Selasa malam yang lalu (27 Oktober 2009) tak sengaja ketika pilah-pilih channel televisi, terpilihlah TVRI. Zaman dahulu, mungkin hanya stasiun televisi yang satu ini yang menjadi tontonan segenap masyarakat Indonesia. Tapi kini tentunya sudah sangat banyak pilihan stasiun televisi di negeri Nusantara ini. Sehingga, disadari atau tidak, TVRI seperti sudah tersisihkan dari ruang tontonan masyarakat Indonesia. Tapi tidak bagiku. Kadang-kadang TVRI masih sempat kusambangi ketika menonton televisi, karena bagiku TVRI lah salah satu stasiun televisi di Indonesia yang masih peduli untuk menayangkan keragaman negeri ini. Sedangkan stasiun televisi yang lain sepertinya kulihat lebih banyak menayangkan mengenai Jakarta dan Pulau Jawa. Sehingga pada stasiun televisi yang lain tidak kulihat kemajemukan negeri ini.
Walhasil, kutontonlah TVRI ketika itu yang sedang menayangkan acara Dendang Melayu. Ah…, sungguh inilah salah satu musik favoritku semenjak dari Pontianak hingga kini telah lama bermukim di Jakata. Walaupun telah begitu banyak musik-musik modern yang kugemari, tapi Musik Senandong Melayu sedikit pun tak pernah kutinggalkan dan tak pernah kulupakan. Karena melaluinya, tercetak berbagai nostalgia indah. Dan yang pasti, Senandong Melayu adalah musik asli negeri ini. Bukan hanya negeri ini, melainkan Senandong Melayu adalah musik bersama dalam memori keserumpunan Dunia Melayu, yang di dalamnya terdapat Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Filipina, dan Thailand, bahkan hingga ke Madagaskar dan negeri-negeri lainnya yang di sana terdapat puak-puak Bangsa Melayu.
Dari musik Senandong Melayu, tergambarlah betapa terbukanya budaya bangsa para pujangga ini. Hal ini tak lain karena Bangsa Melayu adalah bangsa pelaut dan pedagang yang meniscayakan bangsa ini selalu bersentuhan dengan berbagai macam budaya dan bangsa, tak terkecuali dalam hal bermusik. Dalam musik Senandong Melayu masih dapat kita rasakan pengaruh dari nuansa musik Arabia, musik India, musik Cina, dan tak terkecuali musik Eropa. Namun nuansa musik dari berbagai macam bangsa itu telah dengan apik diramu dan dilebur oleh Bangsa Melayu menjadi sangat bercitarasa Melayu. Contoh yang paling kongkrit adalah pada lagu-lagu Melayu yang digubah dan disenandungkan oleh Allahyarham (Almarhum) Tan Sri P. Ramlee AMN (salah seorang maestro, penyanyi, pencipta lagu, aktor, komedian, dan seniman legendaris Malaysia). Pada lagu-lagunya, kita bisa merasakan nuansa musik Eropa. Kadang lagunya bernuansa Swing, kadang juga bernuansa Salsa, Chacha, Bolero, Jazz, Samba, Latin, Tango, tapi semuanya itu berbalut dalam Senandong Melayu yang begitu kental. Salah satu lagu Allahyarham Tan Sri P. Ramlee adalah lagu yang berjudul “Madu Tiga” yang belakangan dinyanyikan lagi oleh Ahmad Dhani & “The Swinger” dengan warna Swing. Dan memang lagu aslinya yang dinyanyikan oleh Allahyarham Tan Sri P. Ramlee juga berwarna Swing. Belakangan dinyanyikan lagi oleh Ahmad Dhani bersama grupnya dengan warna Rock.
Kembali kepada tayangan Dendang Melayu di TVRI. Dari sisi musik, sebenarnya cukup bagus. Namun sayang, para penyanyinya tak ada yang benar-benar menguasai cengkok (legok) irama Senandong Melayu. Salah satunya bahkan ada yang merupakan penyanyi dangdut (kalau nggak salah merupakan salah seorang personel dari Manis Manja Grup, tapi aku lupa namanya). Dan memang jika kuamati dari beberapa orang penyanyi dangdut yang pernah menyanyikan Senandong Melayu, sangat jarang dari mereka yang bisa menyanyikan Senandong Melayu secara sempurna. Di antara mereka mungkin kebanyakan sangat fasih dan sempurna menyanyikan lagu Dangdut, tetapi ketika mereka menyanyikan Senandong Melayu, maka suara mereka pun berantakan, banyak yang suaranya menjadi sumbang (fals), dan vibrasi suaranya pun tak karuan.
Sekilas memang Senandong Melayu terdengar seperti lagu Dangdut, karena memang pada mulanya irama musik dangdut berasal dari irama musik Melayu. Tapi jika dicermati secara seksama, begitu banyak pula perbedaan antara Musik Senandong Melayu dengan Musik Dangdut yang berkembang kini. Musik Dangdut yang berkembang kini mungkin lebih banyak memasukkan unsur irama dan nuansa Musik India. Termasuk juga dalam lirik lagunya. Lirik lagu Musik Senandong Melayu sangat kental dengan nuansa sastra Melayu semacam syair, pantun, ghazal, dan gurindam. Sedangkan lirik Musik Dangdut kini sangat jauh dari nuansa sastra Melayu.
Jadi, jangan terlalu berharap menemukan spirit Musik Senandong Melayu dalam Musik Dangdut kini. Walaupun begitu, perkembangan Dangdut hingga kini tetap kita apresiasi. Apa yang kita saksikan dari Musik Dangdut kini tak lain merupakan ciri khas bawaan dari Musik Melayu, yaitu keterbukaan. Sehingga wajar jika kemudian kita melihat perkembangan Musik Dangdut kini yang begitu mencengangkan. Musik Senandong Melayu memilih jalan, bentuk, dan perkembangannya sendiri, bahkan hingga kini terus berkembang dan berinovasi. Begitu juga musik yang terlahir dari rahim Musik Senandong Melayu, yaitu Musik Dangdut yang telah memilih jalan, bentuk, dan perkembangannya sendiri yang hingga kini juga masih terus berkembang dan berinovasi.
Sejauh yang kuketahui, setidaknya terdapat beberapa macam jenis Musik Senandong Melayu, yaitu Dondang, Joget, Zapin, dan Senandong. Jika Dondang, Joget, dan Zapin agak rancak, maka Senandong agak mengalun dan mendayu-dayu. Mungkin ada lagi jenis yang lain, tapi itu sepertinya lebih merupakan kombinasi dari keempat macam jenis di atas, atau mungkin gabungan antara yang satu dengan yang lainnya di antara keempat macam jenis tersebut.
Yang berjenis Dondang misalkan lagu berjudul Dondang Dendang yang dinyanyikan oleh Nooranizah Idris (salah saeorang penyanyi Malaysia). Jenis Joget misalkan lagu berjudul Joget Pahang dan juga Joget Berhibur yang dinyanyikan oleh Siti Nurhaliza (juga merupakan salah saeorang penyanyi Malaysia). Jenis Zapin misalkan lagu berjudul Zapin Pusaka yang dinyanyikan oleh Nooranizah Idris dan lagu berjudul Laksmane Raje di Laot (Laksmana Raja di Laot) yang dinyanyikan oleh Iyeth Bustami (salah seorang penyanyi Indonesia). Jenis Senandong misalkan lagu berjudul Patah Hati yang dinyanyikan oleh Siti Nurhaliza dan lagu berjudul Fatwa Pujangga yang kalau tidak salah diciptakan dan dinyanyikan oleh Said Effendi (salah seorang pencipta lagu dan penyanyi Indonesia).
Seorang juri, komentator, dan tutor KDI (Kontes Dangdut TPI) pernah menyatakan bahwa Musik Melayu memang agak berbeda cara menyanyikannya dibandingkan dengan Musik Dangdut. Sehingga menurutnya bahwa yang paling sempurna menyanyikan lagu-lagu Melayu adalah peserta-peserta dari kawasan Sumatera dan Kalimantan yang memang merupakan kawasan berkebudayaan Melayu. Hal ini tak lain karena Musik Melayu telah mereka dengar, cerna, dan akrabi sejak kecil hingga dewasa. Bisa jadi sejak kecil mereka selalu ketika akan tidur selalu dinyanyikan Senandong Melayu. Lain lagi dari sisi pengucapan dan dialek (logat). Karena memang setiap hari mereka selalu berdialek (berlogat) Melayu, maka mereka pun tak canggung lagi ketika menyanyikan lagu-lagu berirama Melayu yang memang di dalamnya kental dengan tuturan Melayu dan sastra Melayu.
Kembali kepada tayangan Dendang Melayu di TVRI yang telah kukatakan di awal bahwa para penyanyi yang menyanyi dan “menyumbangkan--memfalskan” suaranya di acara tersebut sungguh mengecewakan. Bergulirlah terus acara tersebut. Hingga pada penutupan acaranya, para penyanyi tersebut pun bernyanyi bersama-sama, termasuk juga yang ikut bernyanyi bersama-sama tersebut adalah presenternya yang seorang perempuan. Setelah kudengar satu persatu suaranya, ternyata suara presenternya lebih bagus dibandingkan suara penyanyi yang lain. Kudengarkan betul-betul, ternyata presenternya ini cukup menguasai teknik dan cengkok (legok) Musik Melayu. Dalam analisa singkatku, kemungkinan presenter tersebut adalah orang Melayu ataupun orang dari kawasan Sumatera ataupun Kalimantan. Hal ini dapat kuketahui dari caranya bertutur kata yang sangat kental dialek (logat) Melayunya, termasuk juga dia sangat pandai berpantun (dalam tayangan tersebut ada selingan acara berbalas pantun). Akhirnya terpuaskan juga ketika mendengar presenter itu bernyanyi di akhir acara, walaupun di awalnya aku sangat kecewa dengan para penyanyi lainnya yang berdendang di acara ini.
Akhir-akhir ini di Indonesia bermunculan band-band (grup musik) kacangan dan tak berkualitas yang suka membawakan lagu-lagu cengeng dan melankolis. Sebagian kalangan menyebut aliran (genre) musik band-band itu dengan sebutan band beraliran (bergenre) Melayu, Band Melayu, bernuansa Melayu, atau yang lebih menyakitkan lagi menyebutnya sebagai Musik Melayu. Terus terang, aku sendiri muak dengan penyebutan band-band tersebut sebagai band beraliran Musik Melayu. Karena memang kurang tepat jika band-band kacangan dan tak berkualitas tersebut digolongkan bergenre Musik Melayu. Dan aku sendiri pun sebenarnya tidak respek terhadap band-band kacangan dan tak berkualitas tersebut, dan juga tak senang mendengarkan lagu-lagu mereka, serta juga tak senang menonton pertunjukan musik mereka, baik di televisi atau di mana pun saja. Hal ini tak lain karena cara mereka bermusik dan bernyanyi sangat jauh dari spirit Musik Melayu. Lebih tepatnya mungkin dapat dikatakan bahwa band-band Indonesia yang tak berkualitas tersebut lebih cenderung mencontoh band-band dan para penyanyi Malaysia di era 90-an. Bahkan jika dicermati lagi, ternyata kualitas bermusik mereka berada jauh di bawah band-band dan penyanyi Malaysia.
Mengapakah band-band dan penyanyi Malaysia bermusik dan bernyanyi seperti itu? Ini tak lain dan tak lebih karena mereka terpengaruh corak Musik Melayu. Namun hal tersebut bukan berarti musik yang mereka bawakan itu Musik Melayu, melainkan musik yang mereka bawakan itu tetaplah musik Rock, Slow Rock, ataupun Pop. Walaupun begitu, kualitas bermusik mereka (grup musik dan penyanyi Malaysia) sepertinya tetap lebih baik dibandingkan band-band Indonesia kini yang dinamakan sebagian kalangan sebagai band beraliran “Melayu?” tersebut. Ngetopnya mereka (band-band kacangan dan tak berkualitas tersebut) kini kemungkinan besar lebih merupakan minat pasar dan industri musik saja. Kalau tidak percaya, cobalah bandingkan kualitas bermusik band Malaysia seperti Search, Iklim, Slam, UK’s, dan Sting dengan band-band Indonesia kini seperti Kangen Band, ST 12, Hijau Daun, dan The Massive. Jika kita secara objektif membandingkannya, tentulah kita akan mengatakan bahwa band-band Malaysia tersebut lebih berkualitas dibandingkan dengan band-band Indonesia yang cengeng, melankolis, dan yang nggak karuan itu.
Seperti halnya Musik Senandong Melayu dan Musik Dangdut, maka jangan pula berharap menemukan spirit Bahasa Melayu dalam Bahasa Indonesia kini. Walaupun memang tetap kita apresiasi perkembangan Bahasa Indonesia kini yang cukup mengesankan. Hal tersebut tak lain karena ciri khas bawaan dari Bahasa Melayu yang tak lain merupakan asal-muasalnya Bahasa Indonesia. Bahasa Melayu yang sangat terbuka, egaliter, kosmopolis, dan telah menjadi lingua franca di Nusantara ini (termasuk di dalamnya beberapa negara di kawasan Asia Tenggara) kemudian dikembangkanlah hingga menjadi Bahasa Indonesia modern kini yang tak lain merupakan bahasa persatuan, bahasa perjuangan, bahasa ilmu pengetahuan, bahasa resmi pemerintahan dan pendidikan, bahasa sastra, dan bahasa pergaulan Bangsa Indonesia.
Bahasa Melayu memilih jalan, bentuk, dan perkembangannya sendiri, bahkan hingga kini terus berkembang dan lestari di kawasan berkebudayaan Melayu dan juga di negeri-negeri yang terdapat puak-puak Bangsa Melayu bermukim. Begitu pula dengan Bahasa Indonesia yang memilih jalan, bentuk, dan perkembangannya sendiri, bahkan terus berkembang menjadi Bahasa Indonesia yang modern yang siapapun masyarakat Indonesia tak segan-segan dan dengan suka hati bertutur kata menggunakannya.
Inilah setidaknya memori dan kesadaran kolektif kita sebagai bangsa dibentuk., yaitu melalui Musik Melayu dan Musik Dangdut, serta Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia. Dalam hal ini, TVRI menjadi salah satu elemen yang hadir membentuk memori kolektif dan kesadaran kolektif kita sebagai Bangsa Indonesia. Karena itu, tak ada salahnya sekali-kali kita menyempatkan diri menonton TVRI, walaupun memang dari sisi ramuan acara, stasiun televisi yang pertama kali hadir di layar kaca masyarakat Indonesia ini sudah ketinggalan jauh dari stasiun televisi swasta yang kini menjamur bagaikan cendawan di musim hujan. Walaupun kita akui juga bahwa mungkin selama ini TVRI yang kita lihat lebih cenderung berperan sebagai media yang menjadi corong pemerintahan.
Tapi harus tetap kita akui, bahwa mungkin melalui TVRI lah kita bisa melihat keragaman Bangsa Indonesia, sementara melalui stasiun televisi yang lainnya sangat jarang kita lihat kemajemukan bangsa yang besar ini. Mungkin melalui TVRI lah wawasan kebangsaan kita tidak lagi bagaikan "katak di dalam tempurung". Dan yang pasti, melalui TVRI, memori kolektif kita sebagai Bangsa Indonesia akan selalu terjaga, karena hingga kini mungkin hanya TVRI satu-satunya stasiun televisi di Indonesia yang menjangkau seluruh kawasan negeri ini, dari perkotaan hingga ke pedesaan, dari pesisir hingga ke pedalaman, dari daerah pantai hingga ke pegunungan, dan dari hulu sungai hingga ke hilir sungai. [Hanafi Mohan-Ciputat, Jum'at-Sabtu, 30-31 Oktober 2009]
Sumber gambar:
1. ZAPIN: Gambus dan Marwas, http://bangherri.multiply.com/
2. http://melayuonline.com/
http://hanafimohan.blogspot.com/
Minggu, 01 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
menarik.....
BalasHapussaya ingin berkongsi satu link dengan anda. silahkan klik dan selamat mendengar..
www.reverbnation.com/fieldplayers