Rabu, 30 Maret 2022

Air dan Negeri Kami

Di kampong halaman kami di Negeri Pontianak, serta banyak negeri di Borneo Barat, kami sehari-hari dari dahulu hingga kini memang terbiasa mengkonsumsi air hujan untuk memasak dan minum. Air sungai, air leding, ataupun air kolam (sumur) hanya digunakan untuk mandi dan mencuci pakaian, bukan untuk memasak dan minum. 

Di Jabodetabek kalau cerita bahwa di banyak wilayah di Borneo Barat sehari-hari gunakan air hujan untuk memasak dan minum, tentu mereka terheran-heran. Sudah terbukti karena pernah cerita macam itu ke beberapa kawan/orang yang dikenal, mereka berasal dari Jabodetabek dan wilayah selain Jabodetabek. 

Air tanah di banyak wilayah di Borneo Barat memang kurang bagus kualitasnya, sehingga tidak cocok untuk memasak dan minum. Baru menggali tanah kurang dari semeter saja sudah keluar airnya. Kalau membuat lubang kuburan harus dikeluarkan dahulu airnya hingga kering. 

Setelah lubang kuburan yang selesai digali itu dikeringkan airnya, barulah jenazah dapat dimasukkan ke dalam kuburan. Jenazahnya sebelumnya dimasukkan dahulu ke dalam keranda (peti jenazah), barulah keranda berisi jenazah dimasukkan ke dalam liang kubur, kemudian dimakamkan sebagaimana mestinya. 

Umumnya seperti itulah kondisi wilayah-wilayah di Borneo Barat (Kalimantan Barat) yang berdekatan dengan sungai dan laut. Beberapa wilayah yang berdekatan dengan bukit dan gunung biasanya air tanahnya dapat dikonsumsi untuk memasak dan minum, tapi harus menggali agak dalam layaknya sumur/perigi. Di antaranya yaitu beberapa kawasan di Negeri Mempawah dan Kota Singkawang. 

Kalau dari cerita orang-orang tua kami, dahulunya air sungai juga kadang dikonsumsi (untuk memasak dan minum) oleh masyarakat Pontianak pada masa itu. Masa kecil dahulu kalau Pontianak lagi kemarau, kami kadang juga mengambil air sungai untuk dikonsumsi, mengambilnya agak ke tengah sungai. 

Rumah tua kami dahulu (rumah panggung) berada di tepi Sungai Kapuas. Karena abrasi yang semakin melebar, rumah tepi sungai juga terkena imbasnya. Awalnya bawah rumah masih tanah. Belakangan hari bawah rumahnya juga ada airnya, lebih tepatnya kini rumahnya berada di atas air. Atasnya rumah, di bawahnya air. 

Menyesuaikan topografi Pontianak, umumnya masyarakat membuat rumah yang bertiang. Dahulunya berupa Rumah Panggung. Belakangan hari jarang yang membuat Rumah Panggung, tapi tetap saja membuat rumah bertiang. Jadi ada bagian bawah rumahnya berjarak 60 cm hingga 70 cm dari lantai rumah ke tanah. 

Di bulan-bulan tertentu, intrusi air asin dari laut ke sungai menyebabkan air sungai menjadi payau, bahkan menjadi masin. Biasanya kalau untuk mandi dan mencuci, air sungai yang payau/masin itu kami campur dengan air hujan. Sabun mandi, shampo, dan sabun cuci semahal apapun biasanya tak mempan di air payau/masin itu. 

Masa kecil dahulu, kalau Pontianak lagi kemarau, persedian air hujan di tempayan pun menipis, maka ramai-ramailah kami ke Kantor PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) pakai sampan, bawa wadah-wadah yang besar-besar, lalu meminta air leding di situ. PDAM pun menyediakan pipa untuk diambil airnya, daripada pipa-pipa itu dirusak oleh massa yang memerlukan air bersih. 

Kini sudah agak jauh berbeda, saluran leding PDAM sudah hampir merata menjangkau se-Negeri Pontianak. Walaupun tetap saja untuk konsumsi masyarakat umumnya masih menggunakan air hujan. Leding biasanya hanya dipergunakan untuk mandi dan mencuci. Yang belum punya leding tentunya menggunakan air sungai/air parit/air kolam/air sumur untuk mandi dan mencuci. 

Ditambah lagi kini air mineral isi ulang (air galon) juga sudah hampir merata dijual di setiap pelosok kampong, jadi problem kemarau seperti dulu-dulu tak lah lagi ada kini. Maksudnya, kalaupun masuk musim kemarau kini, tapi tentu tak sesulit macam masa-masa dahulu kalau terjadi kemarau. 

Di negeri kami, hampir merata atap rumah itu terbuat dari seng. Kalau dulu-dulu atap rumah biasanya menggunakan atap sirap (terbuat dari kayu belian/kayu ulin/kayu besi ataupun kayu mabang). Yang lebih sederhana lagi biasanya menggunakan atap daun yang terbuat dari daun pokok sagu ataupun pokok nipah. Karena hampir merata atap-atap rumah di Pontianak itu berbahan seng, maka berefek pada suhu di siang hari. Panas matahari di Pontianak sungguh menyengat (kata orang Pontianak “panas bedengkang”), kemudian ditambah lagi efek dari atap seng, maka suhu di siang hari semakinlah bertambah-tambah panas menyengat alias panas bedengkang. 

Atap rumah di negeri kami ini sebetulnya fungsional sebagai media penadah air hujan, kemudian dialirkan dan ditampung pada wadahnya. Media untuk menampung air hujan itu biasanya berupa tempayan semen dan drum bekas tangki minyak. Kalau sekarang-sekarang ini sudah mulai banyak digunakan penampung air berbahan fiberglass dan semacamnya. Bagi kalangan yang berduit, biasanya sampai membuat penampung air dari beton yang cukup besar, diletakkan di satu sudut rumahnya, bahkan ada yang khusus membuat penampung air dari beton itu diinstalasikan di bagian bawah rumahnya. Dengan demikian, persediaan air hujan dapat mencukupi ketika masuk musim kemarau. 

Negeri Pontianak diuntungkan dengan adanya sungai yang besar (Sungai Kapuas) beserta anak sungainya yang juga besar (Sungai Landak). Ditambah lagi banyak anak sungai yang agak lebih kecil serta kanal-kanal (parit) yang juga bermuara ke sungai. Selain itu juga diuntungkan dengan curah hujannya yang deras dan sering (rata-rata per-bulannya 15 hari). 

Negeri kami dengan air umpama Mesir dengan Sungai Nil-nya. Bahkan kapal-kapal berukuran besar pun dapat dengan mudahnya masuk dan berlayar di sungai-sungai kami. Keberadaan sumber air yang cukup banyak ini sepatutnya memudahkan fihak-fihak terkait dalam ehwal mengolah air bersih lebih baik lagi ke depannya. 

Konsumsi air hujan tetap dapat dipertahankan. Ditambah lagi dengan optimalisasi pengolahan air bersih oleh PDAM melalui cara-cara yang progressif. Tentu hal itu akan ber-impact pada kemudahan masyarakat mendapatkan air bersih, kesehatan, kesejahteraan, dan kemajuan Negeri Pontianak di masa hadapan. #@# 

 

- Hanafi Mohan -

(Tanah Betawi, 27 Sya'ban 1443 H/30 Maret 2022 M)

0 ulasan:

Posting Komentar