Jumat, 27 November 2015
Sastera Melayu Itu Berkaidah
Orang Melayu dapat dipastikan rata-rata mengetahui Sastera Melayu, walaupun hanya serba sedikit. Yang paling masyhur adalah Pantun. Selain itu ada juga Syair dan Gurindam. Lebih dari itu lagi ada Nazham, Seloka, Hikayat, Teromba, Talibun, Mantera, dan tentu masih banyak lagi khazanah Sastera Melayu ini jika mau dituliskan satu persatu.
Kini, perlahan tapi pasti, batang terendam Sastera Melayu satu persatu sudah mulai terangkat ke permukaan. Hal dimaksud didukung pula dengan sering diadakannya festival dan pertemuan Melayu se-kawasan. Selain itu, meluahnya media massa akhir-akhir ini (terutama yang berbasis media online/internet) juga ikut menyemarakkan ghirah masyarakat di Alam Melayu kini untuk berpantun-pantun serta bersyair-syair.
Pencapaian-pencapaian yang mungkin belum seberapa ini tentu sedikit banyak membuat kita senang. Tapi cukupkah hanya sampai yang seperti-seperti itu saja pencapaiannya? Dan lalu kita tenggelam dalam berpuas-puas tak tentu hala tak tentu tuju?
Meluah dan melambak-lambaknya ghirah masyarakat dalam bersastera Melayu tentu tak dapat kita pagong-pagong. Tapi memang dalam bersastera Melayu patut menimbang-nimbang kaidahnya yang menyatu dalam untaian madah-madahnya.
Selain itu sudah seharusnya penggalian khazanah Bahasa Melayu juga tetap dikedepankan dalam menuliskan serta melafazkan beruntai-untai kata dan ayat dari bermacam ragam Sastera Melayu dimaksud.
Terlebih-lebih lagi kandungan isi dari madah-madah tersebut kini juga bukan pada tempatnya, tak betul-betul menggambarkan alam pikiran sejati orang Melayu. Tak sebagaimana karya-karya orang-orang terdahulu yang padat berisi menggambarkan betapa tingginya tamaddun Bangsa Melayu.
Sebagian orang-orang kini hanya mematut-matutkan rimanya, sementara kandungan isinya nomor ke sekian. Isinya lebih banyak menyanjung-nyanjung penguasa, juga hal ihwal yang tak bersangkut paut dengan perikehidupan masyarakat Melayu, tak berkait dengan jati diri Bangsa Melayu. Jauh lalulah khazanah Bahasa Melayu mau ikut digalinya juga, yang ada malahan memasukkan kata-kata yang tak betul-betul dipahami pada alam minda Bangsa Melayu.
Kalau sudah seperti demikian adanya, maka tak patutlah kiranya madah-madah yang tak tentu tuju tak tentu bentuk tak tentu rupa itu dimasukkan sebagai bagian dari Sastera Melayu. Tak berkenan juga untuk menyebutnya sebagai karya yang berbentuk salah satu macam Sastera Melayu. Karena sememangnya Sastera Melayu itu terikat dengan kaidah-kaidahnya. Sastera Melayu tak ditulis dan dilafazkan semau-mau hati, melainkan ia-nya ditulis serta dilafaz dengan setinggi-tingginya cita dan rasa Bahasa Melayu, yang bersumber dari semulia-mulianya akal budi serta jiwa Bangsa Melayu yang bertamaddun. #*#
“Sastera Melayu khazanah bangsa
Budaya dan bahasa patut dijaga
Supaya jangan punah binasa
Sentiasa gemilang serta berjaya
Bahasa kita penuhlah hikmah
Untuk sampaikan ilmu dan kauniyah
Bertentu tuju meluruskan aqidah
Hinggalah insan berakhlaqul karimah
Tersebutlah sastera tradisi Melayu
Selalu masyhur tiada ‘kan layu
Maknanya dalam menyentuh qalbu
Berisi petuah sudahlah tentu”
[Syair Menjulang Pantun]
Hanafi Mohan
Tanah Betawi, Penghujung April 2015
Tulisan ini sebelumnya dimuat di Laman Web Melayu.us
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 ulasan:
Posting Komentar