Jika anda sedang berjalan-jalan di kawasan budaya Melayu seperti di Semenanjung Melayu (Malaysia), Sumatera, dan Kalimantan, maka dengan mudahnya anda akan mendapati banyak orang-orang keturunan Cina (Tionghoa) yang bermukim di tempat itu. Bukan hanya bermukim, melainkan dengan leluasanya mengembangkan kebudayaannya. Anda mungkin agak terheran-heran mendapati orang-orang keturunan Cina dapat dengan mudahnya berbicara dalam bahasa Cina di tempat-tempat umum. Mungkin agak berbeda dengan warga keturunan Cina yang berada di Pulau Jawa yang sehari-harinya berbicara dalam Bahasa Indonesia (apalagi di tempat umum).
Di Indonesia ini mungkin hanya di Pulau Kalimantan yang beberapa kotanya dinamakan dengan bahasa Cina (antara lain Kota Sambas dan Singkawang). Kota kelahiranku pun, yaitu Pontianak mempunyai nama khusus di dalam bahasa Cina. Nama khusus untuk Pontianak dalam bahasa Cina (Mandarin) yaitu Khuntien. Jika anda menonton Program Berita Metro Xinwen di Metro TV, yaitu pas bagian Prakiraan Cuaca, maka anda akan mendapati Kota Pontianak disebutkan dengan nama Khuntien, sedangkan kota-kota lainnya di Indonesia dilafalkan sesuai dengan nama kotanya itu dalam bahasa Indonesia yang pengucapannya hanya disesuaikan dengan logat Mandarin. Di Kalimantan pula ada kota yang dijuluki sebagai Kota Amoy atau Kota Seribu Klenteng, yaitu Singkawang.
Tentunya banyak faktor mengapa orang keturunan Cina (Tionghoa) banyak bermukim di kawasan budaya Melayu. Seperti diketahui bersama, bahwa kawasan budaya Melayu kebanyakan terletak di pesisir, dan dapat dipastikan bahwa di tempat-tempat tersebut juga ada pelabuhan. Kawasan-kawasan budaya Melayu ini sejak dahulu hingga kini adalah daerah kosmopolis, tempat berbagai macam bangsa hidup, berinteraksi, dan mengembangkan budayanya masing-masing dengan damai dan saling bertoleransi antara satu dengan lainnya.
Bangsa Melayu juga adalah bangsa yang terbuka. Dengan begitu, orang-orang Melayu dengan mudahnya bisa menerima bangsa lainnya untuk hidup dan mengembangkan kebudayaannya di kawasan yang notabene adalah kawasan budaya Melayu. Tapi tentunya ada catatan, bahwa bangsa lain yang datang itu bermaksud baik, bukannya bermaksud jahat seperti menjajah dan semacamnya.
Jika Perayaan Imlek di kota-kota lain di Indonesia baru mulai ramai dan kelihatan pada Pasca Reformasi, maka lain halnya di kawasan budaya Melayu. Semenjak masa Orde Lama dan Orde Baru (bahkan jauh sebelum itu), di kawasan budaya Melayu sudah begitu semarak perayaan Imleknya, walaupun mungkin ketika itu perayaan Imlek sangat semarak hanya di wilayah-wilayah yang banyak bermukimnya warga keturunan Cina. Kalau sekarang jangan ditanya lagi, Perayaan Imlek tentunya lebih semarak lagi, bahkan mungkin Liong dan Barongsai bisa dengan leluasanya dan sangat semarak dipertontonkan di jalan-jalan umum.
Itulah setidaknya keberadaan orang-orang keturunan Cina di kawasan-kawasan budaya Melayu. Asimilasi dan akulturasi yang terjadi memang benar-benar secara alami, tak ada unsur paksaan dari pihak penguasa. Sehingga jangan heran, mungkin hanya di Kalimantan ada Wakil Gubernur dan Walikota yang berasal dari keturunan Cina: yaitu Christiandi Sanjaya (Wakil Gubernur Kalimantan Barat) dan Hasan Karman (Walikota Singkawang Kalimantan Barat).
Jika di kota-kota lain di Indonesia masih sangat mempermasalahkan mengenai keberadaan orang-orang keturunan Cina (apalagi sampai memegang jabatan politik), maka bagi kami orang-orang Kalimantan sungguh tidak ada permasalahan berkaitan dengan semua itu. Kalaupun sekali-sekali terjadi gesekan-gesekan, maka itu tak lebih hanyalah riak-riak kecil yang menjadikan kami ke depannya harus lebih saling mentoleransi dan bertenggang rasa.
Dan terkadang konflik antar etnis yang pernah terjadi di bumi Kalimantan beberapa tahun silam lebih merupakan konflik yang sengaja diciptakan oleh pihak-pihak penguasa yang notabene pihak penguasa lokal di Kalimantan ketika itu kebanyakan berasal dari luar Kalimantan. Dan memang kalau mau diakui, ketika itu bukan hanya di Kalimantan yang terjadi konflik horizontal, melainkan hampir di seluruh Indonesia juga terjadi konflik yang sama. Diakui atau tidak, ketika itu adalah akhir rezim Orde Baru dan awal pasca Reformasi yang merupakan masa-masa ketidakstabilan politik, ekonomi, sosial, dan keamanan di seluruh Indonesia.
Bagi kami, orang-orang keturunan Cina sama saja dengan orang-orang dari etnis yang lain, hanya kebetulan saja mereka keturunan Cina, sedangkan yang lainnya pribumi Indonesia. Jika di Indonesia kini baru didengung-dengungkan mengenai multikulturalisme, maka multikulturalisme itu sudah menjadi keseharian kami di Kalimantan, dan sudah kami terapkan dari dahulu kala. Kalimantan adalah bumi yang damai untuk hidupnya semua bangsa yang saling menghargai satu sama lain, saling bertoleransi dan bertenggang rasa, mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, berprinsip yang sama "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung".
Akhir kata, Selamat Merayakan Taon Baghu Cine (Tahun Baru Imlek) 2561 bagi saudara-saudaraku warga keturunan Cina (Tionghoa). Semoga Tuhan selalu melimpahkan keberkahan pada kita semuanya. Gong Xi Fa Cai. [Hanafi Mohan – Ciputat, Jum'at-Minggu, 12-13 Februari 2010]
Sumber gambar: http://alamku.blog.com/
Tulisan ini dimuat di: http://hanafimohan.blogspot.com/
Minggu, 14 Februari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
saya sangat senang membaca artikel anda...
BalasHapusIya, di cap go meh semua suku berpartisipasi
BalasHapusdi KalBar semua suku berbaur,WARUNG KOPI menjadi sarana utk berkumpul dan bersilahturahmi.
BalasHapusjawabanya, chinese di pesisir jawa lebih mudah berasimilias dan kawin campur dengan pribuminya.. sedangkan chinese di sumatera (dan daerah melayu lain) sulit berasimilasi, sehingga membentuk komunitasnya sendiri yang self sustainable
BalasHapus