Hikayat Dunia

Kita hanya pengumpul remah-remah | Dari khazanah yang pernah ada | Kita tak lebih hanya penjaga | Dari warisan yang telah terkecai ||

Pontianak Singgah Palembang

Daripada terus berpusing-pusing di atas Negeri Pontianak, yang itu tentu akan menghabiskan bahan bakar, maka lebih baik pesawat singgah dahulu ke bandar udara terdekat. Sesuai pemberitahuan dari awak pesawat, bandar udara terdekat adalah Bandar Udara Sultan Mahmud Badaruddin II, Negeri Palembang.

Mudék ke Ulu

Pasangan dari kate “ulu” ielah “mudék”. Kate “mudék” beakar kate dari kate “udék”. Udék bemakne "sungai yang sebelah atas (arah dekat sumber)", "daerah di ulu sungai", juga’ bemakne "kampong halaman (tempat beasal-muasal)".

Soal Nama Negeri Kita

Belakangan ini kiranya ramai yang berpendapat ini dan itu mengenai asal usul dan makna nama "pontianak" kaitannya dengan Negeri Pontianak. Tapi apakah semua yang didedahkan itu betul-betul dipahami oleh masyarakat Pontianak?

Kampong Timbalan Raje Beserta Para Pemukanya [Bagian-3]

Selain banyak menguasai berbagai bidang keilmuan, beliau juga banyak memegang peran dalam kehidupan kemasyarakatan. H.M. Kasim Mohan yang merupakan anak sulong (tertua) dari pasangan Muhammad Buraa'i dan Ruqayyah ini merupakan seorang Pejuang di masanya.

Musik Motivasi Setahun Silam

“Satu Kursi untuk Seniman”, begitu tagline kampanyenya. Tekadnya untuk memajukan Kalbar lewat industri kreatif tentu patut diapresiasi. Melalui industri kreatif diharapkannya dapat menjadi jembatan menjulangkan budaya yang memayungi Kalimantan Barat.

Sultan Pontianak; Umara' dan 'Ulama

Kegemilangan Negeri Pontianak salah satunya diasbabkan kepemimpinan para Sultan-nya yang arif dan bijaksana. Sultan-Sultan Pontianak selama masa bertahtanya rata-rata memiliki dua peranan, yaitu berperan sebagai umara', sekaligus berperan sebagai 'ulama.

Puisi Buya Hamka untuk Muhammad Natsir

Kepada Saudaraku M. Natsir | Meskipun bersilang keris di leher | Berkilat pedang di hadapan matamu | Namun yang benar kau sebut juga benar ||

Kamis, 07 April 2022

Bahasa Ibunda Kami

 


Borneo (Kalimantan) adalah satu dari sekian banyak kawasan terbanyak Bumiputera Bangsa Melayu-nya. Sebab itu pula merupakan wilayah yang menjadikan Bahasa Melayu sebagai Bahasa Ibunda-nya, juga Lingua Franca dalam konteks Bahasa Rasmi, Perdagangan, dan Pergaulan.

 Negeri kami (Negeri Pontianak) selain sebagai ibu negerinya Borneo Barat, juga berperan menjadikan Bahasa Melayu sebagai Bahasa Rasmi dan Bahasa Administratif ke dalam dan ke luar negerinya, bahasa perhubungan antar kaum, bahasa ‘ilmu, dan tentunya sebagai Bahasa Ibunda bagi tiap anak negerinya. 

Anak Wathan Pontianak itu lahir, membesar, marah, sedih, senang, berfikir, bahkan bermimpi pun dalam Bahasa Ibunda-nya. Hingga kini belum ada satu bahasa pun yang dapat menggantikan keduduk’an Bahasa Melayu selama jatuh bangunnya tamaddun Negeri Pontianak. 

Bahasa Melayu menjadi bahagian terpenting dalam ehwal pembentuk'an jati diri Negeri Pontianak. Tanpa Bahasa Melayu, boleh jadi tak'kan mawjud Negeri Pontianak sebagaimana adanya kini. Peran Bahasa Melayu yang begitu besar ini tentu tak hanya dialami oleh Negeri Pontianak. 

Martabat Bahasa Melayu terletak pada kemasyhurannya sebagai bahasa ilmu, sastera, da'wah, dan tentunya Lingua Franca di segenap Alam Melayu. Bahasa ini menjadi syarat utama bagi para cerdik pandai demi membuka kunci ‘ilmu serta mensyi'arkannya kepada khalayak. 

Dalam peringkat antarabangsa, Bahasa Melayu menempati posisi penting sebagai bahasa perhubungan dan pergaulan. Di manapun penutur Bahasa Melayu bermastautin, di situ pula bahasa ini dipergunakan dalam pergaulan sehari-hari. 

Bahasa Melayu pula menempati keduduk'an penting dalam da'wah Islam, sebagaimana Bahasa Arab, Parsi, Turki, dan Urdu. Sesiapapun yang ingin memperdalami Islam di Kepulauan Melayu (Alam Melayu) ini, maka pengetahuan Bahasa Melayu menjadi syarat utamanya. 

Tak ada yang dapat menafikan bahwa Bahasa Melayu telah melewati sejarah yang panjang hingga seperti saat ini. Bahasa ini menjadi bahasa yang mempersatukan, bukanlah bahasa yang memecah-belah. Bahasa ini berkembang dan menyebar secara damai, bukan di bawah ancaman senjata. 

Bahasa Ibunda kami ini telah merentasi zaman. Juga merupakan bahasa yang tak mengenal sempadan. Setiap negeri Melayu memiliki loghat Bahasa Melayu-nya tersendiri. Di beberapa kawasan tertentu, Bahasa Melayu menjadi bahasa perhubungan antar kaumnya yang berbeda-beda bahasa.

 

"Jika hendak mengenal orang berbangsa,

lihat kepada budi dan bahasa."

Begitulah yang termaktub dalam “Gurindam Dua Belas” Fatsal Lima gubahan Raja Ali Haji. Jadi Bahasa Melayu merupakan bahasa yang selalu bersanding dengan akhlaq budi pekerti yang mulia.

 

"Bahasa kita penuhlah hikmah

Untuk sampaikan ilmu dan kauniyah

Bertentu tuju meluruskan aqidah

Hinggalah insan berakhlaqul karimah"

(dalam “Syair Menjulang Pantun” gubahan Hanafi Mohan)

Bahasa Melayu merupakan bahasa yang penuh hikmah. Yaitu bahasanya para 'alim 'ulama.

 

Bahasa Melayu bukanlah calang-calang bahasa. Inilah bahasa yang telah melewati sejarah nan panjang, merentasi zaman berzaman. Cabaran demi cabaran tentu pula telah ditempuhi oleh bahasa ibunda kami ini. Emas tetaplah emas, walaupun ditutup-tutup dengan arang nan hitam. 

Pahit dan manisnya perikehidupan telah dilalui Bangsa Melayu sepanjang untaian sejarah dan ungkaian tamaddunnya. Selama masa yang tak sebentar itu, selaksa cabaran silih tukar berganti mendera bangsa kami. 

Bangsa Melayu bukanlah bangsa yang baru semalam tegak berdiri di atas hamparan bumi nan fana ini. Cabaran seperti apapun yang mendera bangsa kami, maka segala macam cabaran itu takkan pernah dapat meluluh-lantak’kan bangsa nan besar ini. 

Hampir segenap kawasan Asia Tenggara merupakan laman bermain Bangsa Melayu. Jadi kalau setakat hendak jadikan Bahasa Melayu sebagai bahasa rasmi di Asia Tenggara itu sebetulnya telah kami capai sejak berabad-abad silam. 

Tekad kami malahan hendak menjadikan Bahasa Melayu sebagai bahasa dunia. Layar pun telah lama terkembang. Kiranya surut dari ke’azaman ini kami berpantang. Dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim, kami isytiharkan "Bahasa Melayu sebagai Bahasa Rasmi Dunia, Bahasa Rasmi Antarabangsa". *#*

 

Hanafi Mohan,

(Tanah Betawi, 4-5 Ramadhan 1443 Hijriyyah/5-6 April 2022 Miladiyyah)

Minggu, 03 April 2022

Menyambut Ramadhan di Pontianak Dua Tahun Lepas


Pada 20 Maret 2020 melakukan perjalanan balik ke Pontianak. Suasana Jakarta masa itu agak mencekam awal-awal merebak Pandemi Covid-19 (awal-awal itu masih disebut Virus Corona saja). Kantor-kantor, sekolah, kampus, hampir semuanya dirumahkan (bekerja dan belajar dari rumah saja). Bahkan tempat ibadah pun ada pembatasan/ditutup. 

Juma'at 20 Maret 2020 itu keberangkatan dari Jakarta ke Pontianak sesuai jadwal di tiket jam 12:50 WIB siang, menggunakan Maskapai Lion Air. Dari rumah kontrakan di Ciputat menuju Bandara Jakarta sekitar pukul 8 atau 9 pagi. Kondisi jalan memang agak sepi, tak seperti hari-hari biasanya. 

Kalau berangkat seorang diri seperti ini dari Ciputat biasanya ke Terminal Lebak Bulus terlebih dahulu naik Ojek Online. Di Lebak Bulus barulah naik Bus DAMRI menuju Bandara Jakarta. Waktu itu tarifnya masih sekitar 40.000 hingga 50.000 Rupiah. Beberapa bulan kemudian tarif tersebut naik 100%.

 

Flashback dua hari sebelumnya…

Rabu, 18 Maret 2020, kampus kami masih beraktivitas normal seperti biasanya (terutama pegawai). Walaupun memang semenjak awal Maret sebagian dosen ada yang berinisiatif melakukan perkuliahan secara online, kemudian ditindaklanjuti oleh fihak kampus untuk perkuliahan secara online seluruhnya.

Beberapa kampus yang ada di Jabodetabek mulai awal Maret 2020 itu sudah ada yang tegas melakukan perkuliahan secara online. Sementara di media massa sudah terjadi bermacam-macam polemik: mulai ramai yang positif Covid-19, lockdown atau tidak lockdown, dan sebagainya. 

Sekira pukul 3 atau 4 petang hari itu, mendadak pimpinan kantor kami menginstruksikan untuk rapat. Rupanya membahas ehwal semakin merebaknya kasus positif virus corona. Serta memberitahukan terkait instruksi rektor untuk bekerja dari rumah hingga dua pekan ke depan, selanjutnya akan ditinjau ulang. 

Sambil dalam rapat itu juga berkomunikasi ke isteri terkait perkembangn tersebut. Mengingat juga isteri rencananya akan melahirkan sekira dua pekan ke depan di Pontianak. Jikalau jadi lockdown, perkiraanku mungkin tak dapat ke mana-mana, imbasnya tak dapat melihat kelahiran anak ke-2 ku nantinya. 

Dalam ketidakjelasan kondisi masa itu, serta menghindari hal-hal di luar dugaan, bersama isteri akhirnya kami putuskan bahwa aku harus segera balik ke Pontianak. Isteri dan anak sulungku waktu itu memang sudah berada di Pontianak sejak beberapa bulan sebelumnya. Hal-hal yang lainnya nanti difikirkan belakangan hari. 

Beberapa saat kemudian isteri langsung pesankan tiket via aplikasi tiket[dot]com. Habis rapat, kami sekantor bersiap-siap pulang ke rumah masing-masing. Aku sendiri singgah dulu ke ATM BNI di dalam kampus untuk membayar tiket. Sampai di rumah (di Cipayung, Ciputat), buka TV, berita masih polemik corona. 

Selain polemik-polemik tersebut di atas, ada juga pro-kontra pembatasan/penutupan rumah ibadah. Tak mau tenggelam dengan polemik-polemik itu, lebih baik mempersiapkan keberangkatan ke Pontianak yang akan ditempuh dua hari ke depan. Kalau mau diikut-ikutkan memang rasanya fikiran kita tak menentu di tengah situasi masa itu.

 

Kembali lagi ke cerita naik Bus DAMRI…

Suasana di jalan agak sepi dibandingkan hari-hari biasanya, termasuk juga di Tol. Sekira 45 menit perjalanan Bus DAMRI, sampailah di Bandara Jakarta, check-in, masuk ruang tunggu, kemudian masuk pesawat. Semua penumpang bermasker. Tak hanya bermasker, aku sendiri bahkan sampai pakai sarung tangan. 

1 jam 20 menit perjalanan dari Jakarta ke Pontianak. Sampai di Bandara Pontianak, menuju ke kampong kami menggunakan motor/mobil sekira 45 menit. Waktu itu yang menjemput entah abang entah adikku (lupa). Sampai di rumah mertua (hanya beberapa gang dari rumah orang tuaku), disambut isteri, aku bagai pengungsi dari Wuhan. 

Sekira sehari dua hari kemudian menghadiri pernikahan anak dari kakak sepupuku di kompleks Kampus UNTAN Pontianak. Memang tak seperti biasanya, orang-orang bermasker, harus cuci tangan, mau bersalaman juga harus disemprot hand sanitizer. Sungguh hal yang baru pada masa itu. 

Polemik pembatasan/penutupan rumah ibadah ternyata hinggap juga di masyarakat Pontianak. Bahkan ada beberapa masjid yang tidak selenggarakan Shalat Jum'at. Surau di dekat rumah mertua masih menyelenggarakan Shalat Lima Waktu seperti biasanya, paling-paling kita harus bawa sajadah sendiri, karena karpetnya sudah digulung. 

Mau berjumpa dengan kerabat/teman pun agak berjaga-jaga. Khawatir yang bersangkutan tersebut lagi membatasi bertemu orang. Jadi aktivitas sehari-hari memang lebih banyak di rumah, kebetulan juga WFH (Work from Home alias bekerja dari rumah). Awal-awal itu shalat pun di rumah, Shalat Jum'at pun diganti Shalat Zhuhur (karena mengira masjid yang akan dituju itu tutup).

 

Cerita pun disingkatkan. Awal April 2020 kami mempersiapkan persalinan isteri ke satu rumah sakit di Sungai Raya, tepat berada di perbatasan Kota Pontianak-Kubu Raya (administratifnya masuk Kubu Raya, tapi secara sejarah sebetulnya masih merupakan wilayah Kesultanan Pontianak). Saat itu hari Juma'at. 

Pergi ke Rumah Sakit menggunakan mobil ojek online, kebetulan drivernya masih kerabat juga, rumahnya tak jauh dari rumah orang tuaku. Yang membawa mobil yaitu anaknya (jadi hanya gunakan akun ayahnya), usianya jauh di bawahku. Sampai Rumah Sakit, sebelum masuk, kami harus ke bilik penyemprotan dahulu dan juga cek suhu. Di Lobby urus administrasi dan minta ditempatkan di Kelas 1 (sudah pengalaman ketika kelahiran anak sulung juga di Rumah Sakit yang sama). 

Besoknya, Sabtu 10 Sya'ban 1441 Hijriyyah, anak ke-2 kami lahir, laki-laki. Mungkin sekitar jam 12 siang. Tak boleh ada yang berkunjung. Hari Selasa hampir siang diperbolehkan balik, setelah sebelumnya mengurus administrasinya yang agak membuat pening kepala, karena pakai BPJS. 

Balik dari Rumah Sakit dijemput menggunakan mobil oleh dua anak kemanak dari isteri (anak dari abangnya) yang juga sekaligus anak kemanakku (abangnya isteriku menikah dengan kakak sepupuku). Anak sulung kami (perempuan) juga ikut menjemput (waktu itu usianya 2,5 tahun). Akhirnya sampailah kami di rumah mertua dengan sambutan penuh sukacita.

 

Cerita pun disingkatkan saja. Hampir mendekati Nishfu Sya'ban, bahkan setelahnya, masyarakat di kampongku dan sekitarnya nampak masih lesu, mungkin efek Waba' Corona. Tapi semakin mendekati Ramadhan, pelan-pelan masyarakat mulai bertimbulan gairah hidupnya. Entah mengapa. 

Dan yang paling dahsyat, kusaksikan sendiri, kelesuan masyarakat karena Waba' Corona itu tiba-tiba hilang, berganti dengan semangat dan sukacita ketika menyambut Ramadhan 1441 Hijriyyah. Jalanan yang tadinya sepi, tiba-tiba ramai masyarakat yang lalu lalang, suasananya hampir mirip ketika menyambut Hari Raya Aidil Fithri. Surau-surau pun penuh jama'ahnya. 

Begitu luar biasanya Bulan Ramadhan memompakan semangat hidup bagi masyarakat Pontianak ketika itu. Hilang segala kelesuan, berganti dengan gairah menyala-nyala. Ternyata Ramadhan lah yang diperlukan masyarakat Pontianak saat itu. Yang sebelumnya lemah tak berdaya, tika menyambut Ramadhan masyarakat bersuka-cita, senang tak terkira, hilang segala duka lara. *#*

  

- Hanafi Mohan -

(Tanah Betawi, 29 Sya'ban-1 Ramadhan 1443 H/1-2 April 2022 M)