Hari ‘Asyura, mungkin banyak yang tahu tentang hari yang bersejarah ini, dan mungkin juga banyak yang tidak tahu. Hari apa tuh ‘Asyura? Setelah Senin, sebelum Jum’at, atau antara Kamis dan Minggu? Atau salah satu nama hari dari tujuh hari yang kita kenali? Dari Bahasa apa tuh ‘Asyura, kok begitu aneh?
Tapi mudah-mudahan anda sekalian adalah orang yang tahu mengenai Hari ‘Asyura.
‘Asyura asal katanya adalah “ ’asyara ”, yaitu dari Bahasa Arab yang artinya “sepuluh”. Hari ‘Asyura berarti “hari kesepuluh”, lebih tepatnya lagi adalah hari kesepuluh pada Bulan Muharram (bulan pertama pada sistem penanggalan Hijriyah). Menurut sejarah, pada Bulan Muharram ini banyak terjadi peristiwa-peristiwa besar, salah satunya adalah terbunuhnya cucu Nabi Muhammad, yaitu Imam Husayn ibn ‘Ali ibn Abi Thalib di suatu tempat bernama Karbala di Negeri Iraq. Pembunuhan terhadap Imam Husayn bersama-sama dengan pasukannya ini adalah pembunuhan yang begitu sadis dan kejam. Jumlah pasukan Imam Husayn hanya kurang lebih 70 orang, sedangkan pasukan pembantainya adalah Pasukan Yazid ibn Muawiyah yang berjumlah 30.000 orang. Yazid ketika itu menjabat sebagai Khalifah Dinasti Umayyah. Jadi, ini adalah perang yang tidak seimbang.
Peristiwa ini terjadi pada tanggal 10 Muharram ketika itu, yang kemudian dikenal sebagai Hari ‘Asyura. Hari bersejarah ini setiap tahunnya hingga kini selalu diperingati oleh para Penganut Syiah di berbagai negara, terutama di Iraq, Iran, India, dan Pakistan. Tentunya berbagai macam tradisi pula yang biasanya dilakukan di berbagai negara tersebut untuk mengenang peristiwa paling kelam dalam sejarah perjalanan Islam di awal-awal perkembangannya.
Pada acara-acara peringatan tersebut, mereka biasanya meneriakkan: “Kullu yawmin ‘Asyura, kullu syahrin Muharram, kullu ardhin Karbala” (Setiap hari adalah ‘Asyura, setiap bulan adalah Muharram, dan setiap tempat adalah Karbala). Kalau tidak salah, kata-kata ini pernah kubaca di salah satu buku karya Allahyarham Ali Syari’ati (seorang tokoh pemikir / sosiolog revolusioner Syi’ah). Beliau kalau tidak salah juga meninggal karena dibunuh pada usia kurang lebih 30 tahun. Ungkapan ini pertama kalinya dicetuskan oleh Imam Ja’far Ash-Shadiq (salah seorang Imam Mazhab Syi’ah, juga dikenal luas di kalangan Sunni).
Lain di Iran, lain pula di kampongku. Walau bukan pemeluk aliran Syi’ah, masyarakat kampongku memiliki tradisi tersendiri dalam memperingati Hari ‘Asyura. Kampongku yang berada di pesisir Sungai Kapuas-Negeri Pontianak mayoritasnya adalah pemeluk Agama Islam. Masyarakat Islam Negeri Pontianak umumnya adalah Kaum Tradisionalis. Walaupun begitu, kami bukanlah kaum nahdhiyyin seperti umumnya kaum tradisionalis Islam di Pulau Jawa. Entah mengapa, Nahdhatul Ulama (NU) tak bisa berkembang di kotaku, padahal kami juga adalah penganut Islam Tradisionalis yang setiap harinya hidup dengan tradisi dan kultur Islam seperti halnya kaum nahdhiyyin di Pulau Jawa. Sebut saja tradisi seperti tahlilan, barzanji, qunut, talqin, dan tradisi-tradisi lainnya yang hampir serupa dengan tradisi kaum nahdhiyyin. Seperti halnya NU, Muhammadiyah juga tidak bisa berkembang di kotaku. Sehingga jadilah kami penganut Islam yang bukan NU dan bukan pula Muhammadiyah. Belakangan ketika kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, aku yang bukan NU dan bukan pula Muhammadiyah ini kemudian lebih cenderung untuk tidak bergelut di kedua organisasi tersebut maupun organisasi mahasiswa yang dipayunginya. Pilihanku adalah bergelut di organisasi mahasiswa modernis yang katanya pernah disebut-sebut sebagai anak kandung Masyumi.
Entah sejak kapan tradisi ‘Asyura sudah dilaksanakan di kampongku. Setiap tanggal 10 Muharram, tradisi ini kami laksanakan secara hikmat di setiap masjid, surau, maupun langgar di kampong kami. Tentunya berbeda dengan tradisi ‘Asyura yang dilakukan oleh para penganut Syi’ah di Iran yang atraktif, teatrikal, gegap-gempita, serta penuh dengan nuansa revolusi dan perlawanan, maka tradisi ‘Asyura di kampongku lebih berupa ritual sederhana yang di dalamnya diisi dengan pembacaan doa, tahlil, dan zikir. Dan yang paling penting, di akhir acara akan disuguhi dengan “Bubur ‘Asyura” (Logat Melayu Pontianak: Bubogh Asughah/Bubogh Asoghah), yaitu bubur kacang hijau yang dicampur dengan sepuluh macam bahan makanan seperti singkong (orang Melayu Pontianak menyebutnya "ubi kayu"), keladi serawak (talas), ubi cine, kacang tanah, kacang merah, pulot itam (ketan hitam), dan masih banyak lagi bahan campuran lainnya yang jika ditulis di sini mungkin akan banyak sekali, karena setiap rumah biasanya membuat Bubur ‘Asyura ini dengan berbagai macam campuran yang berbeda-beda (tidak seragam).
Bubur Asyura yang dibuat di tiap-tiap rumah ini kemudian dikumpulkan di langgar, surau, ataupun masjid terdekat. Bukan hanya dikumpulkan, Bubur ‘Asyura dari tiap-tiap rumah itu kemudian dicampur menjadi satu. Setelah selesai pembacaan doa, acara kemudian ditutup dengan memakan Bubur ‘Asyura bersama-sama. Walaupun bukan penganut ajaran Syi’ah, tetapi masyarakat kampongku memiliki kecintaan tersendiri terhadap Imam Husayn (cucu Nabi Muhammad SAW). Para alim ulama dan orang tua di kampongku sering menceritakan mengenai perjuangan Imam Husayn melawan penindasan yang dilakukan oleh penguasa tirani ketika itu.
Pontianak sebagai Kota Pesisir di Pulau Kalimantan (Borneo) awalnya didirikan sebagai sebuah kesultanan Melayu. Kecintaan kami kepada Imam Husayn tak lain karena kota kami didirikan oleh anak cucu keturunan Nabi Muhammad yang bermarga Al-Qadrie. Sultan Syarif 'Abdurrahman Al-Qadrie, beliaulah pendiri Kesultanan Pontianak, sekaligus Sultan Pertama Kesultanan Melayu Pontianak. Kota Pontianak merupakan salah satu kota yang ramai didiami oleh warga keturunan Arab. Dapat dikatakan bahwa orang-orang keturunan Arab di kotaku sudah bermetamorfosis menjadi Orang Melayu. Di dalam kosakata Bahasa Melayu Pontianak pun, tak jarang ditemui kata-kata yang berasal dari Bahasa Arab. Kami bahkan kadang sering menyapa dengan sapaan-sapaan Bahasa Arab yang sudah dimelayukan.
Andaikan setiap hari adalah ‘Asyura, maka masyarakat kampongku pasti akan membuat Bubur ‘Asyura, kemudian mengantarkannya ke langgar, surau, ataupun masjid terdekat, lalu Bubur ‘Asyura itu dimakan bersama-sama setelah pembacaan doa. Namun sayang, tidak setiap hari adalah Hari ‘Asyura, sehingga hari bersejarah ini benar-benar menjadi hari yang istimewa di kampongku, bahkan menjadi semacam hari raya selain daripada Idul Fitri, Idul Adha, Maulid Nabi Muhammad, dan Isra’ Mi’raj.
Andaikan setiap hari adalah ‘Asyura, mungkin kita akan selalu teringat perjuangan Imam Husayn untuk menegakkan panji kebenaran, serta melawan tirani dan kezaliman. Namun sayang, ‘Asyura tak terjadi setiap hari, sehingga kita selalu lupa akan tragedi yang menyedihkan itu. Kita selalu lupa, bahwa sejarah kelam ini pernah kerjadi di awal-awal perkembangan Islam.
Milan Kundera mengingatkan, “Pergulatan manusia melawan kekuasaan adalah pergulatan ingatan melawan lupa.” [Hanafi Mohan/Ciputat-Agustus 2008]
Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di: http://thenafi.wordpress.com/
Sumber gambar: http://islamfeminis.wordpress.com/
Tulisan ini dimuat kembali di: http://hanafimohan.blogspot.com/
Minggu, 27 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 ulasan:
Posting Komentar