Jumat, 30 Januari 2009

Abad Modern dan Sumerisme

Hakikat Abad Modern, sebagai¬mana sejauh ini penjelasan terbaiknya diberikan oleh Marshall G.S. Hodgson, ialah Teknikalisme dengan tuntutan efisiensi kerja yang tinggi, yang diterapkan kepada semua bidang kehidupan. Maka, menurut Hodgson, Abad Modern itu sesungguhnya lebih tepat disebut Abad Teknik, apalagi jika harus dihindari konotasi moral yagn kontroversial pada perkataan “modern” (“modern” berarti “baik”, “maju”, dan lain-lain). Teknikalisme itu an sich melatarbelakangi timbul¬nya Revolusi Industri, sedangkan implikasi kemanusiaannya menyembul dalam bentuk Revolusi Perancis. Dua peristiwa yang secara amat menentukan menandai dimulainya Abad Modern itu terjadi pada sekitar pertengahan abad ke-18, bukannya di bagian Eropa yang mempunyai masa lampau yang panjang dan gemilang seperti Yunani dan Romawi, melainkan di Inggris dan Perancis di Eropa Barat Laut yang merupakan pendatang baru dalam pentas sejarah umat manu¬sia. Dan kelak akan ternyata bahwa asepek kemanusiaannya yang tercerminkan dalam cita-cita Revolusi Perancis itu adalah lebih bermakna daripada segi Tekniknya. Maka sering pula disebutkan tentang peranan utama generasi 1789 (Revolusi Prancis) dalam meletakkan dasar-dasar Abad Modern.

Sebagai suatu zaman baru, Abad Teknik, dalam efeknya terhadap sejarah umat manusia, dapat diban¬ding¬kan dengan Abad Agraria Berkota (Agrarianate Citied Society) yang dimulai oleh orang-orang Sumeria pada sekitar tiga ribu tahun sebelum Masehi. Dalam sejarah umat manusia, bangsa Sumeria adalah manusia pertama yang membangun masyarakat ber¬kota. Mereka juga yang pertama mampu mengatasi persoalan mereka karena gejala alam yang besar, yaitu luapan sungai-sungai Dajlah dan Furat, yang kemudian mereka manfaatkan untuk irigasi pertanian lembah “Antara Dua Sungai” (Mesopotamia). Dengan di¬pim¬pin oleh para pendeta mereka dari zigurat-zigurat, orang-orang Sumeria terus-menerus membuat kemajuan dalam berbagai bidang. Merekalah yang pertama menggunakan bajak dan weluku secara intensif untuk menggarap tanah, dan dengan begitu sangat meningkatkan produksi pertanian. Peningkatan produksi pangan (dan sandang) tidak saja mem¬per¬baiki taraf hidup para petani, tapi juga memung¬kinkan tumbuhnya kelas baru di kota-kota yang dapat menikmati hidup mak¬mur tanpa harus terjun langsung dalam pekerjaan pertanian. Mereka adalah juga manusia pertama yang membuat tulisan (huruf), menemukan perunggu dan menggunakan kendaraan beroda.

Berkat kemajuannya itu, bangsa Sumeria mendapati dirinya mampu dengan gampang mengalahkan dan menguasai bangsa-bangsa lain di sekitarnya, yaitu masyarakat-masyarakat pertanian tanpa kota. Dengan begitu perang tidak lagi hanya berupa pertempuran antar suku seperti sebelumnya, melainkan meningkat skalanya menjadi perang antar bangsa. Maka timbullah pada mereka, untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia, kehi¬dup¬an bernegara dalam arti kata yang sebenarnya, bahkan dengan wawasan imperialisme dan kolo¬nialis¬menya. Hal ini, selanjutnya menuntut kemampuan yang lebih tinggi untuk mengatur kehidupan bersama secara lebih cermat dan profesional. Jika selama ini pimpin¬an masyarakat terbatas hanya kepa¬da para pemimpin agama sebagai satu-satunya kelas literati, kini diperlukan kelompok orang-orang yang khusus menangani urusan kenegaraan, terutama perang, serta kelompok lain yang menangani perdagangan.

Cara dan pandangan hidup Sumeria (“Sumerisme”) menjadi model bagi umat manusia selama 5000 tahun, yaitu sejak tumbuhnya masyarakat berkota (citied society) pertama di Sumeria itu sampai dengan dimulainya Abad Teknik di Eropa Barat Laut. “Sumerisme” merupakan dasar pola kebudayaan manusia sejagad, meskipun di sana-sini, seperti misalnya di pedalaman Afrika, Pulau Irian dan Australia, masih terdapat kelompok orang-orang yang belum mengenalnya samasekali, bahkan sampai se¬karang. Sungguh, sejak masa Sumeria itulah umat manusia benar-benar memiliki “Peradaban” dan memasuki “Zaman Sejarah”.

Yang segera terlanda oleh gelom¬bang “Sumerisasi” itu ialah kalangan bangsa-bangsa Semit sendiri di sekitar Mesopotamia, kemudian bangsa Mesir di Lembah Nil dari kalangan ras Hamit, menyusul bangsa-bangsa Persia, Yunani, dan India dari kalangan ras Arya. Bangsa-bangsa lain yang lebih jauh dari Lembah Mesopotamia, melalui perkembangan dan pengaruh be¬ran¬tai, juga akhirnya terkena oleh arus “Sumerisasi” itu, seperti ditunjukkan oleh “bangsa” Jawa setelah kedatangan orang-orang “berperadaban” dari India.

Abad Agraria itu terus-menerus mengalami perkembangan secara progresif, dengan perbaikan tidak saja dalam hal-hal yang bersangkutan dengan pertanian, tetapi lebih penting lagi peningkatan konsep kemanusiaan yang mendasarinya, atau menjadi implikasinya. Peranan kaum intelektual yang diwakili oleh golongan literati dari pranata keagamaan tetap berlanjut sebagai sum¬ber kreativitas dan inovasi. Dalam perkembangan lebih lanjut, pengetahuan tulis-baca menjadi tidak terbatas hanya kepada kalangan agama saja, tetapi meluas ke kalang¬an-kalangan lain juga. Puncak dari “Sumerisme” itu, dalam artiannya sebagai peradaban duniawi dalam bentuk masyarakat berkota (citied society) dengan dasar ekonomi agraris dan dengan pengembangan serta peningkatan optimal aspek kemanusiaannya, ialah Dâr al-Islâm yang berhasil mendominasi umat manusia selama paling sedikitnya delapan abad. []

Sumber: Budhy Munawar-Rachman (editor), Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Sketsa Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban, Yayasan Pesantren Indonesia Al-Zaytun, 2008

1 ulasan: