Innalillaahi wa inna ilayhi raaji'un. Begitulah kalimat pembuka SMS yang kuterima dari adikku jam 9 pagi tadi (Sabtu 12 Desember 2009).
Serasa butiran-butiran gerimis menetes dari langit. Mendung rasanya hati INI mendengar berita tersebut. Sahabatku sekaligus keponakanku pagi ini (Sabtu 12 Desember 2009) menghembuskan napas terakhirnya. Pada usianya yang masih muda, dia telah berpulang ke rahmatullah. Sungguh tak kupercaya, sungguh pula tak kuduga. Padahal lebaran yang lalu kulihat ia masih segar bugar.
Terlintaslah berbagai kenangan indah yang pernah kami lalui. Usia kami sebenarnya tak berpaut jauh, paling-paling lebih tua dirinya dibandingkan denganku kira-kira beberapa bulan, atau kurang lebih setahun. Sehingga dapat dikatakan kami adalah sebaya. Ibunya adalah kakak sepupuku, karena kakeknya adalah saudara tertua dari ayahku. Masa kecil hingga remaja tak jarang kami lalui bersama. Di bawah asuhan kakeknya yang tak lain adalah pamanku (Allahyarham/Almarhum H. Kasim Mohan), kami bersama dengan teman-teman sebaya kami di Kampong Tambelan Sampit-Pontianak telah menjadi duta budaya Melayu Pontianak di bidang Seni Tradisional Zikir Hadrah. Di dalam grup Zikir Hadrah kami itu, aku sendiri dipercayakan oleh kakeknya (yang tak lain adalah pamanku) untuk menjadi Kepala Redat, sedangkan dia dipercayakan menjadi pembawa dan pemukul Tar (alat musik perkusi sejenis rebana yang merupakan alat musik pengiring tarian Redat Zikir Hadrah).
Di surau dekat rumahku di Kampong Tambelan Sampit, kuingat pula bahwa kami berdua menjadi muazzin andalan di surau tersebut. Suaranya cukup merdu ketika mengalunkan azan. Aku yakin, bahwa suara merdunya diturunkan dari kedua orang tuanya dan kakeknya. Ibunya yang biasa kami panggil Ude Men memang memiliki suara yang merdu, apalagi ketika ibunya melantunkan lagu-lagu Senandong Melayu, Syair Melayu, dan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Sedangkan ayahnya yang biasa kami panggil Pak Ki (nama lengkapnya adalah Bayhaqi bin Ubaydillah) adalah imam shalat berjamaah yang menjadi andalan di kampong kami. Kakeknya (yang tak lain adalah pamanku dan guruku) adalah seorang penggiat dan pelestari Budaya Melayu Pontianak juga memiliki suara yang sangat merdu, yang di bawah asuhannya, kami menjadi orang-orang yang mencintai seni budaya Melayu daerah kami.
Di waktu kecil, banyak yang mengatakan bahwa wajah kami mirip. Mungkin ini tak lain karena kami adalah kerabat dekat. Ketika lulus SMP, kami berdua bertekad untuk mendaftar ke SMA Taruna yang ada di kotaku ketika itu (kalau tidak salah namanya adalah SMA Taruna Khatulistiwa, atau mungkin SMA Taruna Nusantara, aku sudah agak lupa namanya). Banyak anak-anak berprestasi bertekad untuk masuk ke SMA Taruna tersebut, karena segala macam biaya dan fasilitas ditanggung oleh sekolah tersebut. Lalu mendaftarlah kami ke SMA tersebut, kemudian menjalani berbagai macam tes masuk. Mungkin belum rezeki kami, ketika pengumuman, kami berdua dinyatakan tidak diterima karena tidak lulus tes seleksi. Jika mengingat itu, ingin rasanya aku tertawa, karena dari awal kami berdua sudah memperkirakan bahwa kecil kemungkinan kami akan diterima di SMA Taruna tersebut jika dicermati beberapa syarat yang mungkin tak bisa kami penuhi. Tapi begitulah kami, segelintir dari anak-anak Melayu yang mempunyai cita-cita yang cukup besar, sehingga segala aral dan rintangan pun akan kami terjang jika memang itu mungkin untuk kami lakukan, dan selama itu masih berada di dalam koridor kebaikan.
Selepas tidak diterima di SMA Taruna, kami pun berpencar mencari lagi sekolah-sekolah lainnya yang mungkin menurut kami berkualitas. Akhirnya, aku pun diterima masuk di salah satu sekolah menengah kejuruan di kotaku (namanya STM 2/SMK Negeri 4 Pontianak) mengambil Program Studi Elektronika Komunikasi, sedangkan dia diterima di sekolah menengah teknologi industri di kotaku (kalau tak salah namanya SMTI Pontianak).
Waktu pun terus bergulir. Kulihat kemahirannya dalam beberapa bidang teknik semakin menunjukkan kemajuan yang cukup pesat, sedangkan aku sendiri kuakui tak ada kemajuan yang cukup berarti dalam bidang teknik pilihanku di STM/SMK. Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Setelah tiga tahun menempuh pendidikan kami di sekolah masing-masing, akhirnya kami pun lulus. Beberapa bulan setelah lulus, aku pun kemudian merantau ke Jakarta. Setahun kemudian di Jakarta, barulah aku melanjutkan studiku ke jenjang yang lebih tinggi di salah satu universitas negeri bernama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (ketika itu masih bernama Institut Agama Islam Negeri/IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dengan pilihan Program Studi Teknik Informatika pada Fakultas Sains dan Teknologi.
Setelah berada di Jakarta, rutin setiap tahun aku pulang lebaran ke kota kelahiranku (Pontianak). Suatu waktu ketika itu dia pernah bercerita kepadaku bahwa ia ingin melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Tentunya aku sangat senang mendengarnya. Tapi entahlah, beberapa tahun kemudian niatnya itu urung dilaksanakan.
Pada lebaran tahun 2007 yang lalu, dia bersama abangku sempat minta diajarkan Microsoft Office (salah satu paket aplikasi perangkat lunak komputer). Tentunya aku senang sekali, karena walaupun tak melanjutkan studi lebih tinggi, dia tetap punya semangat untuk menambah ilmu dan wawasannya.
Balik lebaran yang lalu, kudengar bahwa ia berencana untuk menikah. Senang rasanya hatiku, karena ada sahabat dan sanak keluargaku yang akan menuju ke jenjang kebahagiaan melalui pernikahan. Setelah berada di Jakarta lagi, aku belum mendapatkan kabar-kabar terbaru lainnya, misalkan: apakah ia sudah melangsungkan pernikahan atau belum. Tapi kudengar dari abangku, bahwa memang dalam waktu dekat ini sahabat dan keponakanku tersebut akan segera melangsungkan pernikahan.
Syahrani, begitulah nama yang diberikan orang tuanya kepadanya. Ciri khas nama laki-laki Melayu Pontianak keturunan suku Banjar biasanya memang ada embel-embel "syah". Di antara saudara-saudaranya, hanya dialah yang kata "syah" di namanya diletakkan di bagian depan nama, sedangkan saudara-saudaranya, kata "syah" diletakkan di akhir nama.
Namanya cukup singkat, sama halnya dengan namaku yang juga singkat. Entahlah, orang tua-orang tua kami ketika itu sering memberikan nama yang singkat. Atau kalau pun tidak singkat, nama-nama kami biasanya hanya terdiri dari satu kata. Sehingga jarang sekali kami mempunyai nama belakang. Kalaupun terdiri dari dua kata, paling-paling nama depan kami adalah nama depan yang lumrah sekali pada nama-nama orang Melayu, misalkan Muhammad, Ahmad, Abdul, dan semacamnya.
Syahrani bin Bayhaqi Ubaydillah, yang kutahu bahwa dirinya memiliki cita-cita yang cukup tinggi, keinginannya pun cukup besar untuk membahagiakan kedua orang tuanya. Walaupun tak terlalu sering, pernah beberapa kali kami bertukar pikiran dan berdiskusi mengenai berbagai macam hal. Dia juga memiliki kesetiakawanan dan kepedulian yang cukup tinggi.
Di usianya yang masih belia, dia telah meninggalkan kami para sahabat dan sanak keluarganya. Dari jauh di negeri rantau, dari jauh di Kota Jakarta, dari jauh di Pulau Jawa, aku hanya bisa memanjatkan doa, semoga segala amal ibadahnya diterima di sisi Tuhan.
Yaa ayyatuhaannafsul muthmainnah (27) Irji'ii ilaa rabbiki raadhiyatan mardhiyyah (28) Fadkhulii fii 'ibaadii (29) Wadkhulii jannatii (30)
(27) Hai jiwa yang tenang. (28) Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. (29) Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, (30) dan masuklah ke dalam surga-Ku. (Q.S. Al-Fajr: 27-30)
Selamat jalan kawan, selamat jalan sahabat, selamat jalan keponakanku. Kami akan selalu mengenangmu dalam kenangan yang baik. Di alam barzakh sana, mungkin kau akan bertemu dengan kakekmu (Allahyarham H. Kasim Mohan), dengan nenekmu, dengan ayahku (Allahyarham A. Syukur Mohan), dengan Pak Cu (Allahyarham A. Razak Syafi'i), dengan Encek Zaidah (Allahyarham Zaidah Mohan), dengan Yah Ngah (Allahyarham M. Yusuf Mohan), dan mungkin dengan semua kerabat kita yang sudah berpulang ke rahmatullah. Di alam barzakh sana, mungkin kau akan bercerita mengenai perihal kami para kerabatmu yang masih berada di alam dunia yang fana ini.
Selamat jalan sahabat, selamat jalan saudaraku. Doa kami akan selalu menyertaimu. []
Dalam kenangan Hanafi Mohan
Ciputat, Sabtu 12 Desember 2009
Sumber gambar: http://sangbintang.wordpress.com/
Tulisan ini dimuat di: http://hanafimohan.blogspot.com/
Sabtu, 12 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 ulasan:
Posting Komentar