadi baik umat ini kecuali dengan sesuatu yang telah membuat baiknya umat terdahulu”. Sementara banyak tafsiran yang berbeda-beda tentang apa “yang membuat baik umat terdahulu”, namun dari pembacaan kepada sejarah peradaban Islam, khususnya sejarah pemikirannya, jelas bahwa yang membuat baik mereka generasi Islam klasik itu ialah apa yang dalam ungkapan kontemporer dinamakan “Etos Ilmiah”.
Berbeda dengan obskurantisme, etos ilmiah yang benar harus memandang bahwa ilmu tidak mempunyai batas (limit), melainkan ilmu hanya mempunyai perbatasan (frontier), yaitu ujung terakhir perkembangan pemikiran ilmiah. Batas atau limit ilmu hanya ada pada Allah, karena itu tak terjangkau. Tetapi perbatasan atau frontier ilmu hanyalah produk kemampuan manusia sendiri yang tidak sempurna, karena itu harus selalu diusahakan untuk ditembus dengan keberanian intelektual serta kreativitas dan orisinalitasnya. Semuanya itu memerlukan suasana yang bersifat kondusif. Suasana itu tidak lain, seperti dikemukakan K.H. Hasyim Asy’ari, ialah toleransi dan saling menghargai dalam perbedaan.
Sumber:
Sumber: Budhy Munawar-Rachman (editor), Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Sketsa Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban, diterbitkan oleh: Mizan, Paramadina, Center for Spirituality & Leadership, 2007/2008
Selasa, 17 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Ini masalah framew of mind, mindset ... dasar kaji pandang Islam ... ilmu adalah limpahan 'kasih sayang' Allah SWT yang terangkum dalam sunnatullah; dia tidak berawal dan tidak berakhir. Jadi mustahil berakhir apalagi berpinggir-pinggir. Tinggal, bagaimana manusia memaknainya. Salam.
BalasHapusSetuju Bang. Semoga pencerahan dari Allahyarham Nurcholsih Madjid (Cak Nur Almarhum) ini dapat kita ambil manfaatnya untuk hidup secara damai dan bertoleransi di negeri yg multikultural ini.
BalasHapusDoa selalu untuk Allahyarham Nurcholish Madjid, semoga amal kebajikan yg telah disumbangkannya untuk bangsa ini akan selalu mengalirkan pahala berlimpah kepadanya di alam barzakh dan hari hari akhir nanti. Semoga beliau dimasukkan oleh Allah ke dalam golongan hamba-Nya yang beriman dan beramal shaleh. Amin.